Kisah ini menceritakan tentang pertarungan antara Raden Arjuna alias
Palguna melawan Prabu Ekalaya alias Palgunadi, sesama murid Resi Druna. Juga
dikisahkan tentang kesetiaan Dewi Angraeni yang memilih bunuh diri menyusul
suaminya, daripada menjadi istri Raden Arjuna.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta)
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita) yang dipadukan dengan sumber dari kitab
Mahabharata karya Resi Wyasa, serta sumber dari pentas Wayang Orang di TVRI, dengan
pengembangan seperlunya.
Kediri, 23 April 2017
Heri Purwanto
Untuk daftar judul
lakon wayang lainnya, klik di sini
Prabu Palgunadi dan Raden Palguna. |
------------------------------
ooo ------------------------------
RESI DRUNA MEMILIKI MURID BERNAMA PRABU PALGUNADI
Resi Druna di Padepokan
Sokalima dihadap putranya, yaitu Bambang Aswatama bersama para cantrik dan
jejanggan. Hadir pula dalam pertemuan itu, seorang wanita cantik bernama Dewi
Angraeni yang merupakan istri Prabu Palgunadi, yaitu murid Resi Druna yang
menjadi raja di Negeri Paranggelung.
Dewi Angraeni awal mulanya
ikut menemani Prabu Palgunadi yang berkunjung ke Padepokan Sokalima untuk mendapat
pelajaran baru dari Resi Druna. Namun, karena ada suatu masalah penting di
Kerajaan Paranggelung, Prabu Palgunadi terpaksa mohon pamit pulang lebih dulu
dan menitipkan istrinya kepada Resi Druna untuk sementara waktu.
Resi Druna melihat Dewi
Angraeni sudah beberapa hari ini merasa jenuh dan merindukan suaminya. Ia pun
mencoba menghibur wanita itu dengan menceritakan bagaimana awal mula Prabu
Palgunadi bisa menjadi murid Padepokan Sokalima.
Belasan tahun yang lalu Resi
Druna diterima bekerja di Kerajaan Hastina. Prabu Dretarastra menugasinya
sebagai guru ilmu perang bagi para Pandawa dan Kurawa yang saat itu masih
remaja. Di antara murid-muridnya, Raden Arjuna adalah yang paling berbakat
dalam ilmu memanah. Siang malam ia berlatih tak kenal waktu, hingga bisa
membidik sasaran dengan tepat meskipun di dalam suasana gelap.
Pada suatu hari anjing piaraan
milik Raden Suyudana (Prabu Duryudana semasa muda) diserang orang. Mulut anjing
itu disumpal dengan tujuh batang anak panah, tetapi si anjing tidak terluka
sama sekali. Resi Druna dan semua muridnya merasa heran sekaligus kagum, siapa
orangnya yang bisa memanah sehebat itu. Mereka lalu bersama-sama menelusuri
jejak si anjing dan menemukan seorang remaja sedang berlatih panah di hadapan
patung mirip Resi Druna.
Remaja itu bernama Raden
Ekalaya, putra Prabu Hiranyadanu dari Kerajaan Paranggelung. Ia pun menyembah
hormat kepada Resi Druna kemudian bercerita tentang asal usulnya. Beberapa
waktu yang lalu ia mendengar kabar bahwa di Kerajaan Hastina, tepatnya di
Padepokan Sokalima ada seorang guru sakti bernama Resi Druna. Ia ingin sekali belajar
ilmu panah kepadanya. Namun, ketika sampai di Padepokan Sokalima, Raden Ekalaya
tidak berani menampakkan diri. Ia hanya mengintai dari jauh dan melihat Resi
Druna menolak seorang pemuda bernama Radeya (yaitu Adipati Karna semasa muda)
yang juga ingin menjadi muridnya. Resi Druna berkata bahwa Prabu Dretarastra
telah menugaskan dirinya untuk menjadi guru para Pandawa dan Kurawa saja, tidak
boleh menerima murid lain, kecuali putranya yang bernama Bambang Aswatama.
Radeya pun diusir pergi dari Padepokan Sokalima dan disuruh belajar menjadi
kusir kereta saja seperti ayahnya (Kyai Adirata). Radeya sangat tersinggung dan
bersumpah dirinya pasti bisa menjadi murid orang yang pernah mengajari Resi
Druna ilmu kesaktian.
Raden Ekalaya yang mengintai
dari jauh menjadi berkecil hati dan tidak berani menemui Resi Druna. Ia sangat takut
diusir seperti Radeya tadi. Ia pun tinggal di hutan dan membuat patung dari
tanah liat yang berbentuk persis seperti Resi Druna. Setiap pagi ia bersamadi
dan menghormat di hadapan patung tersebut. Ia membayangkan patung buatannya itu
adalah benar-benar Resi Druna yang hadir memberikan pelajaran kepadanya.
Setelah berbulan-bulan Raden
Ekalaya berguru kepada patung Resi Druna, ia pun mendapatkan kepandaian memanah
yang luar biasa. Meskipun hanya menghormat kepada patung, namun karena kesungguhan
hati Raden Ekalaya, membuat ia lebih pandai memanah dibandingkan para Pandawa
dan Kurawa yang belajar langsung kepada Resi Druna. Hingga tadi pagi ketika
sedang berlatih, tiba-tiba muncul anjing milik Raden Suyudana yang menggonggong
hendak menyerang dirinya. Raden Ekalaya pun menembakkan panah tujuh kali yang
semuanya tepat menyumpal mulut si anjing tanpa melukainya sedikit pun.
Resi Druna sangat terkesan melihat
ketulusan Raden Ekalaya dan ingin menjadikannya sebagai murid yang
sesungguhnya. Namun, ia melihat wajah Raden Arjuna tampak iri dan malu.
Seketika Resi Druna pun teringat bahwa Prabu Dretarastra melarang dirinya
menerima murid selain para Pandawa, Kurawa, dan Bambang Aswatama. Selain itu,
ia juga sudah terlanjur berjanji akan menjadikan Raden Arjuna sebagai pemanah
terbaik di dunia. Maka, ia pun merasa bersalah jika ada murid lain yang
kepandaian memanahnya melebihi Raden Arjuna.
Resi Druna lalu berkata kepada
Raden Ekalaya bahwa meskipun hanya belajar kepada patung yang mirip dengannya,
namun itu sama artinya Raden Ekalaya telah belajar kepada Resi Druna. Oleh
sebab itu, Resi Druna berhak meminta pembayaran sebagaimana lazimnya seorang
guru meminta bayaran dari muridnya. Raden Ekalaya pun menyatakan siap
memberikan apa saja yang diminta Resi Druna.
Akan tetapi, yang diminta Resi
Druna sebagai pembayaran ternyata sangat aneh, yaitu ia meminta ibu jari tangan
kanan Raden Ekalaya. Semua yang hadir pun terkejut mendengarnya, terutama Raden
Ekalaya. Namun karena sudah terlanjur berjanji, Raden Ekalaya dengan mantap
memotong ibu jari tangan kanannya menggunakan pisau belati.
Raden Arjuna sadar Resi Druna
lebih mengasihi dirinya daripada Raden Ekalaya. Tujuan Resi Druna meminta Raden
Ekalaya memotong ibu jari tangan kanan adalah supaya ilmu memanahnya menjadi
berkurang dan Raden Arjuna tetap menjadi pemanah yang terbaik. Raden Arjuna
tidak suka diperlakukan istimewa seperti ini dan ia pun meminta Resi Druna agar
tetap menerima Raden Ekalaya sebagai murid resmi. Namun, Resi Druna tidak bisa
melanggar janjinya kepada Prabu Dretarastra. Ia hanya bisa berjanji kelak
apabila Prabu Dretarastra sudah mengizinkan dirinya menerima murid baru dari
luar Kerajaan Hastina, maka Raden Ekalaya boleh datang lagi ke Padepokan
Sokalima.
Karena Raden Arjuna tidak suka
diperlakukan istimewa dan ingin bersaing secara sehat dengan Raden Ejalaya,
maka Resi Druna pun memberikan pusaka sebagai pengganti ibu jari Raden Ekalaya
yang telah putus. Pusaka tersebut berwujud cincin, bernama Sesotya Manik Ampal
yang hendaknya dipakai di jari kelingking kanan Raden Ekalaya. Meskipun jari
tangan Raden Ekalaya tinggal sembilan, namun dengan memakai cincin pusaka
tersebut, ia tetap bisa memanah dengan baik seolah masih memiliki sepuluh jari.
Raden Ekalaya sangat berterima kasih dan bersumpah akan menjaga cincin
pemberian Resi Druna itu bagaikan nyawa.
Sebelum berpisah, Resi Druna
lebih dulu mempersaudarakan Raden Arjuna dengan Raden Ekalaya. Karena Raden
Arjuna memiliki nama julukan Raden Palguna (yang lahir di bulan Palguna), maka
Raden Ekalaya pun diberi nama baru, Raden Palgunadi, dan dijadikan sebagai
adiknya.
Demikianlah kisah awal mula
pertemuan Resi Druna dengan Raden Ekalaya. Setelah Prabu Hiranyadanu meninggal
dunia, Raden Ekalaya pun menjadi raja di Paranggelung dengan memakai nama Prabu
Palgunadi sebagai gelarnya. Ia juga mendengar kabar bahwa para Pandawa dan
Kurawa sudah lulus dari Padepokan Sokalima, dan Resi Druna juga sudah mendapat
izin dari Prabu Dretarastra untuk menerima murid-murid baru dari luar Hastina.
Oleh sebab itu, Prabu Palgunadi pun datang lagi ke Padepokan Sokalima dan
menjadi murid resmi Resi Druna, sebagaimana Raden Drestajumena putra Prabu
Drupada yang telah lebih dulu berguru ke sana.
Resi Druna. |
DEWI ANGRAENI MOHON PAMIT PULANG KE PARANGGELUNG
Dewi Angraeni terkesan
mendengar kisah masa lalu Prabu Palgunadi dan kini ia baru tahu mengapa
suaminya itu hanya memiliki sembilan jari. Selama ini Prabu Palgunadi tidak
pernah bercerita bahwa ibu jari kanannya telah dipotong sebagai pembayaran
untuk Resi Druna. Sikap kesatria Prabu Palgunadi ini membuat Dewi Angraeni
semakin cinta kepadanya. Karena perasaan rindu tidak tertahan lagi, Dewi
Angraeni pun mohon pamit ingin menyusul suaminya pulang ke Kerajaan
Paranggelung.
Resi Druna keberatan dan
melarang Dewi Angraeni pergi, karena Prabu Palgunadi hanya pulang sebentar untuk
menyelesaikan urusan di negerinya. Setelah urusan tersebut selesai, maka ia
pasti datang kembali ke Padepokan Sokalima. Namun, Dewi Angraeni tetap
bersikeras ingin menyusul suaminya pulang. Rasa rindunya sudah tak tertahankan
dan Resi Druna tidak dapat menghalanginya lagi. Akhirnya, Resi Druna pun
memberikan izin, sekaligus juga memerintahkan Bambang Aswatama untuk mengawal
kepulangan Dewi Angraeni.
Dewi Angraeni. |
PATIH SANGKUNI MENEMUI RESI DRUNA
Setelah Dewi Angraeni dan
Bambang Aswatama pergi, tiba-tiba datang dua orang tamu dari Kerajaan Hastina,
yaitu Patih Sangkuni dan Arya Dursasana. Kedatangan mereka adalah untuk
menyampaikan teguran Prabu Duryudana terhadap Resi Druna yang sudah beberapa waktu
ini tidak datang menghadap ke istana. Resi Druna menjawab dirinya tidak bisa
datang karena masih sibuk mengajarkan berbagai macam ilmu perang kepada Prabu
Palgunadi raja Paranggelung.
Patih Sangkuni berkata dirinya
sudah mendengar soal itu, bahwa Resi Druna telah menerima Prabu Palgunadi
sebagai murid resmi. Ia juga tahu tentang Prabu Palgunadi yang tidak lain adalah
Raden Ekalaya, yang semasa remaja pernah mendapatkan kepandaian memanah hanya
dengan memuja patung Resi Druna. Patih Sangkuni pun mengingatkan Resi Druna
tentang perjanjian dahulu, bahwa Prabu Dretarastra mengizinkan Padepokan
Sokalima menerima murid dari luar Kerajaan Hastina, tetapi dengan syarat para
murid itu harus menjadi sekutu para Kurawa. Resi Druna menjawab dirinya tidak
lupa pada perjanjian tersebut dan mengatakan bahwa Prabu Palgunadi pun telah
bersumpah setia akan selalu tunduk terhadap perintah Prabu Duryudana.
Patih Sangkuni senang
mendengarnya. Ia pun berkata bahwa Prabu Duryudana mempunyai niat ingin
menjadikan Prabu Palgunadi sebagai panglima perang kedua di Kerajaan Hastina,
berdampingan dengan Adipati Karna. Sebenarnya ini adalah usulan Patih Sangkuni
agar Prabu Palgunadi dijadikan sebagai jago utama menghadapi Raden Arjuna,
karena meskipun di Kerajaan Hastina terdapat pemanah hebat bernama Adipati
Karna, tetapi Patih Sangkuni sejak awal kurang suka kepadanya. Apalagi sekarang
Adipati Karna sudah mengetahui bahwa para Pandawa adalah adik-adiknya sendiri.
Patih Sangkuni khawatir jangan-jangan suatu saat nanti ia membelot tidak lagi
mengabdi kepada Kerajaan Hastina, tetapi menyeberang untuk bergabung dengan
musuh di Kerajaan Amarta. Hal inilah yang membuat Patih Sangkuni semakin tidak
suka kepadanya.
Prabu Duryudana menerima
usulan tersebut. Ia lalu memerintahkan Patih Sangkuni dan para Kurawa untuk
menjemput Prabu Palgunadi di Padepokan Sokalima agar bersama-sama hadir di Kerajaan
Hastina. Resi Druna menjawab sudah terlambat, karena Prabu Palgunadi kini sudah
pulang ke Kerajaan Paranggelung. Tidak hanya itu, bahkan permaisurinya yang
bernama Dewi Angraeni juga telah menyusul dengan diantar Bambang Aswatama.
Patih Sangkuni tidak merasa
terlambat. Begitu mendengar nama Dewi Angraeni, ia pun mendapatkan akal untuk
mengadu domba antara Prabu Palgunadi dengan Raden Arjuna. Setelah berpikir
demikian, ia lantas mohon pamit pergi meninggalkan Padepokan Sokalima bersama
seluruh rombongannya.
Patih Sangkuni. |
BAMBANG ASWATAMA MERAYU DEWI ANGRAENI
Dalam perjalanan pulangnya, Dewi
Angraeni mengendarai kereta dengan dikawal sedikit prajurit, sedangkan Bambang
Aswatama menunggang kuda di depannya. Ketika mereka melewati jalanan sepi, tiba-tiba
Bambang Aswatama menghadang dan menghentikan laju kereta. Ia lalu turun dari
kuda dan langsung menyelinap masuk ke dalam kereta untuk menemui Dewi Angraeni.
Dewi Angraeni terkejut melihat
perubahan sikap Bambang Aswatama yang tadinya sopan kini menjadi kurang ajar.
Bambang Aswatama berterus terang bahwa dirinya diam-diam menyukai Dewi Angraeni
dan memintanya untuk meninggalkan sang suami. Ia berkata bahwa meskipun dirinya
bukan raja seperti Prabu Palgunadi, tetapi ia memiliki tanah yang sangat luas,
yaitu setengah dari wilayah Kerajaan Pancala. Dulu para Pandawa telah
memenangkan perang melawan Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Akibatnya,
Kerajaan Pancala pun jatuh ke tangan Resi Druna dan kemudian dibagi menjadi
dua. Wilayah Pancala sebelah selatan dikembalikan kepada Prabu Drupada
sekeluarga, sedangkan wilayah Pancala sebelah utara diserahkan kepada Bambang
Aswatama. Dengan demikian, meskipun Bambang Aswatama bukan raja, tetapi
kekayaannya melimpah dan tanahnya luas, melebihi apa yang dimiliki Prabu
Palgunadi yang hanya seorang raja kecil.
Dewi Angraeni sama sekali
tidak tertarik mendengar rayuan Bambang Aswatama. Ia pun turun dari kereta dan
berteriak minta tolong. Akan tetapi, Bambang Aswatama dengan cekatan membunuh
kusir kereta dan seluruh prajurit pengawal Dewi Angraeni yang jumlahnya tidak
banyak.
Bambang Aswatama. |
PATIH SUKARMA BERPERANG MENGHADAPI PARA KURAWA
Dewi Angraeni berlari
ketakutan sekencang-kencangnya. Sungguh beruntung ia bertemu dengan sekelompok
prajurit dari Kerajaan Paranggelung yang dipimpin oleh Patih Sukarma, bawahan
suaminya. Dewi Angraeni pun menangis
meminta tolong dan juga bertanya mengapa Patih Sukarma bisa berada di tempat
ini.
Patih Sukarma pun bercerita
bahwa Prabu Palgunadi telah kembali ke Kerajaan Paranggelung untuk
menyelesaikan urusan negara. Karena urusan ini sulit ditinggalkan, ia menjadi
bingung bagaimana caranya menjemput pulang sang istri. Menyadari hal itu, Patih
Sukarma pun menawarkan diri untuk berangkat menjemput Dewi Angraeni. Tak
disangka di tengah jalan ia sudah bertemu dengan permaisuri rajanya tersebut
yang sepertinya sedang dikejar-kejar orang jahat.
Dewi Angraeni pun bercerita
bahwa dirinya digoda dan dirayu oleh Bambang Aswatama, putra Resi Druna. Bahkan
kusir kereta dan para prajurit pengawal sudah tewas semua di tangannya. Ketika
Dewi Angraeni belum selesai bercerita, tiba-tiba Bambang Aswatama datang dan
berniat memaksanya agar ikut. Patih Sukarma marah melihat majikannya
diperlakukan kasar dan ia pun maju menghadapi Bambang Aswatama.
Maka, terjadilah pertarungan
antara Patih Sukarma dengan Bambang Aswatama. Keduanya saling serang dan
berusaha saling menjatuhkan lawan. Tidak lama kemudian datang pula Patih
Sangkuni dan para Kurawa yang langsung bertempur membantu Bambang Aswatama melawan
pasukan Paranggelung. Pertempuran sengit pun terjadi di tempat itu. Patih
Sangkuni memberikan perintah agar semua orang Paranggelung ditumpas habis
jangan ada sisa sama sekali.
Demikianlah, dalam pertempuran
ini para Kurawa berhasil membunuh habis semua prajurit Paranggelung, termasuk
Patih Sukarma pun gugur di tangan Bambang Aswatama. Dewi Angraeni merasa ngeri
bercampur sedih. Ia segera melanjutkan pelarian tanpa berani menoleh ke
belakang.
Patih Sukarma. |
DEWI ANGRAENI BERTEMU RADEN ARJUNA
Dewi Angraeni yang berlari
kencang akhirnya bertemu Raden Arjuna yang sedang berkelana dengan ditemani
para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Tidak lama kemudian
datang Patih Sangkuni, Bambang Aswatama, dan para Kurawa mengejar. Mereka
meminta agar Dewi Angraeni diserahkan. Mendengar itu, sikap kesatria Raden
Arjuna pun bangkit. Ia menantang apabila mereka ingin merebut Dewi Angraeni,
maka harus bisa membunuhnya terlebih dahulu.
Mendengar tantangan tersebut,
para Kurawa maju menyerang Raden Arjuna. Pertempuran sengit pun terjadi di
antara mereka. Meskipun seorang diri, namun Raden Arjuna tetap tidak
teralahkan, karena ia memang murid terbaik Resi Druna. Sementara itu, Patih
Sangkuni mendapatkan akal bahwa pertempuran ini tidak perlu dilanjutkan. Ia
merasa Dewi Angraeni sudah jatuh ke tangan Raden Arjuna dan sebentar lagi
suaminya pasti murka. Setelah berpikir demikian, ia pun segera memerintahkan
para Kurawa untuk mundur, tidak perlu lagi mengeroyok Raden Arjuna.
Demikianlah, orang-orang
Hastina itu telah mundur. Namun, Patih Sangkuni lalu mengajak Arya Dursasana
dan Bambang Aswatama untuk memutar jalan dan kemudian pergi menuju Kerajaan
Paranggelung untuk menghasut Prabu Palgunadi.
Raden Arjuna. |
RADEN ARJUNA JATUH CINTA KEPADA DEWI ANGRAENI
Dewi Angraeni merasa lega
melihat para pengejar telah pergi. Ia segera berterima kasih kepada Raden
Arjuna dan juga memperkenalkan diri kepadanya. Raden Arjuna terkejut saat mengetahui
ternyata Dewi Angraeni adalah istri Prabu Palgunadi yang merupakan adik angkatnya.
Ia berkata bahwa dirinya dulu dipersaudarakan dengan Raden Ekalaya yang mendapat
nama baru Raden Palgunadi, sehingga mirip dengan julukannya, yaitu Raden
Palguna. Demikianlah, Raden Arjuna mengaku sebagai saudara tua Prabu Palgunadi,
dan itu berarti Dewi Angraeni adalah adik iparnya.
Dewi Angraeni senang mendengarnya
dan ia mohon pamit untuk melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Paranggelung.
Raden Arjuna tidak tega melihat adik iparnya berjalan sendiri dan ia pun
menawarkan bantuan untuk mengantar perjalanan Dewi Angraeni.
Begitulah, mereka lalu berjalan
bersama-sama. Dalam perjalanan itu, diam-diam Raden Arjuna mengamati dan memuji
kecantikan Dewi Angraeni. Meskipun Raden Arjuna telah memiliki beberapa istri,
namun kecantikan Dewi Angraeni sangat khas dan tidak ada duanya. Karena tidak
dapat memendam perasaan, mulutnya pun memuji kecantikan Dewi Angraeni. Ia juga
berkata, andai saja mereka bertemu lebih dulu, tentu bukan Prabu Palgunadi yang
menjadi suami Dewi Angraeni.
Dewi Angraeni merasa serbasalah.
Dalam hati ia mengakui wajah dan paras Raden Arjuna jauh lebih tampan daripada
suaminya. Namun, cintanya kepada Prabu Palgunadi begitu mendalam dan ia justru
merasa takut mendengar pujian Raden Arjuna itu. Kyai Semar memahami sikap Dewi
Angraeni yang setia pada suami. Ia pun pura-pura menasihati Nala Gareng,
Petruk, dan Bagong agar menjadi laki-laki yang selalu menjaga norma. Sesungguhnya
wajar apabila laki-laki menyukai perempuan. Akan tetapi, yang wajib diingat
adalah apabila si perempuan sudah memiliki suami, maka jangan pernah
menginginkannya. Jika diteruskan, itu istilahnya disebut merusak pagar hayu.
Lebih baik mencari yang masih perawan atau yang sudah janda, daripada
mengganggu istri orang lain.
Raden Arjuna paham dirinya
sedang disindir. Maka, ia pun tidak berani lagi memuji Dewi Angraeni dan
kembali melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Paranggelung.
Para Panakawan. |
PATIH SANGKUNI MENGHASUT PRABU PALGUNADI
Sementara itu, Patih Sangkuni
ditemani Arya Dursasana dan Bambang Aswatama meninggalkan para Kurawa lainnya
untuk bergerak cepat mendahului Dewi Angraeni menuju Kerajaan Paranggelung.
Sesampainya di sana, mereka segera menemui Prabu Palgunadi. Bambang Aswatama
yang saling kenal dengan Prabu Palgunadi segera memperkenalkan kedua rekannya.
Mengetahui bahwa Patih Sangkuni dan Arya Dursasana adalah orang-orang dekat
Prabu Duryudana, Prabu Palgunadi pun menyembah hormat kepada mereka.
Patih Sangkuni berkata bahwa
kedatangannya ke Kerajaan Paranggelung adalah untuk menyampaikan keputusan
Prabu Duryudana yang mengangkat Prabu Palgunadi sebagai panglima perang
Kerajaan Hastina, berdampingan dengan Adipati Karna. Jadi, bukan sekadar
menjadi sekutu biasa. Mendengar keputusan itu, Prabu Palgunadi merasa
tersanjung dan berterima kasih atas kemurahan hati Prabu Duryudana.
Namun, Patih Sangkuni berkata
sebaiknya Prabu Palgunadi jangan senang dulu, karena di tengah jalan tadi ia
melihat Dewi Angraeni digoda oleh Raden Arjuna. Prabu Palgunadi terkejut dan
sangat marah mendengarnya. Ia pun meminta Patih Sangkuni bercerita secara rinci
apa yang terjadi pada istrinya. Patih Sangkuni lalu memerintahkan kepada
Bambang Aswatama untuk menceritakan kejadian tadi.
Sebelum masuk ke istana,
Bambang Aswatama sudah diajari Patih Sangkuni untuk berbohong kepada Prabu
Palgunadi. Maka, Bambang Aswatama pun bercerita panjang lebar dirinya ditugasi
sang ayah untuk mengawal kepulangan Dewi Angraeni yang ingin menyusul Prabu
Palgunadi. Namun, di tengah jalan mereka bertemu Raden Arjuna. Semua orang tahu
Raden Arjuna bersifat mata keranjang. Begitu melihat Dewi Angraeni yang cantik
jelita, ia pun menggodanya. Bambang Aswatama berusaha melindungi tetapi ia
kalah dan terdesak.
Kemudian muncul pula Patih
Sukarma beserta para prajurit Paranggelung yang ditugasi Prabu Palgunadi untuk
menjemput pulang Dewi Angraeni. Namun, tanpa ampun Raden Arjuna menumpas habis
mereka semua. Prabu Palgunadi sangat terkejut mendengar patih dan para
prajuritnya tewas dibunuh Raden Arjuna. Amarahnya semakin membara bagaikan api
yang berkobar-kobar.
Patih Sangkuni senang melihat
Prabu Palgunadi mulai membenci Raden Arjuna. Bambang Aswatama melanjutkan
bercerita. Ia berkata bahwa Raden Arjuna lalu menarik tangan Dewi Angraeni dan
membawanya kabur. Bambang Aswatama mencoba mengejar tetapi Raden Arjuna jauh
lebih sakti. Hingga akhirnya ia pun bertemu Patih Sangkuni dan Arya Dursasana
yang sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Paranggelung. Mereka bertiga lalu
sepakat mengadukan hal ini kepada Prabu Palgunadi.
Prabu Palgunadi sangat marah.
Ia tidak menyangka Raden Arjuna yang sudah dipersaudarakan dengannya tega
berbuat hina seperti ini. Patih Sangkuni kembali memanas-manasi, bahwa di dunia
ini hanya ada dua orang pemanah sakti yang bisa membunuh Raden Arjuna, yaitu
Adipati Karna dan Prabu Palgunadi. Terus terang Patih Sangkuni tidak percaya
kepada Adipati Karna karena dia dan Raden Arjuna sama-sama putra Dewi Kunti,
hanya berlainan ayah. Oleh sebab itu, Patih Sangkuni menaruh kepercayaan besar
pada Prabu Palgunadi. Apabila Raden Arjuna berhasil dibunuh, maka kedudukan Prabu
Palgunadi di mata Prabu Duryudana akan melebihi Adipati Karna.
Prabu Palgunadi tidak peduli
soal kedudukan. Ia hanya ingin merebut istrinya kembali. Dengan segera ia pun
berangkat mencari keberadaan Raden Arjuna dan Dewi Angraeni. Patih Sangkuni senang
berhasil mengadu domba mereka. Ia pun mengajak Arya Dursasana dan Bambang
Aswatama untuk menyaksikan bagaimana Sang Panengah Pandawa menemui ajal.
Prabu Duryudana. |
PERTARUNGAN RADEN PALGUNA DAN PRABU PALGUNADI
Prabu Palgunadi tidak perlu
jauh-jauh mencari karena Raden Arjuna dan Dewi Angraeni ternyata sudah memasuki
wilayah Kerajaan Paranggelung. Ia langsung melabrak Raden Arjuna sebagai
laki-laki hidung belang yang suka merayu istri orang, bahkan terhadap istri
saudara sendiri. Raden Arjuna marah, namun berusaha menahan diri. Dewi Angraeni
heran melihat suaminya tiba-tiba bersikap kasar seperti itu. Ia pun berusaha
menyabarkan Prabu Palgunadi dan menjelaskan bahwa ini semua hanya salah paham.
Prabu Palgunadi tersinggung
melihat istrinya membela musuh. Ia pun berkata bahwa Raden Arjuna telah
membunuh Patih Sukarma dan ini berarti menghina kehormatan Kerajaan
Paranggelung. Dewi Angraeni menjawab bahwa yang membunuh Patih Sukarma bukan
Raden Arjuna, tetapi Bambang Aswatama dan para Kurawa. Bahkan, Raden Arjuna
justru berjasa besar telah menolong dirinya dari tangan orang-orang jahat itu.
Prabu Palgunadi tidak percaya
karena dirinya telah diangkat Prabu Duryudana sebagai panglima perang Kerajaan Hastina,
sehingga tidak mungkin para Kurawa membunuh Patih Sukarma. Lagipula selama ini Prabu
Palgunadi telah mengenal baik Bambang Aswatama yang sopan dan pendiam, sehingga
tidak mungkin bersikap kurang ajar kepada istrinya. Lain halnya dengan Raden
Arjuna yang terkenal suka menikah berkali-kali. Mendengar pembelaan istrinya
terhadap musuh, ia menjadi yakin bahwa Dewi Angraeni telah terkena sihir
guna-guna sehingga membela Raden Arjuna secara membabi buta.
Raden Arjuna marah melihat
Prabu Palgunadi berkata kasar kepada istri sendiri. Ia pun berterus terang
dirinya memang mengagumi kecantikan Dewi Angraeni. Namun, ia sadar wanita
tersebut adalah istri Prabu Palgunadi, dan itu berarti Dewi Angraeni terhitung
sebagai adik iparnya. Maka, perasaannya kepada Dewi Angraeni hanya sekadar
kagum dan memuji saja, tidak lebih dari itu.
Prabu Palgunadi yang sudah
dibutakan oleh amarah sama sekali tidak percaya. Kejadian ini membuat kenangan
masa lalunya bangkit, yaitu saat ia harus memotong ibu jari tangan sendiri
gara-gara Resi Druna pilih kasih lebih menyayangi Raden Arjuna. Maka, hari itu
Prabu Palgunadi pun menantang Raden Arjuna bertanding untuk membuktikan siapa
di antara mereka yang merupakan murid terbaik Padepokan Sokalima.
Raden Arjuna sebenarnya enggan
menghadapi saudara sendiri. Namun, sebagai kesatria ia merasa tidak pantas jika
menolak tantangan. Maka, ia pun menerima tantangan tersebut. Keduanya lalu
bertanding. Mereka sama-sama sakti dan terampil. Patih Sangkuni, Arya
Dursasana, dan Bambang Aswatama mengintai dari kejauhan dan berharap Prabu
Palgunadi berhasil membunuh Raden Palguna (Arjuna).
Setelah bertarung adu keris
tanpa ada yang menang ataupun kalah, Raden Arjuna dan Prabu Palgunadi ganti bertanding
saling memanah. Sungguh indah dan menengangkan pertarungan di antara mereka.
Keduanya saling melepas panah ke arah lawan. Entah berapa kali panah mereka
saling bertabrakan di udara. Raden Arjuna sangat heran mengapa Prabu Palgunadi
yang hanya berjari sembilan mampu memanah dengan sangat jitu dan dahsyat.
Karena lengah memikirkan kehebatan musuh, tanpa sadar ia pun terluka. Sebatang
anak panah Prabu Palgunadi menyerempet di pundaknya.
Begitu lawannya terluka, Prabu
Palgunadi semakin gencar menyerang. Ia melepaskan panah bertubi-tubi kepada
Raden Arjuna. Kali ini Raden Arjuna tidak dapat menghindar lagi dan pasti mati
di tangan adik seperguruannya itu. Namun, tiba-tiba muncul sesosok bayangan
hitam berkelebat menyambar tubuhnya dan membawa ia pergi meninggalkan tempat
pertandingan.
Arya Dursasana. |
PRABU KRESNA MENYARANKAN RADEN ARJUNA AGAR MELENYAPKAN PRABU PALGUNADI
Bayangan hitam yang menyambar
tubuh Raden Arjuna dan membawanya kabur itu ternyata kakak ipar sendiri, yaitu
Prabu Kresna. Setelah keduanya jauh meninggalkan Kerajaan Paranggelung, Raden
Arjuna pun mengucapkan terima kasih, tetapi sebenarnya ia lebih suka mati
secara kesatria daripada melarikan diri secara pengecut. Prabu Kresna menjawab
bahwa jika mati melawan Prabu Palgunadi, maka Raden Arjuna bukan mati secara
kesatria tetapi mati konyol sebagai korban fitnah Patih Sangkuni.
Prabu Kresna pun bercerita
bahwa dirinya mendapat firasat buruk menimpa Raden Arjuna. Ia pun berangkat ke
Kerajaan Amarta untuk menemui adik sepupu sekaligus ipar yang paling ia sayangi
tersebut. Namun, yang ia cari ternyata tidak ada. Prabu Puntadewa mengatakan
bahwa, Raden Arjuna saat ini sedang menuju Padepokan Sokalima untuk berlatih
bersama Prabu Palgunadi. Prabu Kresna segera pergi menyusul, tetapi hati
nuraninya berbisik agar ia pergi ke Paranggelung saja. Ternyata ia datang tepat
waktu, di mana Raden Arjuna sedang terdesak kewalahan menghadapi Prabu Palgunadi,
sedangkan Patih Sangkuni menonton dari jauh sambil bertepuk tangan.
Raden Arjuna sama sekali tidak
tahu kalau Patih Sangkuni ternyata ada di balik ini semua. Prabu Kresna pun
berkata bahwa Prabu Palgunadi sifatnya gegabah dan mudah dihasut. Apabila
dibiarkan hidup, maka di kemudian hari akan kembali dihasut oleh Patih
Sangkuni. Orang sakti yang ceroboh seperti dia harus dilenyapkan daripada kelak
mendatangkan masalah, demikian keputusan Prabu Kresna.
Raden Arjuna ragu-ragu
mendengarnya. Namun, apa yang disampaikan Prabu Kresna ada benarnya juga. Lebih
baik Prabu Palgunadi dibunuh sekarang daripada kelak membahayakan para Pandawa.
Akan tetapi, adik seperguruannya itu sangat sakti dan sulit untuk dikalahkan.
Prabu Kresna pun menyarankan agar Raden Arjuna meminta petunjuk kepada Resi
Druna, yaitu orang yang telah membuat Prabu Palgunadi menjadi sedemikian hebat.
Raden Arjuna paham dan segera
melesat pergi menggunakan Aji Seipi Angin menuju Padepokan Sokalima.
Prabu Kresna. |
RESI DRUNA MENGORBANKAN NYAWA PRABU PALGUNADI
Dalam waktu singkat, Raden
Arjuna telah sampai di hadapan Resi Druna. Ia datang dengan menghunus keris dan
meminta sang guru agar menusuk dadanya menggunakan senjata tersebut. Ia berkata
lebih baik mati daripada kalah di tangan adik seperguruan sendiri. Raden Arjuna
pun berkata hidupnya sungguh mengecewakan karena memiliki guru yang tidak adil.
Bagaimana mungkin seorang Palgunadi yang berjari sembilan dapat mengalahkan
dirinya yang berjari utuh.
Resi Druna bertanya mengapa
kedua muridnya saling serang. Raden Arjuna pun menceritakan semuanya, mulai
dari bagaimana ia menolong Dewi Angraeni dari kejaran Bambang Aswatama dan para
Kurawa, hingga akhirnya justru dirinya yang difitnah menggoda istri Prabu
Palgunadi tersebut.
Resi Druna tertegun
mendengarnya. Ia berkata bahwa di dunia ini ada dua orang yang paling ia
sayangi, yaitu Bambang Aswatama dan Raden Arjuna. Kepada Raden Arjuna ia
bersikap tegas, sehingga muridnya tersebut berhasil menjadi pemanah terbaik. Adapun
kepada Bambang Aswatama, ia justru banyak memanjakan, sehingga putranya itu
menjadi pemuda yang kurang ajar, apalagi sekarang banyak bergaul dengan para
Kurawa.
Karena kasih sayangnya kepada
Raden Arjuna sangat besar, maka ia pun ikhlas jika harus kehilangan murid
bernama Prabu Palgunadi. Ia berkata bahwa kedua muridnya tersebut sama-sama
telah mendapat pusaka darinya. Resi Druna pernah memberikan Panah Sangkali
kepada Raden Arjuna, sedangkan Prabu Palgunadi memperoleh Cincin Mustika Ampal
darinya. Cincin pusaka inilah yang membuat Prabu Palgunadi tetap terampil dalam
memanah meskipun jarinya tinggal sembilan. Maka, jika ingin menang, Resi Druna
menyarankan agar Raden Arjuna menggunakan Panah Sangkali untuk memotong jari
Prabu Palgunadi yang mengenakan cincin pusaka tersebut.
Raden Arjuna berterima kasih
atas petunjuk Resi Druna dan segera mohon pamit kembali ke Kerajaan
Paranggelung. Resi Druna merasa hatinya tidak tenang. Ia pun segera menyusul
kepergian muridnya tersebut.
Prabu Palgunadi. |
KEMATIAN PRABU PALGUNADI
Raden Arjuna yang mengerahkan
Aji Seipi Angin dalam waktu singkat sudah kembali ke hadapan Prabu Palgunadi.
Ia pun menantang adik seperguruannya itu kembali bertarung. Prabu Palgunadi
senang dan mempersilakan Raden Arjuna maju jika memang ingin mati. Keduanya
kembali bertanding adu panah. Kali ini gerakan Raden Arjuna sungguh cepat dan
Panah Sangkali meluncur dahsyat menerjang tangan lawan.
Prabu Palgunadi sama sekali
tidak mengira tangan kanannya menjadi sasaran panah lawan. Karena tidak sempat
menghindar, jari kelingkingnya yang mengenakan Cincin Mustika Ampal pun putus
terkena Panah Sangkali. Seketika Prabu Palgunadi merasa lemas dan ia pun jatuh
di tanah. Hal ini karena ia dulu telah bersumpah untuk merawat dan menjaga
cincin pusaka pemberian Resi Druna bagaikan nyawa. Kini cincin itu telah terpisah
dari tubuhnya, membuat ia merasa terguncang dan jantungnya berhenti. Akhirnya
Prabu Palgunadi pun meninggal dunia.
Raden Arjuna terkejut, begitu
pula Patih Sangkuni dan yang lain. Dewi Angraeni menangis dan memeluk jasad
suaminya. Tidak lama kemudian Resi Druna datang pula dan ia sangat terkejut
melihat Prabu Palgunadi telah tewas. Tanpa banyak bicara, ia lalu memungut potongan
jari kelingking muridnya itu di tanah. Ia berusaha melepaskan Cincin Mustika
Ampal namun cincin tersebut seolah sudah menyatu dengan jari kelingking. Resi
Druna lalu menempelkan kelingking bercincin itu ke tangan Raden Arjuna sambil
kemudian membaca mantra. Sungguh ajaib, jari sekaligus cincin pusaka tersebut
langsung menyatu dengan tangan Raden Arjuna, berjajar bersama jari-jari yang
lain. Maka, mulai saat ini Raden Arjuna pun memiliki jari tangan berjumlah
sebelas, sekaligus mewarisi Cincin Mustika Ampal.
Raden Arjuna menghibur Dewi Angraeni. |
DEWI ANGRAENI BUNUH DIRI
Patih Sangkuni merasa kecewa
pada hasil akhir pertandingan ini. Ia pun mengajak Arya Dursasana dan Bambang
Aswatama pulang ke Kerajaan Hastina. Resi Druna pikirannya kalut karena telah
berbuat tidak adil pada Prabu Palgunadi. Ketika hendak melangkah pulang menuju
Padepokan Sokalima, tiba-tiba terdengar suara arwah Prabu Palgunadi bergema di
angkasa, yang mengatakan bahwa Resi Druna seorang guru yang pilih kasih,
mengorbankan murid yang satu karena lebih menyayangi murid yang lain. Roh Prabu
Palgunadi berkata kelak Resi Druna akan mendapat karma, yaitu mati di tangan
muridnya sendiri; seorang murid yang lahir dari api kebencian orang tuanya.
Saat itulah roh Prabu Palgunadi akan datang untuk menjemput kematian Resi
Druna.
Resi Druna ngeri mendengarnya.
Ia pun berlari pulang menuju Sokalima sambil mengucapkan sebutannya
berkali-kali (kelak murid yang membunuh Resi Druna adalah Raden Drestajumena,
putra Prabu Drupada).
Sementara itu, Dewi Angraeni
yang juga mendengar suara roh suaminya segera memanggil-manggil minta diajak
serta ke alam baka. Raden Arjuna berusaha menghibur hatinya. Karena Dewi
Angraeni telah menjadi janda, maka ia pun mengajak wanita itu ikut pulang ke
Kesatrian Madukara dan menetap di sana bersama Dewi Sumbadra, Dewi Srikandi,
dan yang lainnya. Namun, Dewi Angraeni tidak bersedia. Meskipun Prabu Palgunadi
bersikap kasar kepadanya sebelum meninggal, namun ia sama sekali tidak marah.
Ia mengerti bahwa suaminya itu hanya salah paham akibat mendengar fitnah dari
Patih Sangkuni yang jahat.
Raden Arjuna kembali membujuk
Dewi Angraeni agar ikut dengannya setelah memakamkan Prabu Palgunadi. Ia
berjanji akan menjadi suami baru yang baik untuk Dewi Angraeni. Ia berjanji
akan selalu menyayangi Dewi Angraeni sepanjang masa. Namun, Dewi Angraeni tetap
teguh pada pendirian. Cintanya kepada sang suami begitu dalam. Ia pun
mengucapkan selamat tinggal pada Raden Arjuna lalu mengambil keris milik Prabu
Palgunadi yang terselip di pinggang, dan kemudian menusuk dadanya sendiri.
Darah pun menyembur keluar dan Dewi Angraeni roboh terkulai di atas jasad sang
suami.
Raden Arjuna sangat terkejut
dan menyesal tidak sempat mencegah hal itu. Kini Dewi Angraeni telah meninggal
dunia karena bunuh diri di hadapannya. Ia pun menangis dan membaca mantra untuk
menyempurnakan jasad suami-istri tersebut. Seketika muncul seberkas api yang
langsung membakar habis jasad Prabu Palgunadi dan Dewi Angraeni tanpa sisa.
Tidak lama kemudian Prabu
Kresna dan para panakawan pun datang. Mereka lalu mengajak Raden Arjuna
bersama-sama pulang ke Kerajaan Amarta. Namun, Raden Arjuna menolak. Ia memilih
pergi berkelana untuk melakukan
tapa ngrame, yang mana pahalanya akan dipersembahkan untuk arwah Prabu Palgunadi dan Dewi Angraeni di alam baka. Prabu Kresna pun merestui jika memang itu yang menjadi keinginan
Raden Arjuna, dan semoga adik iparnya itu mendapatkan keberhasilan.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
CATATAN : Dalam kitab Mahabharata dikisahkan adanya tokoh bernama
Ekalavya yang memotong ibu jarinya sendiri karena diminta oleh Resi Drona, yang
takut kepandaiannya menyaingi Arjuna. Tokoh bernama Ekalavya tersebut akhirnya
bergabung dengan Jarasandha raja Magadha, dan akhirnya ia mati di tangan Sri
Krishna. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa, khususnya dalam Serat
Pustakaraja Purwa dikisahkan bahwa tokoh Ekalaya bernama Palgunadi, namun
muncul hanya sekali, yaitu saat para Pandawa sudah dewasa dan sudah tinggal di
Kerajaan Amarta. Oleh sebab itu, saya pun menggabungkan kedua sumber tersebut
menjadi satu, sebagaimana yang saya tulis di atas.
Adapun menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja
Purwa, kisah Raden Arjuna menewaskan Prabu Palgunadi dan kisah Dewi Angraeni
bunuh diri terjadi pada tahun Suryasengkala 706 yang ditandai dengan sengkalan
Angraos Kamuksaning Resi, atau tahun Candrasengkala 727 yang ditandai dengan
sengkalan Pandita Nembah ing Swara.
Untuk kisah awal mula Resi Druna bekerja di Kerajaan Hastina dapat
dibaca di sini
Untuk kisah Adipati Karna semasa muda berguru kepada Batara Ramaparasu
setelah ditolak Resi Druna dapat dibaca di sini
Untuk kisah Resi Druna mendapatkan setengah Kerajaan Pancala dan
lahirnya Raden Drestajumena dapat dibaca di sini
Untuk yang ini sekalipun bagus banget kisahnya, tetap saja beda jauh sama kisah pewayangan Jawa tentang Ekalaya pada umumnya. Keren carangannya.
BalasHapussae sanget sanggite mas
BalasHapus