Kisah ini menceritakan tentang Prabu Kresna yang menyamar sebagai
Bagawan Kesawasidi, menurunkan ajaran Astabrata kepada Raden Arjuna. Ajaran
Astabrata ini merupakan ilmu kepemimpinan peninggalan Prabu Sri Rama di zaman
kuno, sehingga ilmu ini disebut juga dengan nama Wahyu Makutarama.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pagelaran wayang kulit dengan
dalang Ki Nartosabdo yang dipadukan dengan rekaman pentas Ki Manteb
Soedharsono, disertai penambahan dan pengembangan seperlunya.
Kediri, 23 Juni 2017
Heri Purwanto
Untuk daftar judul
lakon wayang lainnya, klik di sini
------------------------------
ooo ------------------------------
PRABU DURYUDANA MENGUTUS ADIPATI KARNA MENCARI MAHKOTA SRI RAMA
Di Kerajaan Hastina, Prabu
Duryudana sedang dihadap Resi Druna dari Sokalima, Adipati Karna dari Awangga,
Patih Sangkuni dari Plasajenar, serta Raden Kartawarma dari Tirtatinalang. Di
paseban luar, para Kurawa lainnya juga tampak duduk berjajar menunggu perintah,
antara lain Arya Dursasana, Raden Durmagati, Raden Srutayu, Raden Citraksa,
Raden Citraksi, serta Adipati Jayadrata dan Bambang Aswatama.
Hari itu Prabu Duryudana bercerita
bahwa tadi malam ia bermimpi mendengar suara, barangsiapa bisa mendapatkan
Mahkota Sri Rama, maka dirinya akan menjadi raja agung yang disegani, baik itu oleh
kawan maupun lawan. Negara yang dipimpinnya pun bisa menjadi negeri yang besar
dan berjaya di seluruh dunia. Namun, Prabu Duryudana tidak tahu mimpi ini benar
atau salah, serta ia juga tidak tahu siapa orang yang bernama Sri Rama tersebut.
Resi Druna pun bercerita bahwa
Prabu Sri Rama adalah raja agung titisan Batara Wisnu yang hidup di zaman kuno.
Konon ia berhasil menewaskan raja raksasa yang sangat sakti dan berkuasa saat
itu, bernama Prabu Rahwana Dasamuka dari Kerajaan Alengka. Sebenarnya Prabu Sri
Rama adalah putra mahkota Kerajaan Ayodya. Namun, ia merelakan hak atas takhta
kepada adiknya yang bergelar Prabu Barata, sedangkan dirinya sendiri membangun
negara baru bernama Kerajaan Pancawati di Hutan Dandaka, hidup bersama bangsa
wanara.
Prabu Duryudana tertarik
mendengarnya dan semakin berminat ingin mendapatkan Mahkota Sri Rama tersebut,
demi kejayaan diri pribadi dan juga keagungan Kerajaan Hastina. Namun, ia sama
sekali tidak tahu di mana mahkota itu bisa diperoleh. Resi Druna menjawab dirinya
juga mendapatkan wangsit dari dewata tentang berita ini, tetapi yang ia dengar
adalah Wahyu Makutarama, bukannya Mahkota Sri Rama. Adapun wahyu tersebut akan
turun ke dunia melalui Bagawan Kesawasidi yang tinggal di Gunung Kutarunggu.
Prabu Duryudana bimbang
mendengarnya. Ia tidak tahu mana yang benar, apakah Mahkota Sri Rama, ataukah
Wahyu Makutarama yang akan turun ke dunia. Resi Druna menyarankan agar Prabu
Duryudana berangkat ke Gunung Kutarunggu untuk memastikan hal itu. Namun, Prabu
Duryudana seorang tinggi hati yang penuh rasa gengsi. Ia merasa dirinya seorang
raja besar yang kaya raya, tentunya tidak pantas jika datang meminta-minta
kepada seorang pendeta tidak dikenal.
Adipati Karna memahami watak
adik iparnya. Ia pun menawarkan diri untuk mewakili Prabu Duryudana pergi ke
Gunung Kutarunggu. Apabila yang terdapat di sana adalah Mahkota Sri Rama, maka
ia akan meminta secara baik-baik, jika perlu membelinya dengan harga yang
pantas. Akan tetapi, jika yang di sana adalah Wahyu Makutarama, maka ia
bersedia memboyong Bagawan Kesawasidi agar menurunkannya langsung kepada Prabu
Duryudana.
Prabu Duryudana gembira
mendengarnya. Ia pun memberikan wewenang penuh kepada sang kakak ipar untuk
berbuat kekerasan apabila Bagawan Kesawasidi menolak menyerahkan apa yang ia
minta. Adipati Karna berterima kasih atas kepercayaan ini, dan ia pun mohon
pamit melaksanakan tugas. Prabu Duryudana lalu memerintahkan Patih Sangkuni dan
para Kurawa untuk mengawal kepergian Adipati Karna, sedangkan Resi Druna
ditugasi untuk membantu doa di sanggar pemujaan. Setelah dirasa cukup, Prabu
Duryudana pun membubarkan pertemuan.
Prabu Duryudana. |
BAGAWAN KESAWASIDI DIHADAP PARA MURID KADANG BAYU
Sementara itu di Gunung Kutarunggu,
sang pendeta Bagawan Kesawasidi dihadap para murid yang kesemuanya adalah
Kadang Tunggal Bayu, yaitu Resi Mainaka, Ditya Jajagwreka, Gajah Setubanda, Naga
Kowara, Garuda Mahambira, Macan Palguna, dan Resi Anoman. Bagawan Kesawasidi
bertanya apa alasan mereka ingin berguru kepadanya, padahal keenam orang itu
adalah murid Batara Bayu.
Resi Mainaka selaku yang paling
tua bercerita bahwa mereka telah mendapat perintah langsung dari Batara Bayu
agar berguru kepada Bagawan Kesawasidi di Gunung Kutarunggu. Maka, mereka pun
pergi meninggalkan tempat tinggal masing-masing dan akhirnya bertemu di tempat
ini. Di antara Kadang Tunggal Bayu tersebut, hanya Arya Wrekodara saja yang
tidak mendapat perintah untuk berguru, mungkin karena ia sudah mendapatkan ilmu
kasampurnan sejati dari Dewa Ruci.
Bagawan Kesawasidi lalu
bertanya ilmu apa yang mereka inginkan dari dirinya. Resi Mainaka menjawab
ingin menjadi orang yang lebih arif dan bijaksana; Ditya Jajagwreka menjawab
ingin diubah menjadi tampan rupawan; Gajah Setubanda ingin tubuhnya bertambah jauh
lebih kuat lagi; Naga Kowara ingin memiliki umur panjang supaya bisa melihat
berbagai macam pergantian zaman; Garuda Mahambira ingin bertambah kaya raya
agar bisa bersedekah tanpa batas; sedangkan Macan Palguna ingin bertambah sakti
mandraguna.
Resi Anoman yang menjawab
terakhir justru paling berbeda dengan yang lain, yaitu ia memohon agar Bagawan
Kesawasidi mengajarkan kepadanya jalan menuju kematian. Bagawan Kesawasidi
heran dan bertanya mengapa Resi Anoman meminta seperti itu. Resi Anoman
menjawab dirinya sudah tua dan merasa jenuh hidup di dunia ini. Ia rindu ingin
bertemu dengan sanak saudaranya yang sudah lebih dulu meninggal, antara lain
Resi Subali, Narpati Sugriwa, Patih Anila, Kapi Jaya Anggada, Kapi Sweda, Kapi
Anggeni, Kapi Menda, Kapi Pramujabahu, dan sebagainya. Bahkan, Resi Jembawan
yang berumur panjang seperti dirinya pun baru saja meninggal dunia dan ini
membuat Resi Anoman merasa iri.
Bagawan Kesawasidi bercerita
bahwa keinginan para murid dapat terpenuhi, tergantung bagaimana niat dan
kesungguhan mereka masing-masing dalam belajar. Khusus untuk Resi Anoman,
meskipun dirinya sudah menjadi pendeta, namun jiwanya tetaplah kesatria. Untuk
seorang kesatria, maka kematian yang paling utama adalah gugur di medan perang
membela kebenaran dan keadilan. Resi Anoman gembira mendengarnya dan berharap
semoga itu bisa menjadi kenyataan.
Usai memberikan nasihat
panjang lebar, Bagawan Kesawasidi berniat masuk ke dalam sanggar pemujaan untuk
bersamadi. Ia meminta Resi Mainaka dan adik-adiknya agar berjaga di luar padepokan,
jangan sampai ada siapa pun yang mengganggu samadinya. Ketujuh murid itu pun mematuhi
dan siap melaksanakan tugas.
Bagawan Kesawasidi. |
PARA KURAWA MENYERANG PADEPOKAN KUTARUNGGU
Setelah Bagawan Kesawasidi
masuk ke dalam sanggar pemujaan, tiba-tiba datang rombongan dari Kerajaan
Hastina yang dipimpin Adipati Karna dan Patih Sangkuni. Kedua orang itu
disambut Resi Mainaka dan ditanyai apa yang menjadi keperluan mereka. Adipati
Karna selaku kepala rombongan berkata bahwa ia diutus Prabu Duryudana untuk
meminta Bagawan Kesawasidi menyerahkan Mahkota Sri Rama.
Resi Mainaka menjawab dirinya
tidak pernah mendengar sang guru memiliki benda semacam itu. Adipati Karna ganti
bertanya, jika begitu apakah Bagawan Kesawasidi menyimpan Wahyu Makutarama.
Resi Mainaka menjawab memang benar demikian, tetapi saat ini sang guru sedang
bersamadi dan tidak boleh diganggu. Adipati Karna tersinggung melihat sikap
Resi Mainaka yang dianggapnya menghalangi. Ia pun memaksa ingin masuk untuk
bertemu langsung dengan Bagawan Kesawasidi. Resi Mainaka mencegah karena
gurunya sudah berpesan agar para murid berjaga jangan sampai ada pihak yang
mengganggu samadinya.
Karena terus-menerus
dihalangi, Adipati Karna pun berkata bahwa dirinya sudah diberi wewenang Prabu
Duryudana untuk memboyong Bagawan Kesawasidi secara paksa dengan menggunakan
kekerasan. Mendengar itu, Resi Anoman segera maju menerjang Adipati Karna dan rombongannya.
Ditya Jajagwreka, Garuda Mahambira, Naga Kowara, Macan Palguna, dan Gajah
Setubanda ikut maju membantu Resi Anoman, sedangkan Resi Mainaka yang paling
tua dipersilakan untuk duduk mengamati dari kejauhan.
Maka, terjadilah pertempuran
antara para Kurawa melawan Kadang Tunggal Bayu tersebut. Meskipun sudah lanjut
usia, namun Resi Anoman adalah mantan senapati para wanara saat mengabdi kepada
Prabu Sri Rama dulu. Meskipun kekuatan tubuhnya sudah menurun, tetapi kesaktiannya
justru makin bertambah. Apalagi dengan ditambah amukan Ditya Jajagwreka dan
yang lain, membuat para Kurawa kalang kabut berhamburan.
Adipati Karna marah dan terpaksa
melepaskan panah pusakanya yang bernama Kuntadruwasa untuk menumpas para Kadang
Tunggal Bayu. Panah pusaka ini berukuran besar seperti lembing, dan hanya bisa
dilepaskan menggunakan Busur Wijayadanu. Begitu Panah Kuntadruwasa melesat,
para Kadang Tunggal Bayu merasa gentar dan berusaha menghindar. Hanya Resi
Anoman satu-satunya yang berani maju menghadang. Dengan mengerahkan Aji
Maundri, Resi Anoman menangkap panah pusaka tersebut saat masih melesat di
udara, kemudian membawanya terbang bersembunyi di balik awan.
Melihat pusaka andalannya
ditangkap lawan, Adipati Karna merasa lemas dan putus asa. Ia pun menarik
mundur pasukan Hastina dan mengajak mereka untuk mengepung kaki Gunung
Kutarunggu.
Adipati Karna. |
BAGAWAN WIBISANA DIDATANGI ROH ARYA KUMBAKARNA
Tersebutlah seorang pendeta
yang sudah berusia ratusan tahun, bernama Bagawan Wibisana di Padepokan
Cindramanik. Ia merupakan adik bungsu Prabu Rahwana Dasamuka di zaman kuno.
Dulu ketika terjadi perang di Kerajaan Alengka, Bagawan Wibisana masih bernama
Raden Gunawan Kuntawibisana dan memilih untuk bergabung dengan Prabu Sri Rama.
Setelah Prabu Rahwana gugur, Raden Gunawan pun dilantik menjadi raja Alengka
yang baru, bergelar Prabu Wibisana. Demi menjauhkan rakyatnya dari pengaruh
buruk Kerajaan Alengka, maka ia pun memindahkan ibu kota negara ke Parangkuntara,
yang kemudian diberi nama Kerajaan Singgelapura.
Setelah menjadi raja cukup
lama, Prabu Wibisana lalu mengundurkan diri dan menyerahkan takhta kepada
putranya yang bernama Raden Bisawarna, bergelar Prabu Dentawilukrama. Prabu
Wibisana pun menjadi pendeta di Gunung Cindramanik. Bertahun-tahun kemudian,
Kerajaan Singgelapura sudah berganti-ganti raja, tetapi Bagawan Wibisana masih
diberi umur panjang.
Hari ini Bagawan Wibisana sedang
duduk di sanggar pemujaan. Tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan tinggi besar
yang samar-samar kelihatan, samar-samar tidak, mendatangi dirinya. Ia mengenali
bayangan tersebut tidak lain adalah roh kakaknya sendiri, yaitu Arya
Kumbakarna. Semasa hidupnya dulu, Prabu Rahwana memiliki tiga orang adik, yaitu
Arya Kumbakarna, Dewi Sarpakenaka, dan Gunawan Wibisana. Arya Kumbakarna dan
Dewi Sarpakenaka ikut gugur dalam perang di Kerajaan Alengka. Dalam perang
tersebut, Arya Kumbakarna berniat membela tanah air dari serangan musuh, bukan
demi membela kakaknya yang angkara murka. Namun, entah mengapa sampai kini ia sulit
masuk ke alam Swargaloka seperti yang pernah ia cita-citakan dulu. Yang terjadi
justru sebaliknya, sampai sekarang ia masih menjadi roh gentayangan yang
tersesat di dunia fana. Padahal, dulu ia mempunyai keyakinan apabila gugur
dalam pertempuran, maka roh akan masuk surga dan dilayani para bidadari.
Bagawan Wibisana menjelaskan
bahwa Arya Kumbakarna sampai kini menjadi roh gentayangan adalah karena semasa
hidup hatinya mendua. Meskipun Arya Kumbakarna berperang demi negara, berniat membela
tanah air, tetapi tindakannya itu justru melawan Kebenaran. Prabu Sri Rama
adalah titisan Batara Wisnu yang turun ke dunia untuk membasmi angkara murka
Prabu Rahwana. Arya Kumbakarna jelas-jelas mengetahui hal itu tetapi memilih
tidur tanpa menentukan sikap yang pasti. Hingga akhirnya, ketika perang besar
meletus, ia pun dibangunkan Prabu Rahwana dari tidur panjangnya untuk dijadikan
senapati. Saat itu Arya Kumbakarna sudah menolak, tetapi Prabu Rahwana bersikap
licik, menyandera kedua putranya yang bernama Raden Kumbakumba dan Raden
Aswanikumba. Hal itulah yang membuat Arya Kumbakarna bimbang dan akhirnya
bersedia menjadi senapati.
Maka, Arya Kumbakarna pun maju
perang dengan hati mendua. Meskipun di bibir ia mengaku berperang demi membela
negara, tetapi dalam hati ia berperang demi keselamatan anak-anaknya. Meskipun
bersemboyan tidak membela Prabu Rahwana, tetap saja tangan Arya Kumbakarna
berlumuran darah para wanara yang berjuang melawan angkara murka. Hingga
akhirnya, ia pun gugur di tangan Prabu Sri Rama dan menjadi roh gentayangan
karena tidak dapat memasuki alam Kaswargan.
Arya Kumbakarna ngeri
mendengar penjelasan tersebut dan menyadari kekeliruannya. Ia pun meminta
bantuan kepada sang adik agar membebaskan dirinya dari ketersesatan duniawi.
Bagawan Wibisana menjawab ia hanya bisa membantu menunjukkan jalan bagi sang
kakak untuk menyempurnakan diri, bukannya membukakan pintu Swargaloka. Menurut
wangsit yang ia terima, di zaman ini hidup lima kesatria Pandawa yang selalu membela
kebenaran dan menegakkan keadilan. Kelak mereka akan membersihkan angkara murka
dari muka bumi melalui Perang Bratayuda. Hendaknya Arya Kumbakarna bersatu jiwa
dengan Pandawa nomor dua, yang bernama Arya Wrekodara. Inilah jalan untuk
menebus dosa semasa hidup dulu. Dengan cara ini, Arya Kumbakarna akan ikut
berjuang menumpas angkara murka, sehingga kelak bisa naik ke Swargaloka
bersama-sama dengan Arya Wrekodara. Itulah jalan pembebasan yang harus ditempuh
sang kakak untuk bisa lepas dari ketersesatan duniawi.
Arya Kumbakarna gembira
mendengar penjelasan sang adik dan bersiap berangkat mencari Arya Wrekodara.
Bagawan Wibisana memberi saran agar Arya Kumbakarna mencegat dan menantang
perang Arya Wrekodara saat melewati Hutan Duryasa. Adapun ciri-ciri Arya
Wrekodara adalah berbadan tinggi besar, dan memakai busana mirip Resi Anoman,
yaitu sang wanara putih yang dulu pernah membakar Kerajaan Alengka. Arya
Kumbakarna menerima saran tersebut dan segera mohon pamit berangkat saat ini
juga.
Arya Kumbakarna. |
BAGAWAN WIBISANA MENINGGALKAN DUNIA FANA
Setelah roh sang kakak pergi,
Bagawan Wibisana merasa hidupnya tidak lama lagi. Aliran darahnya mulai
melambat, kadang ada, kadang tiada. Hati nuraninya berbisik bahwa semua
tugasnya di dunia telah selesai. Maka, untuk bisa menjemput kematian secara sempurna,
Bagawan Wibisana pun bersamadi mengheningkan cipta, melepaskan segala macam
keterikatan duniawi. Dari tubuhnya tiba-tiba memancar keluar empat macam
cahaya, yaitu cahaya merah, hitam, kuning, dan putih. Keempat cahaya ini merupakan
perwujudan empat hawa nafsu yang selama ini membantunya dalam menjalani
kehidupan.
Keempat hawa nafsu tersebut
mengambil wujud raksasa, yang masing-masing bernama Ditya Rekta, Ditya Kresna,
Ditya Pita, dan Ditya Seta. Mereka bertanya mengapa diri mereka disingkirkan,
tidak diajak ikut serta naik ke Swargaloka. Padahal, selama ini mereka menjadi
daya pendorong dan sumber semangat bagi Bagawan Wibisana dalam menjalani
kehidupan. Rasa suka, duka, marah, cinta, benci, lapar, dahaga, kantuk, dan
bangga, juga semangat hidup, semuanya berasal dari keempat hawa nafsu tersebut.
Bagawan Wibisana seorang suci, selama ini selalu berpegang teguh pada hati
nurani sehingga bisa mengendalikan hawa nafsu, bukannya dikendalikan oleh hawa
nafsu seperti pada kebanyakan manusia lainnya. Jika raga ibarat kereta, maka
keempat nafsu adalah kuda penariknya. Bagawan Wibisana selama hidup mampu
menjadikan pikiran sebagai kusir yang baik, yang mematuhi perintah hati nurani,
sehingga pikiran mampu mengarahkan kuda di jalan yang benar.
Bagawan Wibisana pun
menjelaskan bahwa mereka bukannya disingkirkan, tetapi hendaknya mencari sarana
pengruwatan. Keempat nafsu tersebut adalah peranti raga, bukan peranti roh.
Raga asalnya dari alam, maka harus kembali ke alam dengan cara dikubur ataupun
dibakar. Sedangkan hawa nafsu juga hendaknya bisa kembali ke alam melalui
pengruwatan. Bagawan Wibisana tidak ingin dirinya mati seperti Arya Kumbakarna,
yang rohnya masih diselimuti hawa nafsu.
Keempat raksasa perwujudan hawa
nafsu itu pun bertanya siapa kiranya yang bisa meruwat mereka. Bagawan Wibisana
menyarankan agar mereka berempat pergi ke Hutan Duryasa untuk menemui kesatria
Panengah Pandawa yang bernama Raden Arjuna, yang merupakan titisan setengah
Batara Wisnu. Dialah orangnya yang bisa meruwat keempat raksasa tersebut.
Keempat raksasa itu gembira mendengarnya dan segera mohon pamit meninggalkan
Padepokan Cindramanik.
Kini tinggal Bagawan Wibisana
seorang diri. Ia lalu mengheningkan cipta, bersamadi melarutkan diri dalam
kuasa Semesta. Tidak lama kemudian, tubuhnya pun musnah menjadi debu, kembali
ke alam, sedangkan sukmanya melesat naik ke awang-awang, memasuki Swargaloka.
Gunawan Wibisana. |
RADEN ARJUNA MERUWAT KEEMPAT RAKSASA
Demikianlah, keempat raksasa
penjelmaan hawa nafsu Bagawan Wibisana pun sampai di Hutan Duryasa dan melihat
Raden Arjuna sedang berjalan diiringi keempat panakawan: Kyai Semar, Nala
Gareng, Petruk, dan Bagong. Keempat raksasa itu pun menghadang dan minta supaya
diri mereka diruwat agar bisa kembali menjadi bagian alam semesta. Raden Arjuna
menolak dan mengatakan tidak sanggup. Keempat raksasa itu serentak menyerang bersama
untuk memancing tindakan Raden Arjuna.
Maka, terjadilah pertempuran
di mana Raden Arjuna seorang diri dikeroyok keempat raksasa tersebut. Setiap
kali salah satu raksasa terbunuh, tiba-tiba saja hidup kembali, seolah mereka tidak
bisa mati. Melihat itu, Kyai Semar pun maju memberikan nasihat. Ia menjelaskan
bahwa keempat raksasa ini adalah makhluk halus, maka harus dilawan dengan cara
halus pula.
Raden Arjuna paham. Ia pun
meletakkan senjata dan mengheningkan cipta, mengatur pernafasan. Segala nafsu
keinginan dilupakan, yang ada hanya tinggal perasaan syukur dan ikhlas, larut
dalam kehendak Tuhan. Dari tubuhnya kemudian muncul cahaya yang membakar
keempat raksasa tersebut. Keempat raksasa itu lalu musnah tanpa sisa, kembali
menjadi bagian alam semesta.
Setelah musuh dapat
dikalahkan, Raden Arjuna pun melanjutkan perjalanan bersama para panakawan.
Tempat yang ia tuju adalah Padepokan Gunung Kutarunggu untuk meraih anugerah
dewata, bernama Wahyu Makutarama.
Raden Arjuna. |
DEWI SUMBADRA DIDANDANI MENJADI LAKI-LAKI
Sementara itu, istri utama
Raden Arjuna, yaitu Dewi Sumbadra sedang dalam perjalanan mencari ke mana
suaminya pergi. Tiba-tiba dari angkasa melayang turun Batara Narada
menghentikan langkah kakinya.
Batara Narada merasa kasihan
melihat Dewi Sumbadra berjalan seorang diri tanpa pengawal untuk mencari Raden
Arjuna. Namun, Dewi Sumbadra tidak suka dikasihani dan menjawab dengan gaya
polos tidak peduli. Batara Narada merasa serbasalah sebagai dewa dirinya
diperlakukan demikian. Namun, ia sadar bahwa perempuan ini bukanlah wanita
sembarangan. Akhirnya, dengan susah payah, ia berhasil meyakinkan Dewi Sumbadra
agar bersedia didandani menjadi pria. Dalam wujud wanita, Dewi Sumbadra akan
mudah menjadi sasaran laki-laki jahat yang ingin mengganggu. Namun, dalam wujud
laki-laki, dirinya akan lebih aman berjalan seorang diri tanpa pengawal.
Dewi Sumbadra akhirnya
bersedia. Batara Narada pun mengerahkan kesaktiannya, dan dalam sekejap wujud
Dewi Sumbadra langsung berubah menjadi laki-laki. Ia pun diberi nama baru,
yaitu Bambang Sintawaka. Setelah dirasa cukup, Batara Narada undur diri kembali
ke Kahyangan Sidik Pangudaludal, sedangkan Bambang Sintawaka melanjutkan
perjalanannya.
Batara Narada. |
RADEN ARJUNA TIBA DI GUNUNG KUTARUNGGU
Raden Arjuna yang berjalan
diiringi para panakawan akhirnya tiba di Gunung Kutarunggu. Dengan mengerahkan
Aji Panglimunan, mereka berhasil melewati para Kurawa yang mengepung di kaki
gunung.
Resi Anoman yang mengenali
mereka segera datang menyambut dengan penuh tatakrama. Raden Arjuna berkata
bahwa dirinya ingin bertemu dan berguru kepada Bagawan Kesawasidi. Resi Anoman
pun menjelaskan bahwa sang guru saat ini sedang bersamadi dan tidak dapat
diganggu. Ternyata Raden Arjuna bersedia duduk menunggu di depan padepokan.
Resi Anoman terkesan mendengarnya. Ternyata sikap Raden Arjuna sangat sopan,
tidak seperti Adipati Karna dan para Kurawa yang mengandalkan kekerasan.
Demikianlah, sudah tiga hari
lamanya Raden Arjuna duduk dengan sabar di depan Padepokan Kutarunggu. Pada
hari itu Bagawan Kesawasidi mengakhiri samadi dan keluar dari sanggar pemujaan.
Resi Anoman juga ikut menghadap dan menceritakan segala yang terjadi selama Bagawan
Kesawasidi bersamadi tiga-hari tiga-malam. Ia bercerita bahwa Adipati Karna dan
para Kurawa memaksa untuk bertemu hingga terjadilah pertempuran. Dalam
pertempuran itu, Resi Anoman berhasil merebut Panah Kuntadruwasa dan kini hendak
ia persembahkan kepada Bagawan Kesawasidi.
Bagawan Kesawasidi menolak
persembahan Resi Anoman karena ia tidak membutuhkan senjata. Resi Anoman pun
meminta Bagawan Kesawasidi agar menyerahkan pusaka tersebut kepada Raden Arjuna
saja. Namun, Bagawan Kesawasidi tetap keberatan karena itu sama artinya dengan
merendahkan sifat kesatria Raden Arjuna. Jika sampai pusaka tersebut
diserahkan, Raden Arjuna pasti akan menolak, karena Kuntadruwasa diperoleh
dengan cara merampas milik musuh.
Resi Anoman merasa serbasalah.
Ia tidak dapat menyerahkan Panah Kuntadruwasa kepada Bagawan Kesawasidi, namun
juga malu jika mengembalikannya kepada Adipati Karna. Bagawan Kesawasidi
memahami perasaan muridnya itu. Ia pun mempersilakan jika Resi Anoman
menitipkan pusaka itu kepadanya, kelak biar ia yang mengembalikannya kepada
Adipati Karna. Resi Anoman merasa gembira lalu menyerahkan panah pusaka
tersebut kepada sang guru.
Bagawan Kesawasidi lalu
menyebutkan kesalahan Resi Anoman yang kedua, yaitu ucapannya tidak sesuai
dengan perbuatan. Bukankah tadi Resi Anoman memohon ingin ditunjukkan jalan
kematian. Namun, ketika Panah Kuntadruwasa ditembakkan, mengapa ia menangkap
dengan tangan, bukannya menerima dengan dada? Karena Resi Anoman sudah
menyia-nyiakan peluang menjemput ajal secara kesatria, maka ia harus menunda
kematiannya sendiri hingga seratus tahun ke depan. Resi Anoman harus tetap
hidup di dunia selama satu abad lagi, hingga tiba waktunya ia menjemput ajal
setelah menikahkan keturunan keenam Raden Arjuna.
Resi Anoman sangat menyesal
namun semuanya telah terjadi. Ia pun berterima kasih atas petunjuk sang guru,
kemudian memperkenalkan Raden Arjuna yang ada di belakangnya. Setelah itu, Resi
Anoman mohon pamit keluar untuk berkumpul bersama Kadang Tunggal Bayu lainnya.
Resi Anoman. |
BAGAWAN KESAWASIDI MENURUNKAN WAHYU MAKUTARAMA KEPADA RADEN ARJUNA
Setelah saling berkenalan,
Bagawan Kesawasidi pun menjelaskan bahwa dirinya memang mendapat wangsit agar
menurunkan Wahyu Makutarama kepada Raden Arjuna. Sesungguhnya wahyu ini
berbentuk pelajaran ilmu kepemimpinan bernama Astabrata, yang dulu pernah
diajarkan Prabu Sri Rama saat melantik Prabu Wibisana menjadi raja
Singgelapura. Asta artinya “delapan”, sedangkan brata artinya “tindakan”.
Maksudnya ialah, ilmu kepemimpinan ini meneladani tindakan delapan jenis benda
alam.
Setelah Raden Arjuna
menyatakan siap, Bagawan Kesawasidi pun memulai pengajarannya. Pertama, sebagai
seorang pemimpin, Raden Arjuna hendaknya meneladani tindakan matahari. Matahari
memancarkan panas dan cahaya menerangi bumi, menjadi sumber kehidupan bagi
manusia, hewan, dan tumbuhan. Sebaliknya, matahari menghisap air laut secara
perlahan-lahan tanpa terasa. Demikianlah hendaknya seorang pemimpin harus bisa
menjadi sumber semangat bagi rakyatnya. Pemimpin yang baik selalu memerhatikan
kebutuhan rakyat, menjadi sumber kekuatan bagi rakyat, namun jika menarik pajak
tidak sampai membuat rakyat merasa terbebani.
Teladan yang kedua ialah
rembulan, yaitu benda langit yang menjadi sumber penerangan di waktu malam. Meskipun
terang, tetapi cahaya rembulan tidak menyilaukan mata. Bentuknya juga
berubah-ubah sehingga tidak membosankan. Justru bentuk yang berubah-ubah ini
bisa digunakan manusia untuk menciptakan penanggalan. Demikian hendaknya
seorang pemimpin harus dapat menjadi penerang bagi rakyatnya di saat dilanda
kegelapan. Pemimpin harus bisa memberikan penghiburan di saat rakyatnya dilanda
musibah, bukannya justru menakut-nakuti dengan berbagai macam ancaman. Pemimpin
yang baik harus tampak menyenangkan di hadapan rakyat, sehingga rakyat pun
menaruh hormat dengan sendirinya, bukan karena takut. Pemimpin boleh
mengubah-ubah keputusan, asalkan itu demi kesejahteraan rakyat, bukan demi ego
diri sendiri. Karena di dunia ini tidak ada yang tidak berubah, kecuali
perubahan itu sendiri.
Teladan yang ketiga ialah
bintang yang bertaburan di angkasa. Gugusan bintang dapat menjadi pedoman untuk
menentukan arah dan juga pergantian musim. Selain itu, bintang juga menjadi
penghias angkasa di waktu malam. Demikianlah hendaknya seorang pemimpin harus
bisa menjadi pedoman kebaikan bagi rakyatnya. Seorang pemimpin harus bisa
menjadi teladan serta menjadi penentu arah kebijakan bagi rakyatnya. Selain
itu, pemimpin juga harus bisa menata keindahan negerinya. Pembangunan bukan
hanya soal bagaimana mendirikan bangunan, tetapi juga bagaimana cara mengatur
dan menata kegunaan dan keindahan dari tiap bangunan agar tidak saling tumpang
tindih acak-acakan.
Teladan yang keempat ialah
bumi, yang bersifat kokoh dan suci. Selain itu, bumi juga bersifat adil. Apa
yang ditanam, itulah yang dipanen. Demikianlah hendaknya seorang pemimpin harus
bisa kokoh hatinya, tidak mudah putus asa, tidak mudah dihasut, selalu
bersemangat pula. Selain itu, seorang pemimpin juga harus mempunyai watak suci,
artinya mampu menjaga kehormatan diri sendiri. Pemimpin yang baik tidak mudah
dibeli dengan harta suap demi kepentingan segelintir para penjilat. Pemimpin
yang mudah goyah dan tidak kokoh, juga yang tidak dapat menjaga kehormatan dirinya,
maka sudah pasti ia akan kehilangan rasa hormat dari rakyatnya. Selain itu,
pemimpin juga harus berwatak adil, mampu memberikan ganjaran yang sesuai dengan
apa yang diusahakan rakyatnya. Pemimpin harus memberikan anugerah sesuai kadar
jasa rakyatnya masing-masing, jangan sampai menimbulkan iri hati karena ada
rakyat yang berprestasi tetapi merasa tidak dihargai.
Teladan yang kelima ialah awan
mega, yang bersifat menyeramkan, tetapi membawa kesejukan dan air hujan. Awan
mega ini hubungannya dengan matahari. Jika matahari terlalu panas, maka awan
mega bersifat menutupi. Jika matahari menghisap air laut, maka awan mega yang
menyebarkannya dalam bentuk hujan. Demikianlah seorang pemimpin harus tampak
menyeramkan seperti awan, tetapi membawa kesejukan dan juga memberikan
perlindungan. Menyeramkan di sini bukan berarti memasang wajah kejam dan
beringas, tetapi hendaknya bisa menjaga wibawa di hadapan rakyat ataupun di
hadapan luar negeri. Seorang pemimpin yang baik dan berwibawa akan dihormati oleh
rakyatnya sendiri dan juga dibanggakan di hadapan luar negeri. Namun demikian,
di balik wibawanya, sang pemimpin juga harus bisa memberikan kesejukan dan
perlindungan kepada rakyatnya. Jangan sampai Raden Arjuna menjadi pemimpin yang
hanya bisa menakut-nakuti rakyatnya, tetapi tidak dapat memberikan
perlindungan. Itu namanya omong kosong.
Teladan yang keenam adalah
angin. Sifat dari angin selalu bergerak mengisi ruang yang kosong. Selain itu,
angin juga menyebarkan awan yang berisi kumpulan uap air ke segala arah untuk
kemudian dicairkan menjadi tetesan hujan. Demikianlah hendaknya Raden Arjuna
menjadi pemimpin tidak boleh membeda-bedakan rakyatnya. Seorang pemimpin harus
bisa merangkul semua rakyatnya dari berbagai kalangan dan berbagai lapisan
masyarakat, meskipun rakyatnya itu suka atau tidak suka. Dengan selalu berada
dekat dengan rakyat, maka kemakmuran negara akan lebih mudah untuk dicapai.
Selain itu, pemimpin harus pula bisa menyebarkan hasil penarikan pajak untuk
biaya pembangunan secara merata. Pembangunan tidak boleh hanya dilakukan di
kota-kota tertentu saja, tetapi rakyat yang hidup di pelosok juga harus ikut
merasakan nikmatnya pembangunan. Demikianlah watak dari angin yang selalu
mengisi ruang yang kosong.
Teladan yang ketujuh adalah
api. Sifat dari api adalah membakar tanpa pandang bulu. Ada istilahnya, api
kecil jadi sahabat, api besar jadi penjahat. Api kecil di sini maksudnya ialah,
Raden Arjuna harus dapat meneladani sifat api dalam upaya menegakkan hukum
negara. Siapa pun yang bersalah harus dihukum sesuai ketentuan yang berlaku.
Penegakan hukum yang baik akan menambah wibawa pemimpin, dan juga memberikan
rasa aman dan nyaman bagi rakyat. Kepastian jaminan hukum juga dapat mengundang
negara luar untuk ikut menanamkan modal di dalam negeri, tentunya demi
kemakmuran rakyat pula. Adapun yang dimaksud dengan api besar ialah, seorang pemimpin
harus bersikap jahat terhadap serangan pihak luar yang mengancam kedamaian
negara. Seorang pemimpin harus berwatak api dalam mengobar dan membakar musuh
yang datang menyerang.
Teladan yang kedelapan ialah
air. Sifat dari air adalah menyegarkan sekaligus sabar. Air yang menetes
sedikit demi sedikit mampu menciptakan lubang pada batu karang. Selain itu, air
jika sudah berkumpul akan menjadi samudera luas yang menampung semua benda yang
masuk kepadanya. Demikianlah hendaknya Raden Arjuna meneladani sifat air.
Seorang pemimpin harus bisa berwatak sabar, tidak grusa-grusu, tidak terburu
nafsu. Adakalanya mengalir ke bawah, ada kalanya menyembur ke atas, sesuai
kebutuhan. Seorang pemimpin harus memiliki hati yang luas seperti samudera, yaitu
harus bersedia menerima apa saja dari rakyatnya. Seorang pemimpin yang baik
tidak hanya mengharapkan pujian saja, tetapi harus siap apabila dikritik oleh
rakyatnya sendiri. Karena kritikan sesungguhnya adalah nasihat yang disampaikan
dengan cara kasar namun bisa menjadi pedoman untuk melakukan perbaikan.
Demikianlah penjabaran isi
ajaran Astabrata. Raden Arjuna bertanya mengapa dirinya yang mendapatkan ajaran
ini, bukannya sang kakak sulung, yaitu Prabu Puntadewa. Bagawan Kesawasidi
menjawab, itu karena keturunan Prabu Puntadewa akan terhenti setelah Perang
Bratayuda, sedangkan keturunan Raden Arjuna akan terus berlanjut dan menjadi
pewaris takhta. Raden Arjuna memang tidak menjadi raja, tetapi kelak
keturunannya yang akan menjadi raja-raja Tanah Jawa. Hendaknya Raden Arjuna kelak
mewariskan ilmu Astabrata ini kepada keturunannya yang berhasil menjadi raja,
menggantikan Prabu Puntadewa.
Raden Arjuna bersyukur
mendengarnya. Bagawan Kesawasidi lalu meminta tolong kepadanya untuk
mengembalikan Panah Kuntadruwasa kepada Adipati Karna, yang tiga hari lalu telah
dirampas oleh Resi Anoman dalam peperangan. Raden Arjuna bersedia. Ia kemudian
berterima kasih kepada Bagawan Kesawasidi dan mohon pamit meninggalkan Gunung
Kutarunggu.
Setelah Raden Arjuna pergi,
Bagawan Kesawasidi pun kembali ke wujud aslinya, yaitu Prabu Kresna Wasudewa,
raja Dwarawati. Demikianlah yang terjadi. Beberapa waktu yang lalu Prabu Kresna
mimpi bertemu mendiang gurunya, yaitu Resi Padmanaba yang memerintahkan dirinya
untuk mengajarkan ilmu Astabrata kepada Raden Arjuna. Ilmu kepemimpinan ini
dulu diperoleh Prabu Kresna saat masih bernama Raden Narayana, yang berguru
kepada Resi Padmanaba, yaitu keturunan Batara Wisnu.
Prabu Kresna Wasudewa. |
RADEN ARJUNA BERTEMU ADIPATI KARNA
Raden Arjuna dan para
panakawan yang sudah meninggalkan Padepokan Kutarunggu bertemu dengan Adipati
Karna bersama Patih Sangkuni dan para Kurawa yang masih mengepung di kaki
gunung. Saat naik tadi Raden Arjuna sengaja menyelinap, tetapi kini sewaktu
turun gunung ia menampakkan diri karena mendapat tugas untuk mengembalikan
Panah Kuntadruwasa pula.
Adipati Karna dan Raden Arjuna
pun saling bertukar salam. Kemudian Raden Arjuna menyerahkan Panah Kuntadruwasa
kepada kakak tirinya itu. Adipati Karna heran dan bertanya mengapa pusakanya
bisa berada pada sang adik, padahal beberapa hari yang lalu direbut oleh Resi
Anoman. Raden Arjuna pun bercerita apa adanya mulai awal hingga akhir, di mana
ia telah mendapatkan Wahyu Makutarama, serta mendapat titipan dari Bagawan
Kesawasidi untuk mengembalikan Panah Kuntadruwasa kepada Adipati Karna.
Adipati Karna sangat bahagia
mendapatkan pusakanya kembali. Ia berterima kasih kepada Raden Arjuna dan juga
mengucapkan selamat atas keberhasilan sang adik mendapatkan Wahyu Makutarama.
Raden Arjuna lalu mohon pamit melanjutkan perjalanan pulang menuju Kesatrian
Madukara. Adipati Karna mempersilakan dan mereka pun berpisah.
Setelah Raden Arjuna pergi,
tiba-tiba Patih Sangkuni menyindir Adipati Karna telah melupakan tugasnya hanya
karena terhalang rasa persaudaraan. Seharusnya tadi Adipati Karna tidak
membiarkan Raden Arjuna pergi, tetapi merebut Wahyu Makutarama untuk diserahkan
kepada Prabu Duryudana. Adipati Karna termakan hasutan Patih Sangkuni. Ia pun
berangkat mengejar Raden Arjuna.
Raden Arjuna terkejut melihat
Adipati karna datang menyusul dan meminta agar Wahyu Makutarama diserahkan
kepadanya. Tentu saja Raden Arjuna tidak bisa melakukannya, karena Wahyu
Makutarama bukanlah barang yang bisa dipindah-pindahkan. Adipati Karna tidak
percaya dan ia bersedia membayar berapa pun yang diminta adiknya. Raden Arjuna
menjawab dirinya bukan pedagang dan tidak dapat memperjualbelikan wahyu.
Adipati Karna lalu meminta diberi setengah bagian saja, jika memang Raden
Arjuna tidak dapat melepaskan semuanya. Ucapan ini langsung menjadi bahan tertawaan
para panakawan, karena wahyu bukanlah makanan yang bisa dibagi menjadi dua.
Adipati Karna tersinggung dan
menggunakan kekerasan untuk merebut Wahyu Makutarama. Raden Arjuna terpaksa
menghadapi kakaknya itu. Setelah mengalami banyak kejadian sulit, ilmu
kesaktian Raden Arjuna maju pesat. Adipati Karna terdesak kalah. Ketika hendak
menggunakan Panah Kuntadruwasa, ia pun teringat bahwa panah pusakanya itu baru
saja dikembalikan oleh Raden Arjuna. Bagaimanapun juga Adipati Karna masih
memegang nilai-nilai kesatria, tentunya sangat nista apabila ia membalas
kebaikan sang adik dengan menembakkan Panah Kuntadruwasa kepadanya. Karena
berpikir demikian, ia pun memilih mundur meninggalkan Raden Arjuna.
Patih Sangkuni. |
RADEN ARJUNA BERTANDING DENGAN BAMBANG SINTAWAKA
Adipati Karna kemudian bertemu
Bambang Sintawaka yang mengaku sedang mencari Raden Arjuna karena ada dendam
pribadi. Adipati Karna merasa kebetulan dan segera meminta tolong kepada pemuda
itu agar melawan Raden Arjuna. Ia bersedia memberikan hadiah besar apabila Bambang
Sintawaka mampu mengalahkan Raden Arjuna untuknya. Bambang Sintawaka bersedia
dengan senang hati. Adipati Karna lalu menunjukkan tempatnya dan pemuda itu pun
maju menyerang Raden Arjuna.
Raden Arjuna terkejut karena
tiba-tiba muncul pemuda tampan menyerang dirinya. Mereka lalu bertarung sengit.
Meskipun penampilannya sudah berubah, namun bau badan Dewi Sumbadra sempat
tercium oleh Raden Arjuna. Maka, ia pun sadar bahwa Bambang Sintawaka tidak
lain adalah penjelmaan istrinya sendiri.
Raden Arjuna lantas
menghentikan pertarungan dan menggunakan jurus rayuan untuk meluluhkan hati Bambang
Sintawaka. Dari kejauhan, Adipati Karna merasa heran, mengira Raden Arjuna
sudah menderita kelainan karena merayu sesama laki-laki. Terdengar pula
olehnya, Raden Arjuna memanggil lawan dengan sebutan “ibune kulup”, membuat
Bambang Sintawaka tidak dapat bertahan lagi. Penyamarannya pun terbongkar, dan
ia kembali ke wujud Dewi Sumbadra.
Namun demikian, Dewi Sumbadra
tidak sudi disentuh suaminya. Ia merasa disia-siakan, sering ditinggal
berkelana sendiri. Raden Arjuna paham istrinya itu hanya berpura-pura dan
sedang ingin dimanja. Maka, ia pun menambah jurus rayuan segala macam kepada
Dewi Sumbadra.
Pada saat itulah Prabu Kresna
muncul. Dewi Sumbadra kembali berpura-pura meminta kepada kakaknya itu agar
mengurus perceraian antara dirinya dengan Raden Arjuna. Prabu Kresna tertawa
tidak menanggapi dengan serius karena sudah hafal sifat adiknya. Ia pun
menasihati Raden Arjuna agar lebih pandai membagi waktu antara melakukan tugas
sebagai kesatria, dan juga tugas sebagai kepala rumah tangga.
Sementara itu, Adipati Karna
yang masih mengintai merasa kecewa melihat Prabu Kresna muncul. Patih Sangkuni datang
menyusul dan kembali menghasut agar Adipati Karna maju untuk merebut Wahyu
Makutarama. Adipati Karna tidak bersedia, karena di dunia ini ia sangat segan
dan takut kepada Prabu Kresna. Untuk itu, ia memilih lebih baik mundur dan
melaporkan apa adanya kepada Prabu Duryudana. Patih Sangkuni merasa tidak punya
pilihan lain dan ia pun ikut mundur bersama Adipati Karna selaku kepala
rombongan.
Dewi Sumbadra. |
ARYA KUMBAKARNA BERSATU JIWA RAGA DENGAN ARYA WREKODARA
Arya Wrekodara yang sedang
dalam perjalanan melewati Hutan Duryasa tiba-tiba bertemu sesosok raksasa tinggi
besar yang samar-samar kelihatan, samar-samar tidak. Raksasa tersebut mengaku
bernama Arya Kumbakarna yang ingin menantang Arya Wrekodara bertarung. Arya
Wrekodara tidak mau melayani tantangan tersebut karena merasa tidak ada dendam
dengan Arya Kumbakarna yang tidak ia kenal sama sekali.
Arya Kumbakarna tidak mau
membuang-buang kesempatan. Ia pun lebih dulu maju menyerang. Karena diserang
secara tiba-tiba, Arya Wrekodara terpaksa menghadapi. Keduanya berkelahi,
sama-sama mengadu kekuatan. Namun, yang satunya berbadan kasar, yang satunya
berbadan halus, tentu saja Arya Wrekodara merasa kewalahan menghadapi Arya
Kumbakarna.
Pada saat itulah Prabu Kresna
muncul bersama Raden Arjuna, Dewi Sumbadra, dan juga para panakawan. Prabu
Kresna lalu memberikan petunjuk bagaimana cara mengalahkan roh gentayangan.
Arya Wrekodara paham dan segera mengheningkan cipta sambil membaca mantra
pengruwatan. Seketika wujud Arya Kumbakarna pun musnah, berubah menjadi asap,
kemudian merasuk ke dalam dada Arya Wrekodara.
Karena dirinya dirasuki arwah
raksasa, Arya Wrekodara merasa ngeri. Kyai Semar yang berwawasan luas segera
menjelaskan bahwa Arya Kumbakarna bukan raksasa sembarangan, melainkan adik
Prabu Rahwana raja Alengka di zaman kuno. Berbeda dengan kakaknya yang angkara
murka, Arya Kumbakarna bersifat luhur budi dan menjunjung tinggi watak
kesatria. Namun demikian, karena terlibat menghalangi perjuangan Prabu Sri Rama
dalam menumpas angkara murka, Arya Kumbakarna menjadi roh gentayangan dan tidak
dapat memasuki Swargaloka. Oleh sebab itu, ia pun memilih lebur menjadi satu
jiwa dengan Arya Wrekodara, agar kelak bisa bersama-sama memasuki alam
kaswargan.
Arya Wrekodara takut Arya
Kumbakarna memengaruhi pikirannya. Kyai Semar mengatakan tidak perlu takut,
karena persatuan ini hanyalah menambah kekuatan dan kesaktian Arya Wrekodara
saja, bukan memengaruhi jiwanya. Arya Wrekodara paham dan merasa kekuatannya memang
bertambah besar setelah roh Arya Kumbakarna bersatu dengan dirinya.
Prabu Kresna lalu bertanya ada
keperluan apa Arya Wrekodara berjalan seorang diri. Arya Wrekodara menjawab
bahwa dirinya diutus Prabu Puntadewa sang kakak sulung untuk mencari Raden
Arjuna dan Dewi Sumbadra yang menghilang dari Kesatrian Madukara. Karena tidak
berhasil menemukannya, ia pun pergi ke Kerajaan Dwarawati untuk meminta petunjuk.
Akan tetapi, ternyata Prabu Kresna juga sudah lama menghilang dari istana.
Ketiga permaisuri, yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Setyaboma
justru ganti meminta tolong agar Arya Wrekodara membantu mencarikan di mana
keberadaan suami mereka itu. Tak disangka, ketiga orang yang ia cari ternyata
berjalan bersama di Hutan Duryasa ini.
Kyai Semar dan Raden Arjuna
sebenarnya sudah menyadari bahwa Prabu Kresna menghilang dari Kerajaan
Dwarawati adalah untuk menyamar sebagai Bagawan Kesawasidi dan membuka
padepokan di Gunung Kutarunggu. Namun, mereka merasa tidak perlu membuka hal
ini. Tampak Prabu Kresna berterima kasih atas perhatian Arya Wrekodara, lalu
mereka pun bersama-sama pulang ke Kerajaan Dwarawati.
Arya Wrekodara. |
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
CATATAN : Kisah Prabu Sri Rama, Prabu Rahwana, Arya Kumbakarna, Raden
Wibisana, dan Resi Anoman semasa muda kelak akan saya sajikan sendiri dalam
Seri Ramayana.
Untuk kisah Prabu Kresna semasa muda dan berguru kepada Resi Padmanaba dapat
dibaca di sini
Untuk kisah awal perkenalan Prabu Kresna dengan Resi Anoman dapat
dibaca di sini
Untuk kisah Resi Anoman dan keturunan Bagawan Wibisana membantu
pernikahan Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra dapat dibaca di sini
Dasamuka dan sarpanaka sampurna nya sama siapa ya..
BalasHapusKok cuma kumbokarno sama wibisana yg moksa
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapus