Kisah ini menceritakan peperangan antara Sri Maharaja Sakra melawan raja raksasa Prabu Danuka, yang dilanjutkan dengan perkawinan Sri Maharaja Suman dan Batari Pertiwi. Setelah itu terjadilah perselisihan di antara kelima maharaja yang kemudian ditengahi oleh sepuluh brahmana penjelmaan putra-putra Batara Ismaya yang dipimpin Brahmana Balika atau Batara Siwah.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 26 Juli 2014
Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------
PRABU DANUKA MENYERANG KERAJAAN MEDANG GANA
Di Kerajaan Gua Gobajra, raja raksasa Prabu Danuka dihadap Patih Kiswaraja dan para menteri, serta putranya yang bernama Ditya Danupati. Mereka mendengar berita bahwa lima maharaja yang berkuasa di Pulau Jawa baru saja menumpas Prabu Hiranyakasipu dari Kerajaan Lengkapura dan sejak saat itu mereka menjadi sangat benci terhadap kaum raksasa. Bahkan, kelima maharaja itu juga telah memerintahkan pembantaian terhadap kaum raksasa yang dianggap sebagai makhluk tidak berguna.
Prabu Danuka sangat murka dan menuduh kelima maharaja telah berbuat tidak adil, karena pada zaman Sri Padukaraja Mahadewa Buda dulu, semua jenis makhluk hidup dilindungi tanpa pilih kasih. Maka, Prabu Danuka pun memerintahkan Patih Kiswaraja dan Ditya Danupati mempersiapkan pasukan Gua Gobajra untuk menyerang kelima maharaja tersebut.
Sasaran pertama Prabu Danuka adalah Kerajaan Medang Gana di Gunung Mahameru. Sri Maharaja Sakra menjelaskan bahwa berita pembantaian kaum raksasa yang didengar Prabu Danuka itu tidak benar, bahkan Sri Maharaja Sunda dari Kerajaan Medang Gili telah mengambil Prabu Banjaranjali sebagai menantu. Namun demikian, Prabu Danuka tidak percaya dan tetap menggempur Kerajaan Medang Gana. Perang besar pun terjadi. Karena pihak raksasa lebih kuat dan persiapannya lebih matang, Sri Maharaja Sakra dan Patih Resi Kapila akhirnya melarikan diri setelah bertempur sekuat tenaga melawan musuh.
SRI MAHARAJA SAKRA MENDAPAT BANTUAN PASUKAN WANARA
Sri Maharaja Sakra dan Patih Resi Kapila dalam pelarian ke arah barat bertemu pasukan wanara, yaitu sebangsa kera yang memiliki kecerdasan seperti manusia dan biasa hidup di hutan pegunungan Tanah Hindustan. Pemimpin pasukan wanara ini bernama Kapi Malawapati, yang ternyata adalah sahabat baik Patih Resi Kapila saat masih menjadi Batara Gangga dulu. Kapi Malawati dan pasukannya sengaja datang dari Tanah Hindustan ke Pulau Jawa adalah untuk menyusul sahabatnya itu dan ingin ikut serta mengabdi kepada Sri Maharaja Sakra.
Sri Maharaja Sakra sangat gembira mendapatkan bala bantuan. Ia menceritakan bahwa saat ini Kerajaan Medang Gana telah direbut musuh dari Kerajaan Gua Gobajra yang dipimpin Prabu Danuka. Kapi Malawapati segera mohon pamit untuk kemudian berangkat menyerang para raksasa tersebut.
Sesampainya di Kerajaan Medang Gana, pasukan wanara langsung menggempur pasukan raksasa Gua Gobajra. Pertempuran besar pun terjadi. Melihat banyak prajurit raksasa yang tewas dibunuh para wanara, Prabu Danuka sangat marah dan mengamuk melakukan pembalasan. Kapi Malawapati segera maju menghadapinya. Raja kaum wanara itu mengheningkan cipta mengerahkan Aji Bayurota. Dari tubuhnya keluar angin topan dahsyat yang bergulung-gulung menewaskan Prabu Danuka dan Patih Kiswaraja beserta pasukan mereka. Ditya Danupati sendiri berhasil lolos dari maut dan memilih pulang ke Gua Gobajra beserta para prajurit yang masih hidup.
MUNCULNYA CAHAYA PERTIWI
Setelah pertempuran besar itu, Sri Maharaja Sakra bersama Patih Resi Kapila dan Kapi Malawapati memperbaiki bangunan istana Medang Gana yang rusak parah. Sri Maharaja Sakra lalu mengundang keempat maharaja lainnya untuk ikut merayakan syukuran atas keberhasilan Negeri Medang Gana lolos dari bahaya.
