Kisah ini menceritakan para Pandawa dan Dewi Kunti kembali ke Kerajaan
Hastina setelah memenangkan sayembara memperebutkan Dewi Drupadi. Karena Raden
Kurupati menolak mengembalikan kedudukannya sebagai putra mahkota kepada Raden
Puntadewa, maka diadakanlah sayembara di antara mereka, yaitu memetik buah jambu
lima warna, menimbang kedua pihak dengan traju, serta menggali sungai yang menghubungkan
Pegunungan Dihyang dengan Laut Selatan.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja
Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan buku
Ensiklopedi Wayang Purwa karya Raden Rio Sudibyoprono, serta beberapa artikel tentang
legenda Sungai Serayu dan Tuk Bima Lukar.
Kediri, 22 September 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
PARA PANDAWA DIUNDANG PULANG KE KERAJAAN HASTINA
Prabu Drupada di Kerajaan
Cempalareja (Pancala Selatan) memimpin pertemuan yang dihadiri Raden
Drestajumena (putra mahkota), Patih Drestaketu (menteri utama), serta para
menteri dan punggawa. Hadir pula Dewi Kunti dan para Pandawa dalam pertemuan tersebut.
Hari itu Dewi Kunti mohon pamit kepada Prabu Drupada untuk memboyong Dewi
Drupadi yang sudah resmi menjadi istri Raden Puntadewa untuk pindah ke Gunung
Saptaarga, tinggal bersama Bagawan Abyasa.
Prabu Drupada dalam hati
merasa keberatan. Ia pernah mengalami bagaimana susahnya hidup di padepokan
Resi Baradwaja semasa muda dulu. Untuk itu, ia pun menawarkan untuk membangun
sebuah istana sebagai tempat tinggal para Pandawa dan Dewi Drupadi. Akan
tetapi, Raden Puntadewa menolak dengan halus penawaran tersebut. Dewi Kunti
juga mengatakan bahwa ia ingin melihat putra-putranya mendapat kemuliaan dari
hasil bekerja keras, bukan hasil pemberian mertua.
Tiba-tiba datanglah Adipati
Yamawidura dari Pagombakan yang segera disambut ramah oleh Prabu Drupada. Para
Pandawa sangat terharu dan satu persatu berpelukan dengan paman mereka itu.
Adipati Yamawidura menjelaskan bahwa kedatangannya bukan untuk keperluan
pribadi, melainkan diutus Prabu Dretarastra untuk menjemput pulang Dewi Kunti
dan para Pandawa, sekaligus sang menantu Dewi Drupadi.
Adipati Yamawidura bercerita
bahwa sejak mendengar kabar tentang kebakaran istana Waranawata, Resiwara Bisma
memutuskan untuk bertapa dalam kamar gelap di Padepokan Talkanda. Adipati
Yamawidura yang mengetahui bahwa para Pandawa dan ibu mereka masih hidup tidak
berani menceritakan yang sebenarnya, karena terlanjur berjanji kepada Dewi
Kunti untuk merahasiakan hal ini. Hingga pada akhirnya, Batara Narada turun
dari kahyangan untuk membangunkan tapa Resiwara Bisma. Batara Narada
menjelaskan bahwa para Pandawa dan Dewi Kunti masih hidup, bahkan kini telah
memenangkan sayembara di Kerajaan Cempalareja.
Setelah mendapat keterangan
dari Batara Narada tersebut, Resiwara Bisma segera meninggalkan Padepokan
Talkanda untuk menemui Prabu Dretarastra di istana Hastina. Resiwara Bisma
sangat marah atas ulah para Kurawa yang mencoba membunuh para Pandawa dan ibu
mereka melalui pembakaran Balai Sigala-gala. Untuk itu, Prabu Dretarastra mau
tidak mau harus segera mengundang mereka semua pulang. Prabu Dretarastra yang ketakutan
segera memerintahkan Adipati Yamawidura untuk menjemput para Pandawa dan Dewi
Kunti di Kerajaan Cempalareja.
Demikianlah, Adipati
Yamawidura mengakhiri ceritanya. Kini semua orang telah mengetahui bahwa Dewi
Kunti dan para Pandawa masih hidup dan juga selamat dari peristiwa kebakaran di
Waranawata. Untuk itu, Adipati Yamawidura memohon agar Dewi Kunti dan para Pandawa
sudi ikut bersamanya pulang ke Kerajaan Hastina.
