Kisah ini menceritakan Prabu Duryudana menjamu Arya Wrekodara dengan
hidangan beracun. Namun, Arya Wrekodara bukannya mati tetapi justru meningkat
pesat kekuatannya, yaitu setara dengan seratus gajah.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabharata karya Resi Wyasa,
yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti
Suryasaputra, dengan pengembangan seperlunya.
Kediri, 09 Januari 2017
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Bondan Paksajandu |
PRABU DURYUDANA HENDAK MERACUN ARYA WREKODARA
Prabu Duryudana di Kerajaan
Hastina memimpin pertemuan dihadap Resi Druna dari Sokalima, Adipati Karna dari
Awangga, Patih Sangkuni dari Plasajenar, serta para Kurawa lainnya yang
dipimpin Arya Dursasana. Dalam pertemuan itu Prabu Duryudana membahas kegagalan
Resi Druna dalam upaya menjerumuskan Arya Wrekodara agar tewas. Mula-mula Resi
Druna memerintahkan Arya Wrekodara untuk mencari Kayu Gung Susuhing Angin di
Gunung Candramuka dengan harapan agar Pandawa nomor dua itu mati dibunuh Ditya
Rukmuka dan Ditya Rukmakala. Namun, bukannya mati, Arya Wrekodara justru
berhasil meruwat kedua raksasa itu kembali ke wujud dewa, yaitu Batara Indra
dan Batara Bayu. Bahkan, Arya Wrekodara juga mendapat hadiah cincin pusaka
Sesotya Druwenda Mustika Manik Candrama dari mereka.
Rencana kedua, Resi Druna
memerintahkan Arya Wrekodara agar mencebur ke dalam Samudera Minangkalbu untuk
mencari air kehidupan Tirta Pawitrasari Mahening Suci. Namun, bukannya mati,
Arya Wrekodara justru berjumpa dengan guru sejatinya, yaitu Dewa Ruci, dan
mendapat pelajaran ilmu Sangkan Paraning Dumadi, Sejatining Urip darinya. Itu
berarti, Resi Druna telah gagal menjerumuskan Arya Wrekodara ke dalam maut, dan
sebaliknya justru membuat Panenggak Pandawa itu meraih apa yang menjadi
cita-citanya.
Prabu Duryudana sangat kecewa
pada Resi Druna. Oleh sebab itu, ia telah menyusun rencana lain bersama Patih
Sangkuni, yaitu membunuh Arya Wrekodara melalui perjamuan beracun. Patih
Sangkuni sudah menyiapkan racun darubeksi yang ganas tiada tara dan dicampur
dengan makanan untuk Arya Wrekodara. Prabu Duryudana juga telah mengutus Raden
Kartawarma pergi ke Kerajaan Amarta, tepatnya di Kesatrian Jodipati untuk
menjemput Arya Wrekodara. Alasannya ialah, Prabu Duryudana mengundang Arya
Wrekodara untuk menggelar acara syukuran karena sepupunya itu telah berhasil
mendapatkan ilmu Sangkan Paraning Dumadi dari Dewa Ruci. Arya Wrekodara seorang
yang gemar makan, pasti tidak akan menolak undangan perjamuan macam ini.
Mendengar itu, Adipati Karna
menyela ikut bicara. Ia sama sekali tidak setuju jika Prabu Duryudana
menggunakan cara licik untuk membunuh Arya Wrekodara. Meskipun Arya Wrekodara
adalah adik tirinya, namun apabila Prabu Duryudana memerintahkan agar ia pergi menggempur
Kesatrian Jodipati, pasti dirinya akan berangkat tanpa ragu. Sungguh Adipati
Karna sangat menyayangkan nama baik Prabu Duryudana akan tercemar, bahwa raja
Hastina yang perkasa telah membunuh Arya Wrekodara menggunakan racun.
Prabu Duryudana menjadi
bimbang. Ia lalu meminta pendapat Patih Sangkuni. Sang paman pun menjawab bahwa
dirinya tidak meragukan kesaktian Adipati Karna. Namun, perang secara terbuka
sangat merugikan, karena akan banyak menghabiskan biaya. Belum lagi berapa
nantinya jumlah prajurit yang terbunuh, itu juga perlu diperhitungkan.
Prabu Duryudana merasa mantap setelah
mendengar penjelasan Patih Sangkuni. Ia pun memutuskan akan tetap membunuh Arya
Wrekodara melalui perjamuan beracun. Pembunuhan dengan cara seperti ini jauh
lebih menguntungkan daripada melalui peperangan.