Lima maharaja telah berkumpul di Kerajaan Medang Gana, menikmati pertunjukan musik dan tari yang digelar di sana. Tiba-tiba dari dalam tanah memancar keluar seberkas cahaya teja yang menjulang tegak lurus ke angkasa. Kelima maharaja terkejut dan berusaha menyelidiki asal-usul cahaya tersebut.
Sri Maharaja Suman segera menjelma menjadi babi hutan dan menggali tanah tempat cahaya itu keluar menggunakan taringnya, sedangkan Sri Maharaja Sunda menjelma menjadi burung elang untuk kemudian terbang ke angkasa mengejar ujung cahaya. Seampainya di atas, si burung elang mencakar cahaya tersebut hingga pecah berantakan.
Tiba-tiba muncul seorang bidadari cantik dari dalam tanah yang digali si babi hutan. Bidadari itu mengaku bernama Batari Pertiwi, putri Batara Nagaraja. Melihat itu, babi hutan segera kembali ke wujud Sri Maharaja Suman, sedangkan burung elang kembali ke wujud Sri Maharaja Sunda.
RAMALAN BATARI PERTIWI
Batari Pertiwi kemudian duduk berhadap-hadapan dengan lima maharaja di Kerajaan Medang Gana. Ia menyampaikan nasihat supaya mereka berlima tetap menjaga kerukunan dan persatuan, jangan saling iri di antara sesama saudara karena hanya akan menimbulkan perpecahan. Kelima maharaja itu merasa tidak mungkin akan terjadi perselisihan di antara mereka. Namun demikian, mereka tetap berjanji untuk saling setia satu sama lain dan selalu menjaga kerukunan.
Batari Pertiwi kemudian menjelaskan bahwa di antara kelima maharaja tadi ada dua orang yang berusaha keras menemukan asal-usul sumber cahaya teja yang terpancar tadi, yaitu Sri Maharaja Sunda dan Sri Maharaja Suman. Yang satu menjelma menjadi burung elang, dan yang satu lagi menjelma menjadi babi hutan. Atas usaha yang dilakukan keduanya, Batari Pertiwi pun meramalkan kelak keturunan merekalah yang akan berkuasa turun-temurun di Tanah Jawa.
Sri Maharaja Suman sangat tertarik melihat kecantikan Batari Pertiwi dan ia pun mengajukan lamaran untuk menikahinya. Batari Pertiwi menerima lamaran tersebut karena ia memang ditakdirkan berjodoh dengan Batara Wisnu yang saat ini telah menjelma sebagai Sri Maharaja Suman tersebut. Batari Pertiwi juga memberikan hadiah kepada Sri Maharaja Sunda alias Batara Brahma atas usahanya mengejar cahaya teja tadi. Hadiah tersebut berupa Permata Mustikabumi, sumber dari cahaya teja yang memancar dari tanah tadi. Sri Maharaja Sunda bersenang hati menerimanya dan menyimpan permata pusaka itu baik-baik.
Setelah dirasa cukup, keempat maharaja lalu mohon pamit kepada Sri Maharaja Sakra untuk pulang ke negara masing-masing.
LIMA MAHARAJA BERSELISIH
Tidak lama setelah peristiwa di Kerajaan Medang Gana tersebut, terjadilah perselisihan di antara para pengikut lima maharaja. Ramalan Batari Pertiwi akhirnya menjadi kenyataan.
Awal dari perselisihan itu adalah seorang penduduk Kerajaan Medang Pura bernama Kodeya yang pergi mengunjungi saudaranya di Kerajaan Medang Gili, bernama Puyika. Namun Puyika justru menipu Kodeya sehingga habis seluruh harta dan perhiasan yang dibawanya. Kodeya lalu menghadap Sri Maharaja Sunda dan meminta keadilan, namun Sri Maharaja Sunda justru menyalahkannya dan membela Puyika.
Kodeya pulang ke Kerajaan Medang Pura dengan perasaan kecewa lalu mengadukan nasib sialnya kepada Sri Maharaja Suman. Karena Sri Maharaja Suman tidak mempunyai cara untuk mendapatkan kembali harta dan perhiasan Kodeya, maka ia pun berjanji akan melakukan pembalasan dengan cara lain. Apabila ada penduduk Medang Gili yang memasuki Medang Pura, semua orang harus mempermalukannya.
Pada suatu hari ada seorang pemburu dari Kerajaan Medang Gili bernama Pastima yang mengejar kijang berkulit ungu sampai masuk ke wilayah Kerajaan Medang Pura. Di sana ia kehilangan jejak dan pandangan matanya kemudian tertuju pada seekor burung derkuku. Pastima berusaha menangkapnya, namun ketahuan Salibana, pemilik burung tersebut. Salibana dan para tetangganya lalu beramai-ramai menangkap Pastima dan menelanjanginya. Mereka melakukan hal itu adalah untuk melaksanakan perintah Sri Maharaja Suman.
Demikianlah, sejak kejadian itu banyak terjadi perselisihan antara warga Medang Gili dan Medang Pura, yang akhirnya berkembang menjadi perselisihan dengan warga tiga kerajaan lainnya. Perselisihan itu kadang disertai perkelahian, bahkan pertempuran. Lima maharaja saling menyalahkan dan membela penduduk kerajaan masing-masing. Tidak hanya itu, bahkan Agama Dewa pun terpecah menjadi lima aliran, yaitu Agama Sambu, Agama Brahma, Agama Indra, Agama Bayu, dan Agama Wisnu.
KEDATANGAN SEPULUH BRAHMANA
Perselisihan di antara kelima maharaja itu akhirnya terdengar oleh Batara Guru di Kahyangan Jongringsalaka. Maka, ia pun mengirim kesepuluh keponakannya, yaitu anak-anak Batara Ismaya untuk mejadi juru damai di antara mereka. Kesepuluh keponakan itu pun mohon pamit berangkat ke Tanah Jawa dengan menjelma sebagai kaum brahmana.
Anak-anak Batara Ismaya itu adalah:
- Batara Wungkuam menjadi Brahmana Weda,
- Batara Siwah menjadi Brahmana Balika,
- Batara Wrehaspati menjadi Brahmana Trista,
- Batara Yamadipati menjadi Brahmana Graksa,
- Batara Surya menjadi Brahmana Grisma,
- Batara Candra menjadi Brahmana Walanta,
- Batara Kuwera menjadi Brahmana Hima,
- Batara Temburu menjadi Brahmana Patuk,
- Batara Kamajaya menjadi Brahmana Tadi, dan
- Batari Darmanastiti menjadi Brahmana wanita Yukti.
Di antara kesepuluh brahmana tersebut, yang dipilih menjadi pemimpin rombongan adalah Brahmana Balika, di mana ia mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan wawasan agama dari Batara Guru.
Kesepuluh brahmana tersebut akhirnya tiba di Pulau Jawa dan bermukim di bekas Kerajaan Medang Kamulan di Gunung Mahendra. Mereka lalu mengirim undangan supaya kelima maharaja datang dan berkumpul di gunung tersebut.
PEMBAGIAN TUGAS LIMA MAHARAJA
Kelima maharaja telah berkumpul di Gunung Mahendra. Kesepuluh brahmana mengaku diutus Batara Guru untuk menjadi penengah dalam perselisihan mereka. Maka diumumkanlah sebuah sayembara, barangsiapa bisa mengembangkan aksara A, I, U, E, dan O, maka dia berhak menjadi maharaja tertinggi di Tanah Jawa. Ternyata kelima maharaja itu tidak mampu dan menyatakan tunduk terhadap semua keputusan para brahmana.
Kesepuluh brahmana lalu menetapkan pembagian rakyat di Tanah Jawa. Mulai saat ini, Sri Maharaja Maldewa di Kerajaan Medang Prawa hanya boleh memimpin binatang terbang, dan ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Kagapati.
Sri Maharaja Suman di Kerajaan Medang Pura hanya boleh memimpin binatang air, dan ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Matsyapati.
Sri Maharaja Bima di Kerajaan Medang Gora hanya boleh memimpin binatang darat, dan ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Mregapati.
Sri Maharaja Sunda di Kerajaan Medang Gili hanya boleh memimpin manusia dan raksasa, dan ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Prajapati.
Sri Maharaja Sakra di Kerajaan Medang Gana hanya boleh memimpin para resi dan jawata, yaitu orang-orang yang tidak lagi tertarik keinginan duniawi. Ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Surapati.
BRAHMANA BALIKA MENDIRIKAN KERAJAAN MEDANG SIWANDA
Setelah kelima maharaja menerima keputuan tersebut dan pulang ke negara masing-masing, para brahmana pun kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melapor kepada Batara Guru, kecuali satu orang saja yang tetap tinggal di Tanah Jawa untuk mengawasi kelima maharaja agar tidak berselisih lagi. Brahmana yang tetap tinggal di Gunung Mahendra tersebut adalah sang pemimpin rombongan, yaitu Brahmana Balika alias Batara Siwah.
Dengan berbekal ilmu pengetahuan dan wawasan agama yang didapatkannya dari Batara Guru sebelum berangkat, Brahmana Balika lalu mengajarkan Agama Dewa kepada masyarakat Tanah Jawa yang datang kepadanya. Semakin lama, jumlah murid dan pengikutnya semakin banyak. Akhirnya, Brahmana Balika pun mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Sri Maharaja Balya, serta membangun kembali bekas Kerajaan Medang Kamulan di Gunung Mahendra yang ditempatinya menjadi sebuah negeri baru bernama Kerajaan Medang Siwanda.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
kembali ke : daftar isi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar