Sabtu, 10 September 2016

Kangsa Adu Jago



Kisah ini menceritakan Adipati Kangsa merebut takhta Kerajaan Mandura dan mengadakan pertandingan Adu Jago manusia, yang berakhir dengan kematiannya di tangan Kakrasana dan Narayana. Juga diceritakan awal mula Kakrasana dan Narayana mendapatkan senjata pusaka dari kahyangan, antara lain Nanggala dan Cakra.

Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, serta rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Hari Bawono, dengan sedikit pengembangan seperlunya.

Kediri, 11 September 2016

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Prabu Kangsadewa

ADIPATI KANGSA MEMBERONTAK KEPADA PRABU BASUDEWA

Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura memimpin pertemuan yang dihadiri kedua adiknya, yaitu Aryaprabu Rukma dari Kumbina dan Arya Ugrasena dari Lesanpura, serta para menteri dan punggawa yang dikepalai Patih Saragupita. Mereka membahas tindak-tanduk Adipati Kangsa yang makin hari makin mencurigakan, seolah hendak menciptakan permusuhan. Aryaprabu Rukma mengingatkan bahwa bagaimanapun juga Adipati Kangsa bukanlah putra kandung Prabu Basudewa, melainkan putra hasil perselingkuhan Dewi Mahera dengan Prabu Gorawangsa raja Guagra, sehingga sangat mungkin apabila ia melakukan pemberontakan demi membalas kematian ayah dan ibunya.

Tiba-tiba orang yang sedang mereka bicarakan, yaitu Adipati Kangsa, hadir dalam pertemuan itu. Ia datang untuk meminta izin kepada Prabu Basudewa agar diperbolehkan menyerang Desa Widarakandang. Menurut laporan para teliksandi, di desa tersebut ada seorang pemuda berkulit bule bernama Kakrasana anak Buyut Antyagopa, yang berani menanam pohon beringin kurung kembar di halaman rumah orang tuanya dan membangun tembok menyerupai benteng. Selain itu, dia juga memelihara gajah seperti layaknya seorang raja. Adipati Kangsa menyebut ini adalah tindakan makar dan harus mendapat hukuman berat.

Prabu Basudewa tidak setuju apabila Adipati Kangsa menyerang Desa Widarakandang. Untuk mengatasi hal ini cukup dengan mengirim Patih Saragupita ke sana supaya memberikan teguran kepada pemuda bernama Kakrasana itu. Adipati Kangsa menjawab bahwa ia sebenarnya sudah tahu kalau Kakrasana adalah putra kandung Prabu Basudewa yang disembunyikan di Desa Widarakandang. Selain Kakrasana si bule, masih ada adik-adiknya yang bernama Narayana dan Rara Ireng pula. Itulah sebabnya Prabu Basudewa menolak memberikan izin untuk menyerang Desa Widarakandang.

Adipati Kangsa lalu berkata, jika dirinya tidak diizinkan menyerang Desa Widarakandang, maka lebih baik menyerang Kerajaan Mandura saja. Prabu Basudewa terkejut mendengar tantangan tersebut. Sementara itu, Arya Ugrasena yang sudah memuncak amarahnya segera melabrak Adipati Kangsa keluar istana.

ADIPATI KANGSA MEMENJARAKAN PRABU BASUDEWA DAN ARYA UGRASENA

Sesampainya di luar istana, Arya Ugrasena melihat Adipati Kangsa dan Patih Suratimantra telah bersiaga dengan membawa pasukan yang sangat besar. Ia heran mengapa Kadipaten Sengkapura memiliki prajurit sedemikian banyaknya. Andaikan digabung dengan prajurit Guagra pun jumlahnya tetap tidak mungkin sebanyak itu.

Tidak lama kemudian terdengar suara Adipati Kangsa memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyerang. Arya Ugrasena dan Patih Saragupita mengerahkan pasukan untuk menghadapinya. Pertempuran pun meletus di antara kedua pihak. Prabu Basudewa dan Aryaprabu Rukma ikut terjun pula ke medan tempur. Mereka sama sekali tidak siap menghadapi pemberontakan Adipati Kangsa yang serbamendadak ini.

Adipati Kangsa bersenjatakan sebuah gada besar pemberian gurunya, yaitu Resi Anggawangsa. Gada besar tersebut bernama Lohitamuka yang diayun-ayunkan ke sana kemari, menewaskan banyak punggawa Mandura. Adipati Kangsa lalu memukulkan gada besar tersebut kepada Arya Ugrasena dan Prabu Basudewa. Namun, pukulan ini tidaklah keras, sehingga mereka berdua tidak tewas, melainkan hanya jatuh terguling di atas tanah.

Sementara itu, Patih Suratimantra juga berhasil menangkap Aryaprabu Rukma dan Patih Saragupita. Melihat para pemimpin mereka tertawan, pasukan Mandura menjadi kocar-kacir dan banyak yang menyerah takluk kepada pihak Sengkapura.

ADIPATI KANGSA MEMASUKKAN PRABU BASUDEWA DAN ARYA UGRASENA KE DALAM PENJARA

Adipati Kangsa kini berkuasa atas Kerajaan Mandura, dan mengganti gelarnya menjadi Prabu Kangsadewa. Ia mengumumkan bahwa tujuh hari lagi akan menggelar pertunjukan adu jago di alun-alun ibu kota. Namun, jago yang bertanding bukan berwujud ayam, melainkan berwujud manusia. Dalam acara tersebut, kedua pemuda dari Desa Widarakandang, yaitu Kakrasana dan Narayana harus bertanding melawan jago-jago raksasa dari Kadipaten Sengkapura. Prabu Basudewa mau tidak mau harus tega menyaksikan anak-anaknya itu mati mengenaskan di atas panggung. Apabila kedua pemuda tersebut tidak hadir, maka Prabu Basudewa yang harus disembelih di hadapan rakyatnya sendiri.

Prabu Basudewa sangat marah dan meminta Prabu Kangsadewa agar menyembelih dirinya saat ini juga. Namun, Prabu Kangsadewa menolak karena itu terlalu enak untuk Prabu Basudewa. Bagaimanapun juga Prabu Basudewa telah membuang ibunya, yaitu Dewi Mahera di tengah hutan. Oleh sebab itu, Prabu Basudewa harus merasakan sakitnya hidup dalam penjara selama tujuh hari tujuh malam sebagai balasan. Tentunya ini lebih menyiksa daripada langsung dibunuh sekarang. Prabu Kangsadewa juga mengikat tangan Prabu Basudewa dengan rantai untuk mencegahnya agar tidak bunuh diri di dalam penjara.

Mendengar niat jahat tersebut, Arya Ugrasena memaki Prabu Kangsadewa sebagai anak kurang ajar dan tidak tahu diri. Ia juga menyesal telah menjadikan Prabu Kangsadewa sebagai anak angkat. Mulai saat ini ia tidak rela lagi jika Adipati Kangsa memanggilnya sebagai ayah.

Prabu Kangsadewa menjawab bahwa dirinya memang sudah tidak sudi lagi memanggil “ayah” kepada Prabu Basudewa dan “ayah angkat” kepada Arya Ugrasena, karena sudah sejak lama ia tahu bahwa ayah kandungnya yang asli bernama Prabu Gorawangsa dari Kerajaan Guagra. Namun, karena Arya Ugrasena selama ini telah bersikap baik kepadanya, maka Prabu Kangsadewa mengizinkan kesatria dari Lesanpura itu untuk menemani Prabu Basudewa tinggal di dalam penjara. Selain itu, kedua tangan Arya Ugrasena juga harus diikat dengan rantai seperti Prabu Basudewa.

Mengenai Aryaprabu Rukma yang dulu telah membunuh Prabu Gorawangsa, seharusnya mendapat hukuman paling berat dari Prabu Kangsadewa. Namun demikian, Prabu Kangsadewa tetap berterima kasih kepadanya karena dulu tidak membunuh Dewi Mahera. Saat itu Prabu Basudewa memerintahkan Aryaprabu Rukma agar membunuh Dewi Mahera yang baru saja disetubuhi Prabu Gorawangsa. Akan tetapi, Aryaprabu Rukma tidak tega dan hanya meninggalkan Dewi Mahera di tengah hutan. Andai saja dulu Aryaprabu Rukma bersedia membunuh Dewi Mahera, sudah pasti Prabu Kangsadewa tidak akan pernah lahir ke dunia.

Mengingat jasa Aryaprabu Rukma tersebut, Prabu Kangsadewa tidak memenjarakannya, tetapi memerintahkan ia untuk pergi ke Desa Widarakandang menjemput Kakrasana dan Narayana, agar tujuh hari lagi bisa bertanding di alun-alun ibu kota Mandura. Aryaprabu Rukma menerima tugas tersebut sambil pikirannya mencari akal agar bisa lolos. Bagaimanapun juga ia yakin Prabu Kangsadewa cepat atau lambat pasti akan membunuhnya demi membalaskan kematian Prabu Gorawangsa. Aryaprabu Rukma lalu berangkat ke Widarakandang dengan dikawal pasukan raksasa yang dipimpin Ditya Kalanasura. Selain itu, Ditya Kalanasura juga diperintahkan untuk membawa Rara Ireng ke istana agar bisa dikawini Prabu Kangsadewa. Mendengar itu, Prabu Basudewa semakin marah dan mengutuk Prabu Kangsadewa agar segera mendapat hukuman dari Yang Mahakuasa.

PRABU KANGSADEWA BERTERIMA KASIH KEPADA PRABU JARASANDA

Setelah memasukkan Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena ke dalam penjara, Prabu Kangsadewa pergi ke pinggiran ibu kota Mandura untuk menemui sahabatnya, yaitu Prabu Jarasanda raja Magada yang menunggu di perkemahan. Dalam pertemuan itu, Prabu Kangsadewa berterima kasih atas segala bantuan Prabu Jarasanda sehingga dirinya berhasil menaklukkan Kerajaan Mandura.

Demikianlah, orang yang telah menyusun dan mengatur pemberontakan Prabu Kangsadewa ini tidak lain adalah Prabu Jarasanda tersebut. Namun demikian, Prabu Jarasanda tidak bersedia ikut berperang karena dirinya dulu pernah dikalahkan Prabu Pandu dan dipaksa bersumpah untuk tidak akan mengganggu Kerajaan Hastina. Bagaimanapun juga Kerajaan Mandura adalah sekutu Kerajaan Hastina, sehingga Prabu Jarasanda tidak berani menampakkan dirinya bersama Prabu Kangsadewa, melainkan hanya bermain di balik layar. Tidak hanya itu, ia juga meminjamkan pasukan Magada untuk membantu pemberontakan Prabu Kangsadewa, tetapi mengenakan seragam prajurit Sengkapura.

Kini, Prabu Kangsadewa telah menduduki takhta Kerajaan Mandura. Prabu Jarasanda mengucapkan selamat kepada sahabatnya itu, lalu ia pun mohon pamit pulang ke Giribajra, ibu kota Kerajaan Magada.

ARYAPRABU RUKMA MENEMUI BUYUT ANTYAGOPA DAN NYAI SAGOPI

Sementera itu di Desa Widarakandang, Buyut Antyagopa bersama Nyai Sagopi sedang membahas kelima anak mereka, yaitu Udawa, Kakrasana, Narayana, Rara Ireng, dan Rara Sati. Kelima anak tersebut memiliki perilaku yang berbeda-beda. Narayana gemar berkelana dengan ditemani Udawa. Setiap kali pulang ke rumah selalu saja ia berceramah menasihati ayahnya sendiri seperti layaknya orang tua. Adapun anak nomor dua, yaitu Kakrasana rajin bekerja di sawah, berangkat pagi pulang petang. Ia seorang pemuda yang rajin bekerja tetapi mudah marah. Yang paling aneh adalah Kakrasana menanam pohon beringin kurung kembar di halaman rumah seperti layaknya alun-alun, membangun tembok seperti benteng, serta memelihara gajah. Jika hal ini sampai terdengar oleh Prabu Basudewa, tentu Buyut Antyagopa akan mendapat peringatan keras. Sementara itu, Rara Ireng menjadi kembang desa, sering menyebabkan para pemuda saling berkelahi memperebutkan dirinya. Adapun si bungsu Rara Sati gemar menunggang kuda seperti laki-laki, tidak peduli jadi bahan pembicaraan tetangga.

Tidak lama kemudian datanglah Aryaprabu Rukma yang dikawal Ditya Kalanasura dan pasukannya. Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi menyambut kedatangan mereka dengan penuh hormat. Aryaprabu Rukma menyampaikan undangan Prabu Kangsadewa kepada Kakrasana dan Narayana agar hadir ke istana Mandura untuk mengikuti pertandingan Adu Jago yang akan digelar tujuh hari lagi. Ia juga menyampaikan niat Prabu Kangsadewa yang ingin mengambil Rara Ireng sebagai istri.

Aryaprabu Rukma kemudian bertanya di manakah Kakrasana dan Narayana saat ini berada. Buyut Antyagopa menjawab bahwa Narayana masih berkelana, sedangkan Kakrasana ada di sawah. Jika ingin Kakrasana datang, maka Aryaprabu Rukma hendaknya pura-pura memukuli Buyut Antyagopa.

Aryaprabu Rukma menuruti saran tersebut. Ia pun pura-pura marah menuduh Buyut Antyagopa berbuat makar karena berani menanam pohon beringin kurung kembar, membangun benteng, dan memelihara gajah, sehingga meniru istana Mandura. Ia lalu memukuli orang tua itu sambil memaki-maki. Tiba-tiba saja muncul seorang pemuda bule melabrak Aryaprabu Rukma. Pemuda bule itu tidak lain adalah Kakrasana yang marah-marah karena ayahnya dipukuli.

Ditya Kalanasura segera memerintahkan pasukannya untuk menangkap Kakrasana. Pertempuran pun terjadi. Meskipun seorang pemuda desa, namun Kakrasana memiliki bakat kesaktian sejak lahir. Dengan cekatan ia mampu menghadapi para prajurit raksasa tersebut. Suasana yang berubah kacau ini dimanfaatkan oleh Aryaprabu Rukma untuk meloloskan diri. Sementara itu, Buyut Antyagopa sempat menyuruh Nyai Sagopi agar pergi menyelamatkan Rara Ireng dan Rara Sati.

Ditya Kalanasura ngeri melihat ketangkasan Kakrasana dalam menghadapi pasukannya. Ia pun menangkap Buyut Anytagopa sebagai sandera untuk memaksa Kakrasana agar menyerah dan menurut dibawa ke istana Mandura. Namun, Buyut Antyagopa tidak takut mati. Ia justru menusuk dadanya sendiri menggunakan keris.

Kakrasana sangat terkejut melihat ayahnya roboh berlumur darah. Hatinya marah bercampur sedih. Buyut Antyagopa dengan sisa-sisa tenaga memintanya pergi mencari pusaka kahyangan untuk melawan Prabu Kangsadewa tujuh hari lagi. Meskipun Kakrasana memiliki bakat kesaktian sejak lahir, namun itu tidak cukup untuk mengalahkan Prabu Kangsadewa beserta seluruh pasukannya. Setelah berkata demikian, Buyut Antyagopa pun meninggal dunia. Kakrasana segera melesat pergi memenuhi wasiat terakhir ayahnya itu.  

Ditya Kalanasura memerintahkan sebagian prajurit raksasa untuk mengejar Kakrasana dan sebagian lagi untuk mencari Aryaprabu Rukma. Ia sendiri mencari Rara Ireng yang telah kabur bersama Nyai Sagopi dan Rara Sati.

NARAYANA MENDAPAT PUSAKA DARI RESI PADMANABA

Narayana, si pemuda berkulit hitam saat itu sedang berguru kepada Resi Padmanaba di Padepokan Utarayana. Setelah semua ilmu tuntas diberikan, Resi Padmanaba pun berniat memberikan tiga jenis pusaka kepada muridnya itu. Pusaka yang pertama berwujud cakram, bernama Cakra Sudarsana. Barangsiapa terkena senjata ini pasti akan tewas meskipun ia seorang yang sangat sakti. Namun demikian, senjata ini hanya bisa digunakan untuk membunuh manusia yang berdosa saja. Resi Padmanaba lalu menanam Cakra Sudarsana di dada Narayana. Jika ingin menggunakannya, Narayana tinggal mengusap dadanya sambil mengheningkan cipta, maka senjata tersebut akan keluar melalui tangan.

Senjata yang kedua berupa bunga ajaib, bernama Kembang Wijayakusuma. Kegunaan bunga ini adalah untuk menghidupkan orang yang sudah mati. Namun demikian, Narayana tidak boleh sembarangan dalam menggunakannya. Jika orang yang mati itu dianggap belum menyelesaikan tugas-tugasnya di dunia, maka dia boleh untuk dihidupkan kembali. Tetapi, jika orang itu dirasa sudah layak untuk kembali ke alam baka, maka Narayana sama sekali tidak boleh untuk menghidupkannya kembali. Narayana mematuhi pesan tersebut. Resi Padmanaba lalu menanam bunga ajaib itu ke dalam ubun-ubun muridnya. Jika Narayana ingin menggunakannya, maka tinggal mengusap rambut sambil mengheningkan cipta, maka Kembang Wijayakusuma akan keluar melalui mulut.

Senjata yang ketiga berupa panah yang berukuran sangat kecil, setara dengan sehelai rambut. Senjata tersebut bernama Panah Kesawa. Kegunaannya adalah untuk mengerahkan Aji Balasrewu. Resi Padmanaba menanam Panah Kesawa itu di punggung Narayana. Dalam keadaan terdesak, Narayana boleh meraba punggungnya sambil mengheningkan cipta, maka dalam sekejap dirinya pasti akan berubah menjadi raksasa tinggi besar.

Demikianlah, Resi Padmanaba telah memberikan tiga jenis senjata pusaka kepada Narayana. Ia lalu bercerita bahwa sejatinya Narayana bukan anak kandung Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi, melainkan putra Prabu Basudewa raja Mandura. Konon Prabu Basudewa memiliki empat orang istri. Istri pertama bernama Dewi Mahera yang dibuang ke hutan karena disetubuhi Prabu Gorawangsa raja Guagra, hingga melahirkan Adipati Kangsa. Istri kedua bernama Dewi Rohini, melahirkan Kakrasana. Istri ketiga bernama Dewi Dewaki, melahirkan Narayana. Adapun Dewi Dewaki meninggal setelah melahirkan, sehingga Narayana sewaktu bayi disusui oleh Dewi Rohini. Sementara itu, istri keempat Prabu Basudewa bernama Dewi Badraini, melahirkan Dewi Sumbadra, alias Rara Ireng.

Narayana terkejut mengetahui siapa ia yang sebenarnya. Resi Padmanaba kemudian bercerita tentang asal-usulnya yang merupakan keturunan Batara Wisnu. Adapun Batara Wisnu kini telah lahir ke dunia sebagai Narayana dan Raden Arjuna (Permadi). Sebelum menitis, Batara Wisnu sempat menitipkan pusaka Cakra Sudarsana, Kembang Wijayakusuma, dan Panah Kesawa kepada Resi Padmanaba agar kelak diberikan kepada Narayana setelah dewasa. Kini tugas tersebut telah dilaksanakan. Resi Padmanaba pun berniat meninggalkan dunia fana dan meminta agar Narayana yang mengantarkan kepergian rohnya.

Narayana mematuhi wasiat sang guru. Ia lalu bersamadi mengheningkan cipta. Dari dahinya memancar setitik api yang kemudian membakar tubuh Resi Padmanaba menjadi abu. Roh Resi Padmanaba pun melesat ke angkasa, kembali ke alam baka.

Narayana lalu mengajak Udawa yang sejak tadi menunggu di luar untuk pergi meninggalkan padepokan. Sepeninggal mereka berdua, Padepokan Utarayana menjadi sepi tidak berpenghuni. Warga sekitar padepokan menduga-duga bahwa Resi Padmanaba telah meninggal dunia karena dibunuh muridnya sendiri yang bernama Narayana.

KAKRASANA MENERIMA PUSAKA DARI BATARA BRAHMA

Sementara itu, Kakrasana si pemuda berkulit bule telah berhasil menumpas habis para raksasa Sengkapura yang mengejarnya. Sesuai wasiat Buyut Antyagopa sebelum meninggal, ia pun pergi bertapa di puncak Gunung Rewataka. Setelah tujuh hari berlalu, tiba-tiba turun seorang dewa dari angkasa, yaitu Batara Brahma yang membangunkan Kakrasana agar mengakhiri pertapaannya. Kakrasana pun membuka mata dan menyembah penuh hormat kepada dewa tersebut.

Batara Brahma menyampaikan pesan dari Batara Guru bahwa dewata telah berkenan menerima pertapaan Kakrasana. Sebagai anugerah, Kakrasana mendapat tiga jenis pusaka. Pusaka yang pertama berwujud seperti bajak sawah, bernama Nanggala. Barang siapa terkena senjata ini pasti akan terbakar tubuhnya menjadi arang. Batara Brahma lalu menanam Senjata Nanggala tersebut di tangan kanan Kakrasana.

Pusaka yang kedua berwujud seperti alu penumbuk padi, bernama Gada Alugora. Pusaka tersebut ditanam di ubun-ubun Kakrasana. Sejak saat itu Kakrasana mendapat julukan baru, yaitu Halayuda, yang artinya “berperang menggunakan alu”.

Pusaka yang ketiga berupa ilmu kesaktian, bernama Aji Balarama. Dengan memiliki ajian ini, maka Kakrasana akan memiliki daya tahan setara dengan para dewa. Ia menjadi orang yang tahan lapar, tahan kantuk, dan tidak mudah letih. Meskipun bertempur melawan banyak orang, ia tidak akan pernah kehabisan tenaga. Kakrasana kuat tidak makan selama berhari-hari dan mampu menyerap panas matahari sebagai tenaga tubuhnya.

Setelah menyerahkan ketiga pusaka tersebut, Batara Brahma pun menjelaskan asal-usul Kakrasana, yang sebenarnya adalah putra Prabu Basudewa, sama seperti Narayana dan Rara Ireng. Adapun Prabu Basudewa saat ini sedang disekap oleh Prabu Kangsadewa di dalam penjara. Maka, Batara Brahma memerintahkan Kakrasana agar pergi ke ibu kota Mandura untuk membebaskannya. Setelah berpesan demikian, Batara Brahma lalu terbang kembali ke kahyangan.

RARA IRENG BERTEMU WASI PARTA

Sementara itu, Rara Ireng berhasil menyelamatkan diri bersama Nyai Sagopi dan Rara Sati. Mereka bertiga berboncengan naik kuda yang dikendalikan oleh Rara Sati. Ditya Kalanasura tidak putus asa mengejar mereka bertiga. Ketika hampir tertangkap, Rara Ireng berhasil merayu Ditya Kalanasura menggunakan ilmu gendam pengasihan seperti yang pernah diajarkan Narayana kepadanya. Karena terkena pengaruh ilmu tersebut, Ditya Kalanasura menjadi lupa diri dan ia pun jatuh cinta kepada Rara Ireng. Melihat pohon seperti gadis itu dan ia pun merayunya seperti orang gila. Kesempatan ini segera dimanfaatkan Rara Sati untuk memacu kembali kudanya, membawa pergi Nyai Sagopi dan Rara Ireng.

Setelah Rara Ireng pergi, pengaruh ilmu gendam menjadi luntur. Kesadaran Ditya Kalanasura kembali dan ia pun bergegas mengejar. Demikianlah seterusnya, selalu terjadi kejar-kejaran antara mereka hingga tujuh hari pun terlewati.

Pada hari ketujuh tersebut, kuda yang dikendarai Rara Sati hampir saja menabrak seorang pendeta muda berparas tampan dan berwajah berewok, yang diiringi empat orang panakawan. Pendeta tampan tersebut tidak lain adalah Raden Permadi yang sedang dalam penyamaran memakai nama Wasi Parta, sedangkan keempat panakawan adalah Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.

Tidak lama kemudian, Ditya Kalanasura muncul mengejar Rara Ireng. Tanpa banyak bicara, Wasi Parta segera maju menghadapi raksasa tersebut untuk melindungi ketiga perempuan yang sedang dikejar-kejar itu. Maka, terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Kesempatan ini segera dimanfaatkan Rara Sati untuk kembali memacu kuda meloloskan diri dari Ditya Kalanasura.

WASI PARTA MATI DAN HIDUP KEMBALI

Belum jauh Rara Sati memacu kudanya, tiba-tiba di tengah jalan tampak Kakrasana sedang berjalan kaki. Rara Sati, Rara Ireng, dan Nyai Sagopi segera turun dari kuda dan menangis haru di hadapan pemuda bule tersebut. Demikian pula dengan Kakrasana juga sangat bersyukur bisa bertemu lagi dengan mereka. Rara Ireng lalu bercerita bahwa selama tujuh hari ini dirinya dikejar-kejar oleh orang yang hendak menangkapnya. Tidak lama kemudian, Wasi Parta muncul setelah dirinya berhasil menewaskan Ditya Kalanasura. Tanpa pikir panjang, Kakrasana langsung memukulnya menggunakan Gada Alugora. Karena dipukul secara mendadak, Wasi Parta tidak sempat melawan sehingga ia pun jatuh tersungkur dan kehilangan nyawa.

Rara Ireng, Rara Sati, dan Nyai Sagopi menjerit keras melihat Kakrasana membunuh pendeta muda itu. Rara Ireng menjelaskan bahwa Wasi Parta bukan orang yang mengejar-ngejar dirinya, melainkan justru telah menolongnya menghadapi si pengejar itu. Kakrasana menyesal telah terburu nafsu. Ia merasa berdosa karena membunuh orang yang justru berusaha melindungi adiknya.

Sungguh kebetulan, tiba-tiba muncul pula Narayana dan Udawa. Nyai Sagopi dan yang lain terharu bahagia karena kini mereka satu keluarga bisa berkumpul kembali, kecuali Buyut Antyagopa. Narayana menjelaskan bahwa Buyut Antyagopa sudah meninggal dunia. Setelah turun dari Gunung Utarayana, ia dan Udawa pulang ke Desa Widarakandang dan mendapati Buyut Antyagopa sudah tidak bernyawa dan di sekitarnya banyak dijumpai mayat para prajurit Sengkapura. Kakrasana menjelaskan bahwa dirinya memang melihat sendiri Buyut Antyagopa memilih bunuh diri daripada menjadi tawanan Ditya Kalanasura. Namun, ia tidak sempat menguburkan jasad ayah asuhnya itu karena dikejar-kejar oleh para prajurit Sengkapura. Nyai Sagopi, Rara Ireng, dan Rara Sati menangis mendengar nasib yang menimpa Buyut Antyagopa tersebut.

Rara Ireng lalu bercerita bahwa Kakrasana baru saja membunuh Wasi Parta, padahal Wasi Parta telah menolongnya dari kejaran Ditya Kalanasura. Narayana segera mengheningkan cipta dan mengeluarkan Kembang Wijayakusuma. Begitu bunga pusaka tersebut diletakkan di atas kepala Wasi Parta, seketika pendeta muda itu pun hidup kembali seperti bangun dari tidur. Luka di kepalanya akibat pukulan Gada Alugora seketika tertutup dan tidak lagi mengeluarkan darah.

Kakrasana dan yang lain takjub melihat keampuhan Kembang Wijayakusuma yang bisa menghidupkan orang mati. Kakrasana lalu meminta maaf karena dirinya terburu nafsu mengira Wasi Parta adalah orang yang telah mengejar-ngejar Rara Ireng. Narayana yang kini menguasai ilmu kawaskitan pemberian Resi Padmanaba dapat mengetahui bahwa Wasi Parta tidak lain adalah Raden Permadi, Pandawa nomor tiga, putra Dewi Kunti yang sedang menyamar. Narayana menjelaskan pula bahwa Resi Padmanaba telah bercerita bahwa dirinya bukan anak kandung Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi, melainkan putra Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura. Kakrasana juga mengetahui hal itu dari Batara Brahma. Karena Prabu Basudewa adalah kakak kandung Dewi Kunti, itu berarti Raden Permadi adalah sepupu Kakrasana, Narayana, dan Rara Ireng. Nyai Sagopi pun membenarkan hal itu.

Kakrasana bercerita pula bahwa dirinya baru saja turun dari Gunung Rewataka dan kini hendak menuju Kerajaan Mandura untuk membebaskan Prabu Basudewa dari cengkeraman Prabu Kangsadewa. Narayana dan Udawa pun berniat demikian. Kabarnya hari ini Prabu Kangsadewa hendak mengadakan pertunjukan Adu Jago di alun-alun ibu kota. Dalam pertunjukan itu, Prabu Basudewa rencananya akan dibunuh di depan rakyatnya sendiri. Oleh sebab itu, Kakrasana dan Narayana pun berangkat lebih dulu sebelum terlambat, sedangkan Nyai Sagopi, Rara Ireng, dan Rara Sati berjalan di belakang bersama Raden Permadi, Udawa, dan para panakawan.

ARYAPRABU RUKMA MENDAPAT BANTUAN RADEN BRATASENA

Sementara itu, Aryaprabu Rukma yang berhasil meloloskan diri dari Desa Widarakandang selama tujuh hari ini bersembunyi di Gunung Saptaarga, meminta perlindungan Bagawan Abyasa. Hari itu datang pula Raden Bratasena (yang menyamar sebagai Wasi Balawa) mengunjungi sang kakek dan bercerita tentang perbuatan para Kurawa dan Patih Sangkuni yang telah membakar Balai Sigala-gala. Raden Bratasena mengabarkan bahwa ibu dan saudara-saudaranya kini masih hidup dan sedang menyamar sebagai para pendeta. Bagawan Abyasa bersyukur mendengar kelima cucu dan menantunya selamat dari peristiwa kebakaran tersebut.

Raden Bratasena lalu bercerita bahwa kedatangannya ke Gunung Saptaarga adalah untuk meminta petunjuk tentang keberadaan adiknya, yaitu Raden Permadi yang pergi tanpa pamit. Awal mulanya, Dewi Kunti memerintahkan Raden Bratasena dan Raden Permadi berpencar mencari makanan untuk si kembar. Keduanya masing-masing kembali dengan membawa tumpeng lengkap dengan lauknya. Namun, Dewi Kunti memilih tumpeng yang dibawa Raden Bratasena karena diperoleh dari hasil mengadu nyawa, sedangkan tumpeng yang dibawa Raden Permadi ditolak karena diperoleh dari hasil menggoda istri orang. Sejak kejadian itu Raden Permadi menjadi murung dan akhirnya pergi berkelana tanpa pamit bersama para panakawan.

Bagawan Abyasa memberikan petunjuk bahwa Raden Bratasena bisa bertemu dengan adiknya itu apabila ia mau membantu Aryaprabu Rukma menyelamatkan Prabu Basudewa. Raden Bratasena menyatakan bersedia. Bagawan Abyasa pun memperkenalkannya dengan Aryaprabu Rukma yang tidak lain adalah adik Dewi Kunti atau pamannya sendiri. Aryaprabu Rukma sangat senang bisa berjumpa dengan keponakannya itu. Mereka lalu mohon pamit berangkat bersama menuju Kerajaan Mandura.

WASI BALAWA MENANTANG PATIH SURATIMANTRA

Di alun-alun ibu kota Mandura kini telah berdiri sebuah panggung besar. Segenap rakyat Mandura pun berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Adu Jago yang akan digelar di hari itu. Prabu Kangsadewa berdiri di atas panggung bersama Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena yang masih terikat rantai. Prabu Kangsadewa mengumumkan bahwa hari ini Patih Suratimantra akan bertindak sebagai jago menghadapi pemuda berkulit bule dan hitam bernama Kakrasana dan Narayana dari Desa Widarakandang. Apabila kedua pemuda itu tidak muncul, maka Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena akan disembelih di hadapan banyak orang.

Tiba-tiba datanglah Aryaprabu Rukma dan Wasi Balawa (nama samaran Raden Bratasena) yang langsung naik ke atas panggung. Aryaprabu Rukma berkata bahwa dirinya gagal menemukan Kakrasana dan Narayana. Sebagai gantinya, ia membawa seorang pendeta muda bertubuh tinggi besar sebagai lawan Patih Suratimantra. Apabila jagonya ini kalah, maka Aryaprabu Rukma bersedia ikut disembelih bersama Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena. Akan tetapi, jika jagonya menang, maka Prabu Kangsadewa harus dihukum mati di hadapan segenap rakyat Mandura.

Prabu Kangsadewa menolak tantangan tersebut. Dalam hal ini dirinya merasa lebih berkuasa dan lebih berhak menentukan aturan, bukannya Aryaprabu Rukma. Wasi Balawa mengejek Prabu Kangsadewa berjiwa pengecut, hanya berani berteriak-teriak menakuti rakyat, padahal tidak punya nyali. Jangankan melawan Patih Suratimantra, bahkan Wasi Balawa mengaku sanggup jika Prabu Kangsadewa ikut maju mengeroyoknya.

Prabu Kangsadewa termakan ejekan Wasi Balawa. Ia marah-marah dan memerintahkan Patih Suratimantra untuk melayani tantangan tersebut. Rakyat pun bersorak-sorai. Mereka berharap Wasi Balawa mampu menyelamatkan nasib Kerajaan Mandura dari cengkeraman Prabu Kangsadewa.

KEMATIAN PATIH SURATIMANTRA DAN PRABU KANGSADEWA

Pertandingan Adu Jago pun dimulai. Patih Suratimantra bertarung melawan Wasi Balawa di atas panggung. Meskipun masih muda, namun Wasi Balawa memiliki pengalaman bertarung lumayan banyak, antara lain pernah menghadapi Prabu Suksara, Arya Gandamana, Prabu Jalasengara, dan Prabu Baka. Maka, ia pun mampu mengimbangi kesaktian dan kekuatan Patih Suratimantra.

Sebaliknya, Patih Suratimantra merasa heran melihat ada seorang pendeta muda yang ternyata sulit sekali dikalahkan. Setelah bertarung cukup lama, Patih Suratimantra akhirnya terdesak kalah. Wasi Balawa berhasil menangkap tubuhnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi hendak dibanting ke lantai panggung.

Ketika tubuhnya diangkat tinggi itulah, Patih Suratimantra sempat melihat dua pemuda berkulit bule dan hitam baru saja datang dan menyelinap di antara para penonton. Patih Suratimantra pun meronta sehingga dirinya berhasil bebas dari cengkeraman Wasi Balawa. Patih raksasa itu lalu melompat ke arah Kakrasana dan Narayana, hendak menangkap mereka berdua.

Kakrasana dengan cekatan membaca mantra dan mengeluarkan Gada Alugora. Begitu Patih Suratimantra mendekat, ia langsung menghantam kepalanya menggunakan gada berwujud alu tersebut. Seketika Patih Suratimantra pun tewas dengan kepala pecah.

Prabu Kangsadewa terkejut melihat pamannya tewas dibunuh pemuda bule. Ia pun menyerang Kakrasana dengan membawa Gada Lohitamuka. Maka, terjadilah pertarungan adu gada antara Prabu Kangsadewa dan Kakrasana. Ketika mereka saling tangkis, Gada Alugora dan Gada Lohitamuka sama-sama terlepas dari tangan dan jatuh ke tanah. Prabu Kangsadewa dan Kakrasana melanjutkan pertarungan dengan tangan kosong. Kali ini Prabu Kangsadewa lebih unggul dan ia berhasil meringkus Kakrasana dan mencekik lehernya menggunakan tangan kanan.

Narayana maju berusaha menolong kakaknya. Namun, Prabu Kangsadewa dengan cekatan meringkusnya pula. Kedua pemuda itu kini sama-sama berada dalam cengkeraman Prabu Kangsadewa. Kakrasana dicekik menggunakan tangan kanan, sedangkan Narayana dicekik menggunakan tangan kiri. Wasi Balawa dan Aryaprabu Rukma berusaha menolong namun mereka dikeroyok para raksasa Sengkapura.

Pada saat itulah tiba-tiba muncul Rara Ireng bersama Wasi Parta. Rara Ireng segera mengerahkan ilmu gendam pengasihan, membuat Prabu Kangsadewa terlena dan kurang waspada. Karena lengah melihat kecantikan gadis itu, Prabu Kangsadewa tidak menyadari kalau Wasi Parta telah melepaskan panah yang meluncur dan menancap tepat di dadanya. Prabu Kangsadewa pun kesakitan dan membuat cengkeramannya menjadi kendur.

Kakrasana dan Narayana berhasil lolos dari cekikan lawan. Mereka pun segera mengeluarkan pusaka masing-masing. Dari tangan Narayana muncul senjata Cakra Sudarsana yang melesat memenggal kepala Prabu Kangsadewa. Pada saat yang sama, senjata Nanggala di tangan Kakrasana juga menghantam perut Prabu Kangsadewa hingga terbakar menjadi arang.

Melihat sang raja telah binasa, para prajurit Sengkapura pun berhamburan. Ada yang menyerah takluk dan ada pula yang melarikan diri.

RADEN BRATAENA MENDAPATKAN GADA RUJAKPOLO

Aryaprabu Rukma dan Patih Saragupita telah membuka rantai yang mengikat Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena. Prabu Basudewa segera memeluk Kakrasana, Narayana, dan Rara Ireng, serta mengumumkan kepada segenap rakyat yang menyaksikan bahwa mereka bertiga adalah anak-anaknya yang sejak kecil dititipkan pada Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi di Desa Widarakandang. Prabu Basudewa juga berterima kasih kepada Wasi Balawa dan Wasi Parta yang tidak lain adalah keponakannya sendiri, putra-putra Dewi Kunti.

Kakrasana lalu memungut Gada Alugora miliknya yang masih tergeletak di tanah sejak pertarungan tadi. Adapun Gada Lohitamuka milik Prabu Kangsadewa juga masih tergeletak karena tidak ada seorang pun yang mampu memindahkannya. Prabu Basudewa lalu memerintahkan Wasi Balawa untuk mengangkat gada besar tersebut. Wasi Balawa menyanggupi. Dengan penuh hormat, ia pun memegang Gada Lohitamuka dan berhasil mengangkatnya. Prabu Basudewa kagum dan mempersilakan Wasi Balawa untuk memiliki gada besar tersebut. Wasi Balawa bersedia. Ia lalu mengganti nama Gada Lohitamuka menjadi Gada Rujakpolo.

ARYAPRABU RUKMA DAN ARYA UGRASENA MENJADI RAJA

Keadaan kini telah aman kembali. Prabu Basudewa kembali menduduki takhta Kerajaan Mandura. Ia mengangkat Kakrasana sebagai pangeran mahkota, sedangkan Hutan Banjarpatoman diserahkan kepada Narayana supaya dibuka menjadi puri kasatrian.

Prabu Basudewa juga menetapkan kedua adiknya, yaitu Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena menjadi raja yang merdeka, tidak lagi berada di bawah Kerajaan Mandura. Mulai hari ini, Aryaprabu Rukma dilantik sebagai raja Kumbina, bergelar Prabu Bismaka, sedangkan Arya Ugrasena dilantik sebagai raja Lesanpura, bergelar Prabu Satyajit.

Setelah upacara pelantikan selesai, Wasi Balawa dan Wasi Parta beserta para panakawan mohon pamit kembali ke tempat ibu dan saudara-saudara mereka yang saat ini masih tinggal di wilayah Kerajaan Ekacakra.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------




CATATAN : Kisah kematian Prabu Kangsa menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 692 yang ditandai dengan sengkalan “Sikaraning Rudra angrasa barakan”, atau tahun Candrasengkala 713 yang ditandai dengan sengkalan “Geni sawukir sirna”.

Kakrasana

Narayama























8 komentar:

  1. Kangsa Adu Jago
    Main sabung ayam cuma di BOLAVITA paling nyaman
    judi sabung ayam dengan presentase kemenangan tertinggi
    Untuk info lebih lanjut bisa melalui:
    whatup : 08122222995
    BBM: D8C363CA
    Wechat : Bolavita.
    Line : Cs_bolavita.
    BBM: D8C363CA

    BalasHapus
  2. WINNING303 SITUS JUDI ONLINE TERBESAR DAN TERBAIK

    Winning303 adalah salah satu situs judi online yang sedang berkembang menuju yang terbaik diantara lainnya. Untuk itu kami memberikan bonus Spesial kepada seluruh member-member kami seperti :
    - BONUS WELCOME 20%
    - BONUS DEPOSIT 10%
    - VONUS CASHBACK 5-10%
    - BONUS 7x WIN SABUNG AYAM
    - PROMO DISKON TOGEL SAMPAI 65%
    - BONUS ROLINGAN 0.5%
    - 1% ROLINGAN SLOT

    >>>Daftar<<<

    Yuk segera daftarkan diri anda bosku, untuk menikmati bonus-bonus diatas. Terima kasih.
    Hubungi kami di :
    WA : +6281717177303
    atau langsung di Livechat kami di www(titik)winning303(titikk)net


    Winning303



    BalasHapus
  3. Yuk di add pin B -O-L- A- V- I- T- A
    Sabung ayam online dan semua jenis permainan judi online ..
    Semua bonus menarik kami berikan setiap hari nya ... :)
    www,bolavita,com sabung ayam bangkok

    BalasHapus
  4. Lakon kongso adu jago kok komentare sabung ayam online wkwkwkk menungso menungso

    BalasHapus
  5. Akhirnya nemu nemu cerita kangsa adujago, trimksh

    BalasHapus
  6. Wah kirain sama ceritanya dengan jagal abilowo

    BalasHapus
  7. Terimakasih dgn referensi cerita wayang kongso adu jago.

    BalasHapus