Karena tekad Prabu Duryudana
sudah bulat, Adipati Karna pun mohon pamit pulang ke Kadipaten Awangga. Ia
tidak mau sejarah mencatat namanya terlibat dalam acara perjamuan beracun tersebut.
Usai berkata demikian, ia lalu bergegas keluar istana.
Resi Druna juga berpikiran
sama. Arya Wrekodara adalah muridnya. Ia akan sangat bangga apabila melihat
muridnya itu gugur dalam pertempuran. Sebaliknya, ia akan sangat menyesal
apabila melihat Arya Wrekodara mati karena diracun. Oleh sebab itu, Resi Druna
juga mohon pamit pulang ke Padepokan Sokalima.
Setelah Adipati Karna dan Resi
Druna pergi, Prabu Duryudana segera memerintahkan dua orang Kurawa untuk
mengawasi mereka. Raden Surtayu ditugasi untuk mengikuti Adipati Karna dari
belakang, sedangkan Raden Durmuka diperintahkan untuk mengawasi Resi Druna.
Mereka harus memastikan bahwa kedua orang itu tidak berbelok ke Kerajaan Amarta
dan membocorkan rencana Prabu Duryudana kepada para Pandawa. Kedua Kurawa itu
pun menyatakan siap dan mohon pamit berangkat menjalankan tugas.
Patih Sangkuni lalu berkata
bahwa dirinya juga akan bersembunyi tidak ikut menghadiri perjamuan. Dahulu
kala dia pernah berusaha membunuh para Pandawa melalui peristiwa kebakaran
Balai Sigala-gala. Maka, apabila dirinya muncul dalam acara perjamuan nanti,
Arya Wrekodara pasti akan menaruh curiga sehingga tidak bersedia memakan
hidangan. Prabu Duryudana setuju dan mempersilakan Patih Sangkuni jika ingin
bersembunyi.
Setelah Patih Sangkuni pergi,
Raden Kartawarma pun datang bersama Arya Wrekodara. Prabu Duryudana menyambut
Pandawa nomor dua itu dan memeluknya dengan ramah. Ia mengucapkan selamat atas
keberhasilan Arya Wrekodara mempelajari ilmu Sangkan Paraning Dumadi dari Dewa
Ruci. Untuk itu, ia telah menyiapkan pesta syukuran di sebuah pesanggrahan
dekat hutan wisata Pramanakoti.
Arya Wrekodara terharu atas
kebaikan hati Prabu Duryudana. Ia tidak menyangka bahwa dulu mereka sering
bertengkar dan berkelahi, tetapi kini justru menjadi teman baik. Prabu
Duryudana menjawab dirinya menyesal dulu sering berbuat jahat kepada para
Pandawa. Sejak sama-sama berguru ilmu gada kepada Wasi Jaladara (Prabu Baladewa
muda) di Gunung Rewataka, sejak itulah Prabu Duryudana ingin melupakan
permusuhan dengan Arya Wrekodara.
Prabu Duryudana lalu mengajak
Arya Wrekodara segera berangkat menuju Pesanggrahan Pramanakoti. Prabu
Duryudana lebih dulu meminta Arya Wrekodara agar meninggalkan pusakanya, yaitu
Gada Rujakpolo di istana Hastina saja, karena tidak pantas rasanya jika pergi
ke acara perjamuan sambil membawa senjata. Arya Wrekodara setuju karena Prabu
Duryudana dan para Kurawa lainnya juga tidak ada yang membawa senjata. Maka, ia
pun menyandarkan Gada Rujakpolo di bawah pohon beringin yang berdiri di tengah
alun alun Kerajaan Hastina.
PRABU DURYUDANA MENJAMU ARYA WREKODARA DENGAN HIDANGAN BERACUN
Prabu Duryudana dan Arya
Wrekodara telah sampai di Pesanggrahan Pramanakoti, di mana hidangan beraneka
macam telah tersedia. Arya Wrekodara heran dan bertanya mengapa dirinya tidak
melihat Patih Sangkuni yang biasanya selalu bersama para Kurawa. Prabu
Duryudana menjawab Patih Sangkuni menolak hadir karena dirinya tidak setuju
pada acara perjamuan ini. Menurut Patih Sangkuni, seharusnya para Pandawa itu
dimusuhi, bukannya diajak berteman. Namun, Prabu Duryudana tidak peduli dan
tetap mengadakan pesta syukuran demi memberikan penghormatan atas keberhasilan Arya
Wrekodara.
Prabu Duryudana mengaku sangat
malu jika teringat peristiwa beberapa tahun yang lalu. Saat itu ia termakan
hasutan Patih Sangkuni untuk membakar para Pandawa di dalam Balai Sigala-gala.
