Kisah ini menceritakan perjalanan Arya Wrekodara dalam mencari air
kehidupan Tirta Pawitrasari Mahening Suci atas perintah Resi Druna, hingga
akhirnya ia bisa bertemu dan berguru kepada jati dirinya sendiri, yaitu Dewa
Ruci di tengah Samudera Minangkalbu.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Babad Ila-ila, yang dipadukan dengan
rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdo, dan juga Ki Manteb
Soedharsono, dengan pengembangan seperlunya.
Kediri, 31 Desember 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Arya Bimasena dibelit Naga Nemburnawa. |
PRABU DURYUDANA MEMINTA RESI DRUNA MEMBUNUH ARYA WREKODARA
Prabu Duryudana di Kerajaan
Hastina dihadap Resi Druna dari Sokalima, Adipati Karna dari Awangga, Patih
Sangkuni dari Plasajenar, serta adik-adiknya, yaitu para Kurawa yang dipimpin
Arya Dursasana dan Raden Kartawarma.
Dalam pertemuan itu, Prabu
Duryudana membahas tentang kutukan Resi Mitreya terhadap Arya Dursasana beberapa
hari yang lalu, saat Dewi Dursilawati menikah dengan Adipati Jayadrata. Dalam
kemarahannya, Resi Mitreya mengutuk Arya Dursasana yang tidak dapat mengenali
kebenaran, maka kelak ia akan mati dalam keadaan sulit dikenali. Kutukan
tersebut sangat mengganggu pikiran Prabu Duryudana, bahkan sampai terbawa
mimpi. Dalam mimpinya itu, Prabu Duryudana melihat sebuah perang besar bernama
Perang Bratayuda. Perang saudara ini sesuai dengan ramalan Bagawan Abyasa
dahulu kala, yaitu perang antara keturunan Adipati Dretarastra melawan
keturunan Prabu Pandu Dewanata. Dalam perang tersebut, Prabu Duryudana melihat
Arya Dursasana dibunuh Arya Wrekodara secara kejam. Tubuhnya dicabik-cabik
hingga mayatnya tidak dapat dikenali lagi. Prabu Duryudana juga melihat Arya
Wrekodara membantai para Kurawa lainnya hingga tidak tersisa seorang pun.
Mimpi buruk yang dialami Prabu
Duryudana terjadi berkali-kali selama beberapa malam. Sejak kecil hubungan
antara Prabu Duryudana dengan Arya Wrekodara memang kurang baik. Keduanya
sering berkelahi, bahkan Prabu Duryudana pernah mencoba membunuh Arya Wrekodara
beserta para Pandawa lainnya melalui peristiwa Balai Sigalagala. Namun
demikian, mereka berdua akhirnya bisa rukun dan berdamai ketika sama-sama
berguru ilmu gada kepada Wasi Jaladara (Prabu Baladewa) di Gunung Rewataka.
Kini akibat mimpi buruk
tersebut, Prabu Duryudana kembali membenci Arya Wrekodara. Ia sangat takut
mimpinya menjadi kenyataan. Ia khawatir ramalan tentang Perang Bratayuda benar-benar
terjadi, dan Arya Wrekodara pun membunuh Arya Dursasana sesuai kutukan Resi
Mitreya.
Untuk itu, Prabu Duryudana
berniat meminta Resi Druna agar membunuh Arya Wrekodara. Bagaimanapun juga Resi
Druna adalah guru para Pandawa dan Kurawa, sehingga sudah pasti memahami
kelemahan setiap murid-muridnya.
Resi Druna terkejut mendapat
perintah demikian. Ia merasa keberatan karena dirinya adalah pendeta, bukan
algojo pencabut nyawa. Dirinya juga seorang guru, bukan jagal manusia. Apalagi
membunuh Arya Wrekodara yang merupakan murid sendiri, jelas itu tidak mungkin.
Patih Sangkuni menyela ikut
bicara. Ia mengingatkan dahulu kala Resi Druna bisa mendapatkan pangkat dan
derajat, serta segala kemewahan hidup dari Adipati Dretarastra. Hingga Resi
Druna pun pernah bersumpah akan selalu setia mengabdi kepada Kerajaan Hastina
dan mematuhi segala perintah yang diberikan raja Hastina. Saat ini yang duduk
di atas takhta adalah Prabu Duryudana, putra Adipati Dretarastra, tentunya
sumpah yang dulu diucapkan tetap berlaku. Apalagi Prabu Duryudana jauh lebih
dermawan daripada ayahnya. Prabu Duryudana telah mengucurkan dana besar-besaran
untuk pembangunan Padepokan Sokalima menjadi lebih megah dan lebih besar. Prabu
Duryudana juga mendirikan dan memimpin sebuah yayasan untuk lebih mengembangkan
Padepokan Sokalima. Kini Resi Druna memiliki banyak sekali murid golongan raja
dan pangeran yang berasal dari berbagai kerajaan, itu pun berkat pemasaran gencar
yang dilakukan para Kurawa.
Resi Druna mengakui dirinya
kini telah menjadi orang terpandang yang kaya raya dan berkedudukan tinggi, itu
semua berkat sokongan Prabu Duryudana. Ia pun bersumpah akan selalu setia
kepada Kerajaan Hastina dan tidak akan pernah mengkhianati Prabu Duryudana.
Meskipun dulu Prabu Duryudana adalah muridnya, tetapi kini telah menjadi raja
yang harus ia sembah. Akan tetapi, perintah untuk membunuh Arya Wrekodara tetap
saja Resi Druna berat hati untuk melakukannya.
Patih Sangkuni mengatakan,
Resi Druna tidak perlu membunuh secara langsung, melainkan cukup menjerumuskan
Arya Wrekodara saja. Sebagai guru tentunya ada banyak cara untuk memerintahkan
muridnya melakukan sesuatu, dan si murid pasti akan mewujudkannya meskipun itu
sangat berbahaya.
RESI DRUNA MEMERINTAHKAN ARYA WREKODARA MENCARI KAYU GUNG SUSUHING
ANGIN
Resi Druna merenung sesaat
kemudian menyanggupi usulan Patih Sangkuni. Kebetulan saat pernikahan Adipati
Jayadrata dan Dewi Dursilawati beberapa hari yang lalu, Arya Wrekodara datang
bersama Prabu Kresna untuk menjemput pulang Raden Permadi. Pada saat itu Arya
Wrekodara sempat mengutarakan perasaannya kepada Resi Druna. Arya Wrekodara
berkata dirinya kagum kepada Raden Permadi yang memiliki banyak guru. Sebagai
saudara yang lebih muda, ternyata Raden Permadi memiliki kesaktian yang lebih
beraneka ragam daripada dirinya, apalagi saat itu sang adik baru saja berguru
kepada Resi Mitreya, seorang pendeta sepuh berilmu tinggi dari Gunung Mestri.
Resi Druna lalu bertanya
apakah Arya Wrekodara iri kepada adiknya itu. Arya Wrekodara menjawab tidak iri
sama sekali. Yang ia inginkan bukan menambah berbagai macam ilmu kesaktian,
tetapi ingin belajar ilmu kesempurnaan hidup. Ia ingin belajar ilmu Sangkan
Paraning Dumadi, ilmu Sejatining Urip. Ia ingin memahami dan bukan sekadar mengetahui
tentang hidup ini dari mana, untuk apa, dan setelah berakhir hendak ke mana.
Resi Druna yang saat itu
sedang sakit hati karena Raden Premadi berguru kepada Resi Mitreya langsung
menjawab sanggup mengajari Arya Wrekodara, tetapi tidak di hari itu. Kelak
apabila Arya Wrekodara sudah siap lahir batin, maka ia boleh datang ke
Padepokan Sokalima untuk mempelajari ilmu Sangkan Paraning Dumadi tersebut.
Arya Wrekodara merasa senang dan berjanji dirinya pasti akan segera datang.
Demikianlah Resi Druna mengakhiri
ceritanya. Ia pun berniat memanfaatkan Arya Wrekodara yang ingin berguru untuk
menjerumuskan Pandawa nomor dua tersebut. Sungguh kebetulan, tidak lama
kemudian Arya Wrekodara benar-benar datang di istana Hastina.
Prabu Duryudana menyambut
ramah kedatangan adik sepupunya itu dan bertanya ada keperluan apa tiba-tiba
datang ke Kerajaan Hastina. Arya Wrekodara menjawab bahwa sesungguhnya ia telah
pergi ke Padepokan Sokalima untuk menemui Resi Druna. Akan tetapi, menurut para
janggan dan cantrik di sana, Resi Druna telah pergi ke Kerajaan Hastina untuk mengunjungi
Prabu Duryudana. Arya Wrekodara merasa tidak sabar menunggu sang guru pulang,
dan memutuskan untuk pergi menyusul.
Kini Arya Wrekodara telah
bertemu Resi Druna dan menyatakan dirinya telah siap lahir batin menerima
pelajaran ilmu Sangkan Paraning Dumadi dari sang guru. Resi Druna menjawab
dirinya bersedia memberikan wejangan di Padepokan Sokalima, tetapi Arya
Wrekodara harus lebih dulu membuktikan kesiapannya. Untuk menerima ilmu Sangkan
Paraning Dumadi, Arya Wrekodara harus dapat memenuhi syarat-syaratnya, yaitu
menyerahkan Kayu Gung Susuhing Angin terlebih dahulu. Kayu ajaib ini konon hanya
tumbuh di puncak Gunung Candramuka, tepatnya di dalam Gua Sigrangga.
Arya Wrekodara menjawab
sanggup. Ia pun mohon pamit pergi mencari kayu tersebut. Prabu Duryudana
pura-pura merasa berat hati melepas kepergian sepupunya itu. Ia memeluk Arya
Wrekodara dan memberikan restu kepadanya semoga berhasil. Ia juga menawarkan
bala bantuan sebagai pengawal. Namun, Arya Wrekodara menolak itu semua karena
ini adalah urusan pribadinya dan ia tidak ingin merepotkan orang lain. Setelah
berkata demikian, Arya Wrekodara pun berangkat meninggalkan Kerajaan Hastina.
Setelah Arya Wrekodara pergi,
Patih Sangkuni bertanya kepada Resi Druna mengapa menyuruhnya pergi ke Gunung
Candramuka. Resi Druna menjawab bahwa Kayu Gung Susuhing Angin itu sesungguhnya
tidak ada. Semua ini hanyalah akal-akalan dirinya saja. Ia pernah mendengar kabar,
bahwa Gunung Candramuka adalah tempat yang angker mengerikan. Di sana terdapat
Gua Sigrangga yang dihuni sepasang raksasa bengis, yang gemar memangsa daging
manusia. Kedua raksasa itu konon sangat perkasa dan juga kejam. Jika Arya
Wrekodara pergi ke sana dan bertemu dengan kedua raksasa tersebut, maka itu sama
artinya dengan mengantar nyawa.
Patih Sangkuni gembira
mendengarnya. Ia bertanya apakah Arya Wrekodara pasti mati jika berhadapan
dengan kedua raksasa itu? Resi Druna menjawab belum tentu. Lahir atau mati adalah
suratan takdir, bukan dirinya yang menentukan. Manusia hanya bisa merencanakan,
dan semua hasilnya terserah Yang Mahakuasa. Yang jelas, ia sudah menjalankan
tugas untuk menjerumuskan Arya Wrekodara.
Mendengar itu, Prabu Duryudana
merasa bimbang. Ia lalu memerintahkan Raden Kartawarma untuk mengawasi Arya
Wrekodara dari kejauhan. Apabila Arya Wrekodara tidak tewas melawan kedua
raksasa itu, maka Raden Kartawarma harus cepat-cepat pulang untuk melapor, agar
Resi Druna dapat segera menyiapkan rencana kedua. Raden Kartawarma menyanggupi
dan segera mohon pamit berangkat melaksanakan tugas.
ARYA WREKODARA MENGHADAPI DUA RAKSASA
Arya Wrekodara telah sampai di
Gunung Candramuka. Ia menemukan Gua Sigrangga dan memasukinya untuk mencari
keberadaan Kayu Gung Susuhing Angin. Gua tersebut ternyata dihuni dua raksasa
bertubuh besar menyeramkan. Mereka pun marah dan menyerang Arya Wrekodara.
Raksasa yang tua bernama Ditya
Rukmuka, sedangkan yang muda bernama Ditya Rukmakala. Mereka berebut ingin
menangkap dan memangsa tubuh Arya Wrekodara sebagai santapan. Namun, Arya Wrekodara
dapat dengan tangkas menandingi keganasan mereka. Mula-mula Ditya Rukmuka dapat
dibunuh. Perutnya robek terkena Kuku Pancanaka di tangan Arya Wrekodara.
Anehnya, begitu Ditya Rukmakala melangkahi mayatnya, seketika Ditya Rukmuka pun
bangkit kembali. Kemudian ketika Ditya Rukmakala yang tewas terkena tendangan
Arya Wrekodara, ia pun hidup kembali setelah dilangkahi Ditya Rukmuka.
Arya Wrekodara merasa kewalahan
menghadapi kedua raksasa tersebut. Dalam keadaan letih, ia mengheningkan cipta
menenangkan diri. Sungguh aneh, begitu Arya Wrekodara mengheningkan cipta
justru kedua lawannya menjadi limbung dan sempoyongan. Arya Wrekodara pun menjambak
rambut mereka dan membenturkan kepala keduanya hingga pecah. Kedua raksasa itu
pun tewas dan tidak bisa bangkit kembali.
ARYA WREKODARA MENDAPAT ANUGERAH DARI BATARA INDRA DAN BATARA BAYU
Ditya Rukmuka dan Ditya
Rukmakala telah terbunuh. Mayat mereka tiba-tiba musnah menjadi asap dan
berubah menjadi dua orang dewa. Ditya Rukmuka menjadi Batara Indra, sedangkan
Ditya Rukmakala menjadi Batara Bayu. Kedua dewa itu berterima kasih karena Arya
Wrekodara telah meruwat mereka sehingga bisa kembali menjadi dewa.
Arya Wrekodara bertanya
mengapa Batara Indra dan Batara Bayu berubah wujud menjadi raksasa kembar.
Batara Bayu bercerita bahwa pada suatu hari Batara Guru mengadakan pertemuan di
Kahyangan Jonggringsalaka. Pada saat itu Batari Wilotama ditugasi menari
menghibur para dewa yang hadir. Batara Indra dan Batara Bayu datang terlambat.
Batara Indra lalu meminta Batara Bayu agar mengerahkan angin kencang agar
mendorong tubuh mereka berdua sehingga bisa tiba di Kahyangan Jonggringsalaka
lebih cepat. Batara Bayu menyanggupi. Ia pun mengerahkan angin dan seketika
dirinya dan Batara Indra pun sampai di hadapan Batara Guru. Sialnya, angin
tersebut juga ikut meniup tubuh Batari Wilotama yang sedang menari. Akibatnya,
pakaian Batari Wilotama menjadi tersingkap dan membuat Batara Guru sangat marah
kepada Batara Bayu dan Batara Indra. Itulah sebabnya mereka menjadi raksasa
kembar adalah karena kutukan yang diucapkan Batara Guru.
Kini kedua dewa itu berterima
kasih kepada Arya Wrekodara karena telah membebaskan diri mereka dari kutukan.
Arya Wrekodara balik bertanya di mana kira-kira ia bisa menemukan Kayu Gung
Susuhing Angin. Batara Indra menjawab Kayu Gung Susuhing Angin bukan berwujud
seperti kayu pada umumnya, melainkan itu adalah bahasa perlambang. Kayu Gung
bermakna “kayu besar”, sesungguhnya adalah kiasan untuk raga manusia, sedangkan
Susuhing Angin bermakna “rumah angin”. Maka, makna dari Kayu Gung Susuhing
Angin adalah manusia yang merupakan tempat keluar masuknya angin atau disebut
napas. Napas yang masuk membawa udara bersih, kemudian diedarkan ke seluruh
bagian tubuh, dan keluar membawa udara kotor.
Arya Wrekodara bertanya apakah
gurunya telah berbohong dengan menugasi dirinya mencari benda yang tidak pernah
ada. Batara Bayu menjawab sama sekali tidak. Tugas yang diberikan Resi Druna
bukanlah kebohongan, melainkan sebuah teka-teki. Kayu Gung Susuhing Angin bukan
berwujud benda, tetapi berwujud pelajaran. Gunung Candramuka, Gua Sigrangga,
Ditya Rukmuka, Ditya Rukmakala, Batara Indra, dan Batara Bayu, semuanya
mengandung hikmah pelajaran. Mengenai makna dari pelajaran tersebut kelak Arya
Wrekodara akan menemukannya sendiri, apabila bersungguh-sungguh. Untuk itu,
jika Resi Druna memberikan tugas selanjutnya, maka jangan sampai Arya Wrekodara
menolaknya.
Arya Wrekodara pun menyanggupi
saran Batara Bayu tersebut. Sebagai ungkapan terima kasih, Batara Indra pun memberikan
hadiah berupa Cincin Druwenda Mustika Manik Candrama. Khasiat dari cincin
tersebut adalah bisa melindungi keselamatan Arya Wrekodara apabila tercebur di
dalam air. Arya Wrekodara menerima hadiah tersebut dengan rendah hati dan
mengenakannya di jari. Setelah dirasa cukup, Batara Bayu dan Batara Indra undur
diri kembali ke kahyangan.
RESI DRUNA MENUGASI ARYA WREKODARA MENCARI AIR KEHIDUPAN
Raden Kartawarma telah melapor
kepada Prabu Duryudana bahwa Arya Wrekodara tidak mati dibunuh kedua raksasa
penunggu Gunung Candramuka, tetapi justru berhasil menewaskan mereka. Prabu
Duryudana sangat kesal dan meminta Resi Druna menyusun rencana kedua untuk
menyingkirkan sepupunya itu.
Tidak lama kemudian, Arya
Wrekodara pun muncul dan langsung menghadap Resi Druna. Ia menceritakan
pengalamannya di Gunung Candramuka, di mana ia tidak menjumpai Kayu Gung
Susuhing Angin di sana, tetapi bertemu dua raksasa yang akhirnya teruwat
menjadi dewa, yaitu Batara Indra dan Batara Bayu. Resi Druna menjawab mereka
berdua itulah yang dimaksud dengan Kayu Gung Susuhing Angin. Dengan kata lain,
Arya Wrekodara dianggap telah lulus memenuhi syarat pertama.
Arya Wrekodara lalu bertanya
apakah dirinya sudah bisa mulai belajar ilmu Sangkan Paraning Dumadi. Resi
Druna menjawab belum, karena masih ada satu syarat lagi, yaitu Arya Wrekodara
harus dapat menemukan air kehidupan Tirta Pawitrasari Mahening Suci yang
terletak di Samudera Minangkalbu. Arya Wrekodara pun bertanya di mana letak
samudera tersebut. Resi Druna menjawab, Minangkalbu artinya meminang hati. Arya
Wrekodara silakan bertanya kepada hatinya sendiri di mana letak samudera
tersebut. Jika ia yakin ke arah utara, silakan mencebur ke laut utara, dan jika
mantap ke selatan, silakan mencebur ke laut selatan.
Teringat pada pesan Batara
Bayu, Arya Wrekodara pun menyatakan sanggup. Ia lalu mohon pamit berangkat
melaksanakan tugas kedua tersebut.
ARYA WREKODARA BERPAMITAN KEPADA SAUDARA-SAUDARANYA
Arya Wrekodara merasa tugas
mencari Tirta Pawitrasari jauh lebih berat daripada mencari Kayu Gung Susuhing
Angin. Maka, ia pun memutuskan untuk pulang terlebih dulu ke Kerajaan Amarta
untuk mohon pamit dan meminta doa restu kepada ibu dan empat saudaranya.
Dewi Kunti, Prabu Puntadewa, Dewi
Drupadi, Raden Permadi, serta si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa menyambut
kepulangan Arya Wrekodara. Kepada mereka, Arya Wrekodara bercerita tentang
niatnya untuk belajar ilmu Sangkan Paraning Dumadi Lepasing Budi kepada Resi
Druna, dengan syarat harus bisa menemukan air kehidupan Tirta Pawitrasari
Mahening Suci di Samudera Minangkalbu.
Prabu Puntadewa dan yang lain
terkejut. Dewi Kunti segera meminta agar Arya Wrekodara membatalkan niatnya. Namun,
Arya Wrekodara menolak karena sudah terlanjur menyanggupi. Raden Permadi menanggapi
bahwa ia yakin Resi Druna pasti telah didesak Prabu Duryudana dan Patih
Sangkuni untuk mencelakakan sang kakak kedua. Prabu Puntadewa membenarkan hal
itu. Ia pun mengingatkan bahwa dulu Prabu Duryudana semasa muda dibantu Patih
Sangkuni pernah melakukan percobaan pembunuhan terhadap para Pandawa beserta Dewi
Kunti dalam peristiwa Balai Sigalagala.
Arya Wrekodara berkata bahwa
dulu Prabu Puntadewa pernah berpesan agar jangan lagi mengungkit-ungkit soal
Balai Sigalagala, tapi mengapa sekarang justru melanggarnya perkataannya sendiri?
Apalagi ketika Prabu Duryudana dan Arya Wrekodara sama-sama berguru kepada Wasi
Jaladara, saat itu Prabu Puntadewa sangat bersyukur dan mengumumkan bahwa Prabu
Duryudana (saat itu masih bernama Raden Kurupati) telah bertobat dan ingin
memperbaiki hubungan dengan para Pandawa. Untuk itu, para Pandawa tidak boleh
lagi menganggap Kurawa sebagai musuh. Sungguh mengherankan, mengapa sekarang
tiba-tiba Prabu Puntadewa menaruh prasangka buruk, menduga Prabu Duryudana
pasti telah mendesak Resi Druna untuk mencelakakan dirinya?
Dewi Kunti sangat sedih karena
Arya Wrekodara tetap bersikeras ingin pergi mencebur samudera. Karena terlalu
sedih, wanita itu pun jatuh pingsan. Sang menantu, Dewi Drupadi segera memapah
tubuhnya masuk ke dalam kedaton.
Raden Nakula dan Raden Sadewa
ganti ikut bicara. Mereka memeluk lengan Arya Wrekodara kiri dan kanan, meminta
agar sang kakak kedua jangan pergi. Mereka menangis meratapi nasib sebagai anak
yatim piatu yang sejak kecil ditinggal mati ayah dan ibu. Mereka menganggap
Arya Wrekodara adalah pelindung mereka selama ini. Arya Wrekodara tidak hanya
berperan sebagai ayah, tapi juga berperan sebagai ibu bagi mereka. Dulu saat
kecil, Arya Wrekodara sering menggendong keduanya ke sana kemari. Juga apabila
tidak ada sang kakak kedua, mungkin mereka sudah mati dilalap kobaran api dalam
peristiawa Balai Sigalagala. Raden Nakula dan Raden Sadewa menganggap Arya
Wrekodara sudah seperti pengganti orang tua bagi mereka.
Arya Wrekodara merasa bimbang
untuk melangkah. Namun, kuatnya niat untuk mengetahui seluk-beluk ilmu Sangkan
Paraning Dumadi membuatnya menjadi nekat. Ia pun mengibaskan tangan si kembar,
lalu mengangkat tubuh Prabu Puntadewa. Ia berkata dirinya bersifat kaku, tidak
bisa membungkuk atau berjongkok. Untuk itu, ia pun menjunjung tubuh si kakak
sulung dan meminta restu kepadanya. Jika niatnya tulus dan suci, ia meminta
restu supaya berhasil meraih cita-cita. Namun, jika niatnya bengkok, maka
relakanlah dirinya tewas tenggelam atau mati dimangsa ikan hiu.
Prabu Puntadewa melihat
semangat adiknya begitu kokoh. Ia pun merestui Arya Wrekodara semoga berhasil
meraih cita-cita. Arya Wrekodara lalu menurunkan sang kakak sulung kemudian
mohon pamit berangkat menuju Samudera Minangkalbu. Para Pandawa yang lain melepas
kepergiannya dengan isak tangis. Prabu Puntadewa pun mengajak mereka masuk ke
dalam sanggar pemujaan untuk berdoa bersama kepada Yang Mahakuasa, memohon yang
terbaik untuk saudara mereka nomor dua tersebut.
ARYA WREKODARA DIHADANG RESI ANOMAN
Arya Wrekodara berusaha
memantapkan hati. Ia menuruti bisikan kalbunya agar berjalan menuju arah selatan.
Di tengah jalan tiba-tiba dirinya berjumpa dengan sang kakak angkat, yaitu Resi
Anoman, sesama Kadang Tunggal Bayu yang tinggal di Padepokan Kendalisada.
Resi Anoman bertanya apa
tujuan Arya Wrekodara berjalan ke selatan. Arya Wrekodara menjelaskan semuanya
dari awal, yaitu ia ingin berguru ilmu Sangkan Paraning Dumadi kepada Resi
Druna. Resi Anoman tampak kecewa dan meminta sang adik agar kembali. Apa
gunanya berguru kepada Resi Druna? Resi Druna itu guru ilmu perang, bukan guru
ilmu kebatinan. Jika Arya Wrekodara ingin berguru ilmu Sangkan Paraning Dumadi
sebaiknya bertanya kepada Bagawan Abyasa atau Resiwara Bisma. Mereka berdua
jauh lebih paham daripada Resi Druna. Apalagi Resi Druna terkenal sebagai pendeta
mata duitan yang hidupnya melacurkan diri kepada Prabu Duryudana, muridnya
sendiri yang kaya raya.
Arya Wrekodara merasa kecewa
dua hal kepada Resi Anoman. Kecewa yang pertama ialah Resi Anoman telah
menghina gurunya yang sangat ia hormati. Resi Anoman terlalu menilai orang dari
luarnya saja. Yang kedua, Resi Anoman sebagai seorang pendeta ternyata
pikirannya belum tenang, hatinya belum hening, masih suka membanding-bandingkan
antara orang yang satu dengan lainnya. Harusnya seorang pendeta itu lebih teduh
pandangannya, lebih arif pikirannya, dan lebih luhur budi pekertinya. Menghakimi
Resi Druna suka melacurkan diri jelas karena didorong perasaan amarah semata,
bukan hasil dari pemikiran bijaksana dilandasi hati yang jernih.
Resi Anoman tersinggung atas
ucapan adiknya. Ia pun menyerang Arya Wrekodara untuk memaksanya kembali. Arya
Wrekodara menghadapi serangan itu. Keduanya lalu berkelahi. Arya Wrekodara
berpikir jika dirinya melayani sang kakak angkat, maka cita-citanya pasti akan
tertunda. Maka, dengan cekatan Arya Wrekodara pun berhasil meloloskan diri dari
pertarungan, kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Samudera Minangkalbu.
Resi Anoman tersenyum melihat
kepergian adiknya. Ia berkata dirinya tadi hanyalah ingin mencoba keteguhan
tekad Arya Wrekodara saja. Melihat semangat yang kuat serta niat yang lurus
dari adiknya tersebut, ia pun berdoa semoga Arya Wrekodara mendapat
keberhasilan meraih cita-cita dan selalu dilindungi Tuhan Yang Mahakuasa.
ARYA WEKODARA MENCEBUR SAMUDERA MELAWAN NAGA NEMBURNAWA
Arya Wrekodara telah sampai di
tepi laut selatan. Tampak ombak bergulung-gulung membuat hatinya bergetar.
Sejak kecil dirinya kurang pandai berenang, namun kini terlanjur menyanggupi
untuk mencebur samudera, mencari keberadaan air kehidupan Tirta Pawitrasari
Mahening Suci. Pikirannya pun berbisik sebaiknya pulang saja dan meminta Resi
Druna memberikan tugas lainnya yang tidak berhubungan dengan air.
Tiba-tiba di atas kepala Arya
Wrekodara tampak seekor burung gagak dan seekor burung patukbawang sedang
terbang berputar-putar. Arya Wrekodara seolah-olah bisa mendengar mereka
berbicara tentang kematian. Mereka berkata bahwa hidup atau mati ada di tangan
Sang Pencipta. Mencebur ke dalam lautan bisa jadi tetap selamat, sedangkan
tidur di rumah bisa jadi tidak bangun lagi untuk selamanya. Arya Wrekodara
merasa tersindir. Sebagai kesatria ternyata ia kalah pemikiran dibanding dua
ekor burung kecil. Dengan membulatkan tekad, ia pun melompat sejauh-jauhnya,
dan tubuhnya pun mencebur ke dalam lautan.
Ternyata benar, Yang Mahakuasa
memberikan perlindungan kepadanya. Cincin Druwenda Mustika Manik Candrama
pemberian Batara Indra dan Batara Bayu telah membuat tubuh Arya Wrekodara
mengambang. Ia pun berjalan dengan kaki di dalam air menuju ke tengah. Semakin
lama, makin ke tengah menuruti bisikan kalbunya.
Tiba-tiba muncul sesosok
makhluk berwujud besar dan panjang menyambar tubuhnya. Makhluk tersebut
berwujud naga yang langsung membelitnya mulai kaki hingga leher. Arya Wrekodara
pun meronta-ronta. Namun, semakin meronta, belitan sang naga justru semakin
erat. Ketika mulut si naga hendak mencaplok kepalanya, Arya Wrekodara sempat
menangkap dan menusuk mulut tersebut menggunakan Kuku Pancanaka. Naga itu pun
mati dan bangkainya musnah dari pandangan.
ARYA WREKODARA BERTEMU DEWA RUCI
Setelah sang naga lenyap,
tubuh Arya Wrekodara digulung ombak besar. Ombak tersebut membuat dirinya
semakin menengah. Arya Wrekodara tidak lagi melawan saat tubuhnya
terombang-ambing bagaikan buih di lautan. Ia berserah diri sepenuhnya kepada
Tuhan Yang Mahakuasa ke mana dirinya akan dibawa. Ia sudah tidak merasakan
apa-apa lagi, bagaikan “mati sajeroning urip, urip sajeroning mati”.
Pada saat mencapai puncak
penyerahan diri itulah, Arya Wrekodara tiba-tiba dibangunkan oleh suara
seseorang. Ketika membuka mata tiba-tiba ia melihat perwujudan yang sama persis
seperti dirinya, tetapi ukuran tubuhnya kecil seukuran anak-anak. Orang itu
mengaku bernama Dewa Ruci.
Dewa Ruci berkata bahwa Tirta
Pawitrasari Mahening Suci yang dicari Arya Wrekodara ada pada dirinya. Arya
Wrekodara heran mengapa orang itu bisa mengetahui isi hatinya. Tidak hanya itu,
Dewa Ruci ternyata bisa menjelaskan riwayat perjalanan Arya Wrekodara dari awal,
lengkap dengan makna yang terkandung di dalamnya.
Mula-mula Arya Wrekodara pergi
mencari Kayu Gung Susuhing Angin di Gunung Candramuka, tepatnya di Gua
Sigrangga. Kayu Gung Susuhing Angin adalah kiasan dari manusia, yaitu tempat
keluar-masuknya udara. Gunung Candramuka adalah perlambang dari wajah yang
indah, sedangkan Gua Sigrangga adalah perlambang dari tubuh yang menawan.
Ditambah dengan Ditya Rukmuka adalah kiasan untuk keindahan muka, sedangkan Ditya
Rukmakala adalah kiasan untuk keindahan perhiasan.
Wajah yang indah, tubuh yang
menawan, ditambah dengan berdandan dan memakai perhiasan pula, baik itu bagi
kaum pria ataupun wanita adalah hal yang wajar. Karena, penampilan yang baik
akan membuat orang lain lebih menghormati. Akan tetapi, ada kalanya manusia
lebih mementingkan penampilan fisik daripada keindahan batin. Seringkali
manusia lupa diri, lebih banyak menghabiskan waktunya untuk memperbaiki jasmani
daripada rohani. Itulah sebabnya, setelah pertarungan berakhir, yang muncul
adalah Batara Indra dan Batara Bayu. Batara Indra adalah kiasan untuk panca
indra, sedangkan Batara Bayu adalah kiasan untuk napas. Peristiwa di Gunung
Candramuka adalah kiasan bahwa Arya Wrekodara telah mampu menundukkan godaan
panca indra untuk memperindah penampilan, serta mengatur olah napas untuk
mengendalikan pikiran yang liar.
Selanjutnya, Arya Wrekodara
dicegah saudara-saudaranya, yaitu Prabu Puntadewa, Raden Arjuna, Raden Nakula,
Raden Sadewa, ditambah dengan Resi Anoman. Mereka adalah perlambang saudara
gaib manusia, yaitu yang disebut “sedulur papat lima pancer”. Yang empat adalah
kawah, ari-ari, getih, dan puser. Mereka adalah empat saudara yang ikut lahir
bersama bayi melalui “marga ina” atau kelamin ibu. Secara fisik keempat saudara
ini telah mati, tetapi secara rohani mereka selalu menjaga si bayi siang dan
malam.
Keempat Pandawa pada mulanya
mencegah dan menghalangi, namun kemudian mereka bersama memasuki sanggar
pemujaan untuk mendoakan keselamatan Arya Wrekodara. Demikianlah kiasan dari
sedulur papat yang selalu memerhatikan keselamatan si manusia, tetapi jika
manusia membulatkan tekad menempuh bahaya, maka keempatnya akan tetap
melindungi dan mengusahakan keselamatannya.
Sementara itu, Resi Anoman
adalah kiasan dari sedulur pancer, yaitu Marmati, yang disebut juga Ratu
Jalu-Ratu Estri. Adapun Marmati ini tidak lahir melalui marga ina, tetapi lahir
melalui debaran dada sang ibu ketika hendak melahirkan. Marmati bersemayam di
dalam kalbu manusia, memberikan petunjuk siang dan malam. Umumnya manusia
menyebutnya sebagai hati nurani, sedangkan kaum negeri seberang menyebutnya
sebagai malaikat penjaga. Orang-orang yang menuruti hawa nafsu dalam menjalani
kehidupan disebut sebagai kaum angkara murka, yaitu orang-orang yang tidak mau
mendengar suara hati nurani. Mereka lebih suka mengumbar keinginan apa yang
terlihat oleh panca indra. Kaum seberang lautan menyebutnya dengan istilah
godaan setan.
Selanjutnya, Arya Wrekodara
mencebur ke tengah laut dan diserang seekor naga. Sesungguhnya naga tadi
bernama Naga Nemburnawa, yang merupakan kiasan dari hawa nafsu pribadi manusia.
Hawa nafsu sifatnya seperti ular yang mengikat dan membelit jiwa manusia agar
mengikuti kemauannya. Manusia yang menuruti hawa nafsu diibaratkan seperti
dibelit, diseret, dan dicaplok ular kepalanya. Itulah sebabnya legenda di Timur
Tengah mengisahkan iblis mengambil wujud ular saat menggoda Adam dan Hawa agar
melakukan dosa pertama. Bukan berarti ular adalah lambang keburukan, tetapi
ular adalah lambang nafsu yang mematuk dan membelit manusia.
Nemburnawa artinya sembilan
lubang. Sembilan lubang inilah yang hendaknya dijaga dengan baik oleh manusia
agar tidak semakin terjerumus ke dalam lembah nafsu keduniawian. Kesembilan
lubang tersebut adalah dua mata, dua telinga, dua hidung, satu mulut, satu
kemaluan, dan satu pembuangan. Dalam peristiwa tadi Arya Wrekodara berhasil
mengalahkan Naga Nemburnawa menggunakan Kuku Pancanaka, ini merupakan
perlambang seorang manusia yang telah mengheningkan cipta, menggenggam tekad, berhasil
membebaskan dirinya dari belitan hawa nafsu.
Selanjutnya, Arya Wrekodara
terombang-ambing digulung ombak. Tanpa melawan ia berserah diri. Demikianlah
hendaknya manusia. Setelah mampu memerangi hawa nafsu, hendaknya bersikap
rendah hati di hadapan sesama makhluk, dan berserah diri di hadapan Sang
Pencipta. Adakalanya seseorang merasa bangga setelah berhasil menundukkan
nafsunya. Tanpa ia sadari bahwa perasaan bangga itu justru membuatnya terbelit
oleh nafsu yang lain.
Manusia yang sempurna justru
yang bersikap rendah hati di hadapan sesama, dan berserah diri di hadapan Sang
Pencipta. Kemudian tubuh Arya Wrekodara yang terombang-ambing digulung ombak
tetapi tidak tenggelam adalah perlambang manusia yang tetap tenang menghadapi
pasang surut kehidupan, tetapi tidak sampai tenggelam, baik itu di dalam suka
ataupun duka.
ARYA WREKODARA MENDAPAT WEJANGAN DI DALAM DIRI SANG DEWA RUCI
Dewa Ruci lalu berkata kepada
Arya Wrekodara agar memasuki tubuhnya melalui telinga kiri apabila ingin
mendapatkan Tirta Pawitrasari Mahening Suci. Arya Wrekodara merasa bimbang.
Mana mungkin tubuhnya yang tinggi besar mampu memasuki tubuh Dewa Ruci yang
kecil mungil seperti itu? Dewa Ruci menjawab, jangankan hanya seorang
Wrekodara, sedangkan bumi, langit, bahkan seluruh alam semesta pun bisa muat di
dalam tubuh Dewa Ruci.
Arya Wrekodara baru sadar
dengan siapa dirinya kini sedang berhadapan. Ia tidak berani lagi berkaacak
pinggang, melainkan menyembah penuh hormat dan menggunakan bahasa halus
sehalus-halusnya. Padahal, selama ini ia selalu berdiri tegak dan berkacak
pinggang jika berhadapan dengan siapa saja, bahkan di depan Batara Guru
sekalipun.
Arya Wrekodara pun berserah diri
sepenuhnya. Dengan tenang ia memasuki telinga kiri Dewa Ruci. Sungguh ajaib,
keadaan di dalam tubuh Dewa Ruci ternyata luas sekali, bagaikan tanpa batas. Arya
Wrekodara sama sekali tidak dapat membedakan mana utara, mana selatan, mana
barat, mana timur. Suasana di dalam pun terang tetapi tidak menyilaukan. Tidak
ada matahari, tidak ada rembulan, juga tidak ada pelita. Hawa di sana pun tidak
panas, juga tidak dingin. Benar-benar menentramkan hati.
Terdengar kemudian suara Dewa
Ruci membimbing Arya Wrekodara. Mula-mula Arya Wrekodara melihat pemandangan
samudera luas tanpa tepi. Dewa Ruci pun berkata bahwa itu adalah gambaran
“wahananing tyas pribadi”. Itulah wujud perlambang luasnya kalbu manusia.
Namun, karena manusia lebih menuruti hawa nafsu, mereka pun banyak yang
berpikiran sempit, atau istilahnya berhati kecil.
Arya Wrekodara kemudian
melihat pemandangan cahaya samar-samar. Dewa Ruci menjelaskan bahwa itu adalah
Pancamaya yang merupakan “wahananing jantung” atau sejatinya kalbu. Sifatnya
sebagai pemuka, bersemayam di dalam cipta, dan mengendalikan indra penglihatan,
penciuman, pendengaran, pengecap, dan peraba.
Arya Wrekodara lalu melihat
cahaya empat macam, yaitu hitam, merah, kuning, dan putih. Dewa Ruci menyebut
itu adalah “wahananing budi”, yang mewujudkan nafsu empat perkara. Cahaya hitam
adalah kiasan untuk nafsu badaniah, yaitu membuat manusia merasa lapar, dahaga,
letih, dan mengantuk. Cahaya merah adalah nafsu angkara, membuat manusia ingin
meraih cita-cita derajat lebih tinggi. Cahaya kuning adalah kiasan nafsu
keinginan. Nafsu ini mendorong manusia untuk meraih kegembiraan, baik itu
melalui birahi, maupun melalui kegemaran mengumpulkan barang kesukaan, ataupun
menikmati hiburan lainnya. Cahaya putih adalah perlambang nafsu pemujaan. Nafsu
ini mendorong manusia untuk ingin berbuat baik, ataupun ingin bersembahyang dan
beribadah. Keempat nafsu tersebut ibaratnya menjadi bahan bakar bagi manusia,
tetapi harus dikendalikan dengan baik dan tidak berlebihan. Karena segala
sesuatu yang berlebihan akan menjadi racun bagi kehidupan.
Arya Wrekodara kemudian
melihat cahaya yang menyala seperti api, namun memancarkan sinar tujuh warna,
yaitu hitam, merah, kuning, putih, hijau, biru, dan jingga. Dewa Ruci menyebut
itu adalah “wahananing Pangeran” atau “cahyaning pramana”. Kedelapan sinar itu
merupakan perlambang dari kuasa penciptaan. Sinar hitam menunjukkan “nisthaning
cipta”, sinar merah menunjukkan “dhustaning cipta”, sinar kuning menunjukkan
“doraning cipta”, sinar putih menunjukkan “setyaning cipta”, sinar hijau
menunjukkan “sentosaning cipta”, sinar biru menunjukkan “sembadaning cipta”,
dan sinar jingga menunjukkan “owah-gingsiring cipta”.
Arya Wrekodara lalu melihat
wujud seperti tawon gumana, jernih cahayanya. Dewa Ruci menjelaskan itu adalah
perlambang “pramananing sukma”, meliputi jagad besar dan jagad kecil, yang
sumber kehidupannya dari “pramananing rasa”.
Arya Wrekodara kemudian
melihat wujud seperti boneka gading yang jika diamati seperti bertahtakan
mutiara. Wujudnya bersinar terang benderang. Dewa Ruci menyebut itulah yang
dinamakan “pramananing rahsa” yang berkuasa atas “purba wasesa” terhadap alam
seisinya, mendapat hidup dari Sang Hyang Atma.
Terakhir Arya Wrekodara
melihat wujud sifat tunggal, bukan laki-laki juga bukan perempuan. Tidak
bertempat juga tidak bertakhta. Tanpa rupa dan tanpa warna. Cahayanya gilang-gemilang
tanpa bayangan. Dewa Ruci menyebut itu adalah “Atma Gaib, Sipat Sejati”. Dialah
yang kuasa mengatur alam semesta, bertempat di dalam “Sang Urip”.
Arya Wrekodara merasa nyaman
tinggal di dalam diri Sang Dewa Ruci. Ingin rasanya ia selamanya tinggal di
sana. Dewa Ruci berkata bahwa belum saatnya Arya Wrekodara menyatu dengan
diri-Nya. Masih banyak yang harus ia lakukan di alam nyata. Untuk itu, Arya
Wrekodara harus kembali ke dunia untuk menyebarkan kasih sayang di antara
sesama makhluk, tanpa melihat perbedaan dari jenis apa, suku apa, bangsa apa,
agama apa, ataupun golongan apa pun juga.
Arya Wrekodara menurut. Ia pun
keluar melalui telinga kanan Dewa Ruci. Sungguh ajaib, saat keluar rambutnya
telah digelung, tidak lagi terurai seperti tadi. Dewa Ruci kini juga berwujud
sama persis seperti dirinya, karena Dewa Ruci memang perwujudan jati dirinya
sendiri.
Dewa Ruci menjelaskan mengapa
kini Arya Wrekodara memakai gelung minangkara, adalah perlambang agar ia selalu
rendah hati dan berserah diri. Gelung minangkara berwujud rendah di depan,
tinggi di belakang, atau kecil di depan, besar di belakang. Meskipun Arya
Wrekodara telah mempelajari ilmu Sangkan Paraning Dumadi, pernah merasakan
Manunggaling Kawula Gusti, namun hendaknya tetap rendah hati, tidak menunjukkan
keberhasilannya di depan umum. Arya Wrekodara tidak boleh tinggi hati, juga
tidak boleh pamer kepandaian. Hendaknya Arya Wrekodara tetap menjadi manusia
sejati, yaitu rendah hati di hadapan sesama, dan berserah diri di hadapan Sang
Pencipta.
Demikianlah, Dewa Ruci telah
menjelaskan semuanya. Ia berpesan agar Arya Wrekodara selalu menghormati Resi
Druna yang merupakan gurunya di alam nyata. Tanpa perintah dari Resi Druna,
tidak mungkin Arya Wrekodara dapat bertemu dengan Dewa Ruci. Usai berkata
demikian, ia pun menghilang menjadi seberkas cahaya dan masuk ke dalam diri
Arya Wrekodara.
RESI DRUNA MENYUSUL ARYA WREKODARA
Raden Permadi sangat
mengkhawatirkan keselamatan kakak keduanya. Ia pun bergegas menuju Kerajaan
Hastina dan di tengah jalan bertemu Resi Druna yang hendak pulang ke Padepokan
Sokalima. Dengan isak tangis, Raden Permadi meminta sang guru bertanggung jawab
apabila Arya Wrekodara tidak kembali ke daratan. Resi Druna harus menyusul mencebur
ke dalam samudera.
Resi Druna kecewa di dalam
hati karena dulu pernah membangga-banggakan Raden Permadi sebagai murid
terbaiknya. Tak disangka, sang murid justru meminta dirinya mencebur ke laut.
Akan tetapi, jika dipikir-pikir memang Resi Druna adalah penyebab terjerumusnya
Arya Wrekodara. Ia pun berkata jika lewat tengah hari Arya Wrekodara belum juga
kembali, maka dirinya bersedia mencebur samudera untuk menyusul muridnya itu.
Akhirnya, matahari pun mulai
condong ke barat. Resi Druna bergegas menuju ke lautan dengan diikuti Raden
Permadi. Begitu sampai di tepi pantai, ia langsung melompat untuk mencebur ke
air. Tiba-tiba Arya Wrekodara muncul dari dalam lautan dan langsung menangkap
tubuh sang guru.
Arya Wrekodara menggendong
tubuh Resi Druna naik ke daratan dan disambut haru oleh Raden Permadi. Arya
Wrekodara mengaku dirinya telah mendapatkan air Tirta Pawitrasari Mahening
Suci, tetapi tidak berwujud benda, melainkan berwujud pengalaman rohani bersama
Dewa Ruci. Ia sangat berterima kasih kepada Resi Druna yang telah memberikan
petunjuk kepadanya.
Resi Druna salah tingkah.
Awalnya ia ditugasi menjerumuskan muridnya itu tapi ternyata sang murid justru
mendapatkan anugerah yang tak ternilai harganya. Resi Druna pun merasa ikut bahagia.
Ia mengajak Arya Wrekodara dan Raden Permadi untuk berdoa bersama, memanjatkan
puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena semuanya kini berakhir
dengan baik.
Arya Bimasena awal berjumpa Dewa Ruci. |
Arya Bimasena setelah keluar dari dalam tubuh Dewa Ruci. |
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
Kisah para Pandawa nyaris terbakar di Balai Sigala-gala dapat dibaca di sini
Kisah Prabu Duryudana muda dan Arya Wrekodara berguru kepada Wasi
Jaladara dapat dibaca di sini
Mantap lur
BalasHapusMantap gan
BalasHapusMantap gan
BalasHapus🔝
BalasHapusMantap, terimakasih wedarannya
BalasHapusMantap jiwa ulasannya, terimakasih, barokalloh .....
BalasHapusmathur sembah nuwun,,, 🙏 🙏 🙏 🙏 🙏 🙏 🙏 🙏 🙏
BalasHapusLuar biasa..
BalasHapusManfaat...
BalasHapusKeren
BalasHapusInilah ilmu yang bnyak didapatkan dari pewayangan..
BalasHapuskeren luuuuurrr,,
BalasHapusbermanfaat, banyak ilmu yg bisa dipetik dari lako2 wayang kulit
Terimakasih untuk penejelasannya.
BalasHapuscrita wayang yang banyak tersirat ilmu kehidupan. Ingin saya pahami namun tidak mengerti dan memahami bahasa oewayangan. Terimakasih telah mentercemahkannya. Sebaik²nya ilmu adalah ilmu yang bermanfaat bagi sesama. Semoga ilmu anda membawa berkah bagi anda dan pembacanya. Amin
Mantab-mantab
BalasHapusMatur nuwun
BalasHapusMatur nuwun Mas atas sharing ceritanya. Sarat dan penuh makna. Matur nuwun..
BalasHapusJossshhh
BalasHapusUraian yg cukup detail
BalasHapusTerimakasih barokah 🙏🙏🙏
Baru tau ada yg kyak gini...sangat bermanfaat...sangat membantu utk generasi sprti saya (jawa perantauan) yg pngen tau cerita wayang tpi gk ngrti bhasa pwayangan..😁 maju terus..mntaabb 👍
BalasHapusmatur sembah nuwun.. penuh sarat makna kaliyan menambah ilmu kulo..
BalasHapusMantap lur
BalasHapusMencerahkan....!! terimakasih..
BalasHapusBagus sekali, terimakasih
BalasHapusWah seneng bgt bisa tahu sejarah pewayangan dari awal sampai akhir.jozz pak
BalasHapusSubkhanaallaaah
BalasHapus