Kisah ini menceritakan pelantikan Raden Puntadewa sebagai raja Amarta,
yang mana sebelumnya ia diculik oleh Prabu Wisapati penjelmaan Batara
Wsiwakarma. Juga dikisahkan Dewi Nagagini dan Dewi Urangayu mengagih janji
kepada Raden Bratasena.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja
Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan kitab
Mahabharata karya Resi Wyasa dan juga Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya
Ki Trsituti Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 08 Oktober 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Prabu Puntadewa Yudistira |
ADIPATI YAMAWIDURA MELAPORKAN KEBERHASILAN PARA PANDAWA MEMBUKA HUTAN
Prabu Dretarastra di Kerajaan
Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri Adipati Yamawidura, Patih Sangkuni,
Resi Druna, dan Resi Krepa. Dalam pertemuan itu Adipati Yamawidura melaporkan
tentang para Pandawa yang telah berhasil membuka sebagian Hutan Wanamarta
menjadi permukiman baru, yang diberi nama Kerajaan Amarta, dengan ibukota
bernama Indraprasta. Memang benar di sana terdapat negeri bangsa jin yang
bernama Kerajaan Mertani. Namun, para jin itu telah berhasil ditundukkan oleh
Raden Puntadewa dan adik-adiknya.
Dalam pertemuan itu, Adipati
Yamawidura juga menyampaikan undangan dari Raden Puntadewa yang mengharap
kehadiran Prabu Dreatarastra dan para sesepuh lainnya pada upacara pelantikan
dirinya sebagai raja, yang akan digelar tujuh hari lagi.
Patih Sangkuni menyela
pembicaraan. Ia menyebut para Pandawa tidak punya sopan santun karena tidak
datang sendiri untuk mengundang Prabu Dretarastra yang sudah seperti ayah bagi
mereka. Yang lebih lucu lagi, para Pandawa justru menyuruh paman mereka untuk
menyampaikan undangan itu. Demikian Patih Sangkuni menyindir Adipati
Yamawidura.
Adipati Yamawidura menjelaskan
bahwa para Pandawa hari ini masih sibuk menata kota Indraprasta dan
mempersiapkan segala sarana dan prasarana untuk pelantikan Raden Puntadewa.
Mengenai undangan ke negara Hastina, justru Adipati Yamawidura sendiri yang
menawarkan bantuan, bukan para Pandawa yang menyuruh dirinya.
Prabu Dretarastra senang
mendengarnya. Meskipun pada awalnya ia termakan hasutan Patih Sangkuni agar
mencelakakan para Pandawa dengan cara menugasi mereka untuk membuka Hutan Wanamarta
yang angker. Akan tetapi, bagaimanapun juga rasa kebapakan dalam diri Prabu
Dretarastra tetaplah ada. Ia kini merasa bahagia mendengar lima keponakannya
itu berhasil mendirikan negara baru di sana.
Berpikir demikian, Prabu
Dretarastra pun menjawab bahwa dirinya siap untuk datang ke Indraprasta tujuh
hari lagi demi memberikan restu atas pelantikan Raden Puntadewa. Setelah dirasa
cukup, Prabu Dretarastra lalu membubarkan pertemuan dan masuk ke dalam, di mana
Dewi Gandari telah menunggu di gapura.
PATIH SANGKUNI MENEMUI RADEN KURUPATI
Setelah pertemuan bubar, Patih
Sangkuni didampingi Raden Dursasana dan Bambang Aswatama pergi ke Kadipaten
Anom untuk menjenguk Raden Kurupati (Suyudana). Hari itu Raden Kurupati sudah
lumayan sembuh dari sakitnya sejak mendengar berita bahwa ia tetap menjadi
putra mahkota Kerajaan Hastina, sedangkan saingannya, yaitu Raden Puntadewa
bersedia menerima Hutan Wanamarta. Raden Kurupati berharap para Pandawa tewas dibunuh
para jin saat membuka hutan angker tersebut.
Raden Kurupati pun menyambut
kedatangan rombongan Patih Sangkuni dan bertanya apakah para Pandawa sudah mati
di Hutan Wanamarta. Patih Sangkuni menjawab para Pandawa tidak mati, tapi
justru berhasil membangun negara baru bernama Amarta, dengan ibukota bernama
Indraprasta. Para jin penguasa Kerajaan Mertani justru tunduk dan menyerah
kalah pada mereka.
Raden Kurupati sangat terkejut
dan marah. Patih Sangkuni khawatir keponakannya itu kembali sakit dan ia pun berusaha
menyabarkannya. Raden Dursasana menyarankan agar sang kakak mensyukuri apa yang
ada. Wilayah yang diterima para Pandawa hanya seperempat dari keseluruhan
Kerajaan Hastina, sedangkan para Kurawa masih menguasai sisanya yang tiga
perempat bagian.
Raden Kurupati semakin marah
dan hampir memukul adik kesayangannya itu. Beruntung, Patih Sangkuni berhasil
menenangkan hatinya. Patih Sangkuni mengaku dirinya telah mendapat laporan tentang
Prabu Jin Yudistira yang sudah menyerah kalah kepada Raden Puntadewa itu.
Mata-mata Patih Sangkuni telah mengirimkan laporan bahwa Prabu Jin Yudistira
memiliki sahabat berwujud raja raksasa bernama Prabu Wisapati dari Kerajaan Guawindu.
Dalam hal ini Patih Sangkuni berniat menghasut Prabu Wisapati agar membalaskan
kekalahan Prabu Jin Yudistira dengan cara menyerang Kerajaan Amarta.
Raden Kurupati setuju pada
rencana pamannya. Ia ingin ikut serta pergi ke Kerajaan Guawindu bersama Patih
Sangkuni. Meskipun kesehatannya belum pulih benar, namun ia merasa tidak ada
obat di dunia ini yang bisa menyembuhkannya kecuali kehancuran para Pandawa.
Patih Sangkuni mengamati keponakannya itu dan setelah yakin Raden Kurupati
sudah cukup sehat, ia pun bersedia mengajaknya serta.
Demikianlah, Patih Sangkuni
lalu berangkat menuju Kerajaan Guawindu dengan ditemani Raden Kurupati, Raden
Dursasana, dan Bambang Aswatama.
PATIH SANGKUNI MENGHASUT PRABU WISAPATI
Prabu Wisapati adalah raja
raksasa dari Kerajaan Guawindu. Ia menerima kedatangan Patih Sangkuni beserta
para keponakan dan menanyakan apa keperluan mereka. Patih Sangkuni
memperkenalkan diri dan menceritakan tentang kelima Pandawa yang hari ini telah
berhasil membuka Hutan Wanamarta serta mendirikan Kerajaan Amarta di sana.
Prabu Wisapati menjawab
dirinya tidak memiliki urusan dengan para Pandawa. Biar saja mereka membangun
kerajaan di sana, ia tidak peduli. Patih Sangkuni berkata bahwa para Pandawa
membangun Kerajaan Amarta di atas puing-puing Kerajaan Mertani yang dipimpin
Prabu Jin Yudistira. Bahkan, prabu jin Yudistira dan keempat adiknya telah
ditumpas oleh para Pandawa. Apakah Prabu Wisapati diam saja mengetahui
sahabatnya dimusnahkan oleh Raden Puntadewa bersaudara? Demikian Patih Sangkuni
bertanya.
Prabu Wisapati sangat marah
mendengar hasutan Patih Sangkuni. Ia pun memerintahkan Patih Mayasura untuk
berangkat menggempur Kerajaan Amarta dan menangkap Raden Puntadewa hidup-hidup
untuk dibawa ke Guawindu. Ia ingin tangannya sendiri yang menghukum mati
Pandawa tertua itu. Patih Sangkuni dan Raden Kurupati pun tersenyum senang
melihat kemarahan Prabu Wisapati.
PATIH MAYASURA MENCULIK RADEN PUNTADEWA
Raden Puntadewa di Kerajaan
Amarta sedang mempersiapkan pelantikan dirinya sebagai raja. Dalam persiapan
itu, para Kadang Braja dari Kerajaan Pringgadani ikut membantu. Mereka adalah
Raden Brajadenta, Raden Brajamusti, Raden Brajalamatan, Raden Brajawikalpa, dan
Raden Kalabendana. Sejak kakak mereka, yaitu Prabu Arimba meninggal, para
Kadang Braja belum pulang ke Pringgadani. Mereka tetap tinggal di Indraprasta
untuk menemani kakak kedua mereka, yaitu Dewi Arimbi yang menikah dengan Raden
Bratasena.
Setelah pernikahan kakak
mereka selesai, para Kadang Braja bekerja sama dengan para Pandawa membangun
kota Indraprasta menjadi lebih besar. Mereka bahu membahu membangun perumahan
untuk penduduk, membangun jalan raya, alun-alun, serta taman kota. Mereka
bekerja tanpa pamrih, hanya demi untuk memperbaiki hubungan antara keluarga
Prabu Pandu dan Prabu Tremboko yang sempat putus.
Raden Permadi (Arjuna) adalah
satu-satunya yang tidak berada di Indraprasta, karena mendapat tugas untuk mengundang
Prabu Matsyapati di Wirata, Resiwara Bisma di Talkanda, Bagawan Abyasa di
Saptaarga, Prabu Salya di Mandraka, Prabu Basudewa di Mandura, dan Prabu
Drupada di Pancala untuk menghadiri upacara pelantikan. Hal itu karena Raden
Permadi menguasai Aji Seipi Angin yang membuatnya bisa bergerak secepat angin
menuju ke berbagai tempat, sehingga dirinya yang diutus untuk menyebarkan
undangan.
Tiba-tiba terdengar suara amuk
pasukan raksasa datang menyerang kota Indraprasta. Pasukan raksasa itu berasal
dari Kerajaan Guawindu yang dipimpin oleh Patih Mayasura. Mereka langsung
menyerbu dan merusak pembangunan yang sedang dikerjakan oleh para Pandawa dan
Kadang Braja.
Raden Brajadenta segera
memerintahkan adik-adiknya untuk menghadapi serangan mendadak itu. Raden
Bratasena dan si kembar ikut terjun ke pertempuran. Patih Mayasura tidak
menyangka para Pandawa dibantu para raksasa Pringgadani, sehingga pihaknya pun
terdesak dan banyak prajuritnya yang tewas.
Patih Mayasura yang menguasai
ilmu sihir kemudian menyelinap masuk ke dalam istana Indraprasta. Saat itu
Raden Puntadewa sedang duduk membaca kitab suci. Tanpa banyak bicara, Patih
Mayasura segera menyambar Pandawa tertua itu dan membawanya kabur menuju
Kerajaan Guawindu.
Dewi Drupadi terkejut melihat
suaminya diculik orang. Ia segera keluar istana untuk memberi tahu Raden
Bratasena. Merasa kecolongan, Raden Bratasena pun memerintahkan si kembar untuk
pergi menyusul Raden Permadi, sedangkan dirinya berniat mengejar si penculik. Ia
juga meminta Raden Brajadenta dan adik-adiknya untuk tetap berjaga di kota Indraprasta.
Dewi Arimbi mendengar suaminya
akan berangkat ke Guawindu. Ia pun meminta diajak serta. Raden Bratasena merasa
keberatan istrinya ikut. Namun, Dewi Arimbi lebih dulu melesat pergi. Raden
Bratasena tidak dapat mencegah lagi dan ia pun segera menyusul di belakang
istrinya itu.
RADEN PERMADI MENYUSUL KE GUAWINDU
Sementara itu, Raden Permadi
didampingi para panakawan telah melaksanakan tugas dengan baik yaitu mengundang
para sesepuh di berbagai tempat untuk menghadiri pelantikan Raden Puntadewa.
Terakhir ia mengunjungi Bagawan Abyasa di Gunung Saptaarga, sekaligus untuk
menjemput sang kakek pergi bersama ke Indraprasta.
Tiba-tiba datang pula Raden
Nakula dan Raden Sadewa yang melaporkan bahwa Raden Puntadewa telah hilang
diculik musuh dari Kerajaan Guawindu. Tadinya Raden Nakula bingung harus ke
mana menyusul Raden Permadi. Namun, Raden Sadewa yang memiliki perasaan tajam
mendapat firasat bahwa kakak ketiganya itu berada di Gunung Saptaarga. Benar
juga, ternyata Raden Permadi memang berada di gunung tersebut.
Raden Permadi terkejut
mendengar laporan si kembar. Ia pun meminta kedua adiknya pergi menemani sang
kakek ke Indraprasta, sedangkan dirinya berniat mengejar si penculik. Bagawan
Abyasa memberikan petunjuk bahwa Kerajaan Guawindu terletak di sebelah utara.
Raden Permadi berterima kasih kemudian mohon pamit berangkat bersama para
panakawan.
DEWI ARIMBI DISERANG DEWI NAGAGINI
Sementara itu, Raden Bratasena
dan Dewi Arimbi masih dalam pengejaran memburu Patih Mayasura yang membawa
Raden Puntadewa. Tiba-tiba di tengah jalan muncul seekor naga yang langsung
menyambar Dewi Arimbi. Raden Bratasena terkejut dan segera mengejar naga itu.
Dewi Arimbi yang tidak menduga
dirinya tiba-tiba disambar seekor naga segera berubah wujud menjadi raksasa
wanita untuk melawan. Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka, yaitu
pertarungan antara naga melawan raksasi. Raden Bratasena tertegun mendengar
naga tersebut bisa berbicara dan ia pun yakin kalau sang naga pasti penjelmaan
Dewi Nagagini, istri pertamanya.
Tidak lama kemudian muncul
seorang wanita dan laki-laki, yang tidak lain adalah Dewi Urangayu dan ayahnya,
yaitu Batara Mintuna. Dewi Urangayu datang untuk menagih janji Raden Bratasena saat
pembangunan Kali Sarayu dulu. Saat itu Raden Bratasena berjanji akan menikahi
Dewi Urangayu apabila kakaknya, yaitu Raden Puntadewa telah berhasil menjadi
raja. Kini, Dewi Urangayu pun mengajak ayahnya pergi ke Kerajaan Amarta untuk
menagih janji tersebut.
Raden Bratasena menjawab
dirinya tidak pernah lupa akan hal itu. Memang benar para Pandawa telah
berhasil membuka Hutan Wanamarta dan mendirikan Kerajaan Amarta. Namun, sampai
hari ini Raden Puntadewa belum dilantik sebagai raja, sehingga Raden Bratasena
belum bisa memenuhi janjinya kepada Dewi Urangayu. Saat ini kedua istrinya
justru bertarung. Ia pun meminta bantuan kepada Dewi Urangayu agar mendamaikan
mereka.
Dewi Urangayu menyanggupi. Ia
lalu mengheningkan cipta dan dari kepalanya tiba-tiba muncul sepasang sungut
yang melambai-lambai seperti sungut seekor udang. Dewi Urangayu kemudian maju
dan menyabetkan kedua sungutnya. Yang satu mengenai naga, dan yang satu lagi mengenai
raksasi. Seketika keduanya pun jatuh terduduk dan sama-sama kembali ke wujud
asal yang cantik jelita. Si naga berubah wujud menjadi Dewi Nagagini, sedangkan
si raksasi menjadi Dewi Arimbi.
KETIGA ISTRI RADEN BRATASENA MENJADI SAUDARA
Raden Bratasena dan Dewi
Urangayu mendatangi Dewi Nagagini dan Dewi Arimbi. Raden Bratasena bertanya
mengapa Dewi Nagagini menyerang Dewi Arimbi secara tiba-tiba. Dewi Nagagini
menjawab dengan ketus. Ia mengingatkan Raden Bratasena bahwa dulu mereka
menikah di Kahyangan Saptapratala setelah peristiwa Balai Sigala-gala. Saat itu
Raden Bratasena berkata bahwa mereka hanya menikah tapi belum bisa melakukan
hubungan badan. Itu karena Raden Bratasena merasa bersalah telah melangkahi Raden
Puntadewa yang belum menikah. Maka, Raden Bratasena pun bersumpah tidak akan
menyentuh Dewi Nagagini apabila Raden Puntadewa belum memiliki istri.
Dewi Nagagini menerima
keputusan suaminya tersebut. Ia rela ditinggal pergi Raden Bratasena yang
melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Ekacakra. Hingga pada suatu hari Dewi
Nagagini mendengar berita bahwa Raden Puntadewa telah menikah dengan Dewi
Drupadi putri Kerajaan Pancala Selatan. Dewi Nagagini merasa senang bahwa itu
berarti sebentar lagi sang suami pasti datang untuk menjenguknya. Namun, hari
demi hari Raden Bratasena tak kunjung tiba. Sebagai seorang wanita dewasa, Dewi
Nagagini mengharapkan bisa segera memiliki anak. Maka, ia pun nekat menyusul Raden
Bratasena ke Indraprasta. Namun, di tengah jalan ia justru melihat suaminya sedang
berjalan dengan wanita lain. Karena terbakar rasa cemburu, Dewi Nagagini pun
berubah menjadi naga dan menyambar Dewi Arimbi seperti kejadian tadi.
Dewi Arimbi terkejut
mendengarnya. Ia pun meminta maaf kepada Dewi Nagagini bahwa dirinya sama
sekali tidak bermaksud merebut suami orang. Saat menikah, ia sama sekali tidak
tahu kalau Raden Bratasena sudah mempunyai istri. Andai saja saat itu ia tahu
kalau Raden Bratasena sudah menikah, tentu ia akan memohon kepada suaminya itu agar
lebih dulu meminta izin kepada Dewi Nagagini selaku istri pertama. Andaikan
Dewi Nagagini tidak mengizinkan, tentu Dewi Arimbi menolak dinikahi Raden
Bratasena.
Dewi Arimbi kemudian menyentuh
lutut Dewi Nagagini dan meminta maaf kepadanya dengan penuh sopan santun. Dewi
Nagagini luluh hatinya. Ia ganti meminta maaf karena tadi telah cemburu dan
menyambar tubuh Dewi Arimbi tanpa peringatan. Kedua wanita itu lalu berpelukan dan
melupakan perkelahian tadi.
Dewi Nagagini dan Dewi Arimbi
lalu bertanya siapa wanita yang baru saja datang dan melerai perkelahian
mereka. Dewi Urangayu pun memperkenalkan dirinya sebagai calon istri Raden
Bratasena yang ketiga. Ia bercerita bahwa beberapa waktu yang lalu para Pandawa
dan Kurawa berlomba menggali sungai yang menghubungkan Pegunungan Dihyang dengan
Laut Selatan. Pada saat itulah ia pertama kali bertemu Raden Bratasena di mana
dirinya membantu menghubungkan sungai buatan para Pandawa dengan samudera. Raden
Bratasena pun berjanji akan menikahi Dewi Urangayu setelah Raden Puntadewa
resmi dilantik menjadi raja.
Dewi Arimbi menggerutu menyebut
Raden Bratasena sebagai laki-laki yang suka mengumbar janji. Kini Dewi Nagagini
datang karena ingin mempunyai anak, sedangkan Dewi Urangayu datang untuk minta
dinikahi. Sementara itu, Dewi Nagagini yang tadi cemburu kini justru tertawa
senang. Sebagai istri pertama ia mengizinkan Raden Bratasena menikah lagi.
Dengan demikian ia mempunyai dua orang adik, yaitu Dewi Arimbi dan Dewi
Urangayu.
Raden Bratasena berterima
kasih atas kerelaan Dewi Nagagini. Ia pun berjanji akan menjadi suami yang adil
dan berusaha mendidik anak-anak dari ketiga istrinya itu agar kelak selalu
rukun seperti saudara kandung.
RADEN PERMADI DAN RADEN BRATASENA MEMBURU PENCULIK RADEN PUNTADEWA
Raden Permadi dan para
panakawan akhirnya tiba juga di tempat itu. Raden Bratasena pun mengajaknya
untuk pergi bersama menuju Kerajaan Guawindu, merebut kembali sang kakak sulung.
Ia lalu meminta Kyai Semar dan Nala Gareng agar mengantarkan Batara Mintuna,
Dewi Nagagini, Dewi Arimbi, dan Dewi Urangayu pulang ke Indraprasta. Cukup
dirinya dan Raden Permadi saja yang mengejar si penculik.
Demikianlah, Kyai Semar
berhasil membujuk Dewi Arimbi agar kembali ke kota Indraprasta bersama yang
lain dan tidak lagi menyertai Raden Bratasena mengejar penculik. Ia lalu mempersilakan
Batara Mintuna dan Dewi Urangayu, serta Dewi Nagagini agar ikut bersamanya
menuju Kerajaan Amarta.
Setelah mereka pergi, Raden
Bratasena dan Raden Permadi pun berangkat menuju Guawindu di sebelah utara
bersama panakawan Petruk dan Bagong.
ISTANA GUAWINDU DILENGKAPI DENGAN PERANGKAP SIHIR
Raden Bratasena dan Raden
Permadi bersama kedua panakawan telah berhasil menemukan istana Guawindu. Dari
luar terlihat seperti gua seram, namun di dalamnya tampak indah luar biasa. Ketika
Raden Bratasena menginjak permadani yang terbentang di lorong, tiba-tiba
permadani itu berubah menjadi kolam air. Untungnya ia dengan sigap melompat
mundur sehingga tidak sampai tercebur ke dalamnya.
Raden Permadi yakin istana
Guawindu ini penuh dengan perangkap sihir. Ia pun mengoleskan minyak ajaib
Lisah Pranawa pemberian Batara Citrarata (Gandarwa Anggaraparna) di pelupuk
matanya. Berkat minyak tersebut, Raden Permadi dapat melihat keadaan yang
sebenarnya. Permadani indah yang terhampar kini terlihat aslinya, yaitu kolam air,
sedangkan jurang berisi api yang menyala-nyala justru merupakan jalanan yang sesungguhnya.
Begitu pula dengan jebakan-jebakan yang lain, semuanya kini terlihat dengan jelas.
Raden Permadi pun berjalan
paling depan, sedangkan Raden Bratasena dan para panakawan mengikuti di
belakangnya.
MENAKLUKKAN PRABU WISAPATI DAN PATIH MAYASURA
Raden Bratasena dan Raden
Permadi telah sampai di hadapan Prabu Wisapati dan Patih Mayasura. Kedua
raksasa itu terkejut mereka bisa melewati perangkap sihir. Terjadilah
pertarungan di antara mereka. Selang agak lama, Raden Bratasena berhasil
meringkus Prabu Wisapati, sedangkan Raden Arjuna yang bersenjatakan Oyod Bayura
mampu menangkal sihir Patih Mayasura dan menangkap raksasa itu.
Petruk dan Bagong telah
berhasil menemukan di mana Raden Puntadewa disembunyikan. Raden Puntadewa lalu
memerintahkan Raden Bratasena agar melepaskan Prabu Wisapati. Raden Bratasena
menolak karena itu akan sangat berbahaya. Namun, Raden Puntadewa memintanya
untuk tidak membantah, karena ia sudah tahu kalau Prabu Wisapati adalah
penjelmaan seorang dewa, bernama Batara Wiswakarma.
Prabu Wisapati gembira mengetahui
Raden Puntadewa dapat menebak jati dirinya. Ia lalu bercerita bahwa dirinya
memang penjelmaan dewa ahli bangunan bernama Batara Wiswakarma. Dahulu kala pernah
terjadi perang antara Batara Indra melawan Batara Kala. Dalam perang itu Batara
Wiswakarma memihak Batara Kala. Akhirnya, Batara Kala dapat dikalahkan oleh
Batara Wisnu yang memihak Batara Indra, sedangkan Batara Wiswakarma tertangkap
dan dikutuk menjadi raksasa. Batara Wiswakarma memohon ampun dan minta agar
dibebaskan dari kutukan. Batara Wisnu menjawab tidak bisa. Batara Wiswakarma
harus menjalani hukumannya dan kelak akan ada kesatria sulung dari lima
bersaudara yang bisa mengembalikan dirinya menjadi dewa. Batara Wiswakarma
menerima hal itu dan ia pun berganti nama menjadi Prabu Wisapati.
Demikianlah kisah hidup Prabu
Wisapati. Ia mendengar kabar bahwa sahabatnya yang bernama Prabu Jin Yudistira
telah dikalahkan oleh Raden Puntadewa. Maka, ini bisa menjadi sarana baginya
untuk bisa bertemu dengan sulung para Pandawa itu. Kini siasatnya telah
berhasil. Ia pun meminta kepada Raden Puntadewa agar membebaskannya dari kutukan
Batara Wisnu.
Raden Puntadewa sendiri selama
diculik Patih Mayasura sempat berdoa memohon petunjuk Yang Mahakuasa. Tiba-tiba
muncul Batara Darma yang berbisik di telinganya tanpa diketahui oleh Patih
Mayasura. Batara Darma menceritakan siapa jati diri Prabu Wisapati dan
bagaimana cara menyembuhkannya dari kutukan. Demikianlah, Raden Puntadewa pun
menerapkan apa yang telah diajarkan Batara Darma tadi. Ia menempelkan Pustaka
Jamus Kalimahusada pemberian Bagawan Abyasa ke dahi Prabu Wisapati sambil
membaca mantra. Tiba-tiba Prabu Wisapati berubah wujud, tidak lagi seorang
raksasa melainkan kembali menjadi dewa bernama Batara Wiswakarma.
BATARA WISWAKARMA DAN PATIH MAYASURA MEMBANTU PARA PANDAWA MEMBANGUN
ISTANA
Batara Wiswakarma berterima
kasih atas bantuan Raden Puntadewa dan ia pun menawarkan hadiah kepadanya.
Raden Puntadewa menjawab dirinya tidak memiliki pamrih apa-apa dan
mempersilakan Batara Wiswakarma pulang ke kahyangan. Namun, Batara Wiswakarma
tetap memaksa ingin memberikan hadiah. Maka, Raden Puntadewa pun meminta agar
keempat adiknya dibuatkan istana masing-masing di samping istana Indraprasta.
Batara Wiswakarma menyanggupi dengan senang hati.
Sementara itu, Patih Mayasura
yang masih ditawan oleh Raden Permadi juga memohon untuk dibebaskan. Raden Permadi
bersedia membebaskannya namun dengan satu syarat, yaitu ia ingin Patih Mayasura
membuatkan berbagai hiasan sihir di dalam istana Indraprasta seperti yang ada di
istana Guawindu. Raden Permadi ingin istana Indraprasta memiliki hamparan
permadani padahal sebenarnya kolam air, atau jurang berisi api menyala-nyala,
padahal sebenarnya jalanan yang bisa dilewati. Patih Mayasura mengaku sanggup
dan siap melakukannya dengan senang hati. Sementara itu, Raden Bratasena
menggerutu menyebut adiknya mempunyai keinginan aneh.
Demikianlah, dalam sekejap
mata Batara Wiswakarma telah mengembalikan Raden Puntadewa dan kedua adiknya ke
istana Indraprasta. Patih Mayasura lalu bekerja memperindah Indraprasta dengan
menambahkan hiasan-hiasan sihir, serta membuatkan balairung yang sangat luas
dan dapat menampung ribuan orang, tanpa harus melebarkan bangunan istana.
Sementara itu, Batara
Wiswakarma dengan kesaktian dewatanya mampu bekerja cepat membangun empat
istana di sekeliling Indraprasta. Keempat istana itu dipersembahkan untuk
keempat adik Raden Puntadewa. Istana untuk Raden Bratasena diberi nama Jodipati
atau Unggulpawenang, istana untuk Raden Permadi diberi nama Madukara, istana
untuk Raden Nakula diberi nama Sawojajar, sedangkan istana untuk Raden Sadewa
diberi nama Baweratalun.
Para Pandawa kagum melihat
cara kerja mereka berdua. Setelah semuanya selesai, Batara Wiswakarma dan Patih
Mayasura pun mohon pamit meninggalkan Kerajaan Amarta.
PELANTIKAN RADEN PUNTADEWA SEBAGAI RAJA AMARTA
Hari pelantikan akhirnya tiba.
Para tamu dan undangan dari berbagai negara telah hadir, antara lain Prabu
Matsyapati dari Wirata, Prabu Dretarastra dari Hastina, Prabu Basudewa dari
Mandura, Prabu Salya dari Mandraka, Prabu Drupada dari Pancala Selatan, dan
Adipati Yamawidura dari Pagombakan. Hadir pula para pendeta seperti Resiwara
Bisma, Bagawan Abyasa, Resi Druna, dan Resi Krepa.
Hari itu Raden Puntadewa resmi
dilantik menjadi raja Amarta, yang merdeka tidak berada di bawah Kerajaan
Hastina. Ia memakai gelar Prabu Puntadewa Yudistira. Prabu Matsyapati pun mempersilakan
Prabu Puntadewa untuk memakai mahkota seperti raja pada umunya. Prabu Puntadewa
mengaku dirinya tetap memakai gelung keling saja seperti sediakala, sebagai
penghormatan untuk sang ibu yang telah menggelung rambutnya sejak kecil. Justru
ia ingin berpenampilan sederhana meskipun telah menjadi raja. Ia bahkan melepas
semua gelang dan kelatbahu, hanya menyisakan Kalung Robyong saja, karena itu
warisan dari Arya Gandamana.
Dewi Kunti sangat terharu dan
bahagia mendengar ucapan putranya itu. Ia berharap di dalam hati andai saja
putra sulungnya, yaitu Karna Basusena juga ikut hadir di Indraprasta ini, alangkah
bahagia perasaannya.
PERKAWINAN RADEN BRATASENA DENGAN DEWI URANGAYU
Prabu Puntadewa telah dilantik
menjadi raja, sehingga tiba saatnya Raden Bratasena menepati janjinya untuk menikahi
Dewi Urangayu. Esok harinya Dewi Kunti dan Batara Mintuna pun menggelar hajat pernikahan
tersebut. Para tamu dan undangan memberikan ucapan selamat dan doa restu semoga
mereka dikaruniai putra yang sakti, jujur, dan pandai.
Malam harinya, Raden Bratasena
mewujudkan janjinya kepada Dewi Nagagini. Dulu ia pernah bersumpah tidak akan
menyentuh istri pertamanya itu sebelum Raden Puntadewa menikah. Malam ini, ia
pun berolah asmara dengan Dewi Nagagini. Sungguh berbeda dengan kebanyakan orang,
Raden Bratasena melakukannya dengan cara mengayun-ayunkan tubuh Dewi Nagagini
ke depan dan belakang dengan satu tangan (oncat-ancit). Anehnya, Dewi Nagagini
merasa sangat puas dan bahagia diperlakukan seperti itu.
Setelah mengandung benih
suaminya, Dewi Nagagini pun mohon pamit kembali ke Kahyangan Saptapratala.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
CATATAN : Kisah Dewi Nagagini menyusul Raden Bratasena ke Amarta dan
para Kadang Braja membantu para Pandawa menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita
dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 693 yang
ditandai dengan sengkalan “Rudra hangebahaken wiyat”, atau tahun Candrasengkala
714 yang ditandai dengan sengkalan “Janma kaswareng barakan”.
TERIMA KASIH ATAS CERITANYA
BalasHapussami-sami Pak
BalasHapusPak admin, mau tanya,,, saya penasaran dengan anak werkudara sebenarnya ada berapa karna saya pernah lihat di youtube kalo randen ontoseno masih punya adik
BalasHapusTinggal gagraknya mas, klo gagrak Surakarta cuman punya tiga. Klo gagrak banyumasan ada empat atau lima klo gk salah mas
BalasHapusadmin, kalo ada referensi cerita baik carangan ato pakem ttg srikandhi, mohon di aplud
BalasHapus