Sungguh dirinya merasa sangat menyesal karena melakukan kejahatan besar seperti
itu. Kini ia sadar bahwa Kurawa dan Pandawa bukan musuh, melainkan masih
sama-sama cucu Bagawan Abyasa. Tentunya sangat tidak pantas apabila sesama
saudara saling bunuh. Apalagi kedua pihak sudah sama-sama sepakat membagi dua Kerajaan
Hastina, di mana para Pandawa mendapatkan Hutan Wanamarta yang kini telah
dibuka menjadi Kerajaan Amarta.
Arya Wrekodara berkata soal
Balai Sigala-gala tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Yang lalu biarlah berlalu.
Yang terpenting saat ini adalah kedua pihak sudah rukun dan tidak berselisih
lagi. Arya Wrekodara juga bersyukur Prabu Duryudana telah menyadari kejahatan
Patih Sangkuni. Akan lebih baik apabila Patih Sangkuni dipecat saja dan
dipulangkan ke Kerajaan Gandaradesa untuk selamanya. Prabu Duryudana menjawab
soal pemecatan adalah urusan mudah. Yang penting saat ini ia ingin mengajak
Arya Wrekodara berpesta menikmati hidangan yang sudah tersedia.
Demikianlah, Arya Wrekodara
mulai memakan hidangan sambil mendengarkan alunan musik gamelan. Dalam sekejap,
racun darubeksi dalam hidangan tersebut langsung bekerja. Seketika Arya
Wrekodara merasa pusing dan matanya berkunang-kunang. Akhirnya, ia pun jatuh pingsan
tak sadarkan diri.
ARYA WREKODARA DICEBURKAN KE DALAM SUMUR JALATUNDA
Prabu Duryudana memerintahkan
Arya Dursasana untuk membunuh Arya Wrekodara yang masih pingsan dan belum juga
mati. Arya Dursasana segera mengayunkan pedangnya beberapa kali namun tidak
mempan melukai kulit Arya Wrekodara yang ulet dan keras. Prabu Duryudana lalu
memerintahkan agar Arya Wrekodara langsung dikubur saja, biar nanti mati
sendiri di dalam tanah.
Arya Dursasana tidak setuju.
Daripada susah payah menggali kuburan, akan lebih baik jika tubuh Arya
Wrekodara dibuang ke dalam Sumur Jalatunda yang letaknya tidak jauh dari pesanggrahan.
Konon menurut kabar, Sumur Jalatunda ini sangat menyeramkan karena dihuni
ribuan ular berbisa. Jadi, apabila racun darubeksi tidak bisa menewaskan Arya
Wrekodara, maka racun ular-ular itulah yang akan membuat nyawanya melayang.
Prabu Duryudana setuju. Namun,
ia teringat bahwa Arya Wrekodara tidak dapat tenggelam saat kemarin mencebur ke
dalam Samudera Minangkalbu. Oleh sebab itu, Prabu Duryudana pun memerintahkan
para Kurawa agar mengikat tangan dan kaki Arya Wrekodara serta memberinya
pemberat berupa bandul-bandul bebatuan. Dengan demikian, tubuh Arya Wrekodara
pasti tenggelam dan tidak mengambang di air sumur.
Demikianlah, perintah Prabu
Duryudana pun dilaksanakan. Arya Dursasana beserta adik-adiknya menggotong
tubuh Arya Wrekodara yang sudah diikat dan dipasangi batu pemberat. Tubuh
tinggi besar itu lalu dilemparkan masuk ke dalam Sumur Jalatunda yang sangat
dalam tiada tara.
MUNCULNYA DUA RAKSASA MENGAMUK PARA KURAWA
Prabu Duryudana dan adik-adiknya
lalu pulang ke istana. Sesampainya di sana, mereka melihat Gada Rujakpolo milik
Arya Wrekodara masih tersandar di alun alun. Prabu Duryudana ingin sekali
memiliki gada pusaka warisan Adipati Kangsa tersebut. Ia pun memerintahkan Arya
Dursasana untuk mengangkat dan memindahkan Gada Rujakpolo ke dalam gedung
pusaka Hastina.
Arya Dursasana mendatangi gada
tersebut dan mencoba mengangkatnya tetapi ternyata begitu berat. Ia berusaha
sekuat tenaga, namun semakin diangkat, Gada Rujakpolo terasa makin berat. Prabu
Duryudana ingin mencoba sendiri namun ternyata ia juga tidak mampu mengangkat
gada tersebut. Para Kurawa yang lain lalu bersama-sama hendak menggotong Gada
Rujakpolo, namun gada tersebut tidak bergerak sama sekali.
Sungguh tidak disangka, entah
dari mana datangnya tiba-tiba muncul dua raksasa siluman yang mengamuk
menerjang para Kurawa. Kedua raksasa itu mengaku bernama Ditya Sanggabumi dan
Ditya Sanggalangit. Mereka berdua seolah menjaga Gada Rujakpolo agar jangan
sampai jatuh ke tangan orang yang tidak berhak. Para Kurawa pun kocar-kacir
berhamburan karena tidak mampu menghadapi amukan kedua raksasa tersebut. Prabu
Duryudana akhirnya mengajak adik-adiknya mundur daripada jatuh korban jiwa.
Begitu para Kurawa masuk ke
dalam istana dan tidak lagi mendekati Gada Rujakpolo, kedua raksasa itu pun
tiba-tiba lenyap dari pandangan.
ARYA WREKODARA BERTEMU BATARA BASUKI
Sementara itu, Arya Wrekodara
yang diceburkan ke dalam Sumur Jalatunda dalam keadaan pingsan dan terikat
langsung tenggelam di dalam air, karena tubuhnya diberi bandul-bandul batu pemberat.
Sumur tersebut memang dihuni kawanan ular berbisa. Begitu melihat ada sesosok
tubuh yang tercebur ke dalam air, kawanan ular tersebut langsung meluncur
mematuk dan menggigit Arya Wrekodara. Bisa di mulut mereka pun masuk ke dalam
aliran darah pada tubuh Pandawa nomor dua tersebut.
Sungguh di luar dugaan, Arya
Wrekodara tidak mati melainkan justru bangun dari pingsan. Rupanya bisa milik
para ular berlawanan sifat dengan racun darubeksi yang telah ditelan Arya
Wrekodara. Demikianlah, racun dilawan dengan racun justru menjadi tawar. Arya
Wrekodara pun berontak memutus ikatan pada tubuhnya dan bertarung melawan
kawanan ular yang menyerangnya itu. Ular-ular tersebut kewalahan dan meluncur
pergi untuk menyelamatkan diri.
Tiba-tiba muncul seorang dewa
menghentikan pertempuran di antara mereka. Dewa tersebut tidak lain adalah
Batara Basuki yang juga sesembahan para ular penghuni sumur. Arya Wrekodara
sendiri agak bimbang apa benar dewa di hadapannya adalah Batara Basuki, karena
cerita yang pernah ia dengar mengatakan bahwa Batara Basuki telah menitis
kepada Prabu Baladewa di Kerajaan Mandura.
Batara Basuki menjelaskan
bahwa dirinya telah meninggalkan tubuh Prabu Baladewa untuk sementara waktu
karena mendapat tugas dari Batara Guru agar menyerahkan anugerah pusaka kepada
Arya Wrekodara. Pusaka tersebut berwujud air kekuatan, bernama Tirta Manik
Rasakunda. Pusaka ini disimpan oleh Batara Basuki sehingga dewa lain tidak
berhak untuk menyerahkannya. Barangsiapa mampu menghabiskan air tersebut dalam
satu kendi tanpa sisa, maka kekuatannya akan meningkat menjadi setara dengan
sepuluh ekor gajah.
Batara Basuki lalu menyerahkan
satu kendi kepada Arya Wrekodara. Dengan tenang Arya Wrekodara menerima kendi itu
dan meneguk isinya sampai habis. Batara Basuki merasa kagum bercampur senang.
Ia pun menyerahkan kendi kedua yang isinya langsung habis pula ditenggak oleh Arya
Wrekodara. Begitu pula kendi ketiga, keempat, hingga akhirnya kendi kesepuluh pun
isinya habis semua, masuk ke dalam perut Arya Wrekodara.
Batara Basuki kagum atas
kemampuan Arya Wrekodara meneguk habis Tirta Manik Rasakunda sampai sepuluh kendi
berturut-turut. Padahal, air pusaka ini rasanya sangat pahit melebihi jamu yang
paling pahit. Kini air di dalam sepuluh kendi itu telah berpindah ke dalam
perut Arya Wrekodara. Itu artinya, kekuatan Sang Panenggak Pandawa telah
meningkat setara dengan seratus ekor gajah. Batara Basuki pun menasihati Arya
Wrekodara agar selalu menjaga diri dalam kebenaran, dan tidak menggunakan kekuatannya
untuk berbuat jahat.
ARYA WREKODARA BERUBAH MENJADI ANAK KECIL
Arya Wrekodara berterima kasih
atas kebaikan dewata menganugerahkan Tirta Manik Rasakunda kepada dirinya. Di
sisi lain ia sangat kecewa terhadap Prabu Duryudana yang telah mengkhianati
persaudaraan. Memang sejak kecil antara Arya Wrekodara dan Prabu Duryudana sulit
rukun dan lebih sering berkelahi. Hingga pada akhirnya, mereka berdua bisa
berdamai juga setelah sama-sama berguru ilmu gada kepada Wasi Jaladara (Prabu
Baladewa muda) di Gunung Rewataka. Sejak peristiwa itulah, hubungan antara
mereka berdua membaik dan tidak lagi bermusuhan.
Tak disangka, Prabu Duryudana
kini mengkhianati persaudaraan dengan meracuni makanan Arya Wrekodara. Tanpa
rasa curiga sedikit pun, Arya Wrekodara melahap makanan yang dihidangkan tadi
sehingga terkena racun. Untung saja, ia digigit kawanan ular berbisa di dalam
sumur. Berkat kejadian itu, racun darubeksi dalam tubuhnya pun menjadi tawar.
Dalam hal ini Arya Wrekodara
merasa heran, mengapa dirinya yang telah berhasil bertemu dengan Dewa Ruci dan
menerima pelajaran ilmu tertinggi darinya, ternyata masih juga bisa tertipu oleh
muslihat Prabu Duryudana? Mengapa diriya yang pernah mengalami Manunggaling
Kawula Gusti ternyata masih bisa mendapat celaka juga?
Batara Basuki menjawab bahwa
selama Arya Wrekodara masih berwujud manusia, atau selama masih memiliki kulit
dan daging, maka ia tidak akan bisa terhindar dari sifat lupa, sial, marah, dan
rusak. Meskipun seseorang memiliki ilmu setinggi langit, baik itu ilmu duniawi
ataupun ilmu agama, tetap saja tidak akan luput dari cobaan Tuhan Yang
Mahakuasa. Ilmu pengetahuan agama dan duniawi memang berguna untuk meraih
keselamatan hidup, namun bukan berarti menjamin hidup pasti selamat. Selamat
atau tidaknya seseorang bukan tergantung dari berapa banyak ilmu yang ia
hafalkan, tetapi tergantung pada sebaik apa ia mengamalkan ilmunya itu. Sekali
lagi, keselamatan hidup bukan ditentukan oleh hafalan ilmu, tetapi ditentukan
oleh apakah ilmu tersebut sudah diamalkan dengan cara yang benar.
Arya Wrekodara memahami
perkataan Batara Basuki, bahwa menguasai ilmu tertinggi tidak menjamin
keselamatannya. Pepatah mengatakan, “ngelmu iku kelakone kanthi laku”, atau
“ilmu itu dapat berguna apabila diamalkan”. Selain itu, memiliki ilmu setinggi
langit saja tidak cukup, melainkan harus tetap disertai watak “eling lan
waspada” di setiap saat. Dengan demikian, barulah Arya Wrekodara dapat meraih
keselamatan yang sejati, bukan keselamatan yang sifatnya semu.
Setelah semuanya jelas, Arya
Wrekodara pun berniat kembali ke permukaan untuk membalas dendam kepada Prabu
Duryudana dan para Kurawa. Batara Basuki berkata bahwa membalas dendam hanya
akan melahirkan masalah baru. Hidup itu bukan soal balas-membalas, tetapi yang
terpenting adalah bagaimana caranya untuk tetap tegar meskipun dihantam permasalahan.
Oleh sebab itu, Batara Basuki menyarankan agar Arya Wrekodara “memberi
pelajaran” kepada para Kurawa, bukannya “membalas dendam”. Membalas dendam
dengan memberi pelajaran adalah dua hal yang berbeda. Membalas dendam bertujuan
untuk menyakiti, sedangkan memberi pelajaran bertujuan untuk membangkitkan pemahaman
agar si pelaku tidak mengulangi dosa-dosanya.
Arya Wrekodara bertanya
bagaimana caranya memberikan pelajaran untuk para Kurawa. Batara Basuki tidak
menjawab, melainkan membelit tubuh kesatria gagah itu dengan kencang sambil mengerahkan
kesaktiannya. Sungguh ajaib, begitu Batara Basuki membuka belitannya, tubuh
Arya Wrekodara kini berubah menjadi seorang anak kecil. Melalui tubuh kecil
inilah hendaknya ia memberikan pelajaran kepada Prabu Duryudana dan
adik-adiknya.
Arya Wrekodara bertanya
mengapa dirinya harus diubah dalam wujud anak kecil jika hanya untuk memberi
pelajaran kepada para Kurawa. Batara Basuki menjawab dengan wujud tersebut Arya
Wrekodara tidak akan dikenali dan ia dapat masuk ke wilayah Kerajaan Hastina
tanpa menimbulkan kecurigaan. Selain itu, anak kecil adalah perlambang
kepolosan, perlambang kejujuran. Prabu Duryudana yang bersifat serakah, munafik,
dan penuh kepalsuan akan lebih malu jika dikalahkan seorang anak kecil.
Arya Wrekodara dapat memahami.
Batara Basuki pun memberikan nama samaran untuknya, yaitu Bondan Paksajandu.
Setelah dirasa cukup, Batara Basuki dan Arya Wrekodara bersama-sama naik ke
atas permukaan sumur. Batara Basuki menuju Kerajaan Mandura untuk kembali
menyatu dengan Prabu Baladewa, sedangkan Arya Wrekodara alias Bondan Paksajandu
menuju Kerajaan Hastina untuk memberi pelajaran kepada para Kurawa.
RADEN PERMADI MENYAMAR SEBAGAI JAKA DULIT
Sementara itu, di ibu kota
Hastina telah berdiri sebuah pasar baru. Dewi Dursilawati adik bungsu para
Kurawa berjalan-jalan dengan suaminya, yaitu Adipati Jayadrata dari Banakeling
di dalam pasar tersebut. Hingga akhirnya mereka sampai pada sebuah lapak
penjual kapur sirih milik seorang pemuda bernama Jaka Dulit.
Jaka Dulit memiliki empat
orang pembantu yang melayani para pembeli. Ketika Dewi Dursilawati memilih
kapur sirih yang diinginkannya, para pembantu itu mempersilakan untuk langsung masuk
ke dalam lapak saja. Dewi Dursilawati pun menurut dan masuk ke dalam. Ketika
Adipati Jayadrata hendak ikut masuk, para pembantu itu menghalangi dan
mengajaknya bercakap-cakap sambil bercanda.
Di dalam lapak, Dewi
Dursilawati bertemu Jaka Dulit. Pemuda itu berbisik dan mengaku terus terang bahwa
dirinya adalah samaran Raden Permadi, Sang Panengah Pandawa. Dewi Dursilawati
gembira bertemu dengan sepupunya itu, namun ia dilarang bersuara keras. Raden
Permadi sengaja menyamar sebagai Jaka Dulit adalah untuk mencari hiangnya sang
kakak kedua, yaitu Arya Wrekodara.
Raden Permadi mendengar kabar
bahwa, Arya Wrekodara di Kesatrian Jodipati dijemput oleh Raden Kartawarma yang
membawa undangan dari Prabu Duryudana untuk pesta bersama. Raden Permadi merasa
curiga dan berangkat menyusul ke Kerajaan Hastina untuk menyelidiki apa yang
sedang terjadi. Ia merasa aneh karena tumben Prabu Duryudana mengundang
kakaknya untuk berpesta. Karena takut menimbulkan kecurigaan, Raden Permadi pun
menyamar sebagai penjual kapur sirih bernama Jaka Dulit, sedangkan para
panakawan menjadi pembantunya. Sungguh kebetulan Dewi Dursilawati pergi
berbelanja di pasar, sehingga Raden Permadi bisa mencari keterangan darinya.
Dewi Dursilawati yang berwatak
polos dan jujur pun berterus terang bahwa dirinya sempat mendengar dari sang
suami bahwa Prabu Duryudana telah mengundang Arya Wrekodara untuk dijamu dengan
makanan dan minuman serbalezat di Pesanggrahan Pramanakoti. Namun, kemudian
Arya Wrekodara jatuh pingsan dan digotong entah ke mana. Hanya itu saja yang
diketahui Dewi Dursilawati.
Tiba-tiba Adipati Jayadrata
melabrak masuk. Ia menuduh Jaka Dulit sedang merayu istrinya. Dewi Dursilawati
menjelaskan bahwa mereka berdua hanya bercakap-cakap saja. Adipati Jayadrata
tetap tidak terima karena istrinya bercakap-cakap dengan pria tak dikenal. Dewi
Dursilawati hampir saja mengatakan jati diri Jaka Dulit adalah Raden Permadi,
namun Jaka Dulit buru-buru menarik lengannya.
Adipati Jayadrata bertambah
marah dan menyerang Jaka Dulit. Keduanya lalu bertarung seru di luar lapak.
Jaka Dulit unggul dan dapat mengalahkan lawan. Adipati Jayadrata merasa malu dan
ia pun bergegas pulang ke istana dengan menggandeng Dewi Dursilawati.
BONDAN PAKSAJANDU MENGANGKAT GADA RUJAKPOLO
Sementara itu, Bondan
Paksajandu telah sampai di alun alun Kerajaan Hastina. Prabu Duryudana heran
melihat ada anak kecil yang berkacak pinggang di hadapannya. Anak kecil itu
berkata bahwa dirinya mendengar berita tentang Prabu Duryudana yang ingin
memindahkan gada besar peninggalan Arya Wrekodara untuk dimasukkan ke dalam gedung
pusaka. Oleh sebab itu, dirinya datang untuk mewujudkan hal itu.
Prabu Duryudana tertawa
melihat lagak anak kecil tersebut. Ia pun mempersilakan jika Bondan Paksajandu ingin
mencoba mengangkat Gada Rujakpolo. Bondan Paksajandu menjawab sanggup tetapi ia
meminta diberi hadiah. Prabu Duryudana pun menjawab seenaknya, yaitu apabila
Bondan Paksajandu bisa memindahkan Gada Rujakpolo ke dalam gedung pusaka, maka ia
akan diangkat sebagai putra mahkota Kerajaan Hastina.
Bondan Paksajandu pun berjalan
dengan angkuh menghampiri Gada Rujakpolo. Dengan satu tangan, ia berhasil mengangkat
gada besar itu dan membuat Prabu Duryudana beserta seluruh Kurawa lainnya
terbelalak takjub.
Begitu Gada Rujakpolo
terangkat, tiba-tiba muncul dua raksasa siluman menyerang Bondan Paksajandu,
yaitu Ditya Sanggabumi dan Ditya Sanggalangit. Bondan Paksajandu menghadapi
kedua raksasa itu dengan lincah sambil mengayun-ayunkan gada di tangannya.
Begitu terpukul oleh Gada Rujakpolo, seketika sosok Ditya Sanggabumi dan Ditya
Sanggalangit pun musnah. Kedua raksasa itu lalu berubah wujud menjadi Batara
Bayu dan Batara Indra.
Kedua dewa tersebut menemui
Bondan Paksajandu dan mereka mengetahui kalau anak kecil tersebut adalah
penjelmaan Arya Wrekodara setelah mereka saling bertarung. Bondan Paksajandu
bertanya mengapa mereka berubah wujud menjadi raksasa, apakah terkena kutukan
lagi seperti dulu saat menjadi Ditya Rukmuka dan Ditya Rukmakala. Batara Indra
dan Batara Bayu menjawab tidak demikian. Dulu mereka menjadi raksasa karena
melakukan kesalahan di kahyangan sehingga dikutuk oleh Batara Guru. Kali ini
mereka menjadi raksasa atas kemauan sendiri, yaitu didorong rasa prihatin
melihat Prabu Duryudana meracuni Arya Wrekodara serta ingin menguasai Gada
Rujakpolo.
Batara Bayu dan Batara Indra
berpesan agar Bondan Paksajandu berhati-hati dan selalu menjaga kewaspadaan.
Usai berkata demikian, mereka pun undur diri kembali ke kahyangan.
PRABU DURYUDANA DIKEJAR-KEJAR BONDAN PAKSAJANDU
Usai mengalahkan kedua
raksasa, Bondan Paksajandu datang menemui Prabu Duryudana untuk menagih janji.
Prabu Duryudana tergagap-gagap dan menjawab bahwa ucapannya tadi, yaitu hendak
mengangkat Bondan Paksajandu sebagai pangeran mahkota di Kerajaan Hastina,
hanyalah gurauan belaka. Ia hanya bercanda dan tidak sungguh-sungguh. Bondan
Paksajandu marah dan mengancam akan memukul Prabu Duryudana menggunakan Gada
Rujakpolo.
Prabu Duryudana memerintahkan
para Kurawa untuk menangkap Bondan Paksajandu. Arya Dursasana dan yang lain pun
maju menyerang, namun mereka semua dibuat kalang kabut oleh ayunan Gada
Rujakpolo. Bondan Paksajandu lalu menyerang Prabu Duryudana sambil mengacungkan
gada ke arahnya. Prabu Duryudana ketakutan dan melarikan diri tak tentu arah.
Prabu Duryudana yang
dikejar-kejar Bondan Paksajandu akhirnya masuk ke dalam pasar baru Hastina.
Bondan Paksajandu pun mengamuk mengobrak-abrik pasar tersebut. Banyak lapak dan
kedai yang hancur serta barang dagangan yang rusak. Para pedagang dan pembeli
pun berhamburan ke sana kemari menghindari amukan anak kecil berkekuatan
seratus gajah tersebut.