Dewi Kunti agak keberatan
karena teringat bagaimana Patih Sangkuni dan para Kurawa berusaha mencelakakan
putra-putranya. Sebenarnya ia lebih suka tinggal di Gunung Saptaarga daripada
pulang ke Kerajaan Hastina. Adipati Yamawidura berjanji bahwa Resiwara Bisma
dan dirinya akan selalu melindungi keselamatan para Pandawa. Mengenai tempat
tinggal, ia mempersilakan Dewi Kunti dan para Pandawa untuk tinggal di
Kadipaten Pagombakan jika memang tidak berkenan tinggal di istana Hastina.
Dewi Kunti akhirnya bersedia
mengikuti ajakan Adipati Yamawidura, dengan syarat harus singgah dulu ke Gunung
Saptaarga untuk meminta restu Bagawan Abyasa. Adipati Yamawidura menyanggupi. Setelah
dirasa cukup, Prabu Drupada pun membubarkan pertemuan untuk selanjutnya
mempersiapkan upacara pelepasan Dewi Kunti dan para putra.
PARA PANDAWA MENINGGALKAN KERAJAAN CEMPALAREJA
Esok harinya, Dewi Kunti, para
Pandawa, Dewi Drupadi, dan para panakawan mohon pamit kepada Prabu Drupada dan
Dewi Gandawati. Dewi Kunti berterima kasih atas segala kebaikan yang diberikan
Prabu Drupada sekeluarga kepada dirinya dan para putra. Prabu Drupada menjawab bahwa
itu sudah kewajibannya memuliakan Dewi Kunti dan para Pandawa yang merupakan
anggota keluarga Prabu Pandu, tokoh yang paling ia hormati di dunia.
Prabu Drupada dan Dewi
Gandawati kemudian memberikan beberapa nasihat rumah tangga kepada putri
mereka, yaitu Dewi Drupadi. Sementara itu, para Pandawa juga berpamitan kepada
kedua adik Dewi Drupadi, yaitu Dewi Srikandi dan Raden Drestajumena. Diam-diam
antara Dewi Srikandi dan Raden Permadi ada rasa saling menyukai. Akan tetapi,
mereka sama-sama tidak berani mengungkapkan, hanya dipendam dalam hati.
Setelah persiapan dirasa
cukup, rombongan tersebut pun berangkat meninggalkan Kerajaan Cempalareja,
dengan dikawal Patih Drestaketu sampai perbatasan.
ROMBONGAN PANDAWA DIHADANG MUSUH YANG DIKIRIM PATIH SANGKUNI
Para Kurawa dan Patih Sangkuni
di Kerajaan Hastina sangat kesal mendengar berita bahwa para Pandawa masih
hidup dan juga selamat dari kebakaran di Waranawata. Bahkan, mereka juga
berhasil memenangkan sayembara memperebutkan Dewi Drupadi. Raden Kurupati
(Suyudana) pun berniat menggempur Kerajaan Cempalareja untuk membunuh kelima
Pandawa, namun dicegah oleh Patih Sangkuni.
Patih Sangkuni melarang para
Kurawa turun tangan secara langsung karena beberapa waktu yang lalu mereka sudah
kalah bertempur menghadapi Raden Bratasena seorang diri yang hanya bersenjata
tiang. Mengenai hal ini, Patih Sangkuni telah mempersiapkan rencana, yaitu
mengirim surat kepada para raja yang dulu melamar Dewi Drupadi agar mereka menghadang
dan membunuh para Pandawa di tengah jalan.
Demikianlah, para raja yang
telah menerima surat dari Patih Sangkuni tersebut bergerak bersama-sama untuk
menghadang perjalanan para Pandawa dan rombongannya. Mereka dipimpin oleh Prabu
Suradenta dari Kerajaan Bataputih. Menyadari hal itu, Adipati Yamawidura segera
memerintahkan Patih Jayasemedi untuk melawan mereka.
Patih Jayasemedi dan para
prajurit Pagombakan maju menghadapi serangan para raja itu. Namun, mereka
terdesak karena jumlah musuh jauh lebih banyak. Raden Bratasena dan Raden Permadi
segera turun tangan. Kali ini para raja itu banyak yang tewas dan sebagian lagi
melarikan diri.
BAGAWAN ABYASA MENYERAHKAN PUSAKA KEPADA PARA PANDAWA
Sesuai rencana, rombongan para
Pandawa pun singgah ke Gunung Saptaarga. Satu persatu mereka menyembah hormat
kepada Bagawan Abyasa. Dewi Kunti juga memperkenalkan Dewi Drupadi selaku
menantu baru di keluarga mendiang Prabu Pandu. Bagawan Abyasa pun memberikan
restu kepadanya.
Dalam pertemuan itu, Dewi
Kunti menyampaikan maksud bahwa mulai hari ini ia dan putra-putranya akan
kembali ke Kerajaan Hastina. Ia berharap semoga putra-putranya dapat memperoleh
hak atas takhta warisan Prabu Pandu. Bagawan Abyasa sebagai kakek tidak memihak
Pandawa, juga tidak memihak Kurawa. Ia hanya memberi nasihat supaya para
Pandawa selalu waspada terhadap tipu muslihat Patih Sangkuni. Bagaimanapun juga
Patih Sangkuni adalah titisan Resi Dwapara yang bercita-cita ingin
menghancurkan keturunan Resi Satrukem.
Bagawan Abyasa kemudian
bercerita tentang beberapa pusaka yang diwariskan secara turun-temurun di
keluarga Saptaarga, yaitu Pustaka Jamus Kalimahusada, Payung Tunggulnaga,
Tombak Karawelang, Panah Sarotama, dan Panah Ardadadali. Kelima pusaka ini
awalnya diperoleh Resi Manumanasa setelah mengalahkan musuh Kahyangan Suralaya
bernama Prabu Kalimantara bersamaan dengan lahirnya Resi Satrukem. Setelah Resi
Manumanasa dan Resi Satrukem wafat, kelima pusaka tersebut diwarisi sang cucu,
yaitu Resi Parasara. Kemudian Resi Parasara mewariskannya kepada sang putra,
yaitu Bagawan Abyasa. Ketika Prabu Pandu dewasa dan menjadi raja Hastina,
Bagawan Abyasa pun menyerahkan kelima pusaka itu kepadanya. Namun kemudian,
Prabu Pandu meninggal dunia dan ia sempat mengembalikan pusaka-pusaka itu
kepada Bagawan Abyasa.
Bagawan Abyasa kemudian
mendapat petunjuk dari dewata, bahwa kelima pusaka tersebut hendaknya
diserahkan kepada Pandawa nomor satu dan tiga, karena merekalah yang mampu merawat
dan menggunakannya dengan baik. Maka, pada kesempatan itu, Bagawan Abyasa pun
menyerahkan Jamus Kalimahusada, Tombak Karawelang, dan Payung Tunggulnaga
kepada Raden Puntadewa, sedangkan Panah Sarotama dan Panah Ardadadali
diserahkan kepada Raden Permadi. Kedua cucunya itu maju dan menerima
pusaka-pusaka tersebut dengan penuh hormat. Mereka berjanji akan merawat dan
menggunakannya dalam kebaikan.
Demikianlah, setelah
mendapatkan restu dari Bagawan Abyasa, para Pandawa beserta Dewi Kunti, Adipati
Yamawidura, Dewi Drupadi, Patih Jayasemedi, dan para panakawan mohon pamit melanjutkan
perjalanan menuju Kerajaan Hastina.
RADEN KURUPATI MENOLAK MELEPASKAN JABATANNYA
Rombongan para Pandawa
akhirnya sampai juga di Kerajaan Hastina. Prabu Dretarastra, Dewi Gandari,
Resiwara Bisma, Resi Druna, dan Resi Krepa menyambut mereka dengan perasaan
haru dan bahagia. Patih Sangkuni dan para Kurawa juga ikut pura-pura bergembira
menyambut kedatangan mereka. Hanya Raden Kurupati satu-satunya yang tidak
muncul dengan alasan sedang kurang enak badan.
Beberapa hari kemudian,
Resiwara Bisma dan Adipati Yamawidura mempertanyakan tentang kedudukan putra
mahkota Kerajaan Hastina kepada Prabu Dretarastra. Dulu setelah para Pandawa
berhasil menangkap Prabu Drupada dan Arya Gandamana atas perintah Resi Druna,
kedudukan putra mahkota pun diserahkan kepada Raden Puntadewa. Namun kemudian,
terjadi peristiwa kebakaran yang menghancurkan Balai Sigala-gala, di mana para
Pandawa dinyatakan meninggal. Untuk mengisi kekosongan, Prabu Dretarastra segera
mengangkat Raden Suyudana sebagai putra mahkota yang baru, bergelar Raden
Kurupati. Akan tetapi, para Pandawa ternyata masih hidup. Itu artinya Raden
Kurupati harus rela mengembalikan kedudukannya kepada Raden Puntadewa.
Patih Sangkuni menyela bahwa
sabda seorang raja tidak boleh digonta-ganti begitu saja. Jika Prabu
Dretarastra sudah menetapkan Raden Kurupati sebagai putra mahkota, maka itu
tidak boleh diganggu gugat. Mengenai para Pandawa yang ternyata masih hidup, ini
hal yang perlu disyukuri namun bukan berarti mereka bisa mendapatkan kembali
hak mereka.
Adipati Yamawidura menjawab ucapan
Patih Sangkuni. Ia mengungkit soal kebakaran Balai Sigala-gala apakah murni
kecelakaan ataukah memang sengaja dibakar untuk membunuh para Pandawa dan Dewi
Kunti. Maka itu, ia memohon izin kepada Prabu Dretarastra untuk mengumpulkan
barang bukti dan menyelidiki kebenaran peristiwa tersebut. Jika memang terbukti
Raden Kurupati terlibat dalam upaya pembunuhan para Pandawa, maka ia harus
mendapat hukuman pidana dan dicopot kedudukannya sebagai putra mahkota.
Raden Kurupati dan Patih
Sangkuni gemetar mendengar ucapan Adipati Yamawidura. Namun tiba-tiba, Raden
Puntadewa berkata bahwa ia tidak ingin lagi mengungkit-ungkit soal kebakaran di
Kota Waranawata. Ia menyatakan kebakaran tersebut adalah murni kecelakaan dan
tidak perlu mencari bukti apakah para Kurawa terlibat di dalamnya atau tidak.
Raden Puntadewa berharap setelah para Pandawa dan Kurawa dapat berkumpul
kembali, semoga kedua pihak tetap rukun seperti sebelum terjadi kebakaran.
Raden Bratasena menyela
pembicaraan kakaknya. Ia mengatakan boleh saja Raden Puntadewa memaafkan para
pelaku pembakaran Balai Sigala-gala. Akan tetapi, soal kedudukan sebagai putra
mahkota sama sekali pihak Pandawa tidak boleh mengalah. Raden Puntadewa
memperoleh jabatan tersebut bukan karena warisan Bapak Pandu, tetapi berkat
perjuangan menaklukkan Prabu Drupada dan Arya Gandamana di Kerajaan Pancala.
Raden Puntadewa boleh mengampuni para Kurawa, tetapi jangan pernah melupakan
perjuangan adik-adiknya waktu itu.
RESI DRUNA MENGADAKAN SAYEMBARA UNTUK MURID-MURIDNYA
Prabu Dretarastra merasa
bimbang karena dalam hati ia tidak rela jika jabatan putra mahkota sampai lepas
dari putranya, namun di sisi lain ia juga tidak tega berbuat tidak adil kepada
para Pandawa.
Patih Sangkuni tiba-tiba
menyela. Pertama ia berterima kasih atas kebaikan hati Raden Puntadewa yang
tidak menyalahkan para Kurawa atas kebakaran di Waranawata. Mengenai siapa yang
berhak menduduki jabatan putra mahkota hendaknya dilakukan pemilihan ulang.
Jika Prabu Dretarastra mencopot jabatan ini dari Raden Kurupati, maka dunia
akan mencatat raja Hastina sebagai orang yang suka mengubah-ubah keputusan.
Namun jika jabatan itu tidak dikembalikan kepada Raden Puntadewa, tentunya
dunia pun akan menilai Prabu Dretarastra sebagai raja yang tidak adil. Maka, demi
menjaga nama baik Prabu Dretarastra, sebaiknya untuk hal ini dilakukan
pemilihan ulang. Sebagai pihak yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang
kalah hendaknya bukan dari anggota keluarga Hastina, melainkan guru para
Pandawa dan Kurawa, yaitu Resi Druna.
Prabu Dretarastra setuju pada
usulan Patih Sangkuni. Sebelum Resiwara Bisma dan Adipati Yamawidura sempat
menanggapi, ia buru-buru menetapkan keputusan bahwa Resi Druna ditunjuk untuk
menengahi permasalahan putra mahkota. Resi Druna adalah orang luar, bukan
anggota keluarga Kerajaan Hastina, sehingga keputusannya bisa adil tanpa memihak.
Selain itu, Resi Druna juga merupakan guru para Pandawa dan Kurawa. Seorang
guru sama derajatnya dengan ayah atau ibu, sehingga keputusannya akan dihormati
kedua pihak.
Resiwara Bisma dan Adipati
Yamawidura sebenarnya kurang setuju jika diadakan pemilihan ulang. Namun karena
Prabu Dretarastra sudah menetapkan demikian, mereka tidak dapat membantah lagi.
Mereka berharap semoga Resi Druna bisa memberikan keputusan yang adil. Rupanya
Resiwara Bisma dan Adipati Yamawidura belum tahu kalau Resi Druna telah
menjalin persahabatan dengan Patih Sangkuni. Selain itu, Bambang Aswatama putra
Resi Druna juga bekerja di Kepatihan Plasajenar sebagai juru tulis Patih
Sangkuni. Tentunya hal ini membuat Resi Druna merasa tertekan dan kurang bisa bersikap
adil.
SAYEMBARA MENGUNDUH JAMBU LIMA WARNA
Demikianlah, Resi Druna telah
ditunjuk sebagai penengah persoalan putra mahkota. Ia segera bertanya kepada
para Pandawa dan Kurawa apakah mereka siap jika diadakan sayembara untuk
memilih ulang siapa yang berhak menduduki jabatan putra mahkota. Raden
Puntadewa dan Raden Kurupati mewakili kedua pihak sama-sama menjawab siap. Resi
Druna pun berkata bahwa di tengah Hutan Jatiraga terdapat sebatang pohon jambu
yang berbuah lima warna, yaitu putih, hitam, kuning, merah, dan hijau.
Barangsiapa bisa mengunduh kelima buah jambu tersebut, maka ia berhak menduduki
jabatan putra mahkota Kerajaan Hastina.
Begitu mendengar perintah
tersebut, para Kurawa langsung berangkat menuju Hutan Jatiraga, sedangkan para
Pandawa lebih dulu meminta restu kepada Resiwara Bisma, Prabu Dretarastra, Resi
Druna, Resi Krepa, dan Adipati Yamawidura. Baru setelah itu, mereka pun berangkat
menyusul para Kurawa.
Para Kurawa telah menemukan
pohon jambu di tengah Hutan Jatiraga yang buahnya bersinar menyilaukan. Mereka
pun beramai-ramai memanjat pohon tersebut. Tiba-tiba dari dedaunan pohon jambu muncul
asap beracun yang membuat para Kurawa jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Para Pandawa datang menyusul
dan menemukan para sepupu mereka telah tergeletak di tanah. Raden Puntadewa segera
mengajak adik-adiknya berlutut memberi hormat kepada pohon jambu ajaib itu.
Melihat sikap santun para Pandawa, tiba-tiba dari atas pohon jambu muncul
sesosok makhluk halus yang mengaku bernama Gandarwa Maya. Ia mempersilakan para
Pandawa untuk mengunduh jambu lima warna. Raden Puntadewa berterima kasih kepada
gandarwa tersebut.
Begitu mendapat izin, Raden
Bratasena segera maju memeluk pohon jambu yang tinggi menjulang. Raden Permadi
lalu memanjat pundak Raden Bratasena. Kemudian Raden Nakula memanjat pundak
Raden Permadi. Yang paling atas adalah Raden Sadewa memanjat pundak Raden
Nakula. Ia kemudian memetik jambu lima warna dan turun ke tanah untuk
mempersembahkannya kepada Raden Puntadewa.
Raden Puntadewa berterima
kasih atas kerjasama adik-adiknya. Gandarwa Maya lalu menjelaskan bahwa kelima
jambu tersebut sebenarnya adalah Permata Pancamaya. Permata warna putih bisa
mengeluarkan air banjir, permata hitam bisa mengeluarkan gempa, permata kuning
bisa mengeluarkan angin topan, permata merah bisa mengeluarkan api, dan permata
hijau bisa mengeluarkan hewan melata.
Raden Puntadewa sekali lagi
berterima kasih kepada Gandarwa Maya. Namun, ia juga memohon agar para Kurawa
disembuhkan dari pingsan mereka. Gandarwa Maya memuji kebaikan Raden Puntadewa.
Ia lalu menghembuskan angin yang membuat Raden Kurupati dan adik-adiknya bebas
dari pengaruh asap beracun.
RESI DRUNA MENIMBANG PARA PANDAWA DAN KURAWA
Gandarwa Maya telah menghilang
dari pandangan ketika Resi Druna dan Patih Sangkuni datang. Raden Puntadewa
segera mempersembahkan Permata Pancamaya kepada Resi Druna. Raden Kurupati
buru-buru menyela bahwa sebenarnya para Kurawa yang berhasil mengunduh kelima
jambu tersebut namun direbut secara licik oleh para Pandawa.
Patih Sangkuni berkedip
memberi isyarat kepada Resi Druna agar mengulang sayembara. Resi Druna merasa
bimbang karena jelas-jelas para Pandawa yang menang, namun ia takut Patih
Sangkuni sakit hati dan mencelakakan Bambang Aswatama, putranya. Maka, Resi
Druna lalu bersamadi, mencipta sebilah papan baja yang sangat panjang dan
dipasang pada salah satu dahan pohon jambu tersebut. Para Kurawa dan para
Pandawa akan ditimbang menggunakan papan itu sebagai traju. Pihak mana yang
lebih berat akan dinyatakan sebagai pemenang.
Para Kurawa segera menaiki
salah satu sisi papan baja dan menantang para Pandawa untuk menaiki sisi yang
lain. Raden Puntadewa, Raden Permadi, dan si kembar pun menaiki ujung papan
yang satunya sambil mengerahkan kesaktian masing-masing. Sungguh aneh, seratus
orang ditimbang dengan empat orang ternyata hasilnya seimbang.
Raden Bratasena naik paling
akhir ke atas traju sambil mengerahkan Aji Blabak Pangantol-antol warisan Arya
Gandamana. Dengan kekuatan penuh ia menghentak sisi papan baja di mana keempat
saudaranya berkumpul. Hentakan yang sangat keras itu membuat para Kurawa terpental
dari timbangan dan tubuh mereka pun berhamburan ke mana-mana.
SAYEMBARA MENGGALI SUNGAI TEMBUS KE SAMUDERA
Patih Sangkuni segera
mengumpulkan para keponakannya yang berhamburan akibat hentakan Raden Bratasena
tadi. Ternyata yang terkumpul hanya setengah saja, sedangkan yang lima puluh
orang menghilang entah ke mana. Raden Kurupati mencari adik-adiknya itu ke
mana-mana namun belum bertemu juga. Para Kurawa yang hilang itu ialah Raden
Bogadenta, Raden Bomawikata, Raden Wikataboma, Raden Surtayuda, Raden Anuwinda,
Raden Naranurwinda, Raden Wersaya, Raden Gardapati, dan banyak lagi yang
lainnya.
Para Kurawa yang tersisa
kembali menghadap Resi Druna untuk meminta agar sayembara diulang. Resi Druna
yang mendapat tekanan batin dari Patih Sangkuni segera mengumumkan sayembara
baru, yaitu para Pandawa dan Kurawa harus bisa membuat sungai yang bersumber
dari Pegunungan Dihyang dan bermuara di Laut Selatan. Adapun Pegunungan Dihyang
ini dahulu kala pernah menjadi tempat Empu Sangkala (Batara Ajisaka) bertapa
sebelum menumbali Tanah Jawa.
Raden Kurupati dan
adik-adiknya segera mengambil perkakas seperti cangkul dan beliung. Mereka
pergi ke Pegunungan Dihyang dan mencari sumber air. Setelah bertemu, sumber air
itu lalu digali beramai-ramai dan diarahkan ke selatan membentuk sungai.
PARA PANDAWA MENDAPAT PETUNJUK DEWA
Lain dengan para Kurawa yang
mengandalkan otot untuk menggali tanah, para Pandawa memilih cara kebatinan.
Mereka bertapa di kaki sebuah gunung di Pegunungan Dihyang, memohon petunjuk
dewata. Tidak lama kemudian Batara Narada pun turun membangunkan mereka.
Batara Narada lalu mengajarkan
kepada para Pandawa cara menggali sungai secara ajaib. Raden Permadi
diperintahkan untuk melepaskan Panah Sarotama sebagai penggali tanah, sedangkan
Raden Bratasena hendaknya melepas pakaian dan kencing mengikuti galian Panah
Sarotama. Adapun para Pandawa lainnya diajari cara membaca mantra agar air
kencing Raden Bratasena berubah menjadi air bersih.
Setelah mengajarkan semuanya,
Batara Narada pun terbang kembali ke kahyangan.
PARA PANDAWA MENGGALI SUNGAI
Sesuai dengan apa yang telah
diajarkan dewata, Raden Bratasena pun bertelanjang dan bersiap untuk kencing.
Untuk mengenang peristiwa itu, tempat di mana Raden Bratasena pertama kali
kencing diberi nama Tuk Bima Lukar oleh Raden Puntadewa.
Raden Permadi lalu
membentangkan Busur Gandiwa dan melepaskan Panah Sarotama. Panah pusaka itu
menancap di tanah kemudian bergerak ke arah selatan seperti menggali membentuk
jalur sungai. Raden Bratasena lalu kencing mengisi galian tersebut, sedangkan
Raden Puntadewa dan si kembar membaca mantra. Sungguh ajaib, air kencing Raden
Bratasena tidak pernah habis dan seketika berubah menjadi air bersih berkat
pengaruh mantra tersebut.
Demikianlah kerja sama para
Pandawa. Panah Sarotama bergerak menggali di depan. Setiap kali panah tersebut
berhenti, Raden Permadi segera memungutnya dan menembakkannya kembali. Raden
Bratasena berjalan telanjang sambil mengencingi jalur sungai yang digali Raden
Permadi. Adapun Raden Puntadewa dan si kembar berjalan paling belakang sambil
membaca mantra untuk memurnikan air kencing tersebut supaya berubah menjadi air
jernih.
PARA PANDAWA BERTEMU DEWI URANGAYU
Tidak terasa, Panah Sarotama
telah menggali tanah sampai ke pesisir Laut Selatan. Tiba-tiba panah tersebut
terhenti karena membentur tubuh seekor udang betina yang sedang bertapa. Para
Pandawa heran melihatnya. Udang tersebut lalu berubah menjadi seorang wanita
cantik yang mengaku bernama Dewi Urangayu, putri Batara Mintuna dari Kahyangan
Kisiknarmada.
Raden Bratasena yang telanjang
segera bersembunyi di balik punggung saudara-saudaranya sambil menutupi
kemaluan. Dewi Urangayu tersipu malu kemudian memalingkan muka. Ia mengaku
sengaja bertapa di tepi pantai karena mendapat petunjuk dewata bahwa di situlah
ia akan bertemu dengan jodohnya yang bertubuh tinggi besar. Jodoh tersebut
tidak lain adalah Raden Bratasena.
Petunjuk dewata itu kini menjadi
kenyataan. Dewi Urangayu pun meminta kepada Raden Bratasena agar bersedia menikah
dengannya. Raden Bratasena mengaku sudah memiliki seorang istri bernama Dewi
Nagagini, putri Batara Anantaboga. Dewi Urangayu menjawab tidak keberatan jika dirinya
dimadu. Raden Bratasena akhirnya menyatakan sanggup menikahi Dewi Urangayu,
tetapi kelak jika kakaknya, yaitu Raden Puntadewa sudah menjadi raja.
Dewi Urangayu memegang janji
Raden Bratasena. Ia lalu membaca mantra, membuat Panah Sarotama tiba-tiba
kembali bergerak melanjutkan penggalian hingga akhirnya bersatu dengan
samudera. Demikianlah, para Pandawa telah berhasil menggali sebuah sungai yang
menghubungkan Pegunungan Dihyang dengan Laut Selatan. Karena tugasnya telah
selesai, Raden Bratasena pun kembali berpakaian dan sekarang ia berani
memandang Dewi Urangayu.
RESI DRUNA MENETAPKAN PEMENANG SAYEMBARA
Resi Druna dan Patih Sangkuni
datang bersama para Kurawa. Resi Druna telah memeriksa hasil kerja para Pandawa
dan Kurawa. Ternyata sungai buatan para Pandawa yang berhasil menghubungkan
Pegunungan Dihyang dengan Laut Selatan. Sementara itu, sungai buatan para
Kurawa tidak menuju ke laut melainkan justru menyatu dengan sungai buatan para Pandawa.
Dengan demikian, Resi Druna
pun menetapkan pihak Pandawa sebagai pemenang sayembara dan berhak atas takhta Kerajaan
Hastina. Mendengar itu, Raden Kurupati jatuh pingsan dan segera digotong adik-adiknya
beserta Patih Sangkuni kembali ke istana.
Setelah para Kurawa dan Patih
Sangkuni pergi, Resi Druna bertanya siapa perempuan cantik yang bersama para
Pandawa. Dewi Urangayu pun memperkenalkan dirinya sebagai putri Batara Mintuna
dari Kahyangan Kisiknarmada. Raden Puntadewa juga menceritakan bagaimana awal
mula para Pandawa bertemu Dewi Urangayu yang bertapa di pesisir pantai, yaitu
ketika Panah Sarotama membentur tubuhnya yang berwujud udang.
Mendengar cerita itu, Resi Druna
pun memberi nama sungai buatan para Pandawa, yaitu Kali Sarayu, yang bermakna “bertemunya
Panah Sarotama dengan Dewi Urangayu.” Sementara, itu sungai buatan para Kurawa
diberi nama Kali Kelawing, karena gagal mencapai lautan dan justru menyatu
ujungnya dengan Kali Sarayu.
Resi Druna pun berpesan kepada
para Pandawa agar jangan sekali-kali terkena air Kali Kelawing, karena sungai
tersebut digali para Kurawa dengan perasaan penuh dendam. Hawa jahat yang
memancar dari hati mereka telah menyatu dengan air sungai itu, yang bisa
membuat para Pandawa bernasib sial apabila sampai mencebur ke dalamnya. Para
Pandawa berterima kasih dan menyanggupi nasihat sang guru.
Demikianlah, Kali Kelawing
tersebut kelak terkenal pula dengan nama Kali Cingcing Goling.
PARA PANDAWA MENDAPAT PERMATA PANCAMAYA
Dewi Urangayu kemudian mohon
pamit kepada Resi Druna dan para Pandawa. Ia memegang janji Raden Bratasena
yang bersedia menikahinya setelah nanti Raden Puntadewa dilantik sebagai raja.
Raden Bratasena bersumpah tidak akan melupakan janjinya itu. Para Pandawa
lainnya juga siap menjadi saksi atas janji Raden Bratasena tersebut. Dengan
perasaan lega, Dewi Urangayu lalu pergi meninggalkan tempat itu, kembali ke
padepokan ayahnya.
Setelah Dewi Urangayu pergi, Resi
Druna menyerahkan Permata Pancamaya kepada para Pandawa sebagai hadiah atas
kemenangan mereka. Permata putih diberikan kepada Raden Puntadewa, permata
hitam diberikan kepada Raden Bratasena, permata kuning diberikan kepada Raden
Permadi, permata merah diberikan kepada Raden Nakula, sedangkan permata hijau
diberikan kepada Raden Sadewa. Kelima Pandawa berterima kasih atas kemurahan
hati sang guru. Mereka lalu bersama-sama kembali ke istana Hastina untuk
melapor kepada Prabu Dretarastra dan Resiwara Bisma.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
CATATAN : Kisah sayembara mengunduh jambu, menimbang berat, serta
menggali sungai ini menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja
Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 690 yang ditandai dengan sengkalan “Tanpa
gatra retuning barakan”, atau tahun Candrasengkala 711 yang ditandai dengan
sengkalan “Rupa janma saswareng wiyat”.
Bangun kali Serayu dan kisah ketemu dgn Urangayu itu kan pakem Yogya. Jadi ganjil kalau yg dipakai pustaka raja. Dan disaat membangun itulah ketemunya Wijasena dgn Urangayu.
BalasHapusCerita Bondan Paksajandu (Pandhawa Timbang) itu juga justru terjadinya sebelum Balé Sigala-gala
Trus
HapusIstimewa
BalasHapusCerita rakyat, mana yang benar mana yang salah,,, semua benar,,,,,
BalasHapus