BONDAN PAKSAJANDU BERTARUNG MELAWAN JAKA DULIT
Prabu Duryudana akhirnya
bersembunyi di dalam lapak milik Jaka Dulit. Raja Hastina yang kaya raya dan
berkuasa itu mengemis minta perlindungan pada Jaka Dulit, si pemuda penjual
kapur sirih. Bondan Paksajandu masih terus mengejar dan merusak lapak tersebut.
Kapur sirih dan barang dagangan lainnya berceceran di tanah. Jaka Dulit marah
dan menghadapinya. Mereka berdua lalu terlibat pertarungan seru.
Tidak lama kemudian tiba-tiba
datang Prabu Puntadewa beserta si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa di pasar
tersebut. Prabu Duryudana terkejut dan bertanya ada keperluan apa mereka datang
ke Kerajaan Hastina. Prabu Puntadewa menjawab dirinya datang untuk mencari
kedua adiknya yang hilang, yaitu Arya Wrekodara dan Raden Permadi. Menurut
petunjuk dewa yang diterimanya saat bersamadi, kedua adik tersebut dapat
ditemukan apabila Prabu Puntadewa mendatangi pasar baru Kerajaan Hastina.
Prabu Puntadewa yang kini
telah datang di pasar baru menyaksikan pertarungan seru antara seorang pemuda
penjual kapur sirih melawan anak kecil yang bersenjatakan Gada Rujakpolo. Prabu
Puntadewa segera memungut kapur sirih yang berceceran di tanah dan membaca
mantra, kemudian melemparkannya ke arah mereka yang sedang bertarung itu.
Begitu terkena lemparan kapur sirih tersebut, seketika tubuh Bondan Paksajandu
pun berubah besar dan kembali menjadi Arya Wrekodara, sedangka Jaka Dulit kembali
menjadi Raden Permadi.
Setelah mengetahui siapa yang
sedang dihadapi, Arya Wrekodara dan Raden Permadi pun menghentikan pertarungan
dan saling berpelukan.
PRABU DURYUDANA DAN PATIH SANGKUNI SALING MENYALAHKAN
Setelah keadaan tenang, Patih
Sangkuni datang mengunjungi pasar baru yang telah porak-poranda itu. Prabu
Duryudana marah-marah menyebut rencana sang paman gagal total karena Arya
Wrekodara ternyata masih hidup, bahkan kini jauh lebih perkasa daripada
sebelumnya. Patih Sangkuni membela diri. Ia menjelaskan bahwa rencananya adalah
meracun Arya Wrekodara, itu saja. Sayang sekali, Prabu Duryudana justru membuat
rencana tambahan, yaitu menceburkan tubuh Arya Wrekodara ke dalam Sumur
Jalatunda. Andai saja tadi Arya Wrekodara setelah diracun langsung dikubur
dalam tanah tentu tidak akan seperti ini jadinya.
Prabu Duryudana tidak bisa
menjawab. Ia lalu melampiaskan kemarahannya kepada Arya Wrekodara yang telah
merusak pasar baru dan menuntut ganti rugi. Arya Wrekodara menjawab dirinya
bersedia membayar ganti rugi, tetapi Prabu Duryudana juga harus mau
menghabiskan sisa makanan beracun yang dihidangkannya tadi. Mendengar itu,
Prabu Duryudana langsung diam dengan wajah merah menahan malu.
Prabu Puntadewa menengahi dan
meminta mereka untuk tidak melanjutkan pertengkaran. Ia berkata bahwa dirinya
bersedia membayar ganti rugi serta mengirimkan para prajurit Amarta untuk
membangun kembali pasar baru Hastina. Arya Wrekodara bertanya mengapa sang
kakak repot-repot menyusahkan diri seperti itu. Ini semua kesalahan Prabu
Duryudana dan biarlah dia sendiri yang menanggung akibatnya. Prabu Puntadewa
menjawab tidak masalah ia membayar ganti rugi dan memperbaiki pasar baru
Hastina, yang terpenting adiknya selamat. Uang bisa dicari, sedangkan
persaudaraan tak ternilai harganya. Niatnya membayar ganti rugi adalah sebagai
ungkapan rasa syukur karena Arya Wrekodara tetap selamat dan senantiasa dalam
perlindungan Yang Mahakuasa, bahkan kini jauh lebih perkasa daripada sebelumnya.
Usai berkata demikian, Prabu
Puntadewa pun pamit pulang kepada Prabu Duryudana, kembali ke Kerajaan Amarta
bersama para Pandawa lainnya dan juga para panakawan.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
Kisah para Pandawa nyaris terbakar di Balai Sigala-gala dapat dibaca di sini
Kisah Prabu Duryudana muda dan Arya Wrekodara berguru kepada Wasi
Jaladara dapat dibaca di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar