Kisah ini menceritakan seorang putri bernama Dewi Kuntulsinanten yang
menjadi rebutan para raja karena memiliki Wahyu Purbalaras. Kisah ini juga
menceritakan awal mula Raden Tambakganggeng menjadi patih Kerajaan Amarta,
serta awal mula pertemuan Arya Wrekodara dengan para putra Slagahima, yaitu
Raden Gagakbaka, Raden Dandangminangsi, Raden Podangbinorehan, dan Raden
Jangetkinatelon. Juga diceritakan asal usul Prabu Kalasrenggi, raja raksasa
yang kelak muncul di dalam Perang Bratayuda.
Kisah ini saya olah dari sumber buku Kempalan Balungan Lampahan Wayang
Kult Purwa karya Ki Suratno Guno Wiharjo, sedangkan untuk silsilah Prabu
Jatagimbal saya mengambil sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, dengan pengembangan seperlunya.
Kediri, 28 Januari 2017
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Sayembara para putra Slagahima. |
PRABU DURYUDANA MENDAPAT TEGURAN DARI RESIWARA BISMA
Prabu Duryudana di Kerajaan
Hastina dihadap Resi Druna dari Sokalima, Adipati Karna dari Awangga, Patih
Sangkuni dari Plasajenar, serta Raden Kartawarma dari Tirtatinalang selaku juru
panitisastra. Dalam pertemuan itu hadir pula sesepuh kerajaan, yaitu Resiwara
Bisma dari Talkanda. Prabu Duryudana menyambut kedatangan sang kakek dan berkata
dengan bangga bahwa ia telah berhasil menjadikan Kerajaan Hastina jauh lebih
besar dan disegani daripada saat dipimpin Prabu Pandu Dewanata.
Resiwara Bisma mengucapkan
selamat atas keberhasilan Prabu Duryudana mendapatkan pujian dari mancanegara.
Namun sayangnya, kebesaran dan ketenaran Kerajaan Hastina tidak sebanding dengan
apa yang terjadi di dalam. Resiwara Bisma melihat sendiri hampir dua pertiga rakyat
Hastina hidupnya berada di bawah garis kemiskinan. Banyak kaum muda yang tidak
memiliki pekerjaan layak, banyak anak-anak yang tidak mampu mengenyam
pendidikan dengan baik, serta banyak pula warga masyarakat yang apabila jatuh
sakit tidak mendapatkan pengobatan secara memadai, sehingga angka kematian
cukup besar.
Mendengar itu, Prabu Duryudana
segera menuduh Patih Sangkuni telah menyampaikan laporan palsu bahwa keadaan
rakyat baik-baik saja. Berarti selama ini Patih Sangkuni hanya menyampaikan
laporan yang baik-baik saja, yaitu “asal raja senang”. Patih Sangkuni pun
menyangkal tuduhan itu. Ia menjawab bahwa dirinya beserta segenap jajaran para
menteri telah berusaha keras mewujudkan kemakmuran di Kerajaan Hastina. Siang
malam ia selalu bekerja keras untuk memajukan pembangunan di segala bidang.
Namun, apalah artinya pembangunan jika tidak diimbangi dengan jaminan keamanan
yang memadai? Masih banyak ancaman kejahatan yang menghantui masyarakat.
Pencuri dan perampok berkeliaran. Begal pun ada di mana-mana, membuat rakyat
senantiasa resah dan gelisah, sehingga tidak dapat menikmati hasil pembangunan
yang sudah diupayakan Patih Sangkuni.
Prabu Duryudana lalu bertanya
kepada Adipati Karna selaku kepala angkatan bersenjata tentang kebenaran
laporan itu. Adipati Karna pun membela diri dengan mengatakan bahwa ia sudah
berusaha sekuat tenaga menjaga keamanan Kerajaan Hastina. Bahkan, dalam sehari-hari
dirinya lebih banyak berada di Hastina daripada di Awangga. Itu semua karena
sedemikian besar rasa tanggung jawabnya terhadap keamanan negara. Namun, apabila
masih saja terdapat angka kejahatan yang cukup tinggi, maka itu bukan melulu kesalahan
pihak aparat keamanan, tetapi karena adanya kesenjangan ekonomi di masyarakat.
Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Para pejabat Hastina beserta
anak dan istrinya hidup berfoya-foya, pamer kekayaan, sedangkan rakyat jelata
serba kekurangan. Jika terjadi kesenjangan ekonomi macam demikian, dapat dipastikan
kejahatan akan muncul di mana-mana meskipun aparat keamanan sudah disediakan.
Prabu Duryudana kemudian
bertanya kepada Resi Druna selaku pimpinan pujangga Kerajaan Hastina yang seharusnya
bertanggung jawab atas pembangunan moral para pejabat. Perilaku korupsi,
memupuk kekayaan pribadi, dan juga kegemaran berfoya-foya seharusnya dapat dihindari
apabila Resi Druna memperbanyak acara siraman rohani kepada para pejabat. Resi
Druna pun menjawab bahwa dirinya sudah berusaha keras, namun godaan dari luar
yang datang jauh lebih banyak. Barang-barang buatan luar negeri masuk tanpa
terkendali membuat para pejabat dan orang-orang kaya Hastina tidak dapat
mengendalikan nafsunya untuk berbelanja. Mereka menganggap barang buatan luar
negeri jauh lebih berkelas daripada buatan dalam negeri. Mereka pun
berlomba-lomba belanja, terutama para istri pejabat yang selalu ingin tampil
mewah. Perilaku para istri semacam inilah yang membuat para pejabat Hastina
banyak yang menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri. Meskipun
Resi Druna sudah berusaha mengadakan acara siraman rohani seminggu sekali namun
tidak berguna jika godaan dari luar datangnya bertubi-tubi. Patih Sangkuni
selaku perdana menteri adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam membuat
kebijakan untuk membatasi masuknya barang-barang dari luar negeri tersebut.
RESIWARA BISMA MENGABARKAN TENTANG DEWI KUNTULSINANTEN
Resiwara Bisma tersenyum
melihat Patih Sangkuni, Adipati Karna, dan Resi Druna ribut sendiri saling
menyalahkan tanpa ada yang mau bertanggung jawab. Menurutnya, ini semua adalah tanggung
jawab Prabu Duryudana selaku pemimpin mereka. Prabu Duryudana seharusnya bisa
mengatur para bawahannya supaya bekerja benar. Resiwara Bisma terpaksa
membandingkan dengan pemerintahan Prabu Pandu dulu, di mana para menteri dan
punggawa seperti Patih Gandamana, Resi Krepa, dan Arya Banduwangka bahu-membahu
saling bekerja sama, bukannya saling menyalahkan kawan.
Prabu Duryudana sangat tersinggung
dan malu karena dirinya dibandingkan dengan mendiang Prabu Pandu, yaitu ayah
para Pandawa yang sangat dibencinya. Patih Sangkuni segera menanggapi bahwa
Prabu Pandu bisa seperti itu karena sebelumnya telah mendapatkan wahyu
kepemimpinan. Lain halnya dengan Prabu Duryudana yang setiap hari sibuk
memikirkan negara, sehingga tidak sempat bertapa atau berkelana untuk mencari
wahyu.
Resiwara Bisma menyebut Patih
Sangkuni terlalu mencari-cari alasan. Jika memang wahyu kepemimpinan yang
dijadikan ukuran, maka tiada salahnya jika Prabu Duryudana mencoba
mendapatkannya. Prabu Duryudana boleh pergi berkelana dalam beberapa hari untuk
mencari wahyu kepemimpinan, jika memang itu bisa menjadikannya lebih percaya
diri dalam memimpin negara. Resiwara Bisma menambahkan, dalam memimpin rakyat
memang tidak cukup hanya mengandalkan kepandaian dan kegagahan tubuh, tetapi
juga harus diimbangi dengan kekuatan batin yang tebal. Oleh sebab itu, seorang
raja harus mau menjalani laku prihatin dan banyak-banyak berpuasa atau bertapa,
bukan melulu hidup nyaman di dalam istana saja.
Prabu Duryudana berkata yakin
bahwa dirinya pasti mampu memimpin negara dengan lebih baik daripada Prabu
Pandu apabila memiliki wahyu kepemimpinan. Namun, ia tidak tahu di mana wahyu
tersebut bisa diperolehnya. Resiwara Bisma menjawab dirinya telah mendapat kabar
bahwa dewata akan menurunkan Wahyu Purbalaras kepada Dewi Kuntulsinanten, putri
sulung Prabu Janinraja dari Kerajaan Slagahima. Oleh karena itu, Prabu
Duryudana tidak perlu susah payah pergi berkelana atau bertapa. Asalkan ia bisa
menikahi dan memboyong Dewi Kuntulsinanten, maka Wahyu Purbalaras dengan
sendirinya akan berpindah menjadi milik Kerajaan Hastina. Apabila terjadi
demikian, maka Prabu Duryudana akan menjadi raja yang lebih berwibawa,
sedangkan Kerajaan Hastina akan menjadi negeri yang lebih makmur pula.
Prabu Duryudana sangat senang
mendengarnya. Ia menganggap hal ini terlalu mudah karena tidak perlu bertapa, melainkan
cukup menikah dengan seorang perempuan saja. Ia yakin lamarannya pasti diterima
karena ia seorang raja yang gagah dan kaya raya. Namun, ia sendiri ragu seperti
apa wujud Dewi Kuntulsinanten itu, apakah cantik jelita ataukah buruk rupa?
Kalau ternyata Dewi Kuntulsinanten berwajah jelek, apakah boleh Patih Sangkuni
saja yang menikah dengannya?
Resiwara Bisma heran mengapa
Prabu Duryudana bertanya demikian. Sebenarnya Prabu Duryudana ingin mencari
wahyu atau hanya ingin bersenang-senang memuaskan nafsu? Prabu Duryudana pun menjawab
dirinya sangat ingin mendapatkan Wahyu Purbalaras, tetapi jika Dewi
Kuntulsinanten berwajah cantik tentunya akan lebih membangkitkan semangat
perjuangan. Resiwara Bisma berkata bahwa ia sendiri tidak tahu seperti apa paras
Dewi Kuntulsinanten. Namun menurut kabar, putri Slagahima tersebut berkulit
putih bersih seperti burung bangau yang disiram santan. Tentu tidak dapat
dibayangkan seperti apa putihnya, sudah dilambangkan seperti burung bangau
masih disiram santan pula.
Prabu Duryudana sangat
tertarik mendengarnya. Ia membayangkan Dewi Kuntulsinanten pastilah sangat
cantik dan berkulit putih mulus tanpa cela. Maka, ia pun bersemangat mengajak
Patih Sangkuni dan Adipati Karna untuk berangkat hari itu juga menuju Kerajaan
Slagahima. Setelah dirasa cukup, Resiwara Bisma undur diri, pamit pulang ke Padepokan
Talkanda, sedangkan Resi Druna pamit pulang ke Padepokan Sokalima.
PRABU DURYUDANA BERPAMITAN KEPADA DEWI BANUWATI
Prabu Duryudana telah
membubarkan pertemuan. Patih Sangkuni dan Adipati Karna telah bersiaga di luar
bersama para Kurawa untuk menunggu perintah berangkat. Prabu Duryudana sendiri
menemui sang permaisuri Dewi Banuwati untuk berpamitan. Ia mohon pamit hendak
melamar Dewi Kuntulsinanten di Kerajaan Slagahima karena putri tersebut akan
menerima Wahyu Purbalaras yang sangat penting bagi kemakmuran Kerajaan Hastina.
Dewi Banuwati langsung marah-marah
karena saat itu dirinya sedang mengandung, tetapi suaminya justru ingin menikah
lagi. Prabu Duryudana berusaha merayu dengan segala macam cara namun Dewi
Banuwati tetap saja kesal. Hal ini membuat Prabu Duryudana merasa segan untuk
berangkat. Namun, begitu membayangkan Dewi Kuntulsinanten yang berkulit putih
mulus, semangatnya kembali bangkit. Setelah dirayu dengan susah payah, Dewi
Banuwati akhirnya merelakan kepergian sang suami. Namun, ia hanya merelakan kepergiannya
tanpa mendoakan keberhasilannya.
Prabu Duryudana menjawab itu
saja sudah cukup. Ia lalu buru-buru keluar istana di mana rombongan telah
menunggu. Mereka pun bersama-sama pergi menuju Kerajaan Slagahima.
SAYEMBARA TANDING PARA PUTRA SLAGAHIMA
Kerajaan Slagahima atau yang
disebut juga Kerajaan Gendingkapitu dipimpin seorang raja bernama Prabu
Janinraja Dewajumanten, atau yang disebut juga Prabu Wimanadewa. Raja ini
memiliki sembilan orang anak, yaitu Dewi Kuntulsinanten, Raden Gagakbaka, Raden
Dandangminangsi, Raden Dandanggaok, Raden Podangbinorehan, Raden
Jangetkinatelon, Raden Celengdemalung, Raden Cecakandon, dan Raden
Menjanganketawang.
Dewi Kuntulsinanten sang putri
sulung berwajah cantik jelita, dengan kulit putih bersih seperti kapas pula.
Itulah sebabnya banyak raja dan pangeran berdatangan dari berbagai penjuru untuk
melamarnya. Apalagi tersiar pula kabar bahwa barangsiapa bisa menikahi Dewi
Kuntulsinanten, maka dengan sendirinya akan mendapatkan Wahyu Purbalaras yang
bisa membuatnya lebih berwibawa dalam memimpin negara.
Prabu Janinraja sendiri sedang
gundah gulana karena putri sulungnya itu menghilang entah ke mana. Dewi
Kuntulsinanten hanya berkata bahwa ia ingin bertapa menjemput turunnya Wahyu
Purbalaras, tetapi tidak mengatakan ke mana hendak pergi. Padahal, para raja
dan pangeran sudah banyak berkumpul di luar istana. Andai saja Dewi
Kuntulsinanten ada, tentu sayembara pilih bisa segera dilaksanakan.
Melihat kegelisahan sang ayah,
Raden Gagakbaka pun mengusulkan agar diadakan sayembara tanding saja. Kedelapan
putra itulah yang nantinya tampil sebagai senapati dalam sayembara tersebut.
Barangsiapa bisa mengalahkan mereka, maka ia berhak memperistri sang kakak
sulung. Raden Dandangminangsi dan yang lain sepakat mendukung usulan tersebut.
Karena semuanya telah setuju, maka Prabu Janinraja akhirnya mengizinkan para
putra untuk mengadakan sayembara.
Demikianlah, sayembara tanding
pun digelar di alun alun Kerajaan Slagahima. Raden Dandangminangsi yang tampil
paling awal menantang para pelamar. Satu persatu para pelamar itu dibuat jatuh
dari panggung oleh pangeran berkulit hitam legam tersebut. Hingga akhirnya
ketika Raden Dandangminangsi letih kehabisan tenaga, Raden Gagakbaka maju
menggantikan. Demikianlah seterusnya. Satu persatu para putra Slagahima maju
bergantian menguji kehebatan para pelamar kakak sulung mereka.
Para raja dan pangeran itu
akhirnya pulang semua karena tidak ada yang mampu mengalahkan para putra
Slagahima. Pada saat itulah rombongan Prabu Duryudana bersama para Kurawa tiba
di arena sayembara. Arya Dursasana segera maju menantang Raden Gagakbaka.
Terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Raden Kartawarma maju membantu,
dan segera dihadapi Raden Dandangminangsi. Raden Surtayu maju pula dan berhadapan
dengan Raden Dandanggaok. Sementara itu Adipati Jayadrata berhadapan melawan
Raden Podangbinorehan, serta Bambang Aswatama menghadapi Raden Jangetkinatelon.
Dalam pertarungan itu, pihak Hastina kalah dan terlempar semua keluar panggung.
Melihat para Kurawa gagal memenangkan
sayembara, Adipati Karna segera naik ke atas panggung menantang para putra
Slagahima. Dengan lagak angkuh ia menantang kedelapan pangeran itu agar maju
sekaligus melawan dirinya. Raden Gagakbaka dan saudara-saudaranya pun menanggapi
tantangan tersebut. Pertempuran satu lawan delapan terjadi dan berlangsung
seru. Adipati Karna terlanjur meremehkan lawan-lawannya. Karena terlalu yakin
pada kesaktiannya sendiri, ia menjadi lengah. Mahkota topong Bukasri yang ia
pakai pun jatuh terkena pukulan Raden Gagakbaka, sehingga terlihatlah kepalanya
yang pitak menjadi bahan tertawaan para penonton. Bagian kepala Adipati Karna
yang pitak itu tidak lain adalah bekas luka tergores keris Raden Arjuna sewaktu
mereka bertarung di Kerajaan Mandraka dahulu.
Adipati Karna sangat malu
karena aibnya terbuka dan memilih turun panggung memperbaiki penampilan. Prabu
Duryudana kemudian maju dengan memanggul Gada Singabrong mengamuk menghadapi
para putra Slagahima. Pertarungan sengit pun terjadi di antara mereka. Namun,
saat itu matahari mulai terbenam di ufuk barat. Prabu Janinraja segera menghentikan
sayembara untuk dilanjutkan besok. Prabu Duryudana merasa belum kalah dan
berjanji akan datang lagi untuk mengikuti sayembara ini. Ia kemudian mengajak
rombongannya pergi mendirikan perkemahan di luar ibu kota Slagahima.
DEWI JATASINI JATUH CINTA KEPADA RADEN ARJUNA
Tersebutlah seorang raja
raksasa bernama Prabu Jatagimbal dari Kerajaan Selamangleng. Pada suatu hari ia
memanggil kedua panakawannya, bernama Kyai Togog dan Bilung Sarahita untuk
bertanya tentang silsilah leluhurnya. Kyai Togog pun bercerita bahwa Prabu
Jatagimbal sesungguhnya masih keturunan Ditya Jatasura dari zaman kuno, yaitu
raksasa berbadan kerbau yang merupakan adik Prabu Mahesasura raja Guakiskenda.
Pada zaman itu, Prabu
Mahesasura pernah mengutus Patih Lembusura menyerang Kahyangan Suralaya karena
lamarannya terhadap Batari Tara ditolak para dewa. Namun, Patih Lembusura
akhirnya tewas melawan jago kahyangan yang bernama Kapi Subali dan Kapi
Sugriwa. Setelah itu, kedua jago tersebut menyerang Kerajaan Guakiskenda.
Seorang diri Kapi Subali berhasil menewaskan Prabu Mahesasura yang berwujud
raksasa berkepala kerbau, sekaligus Ditya Jatasura yang berwujud kerbau
berkepala raksasa.
Ditya Jatasura meninggalkan
seorang putra bernama Ditya Purusandaka. Putranya itu lalu pergi berkelana
meninggalkan Kerajaan Guakiskenda yang diduduki Kapi Subali dan Kapi Sugriwa.
Ditya Purusandaka kemudian memiliki dua orang anak bernama Ditya Purusangkara
dan Dewi Suhestri. Ditya Purusangkara lalu berputra Prabu Jatasarana yang
mendirikan Kerajaan Selamangleng, sedangkan Dewi Suhestri menjadi istri seorang
pendeta bernama Resi Kandiyana.
Prabu Jatasarana memiliki dua
orang putra dan dua orang putri. Putra yang tertua bernama Prabu Jatasura, mendirikan
Kerajaan Pageralun dan memiliki tiga orang anak, bernama Ditya Lembusa, Ditya
Lembusana, dan Ditya Swalembana. Adapun putra Prabu Jatasarana yang kedua tidak
lain adalah Prabu Jatagimbal sendiri, yang mewarisi Kerajaan Selamangleng.
Prabu Jatagimbal memiliki dua
orang adik perempuan bernama Dewi Jatawati dan Dewi Jatasini. Dewi Jatawati
telah menikah dengan Prabu Kirmira, raja Kerajaan Ekacakra, putra Prabu Baka.
Adapun Dewi Jatasini si bungsu saat ini menghilang dari kerajaan. Konon menurut
laporan para emban pengasuh, Dewi Jatasini jatuh cinta kepada pangeran tampan
yang ia temui dalam mimpi. Pangeran tampan tersebut tidak lain adalah Raden
Arjuna, kesatria Panengah Pandawa.
Kyai Togog dan Bilung
menjelaskan bahwa Raden Arjuna memang seorang kesatria yang sangat tampan tiada
cela. Tidak hanya tampan wajah, namun Raden Arjuna juga memiliki kesaktian yang
sangat tinggi, serta merupakan lulusan terbaik Padepokan Sokalima. Kabar
terbaru yang diterima, Raden Arjuna baru saja menikah dengan Dewi Sumbadra dari
Kerajaan Dwarawati. Merekaa berdua adalah pasangan yang sangat serasi. Raden
Arjuna disebut sebagai laki-laki paling tampan di dunia, sedangkan Dewi
Sumbadra adalah perempuan paling cantik tiada banding.
Prabu Jatagimbal tertarik
mendengar cerita para panakawan. Ia menjadi penasaran ingin tahu seperti apa
cantiknya Dewi Sumbadra tersebut. Maka, ia pun berencana hendak pergi mencari
hilangnya Dewi Jatasini, sekaligus ingin memaksa Raden Arjuna agar bersedia
menikahi adiknya itu. Jika Raden Arjuna menikah dengan Dewi Jatasini, maka Dewi
Sumbadra akan menjadi janda dan dinikahi pula oleh Prabu Jatagimbal.
Demikianlah rencana Prabu Jatagimbal dan ia pun kemudian berangkat seorang diri
tanpa membawa teman.
DEWI JATASINI MENEMUI DEWI SUMBADRA
Sementara itu, sang raksasi
Dewi Jatasini telah memasuki Kesatrian Madukara dan menemui Dewi Sumbadra yang
duduk di Taman Maduganda. Para abdi taman pun menjerit-jerit ketakutan, tapi
Dewi Sumbadra tetap tenang dan menyambut kedatangan raksasi itu dengan ramah.
Dewi Jatasini terkesan melihat
sikap tenang Dewi Sumbadra yang tidak takut pada dirinya. Dengan berterus
terang ia pun mengatakan bahwa dirinya telah jatuh cinta kepada Raden Arjuna
dan ingin sekali menjadi istrinya. Maka, langkah pertama yang harus ia tempuh
adalah membunuh Dewi Sumbadra selaku pesaing.
Dewi Sumbadra menjawab dirinya
sama sekali tidak takut mati. Ia balik bertanya apabila dirinya mati apakah
Raden Arjuna akan langsung menerima cinta Dewi Jatasini, ataukah justru akan
sangat marah dan membalas dendam? Dewi Jatasini bingung menjawabnya. Ia lalu
bertanya bagaimana sebaiknya yang ia lakukan. Padahal tadinya ia ingin membunuh
Dewi Sumbadra, namun kini justru meminta saran kepada wanita itu.
Dewi Sumbadra kemudian mengheningkan
cipta membaca mantra seperti yang pernah diajarkan oleh kakaknya, yaitu Prabu
Kresna Wasudewa. Sambil membaca mantra, tangannya mengusap sekujur tubuh Dewi
Jatasini. Seketika wujud Dewi Jatasini pun berubah menjadi sama persis seperti dirinya.
Dewi Jatasini bertanya mengapa
dirinya diubah menjadi Dewi Sumbadra palsu. Dewi Sumbadra asli pun menjawab
bahwa ia ingin menguji kesetiaan suaminya. Saat ini Raden Arjuna sedang pergi
berkelana untuk mencari turunnya Wahyu Purbalaras. Maka, Dewi Sumbadra palsu hendaknya
pergi menyusul dan menggodanya. Apabila Raden Arjuna bersedia melayani Dewi
Sumbadra palsu, maka Dewi Sumbadra yang asli akan mengalah dan memilih bunuh
diri. Sebaliknya, jika Raden Arjuna tidak menanggapi, maka Dewi Jatasini tidak
boleh memaksa lagi dan harus pulang ke negerinya dengan hati ikhlas. Dewi
Jatasini harus membuang jauh-jauh pikiran ingin menjadi istri Raden Arjuna.
Dewi Jatasini alias Dewi
Sumbadra palsu menyatakan setuju. Ia pun mohon pamit dan segera pergi berangkat
menyusul Raden Arjuna. Ia berharap dirinya bisa menjadi pemenang dalam taruhan
ini.
RADEN ARJUNA MENOLAK DEWI SUMBADRA PALSU
Raden Arjuna sendiri sedang
pergi berkelana dengan ditemani para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk,
dan Bagong. Rupanya ia telah mendengar kabar bahwa Wahyu Purbalaras akan turun kepada
Dewi Kuntulsinanten yang kini sedang bertapa di tengah laut, dekat negeri Slagahima.
Oleh sebab itu, ia pun berniat pergi ke sana untuk memboyong putri sekaligus
wahyu tersebut agar bisa menjadi milik Kerajaan Amarta.
Tak disangka Raden Arjuna
tiba-tiba dihentikan oleh istrinya, yaitu Dewi Sumbadra. Istrinya itu mengaku
sangat rindu, karena sebagai pengantin baru bukannya ditemani justru ditinggal
pergi berkelana sendirian. Raden Arjuna heran karena tadi ia sudah berpamitan
mengapa kini dipermasalahkan? Ia pun dengan tegas menolak diajak pulang karena perjalanan
yang ia lakukan ini adalah demi kepentingan negara.
Dewi Sumbadra pun merayu Raden
Arjuna bahwa dirinya ingin berhubungan badan saat ini juga, dan setelah itu
sang suami boleh melanjutkan perjalanannya. Dewi Sumbadra mengaku ingin segera
mempunyai anak sebagai temannya di kala kesepian. Demikianlah ia merayu dan
bermanja-manja di hadapan sang suami. Namun, hal ini justru membuat Raden Arjuna
curiga karena ada gelagat yang kurang beres. Meskipun wajah wanita yang
merayunya ini sama persis dengan istrinya, tetapi sekilas bau keringat mereka
berbeda. Raden Arjuna dapat menyimpulkan bahwa yang ada di hadapannya adalah
Dewi Sumbadra palsu. Secepat kilat ia pun berlari menghindar untuk menguji
keaslian wanita itu. Sesuai dugaan, Dewi Sumbadra palsu mengejarnya dengan
langkah cepat pula.
DEWI SUMBADRA PALSU BERTEMU RADEN ARJUNA PALSU
Raden Arjuna yang berlari
menghindari Dewi Sumbadra palsu akhirnya bertemu dengan Prabu Jatagimbal yang
sedang mencari Dewi Jatasini. Prabu Jatagimbal kagum melihat ada laki-laki
sangat tampan berdiri di depannya, dan ia pun bertanya apakah benar yang sedang
dihadapinya adalah Raden Arjuna. Laki-laki tampan itu menjawab benar dirinya
memang Raden Arjuna. Prabu Jatagimbal pun berkata terus terang bahwa ia ingin menikahkan
Raden Arjuna dengan adiknya, serta menjadikan Dewi Sumbadra sebagai istrinya.
Jika Raden Arjuna menolak, maka Prabu Jatagimbal mengancam akan langsung membunuhnya.
Raden Arjuna menjawab tidak
perlu bunuh-membunuh untuk merebut istrinya. Ia merasa telah kecewa menikah
dengan Dewi Sumbadra karena ternyata sang istri memiliki nafsu birahi yang
sangat besar. Padahal, Raden Arjuna masih ingin bersenang-senang di luar,
berkelana ke mana ia suka, tetapi istrinya itu selalu saja mengikuti dan ingin
mengajak berhubungan badan tanpa kenal waktu. Terus terang, Raden Arjuna
mengaku tidak kuat melayani nafsu birahi istrinya yang menggebu-gebu. Maka,
Prabu Jatagimbal pun dipersilakan jika ingin menikahi Dewi Sumbadra sekarang
juga.
Prabu Jatagimbal semakin
kasmaran begitu mendengar Dewi Sumbadra ternyata memiliki nafsu birahi yang sangat
besar. Ia pun meminta Raden Arjuna menyerahkan istrinya itu kepadanya jika
memang sudah tidak sanggup melayani. Raden Arjuna berterima kasih dan segera
membaca mantra lalu mengubah wujud Prabu Jatagimbal menjadi sama persis
dengannya. Prabu Jatagimbal bertanya mengapa wujudnya harus diubah segala.
Raden Arjuna pun menjawab bahwa Dewi Sumbadra saat ini sedang kasmaran dengan
dirinya. Oleh sebab itu, jika Prabu Jatagimbal ingin berhubungan badan
dengannya, maka harus menggunakan wujud yang sama persis dengan Raden Arjuna.
Prabu Jatagimbal dapat
memahami hal itu. Tak lama kemudian terdengarlah suara Dewi Sumbadra palsu
memanggil-manggil. Raden Arjuna asli segera pergi, sedangkan Raden Arjuna palsu
keluar menghampiri. Dewi Sumbadra palsu itu merengek manja mengapa dirinya
ditinggalkan. Raden Arjuna palsu menjawab sebenarnya ia juga rindu kepada sang
istri tetapi malu jika dilihat para panakawan. Keduanya sama-sama gemetar tidak
kuasa lagi menahan diri. Mereka pun pergi mencari gubuk asmara untuk
melampiaskan nafsu masing-masing.
DEWI KUNTULSINANTEN MENERIMA WAHYU PURBALARAS
Sementara itu, Dewi
Kuntulsinanten sang putri Slagahima sedang bertapa di atas ombak samudera.
Sudah berhari-hari ia melakukan tapa brata hingga sekujur tubuhnya pun dipenuhi
tanaman ganggang yang begitu lebat menjalar ke sana kemari. Justru berkat
tanaman gangang itulah, tubuh Dewi Kuntulsinanten selalu mengambang tanpa tenggelam,
meskipun dihantam deburan ombak yang bergulung-gulung.
Sudah empat puluh hari lamanya
Dewi Kuntulsinanten bertapa. Tiba-tiba dari angkasa muncul seberkas sinar yang
merasuk ke dalam tubuhnya. Tidak lama kemudian datang pula Batara Narada
membangunkan tapa gadis tersebut.
Dewi Kuntulsinanten membuka
mata dan segera menyembah Batara Narada. Batara Narada menjelaskan bahwa sang
putri tidak perlu lagi melanjutkan tapa karena Wahyu Purbalaras baru saja masuk
ke dalam dirinya dalam wujud seberkas sinar. Namun demikian, Wahyu Purbalaras
ini bukan menjadi hak milik Kerajaan Slagahima, tetapi ditakdirkan menjadi
milik negara lain. Oleh sebab itu, Dewi Kuntulsinanten harus rela bersatu jiwa
raga dengan raja yang dianggapnya cocok memiliki wahyu tersebut.
Dewi Kuntulsinanten pasrah
jika memang itu yang menjadi ketetapan dewata. Karena sang putri telah sepakat,
maka Batara Narada pun memisahkan badan jasmani dan rohani Dewi Kuntulsinanten.
Mulai saat ini Dewi Kuntulsinanten hanya berbadan rohani saja, sedangkan badan
jasmaninya disatukan dengan tanaman ganggang yang tadi menjalar di sekujur
tubuhnya. Demikianlah, Batara Narada pun mengubah badan jasmani Dewi
Kuntulsinanten sekaligus tanaman ganggang yang menutupinya menjadi seorang
laki-laki, yang diberi nama Raden Tambakganggeng.
Batara Narada menjelaskan
bahwa Raden Tambakganggeng adalah wujud jasmani Dewi Kuntulsinanten yang
mewarisi kecerdasan pikirannya dan kebaikan hatinya. Kelak meraka pun akan
selalu bersama. Raden Tambakganggeng akan mengabdi kepada raja yang menjadi
titisan Dewi Kuntulsinanten. Usai berkata demikian, Batara Narada pun kembali
ke kahyangan.
RADEN ARJUNA DITOLAK DEWI KUNTULSINANTEN
Setelah Batara Narada pergi,
Dewi Kuntulsinanten dan Raden Tambakganggeng segera naik ke daratan. Mereka
bertemu Raden Arjuna bersama para panakawan yang menjemput di pantai. Raden
Arjuna heran melihat ada seorang wanita cantik tetapi tubuhnya tembus pandang seperti
cahaya. Wanita itu pun menjawab bahwa dirinya bernama Dewi Kuntulsinanten dari
Kerajaan Slagahima. Raden Arjuna merasa kebetulan dan ia pun berterus terang
ingin melamar sang putri untuk diboyong ke Kerajaan Amarta.
Dewi Kuntulsinanten memaklumi
Raden Arjuna pasti telah mendengar berita tentang Wahyu Purbalaras yang jatuh
kepadanya. Ia pun bersedia diboyong Raden Arjuna apabila sang pangeran memang pantas
menjadi tempatnya menitis. Raden Arjuna lalu berdiam mengheningkan cipta,
sedangkan Dewi Kuntulsinanten masuk menyatu ke dalam dirinya.
Akan tetapi, hanya sekejap
saja Dewi Kuntulsinanten sudah tidak kuat dan segera keluar dari dalam tubuh
Raden Arjuna. Ia berkata bahwa Raden Arjuna bukan sosok yang ia cari karena
masih diliputi watak mudah marah, dan tidak segan-segan menipu orang lain. Raden
Arjuna terperanjat menyadari bahwa dirinya memang baru saja menipu Prabu
Jatagimbal.
Raden Arjuna merasa ikhlas
jika dirinya gagal memboyong Wahyu Purbalaras. Namun, ia penasaran ingin tahu
siapa kiranya orang yang menjadi pilihan Dewi Kuntulsinanten. Maka, ia pun ikut
menyertai putri tersebut pulang ke Kerajaan Slagahima.
RADEN ARJUNA MEMBUNUH PRABU JATAGIMBAL
Sementara itu, Raden Arjuna
palsu dan Dewi Sumbadra palsu sedang sibuk melampiaskan nafsu birahi
masing-masing di dalam sebuah gubuk asmara. Ketika mencapai puncak, tiba-tiba
penyamaran Raden Arjuna palsu buyar dan wujudnya pun kembali menjadi Prabu
Jatagimbal. Dewi Sumbadra palsu menjerit kaget dan wujudnya pun kembali menjadi
Dewi Jatasini.
Prabu Jatagimbal dan Dewi
Jatasini sangat malu bercampur sedih karena mereka ternyata telah melakukan
hubungan badan dengan saudara sendiri. Dewi Jatasini hampir saja bunuh diri
namun dapat dicegah sang kakak. Prabu Jatagimbal berkata bahwa ini semua adalah
kesalahan Raden Arjuna yang telah menipu dirinya. Maka, ia pun berangkat untuk
melabrak kesatria Pandawa tersebut demi melampiaskan sakit hati.
Raden Arjuna saat itu sedang
menemani Dewi Kuntulsinanten dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan Slagahima.
Prabu Jatagimbal berhasil menyusul dan langsung menyerang Raden Arjuna.
Terjadilah pertarungan di antara mereka. Prabu Jatagimbal yang dibakar amarah
menjadi kurang teliti dan kurang waspada. Akibatnya, keris Raden Arjuna pun berhasil
merobek perutnya dan membuat raja raksasa dari Selamangleng itu tewas kehilangan
nyawa.
Dewi Jatasini yang mengintai
dari kejauhan sangat berduka melihat kematian kakaknya. Rasa cintanya kepada
Raden Arjuna berubah menjadi benci. Ia pun bersumpah akan membesarkan anak
hasil persetubuhannya dengan sang kakak agar kelak membalas dendam kepada
Panengah Pandawa tersebut. Untuk sementara ini, ia berniat pergi mengungsi
kepada kakak sulungnya, yaitu Prabu Jatasura di Kerajaan Pageralun untuk
meminta perlindungan. (Kelak putra hasil hubungan Dewi Jatasini dengan Prabu
Jatagimbal akan lahir dan diberi nama Prabu Kalasrenggi).
RADEN WREKODARA MENGALAHKAN PARA PUTRA SLAGAHIMA
Pagi itu Prabu Janinraja di
Kerajaan Slagahima menerima kunjungan tiga orang raja, yaitu Prabu Kresna dari
Dwarawati, Prabu Puntadewa dari Amarta, dan Prabu Baladewa dari Mandura. Ketiga
raja tersebut juga mengajukan lamaran untuk meminang Dewi Kuntulsinanten. Prabu
Janinraja menjelaskan bahwa putri sulungnya masih belum kembali dari bertapa
menjemput turunnya Wahyu Purbalaras. Namun demikian, ia telah menetapkan barangsiapa
bisa mengalahkan putra-putranya dalam sayembara tanding, maka orang itu berhak
melamar Dewi Kuntulsinanten.
Arya Wrekodara yang ikut dalam
rombongan ketiga raja segera mengajukan diri bahwa ia yang akan bertanding di
dalam sayembara. Jika dirinya menang, maka Dewi Kuntulsinanten boleh memilih
salah satu di antara ketiga raja yang datang bersamanya. Usai berkata demikian,
sang Panenggak Pandawa itu pun segera naik ke atas panggung.
Raden Gagakbaka, Raden
Dandangminangsi, dan adik-adik mereka segera naik ke panggung pula.
Pertandingan pun dimulai. Satu persatu para putra Slagahima itu menyerang Arya
Wrekodara, namun tidak satu pun dari mereka yang mampu mengalahkannya. Arya
Wrekodara begitu tangkas dan perkasa, tidak mudah dirobohkan. Sebaliknya, ia
justru mampu mendesak kedelapan lawannya. Kedelapan putra Slagahima itu pun
maju bersama-sama mengerubut Arya Wrekodara. Tanpa gentar sedikit pun, Arya
Wrekodara segera mengangkat Gada Rujakpolo dan menghantamkannya ke arah
lawan-lawannya itu.
Sungguh ajaib, Raden
Gagakbaka, Raden Dandangminangsi, Raden Dandanggaok, Raden Podangbinorehan,
Raden Jangetkinatelon, Raden Celengdemalung, Raden Cecakandon, dan Raden
Menjanganketawang tidak mati terkena pukulan gada tersebut, tetapi tubuh mereka
menyusut menjadi lebih kecil daripada semula. Sebaliknya, Gada Rujakpolo di
tangan Arya Wrekodara menjadi lebih besar setelah menghantam kedelapan pangeran
tersebut. Menyadari kehebatan lawan, Raden Gagakbaka mewakili
saudara-saudaranya pun mengaku kalah dan menyatakan Arya Wrekodara sebagai
pemenang sayembara.
DEWI KUNTULSINANTEN MEMERIKSA ISI HATI KEEMPAT RAJA
Bersamaan dengan itu, Dewi
Kuntulsinanten telah tiba di istana Slagahima beserta Raden Arjuna dan Raden
Tambakganggeng. Ia menghadap sang ayah, Prabu Janinraja, untuk menyampaikan
berita bahwa dirinya telah menerima Wahyu Purbalaras. Namun demikian, di sisi
lain ia harus bersedia kehilangan badan jasmaninya sehingga kini hanya tinggal
berbadan rohani saja. Adapun badan jasmani Dewi Kuntulsinanten tersebut kini telah
menjelma sebagai laki-laki bernama Raden Tambakganggeng, yang hendaknya diakui pula
sebagai putra Slagahima.
Prabu Janinraja terharu dan
berusaha memeluk putri sulungnya yang kini tubuhnya remang-remang tidak dapat
diraba. Ia juga memeluk Raden Tambakganggeng yang mulai hari ini dianggap
sebagai putra kesepuluh. Setelah itu, Prabu Janinraja menceritakan semuanya
dari awal hingga akhir kepada Dewi Kuntulsinanten. Kini, sayembara tanding
telah dimenangkan oleh Arya Wrekodara yang bertindak sebagai senapati bagi
ketiga raja. Untuk selanjutnya, silakan Dewi Kuntulsinanten memilih siapa dari
ketiga raja tersebut yang ia terima sebagai suami penitisan.
Tiba-tiba Prabu Duryudana
datang marah-marah menantang para putra Slagahima. Ia berkata bahwa
pertandingan kemarin belum selesai karena terhalang matahari terbenam. Kini ia
datang untuk meminta pertandingan dilanjutkan dan kemenangan Arya Wrekodara
dianggap batal.
Prabu Puntadewa berusaha
menyabarkan Prabu Duryudana agar tidak perlu marah-marah seperti itu. Sayembara
hanyalah soal permainan. Kalah atau menang tidak penting. Sekarang keputusan
ada di tangan Dewi Kuntulsinanten. Biarlah sang putri memilih salah satu di
antara empat raja, bukan hanya tiga seperti disebutkan di awal tadi.
Prabu Duryudana luluh hatinya.
Ia pun ikut berbaris bersama Prabu Kresna, Prabu Baladewa, dan Prabu Puntadewa.
Dewi Kuntulsinanten mohon izin untuk memeriksa hati nurani keempat raja
tersebut. Prabu Duryudana yang datang sejak kemarin meminta diperiksa paling
awal. Dewi Kuntulsinanten setuju. Ia kemudian masuk ke dalam diri raja Hastina
itu untuk memeriksa kalbunya. Namun, hanya sekejap saja Dewi Kuntulsinanten
sudah keluar lagi. Ia berkata jiwa Prabu Duryudana terlalu panas. Hatinya penuh
dengan rasa iri dan dengki, serta wataknya serakah ingin menang sendiri,
membuat Dewi Kuntulsinanten tidak dapat menerimanya sebagai suami penitisan.
Dewi Kuntulsinanten lalu masuk
ke dalam diri Prabu Baladewa untuk memeriksa kalbu raja Mandura tersebut. Sama
seperti tadi, hanya sebentar saja ia langsung keluar. Wanita itu berkata bahwa
Prabu Baladewa berhati lembut tetapi sikapnya kasar, berwatak mudah kasihan
tetapi gampang marah. Seorang raja yang berwatak semacam itu cenderung mudah
dihasut dan diperdaya oleh orang-orang yang ingin mencari keuntungan.
Dewi Kuntulsinanten kemudian
masuk ke dalam diri Prabu Kresna. Sama seperti sebelumnya, wanita itu pun
keluar karena merasa tidak cocok dengan sifat sang raja Dwarawati. Menurut
pengamatannya, Prabu Kresna memang seorang yang berbudi luhur, juga sangat
cerdas dan bijaksana. Akan tetapi, sifatnya kurang jujur dan suka menghalalkan
segala cara demi meraih kemenangan. Ia tidak segan-segan berbohong jika memang
itu dianggap bermanfaat. Hal ini ternyata kurang disukai oleh Dewi
Kuntulsinanten.
Yang terakhir, Dewi
Kuntulsinanten masuk ke dalam diri Prabu Puntadewa. Kali ini ia merasa sangat
nyaman dan cocok terhadap isi kalbu sang raja Amarta. Menurut pengamatannya,
Prabu Puntadewa seorang jujur dan adil, mengutamakan kebenaran dalam setiap
pikiran, perkataan, dan perbuatan. Prabu Puntadewa juga berani berkorban demi
kebahagiaan banyak orang, serta merelakan penderitaan untuk ia tanggung
sendiri.
Dewi Kuntulsinanten pun
menerima Prabu Puntadewa sebagai suaminya, namun pernikahan mereka adalah
pernikahan secara batin. Untuk selamanya, roh Dewi Kuntulsinanten menyatu di
dalam diri Prabu Puntadewa dan tidak akan keluar lagi. Demikianlah, Dewi
Kuntulsinanten yang berkulit putih kini bersatu jiwa dengan Prabu Puntadewa
yang berdarah putih.
PARA PUTRA SLAGAHIMA MENJADI PATIH AMARTA DAN JODIPATI
Prabu Kresna dan Prabu
Baladewa mengucapkan selamat atas terpilihnya sepupu mereka. Dulu mereka telah
mendapatkan Wahyu Purbasejati, sehingga sudah sepantasnya jika Wahyu Purbalaras
kini menjadi milik Prabu Puntadewa. Sebaliknya, Prabu Duryudana marah-marah dan
mengamuk ingin memaksa Dewi Kuntulsinanten agar keluar dari dalam diri Prabu
Puntadewa. Melihat itu, Arya Wrekodara segera bertindak menendang keluar
sepupunya tersebut.
Prabu Duryudana pun memanggil
para Kurawa agar membantu. Arya Dursasana, Raden Kartawarma, Adipati Jayadrata,
dan yang lain segera maju. Arya Wrekodara segera menendang mereka satu persatu
hingga semuanya lari tunggang langgang meninggalkan Kerajaan Slagahima.
Keadaan kini tenang kembali.
Prabu Janinraja menerima takdir Yang Mahakuasa bahwa putri sulungnya harus
bersatu jiwa dengan Prabu Puntadewa. Tidak hanya itu, Raden Tambakganggeng juga
memohon izin agar diperbolehkan mengabdi kepada Prabu Puntadewa, agar dirinya
selalu dekat dengan Dewi Kuntulsinanten. Prabu Janinraja pun mengizinkannya.
Prabu Puntadewa lalu mengangkat Raden Tambakganggeng sebagai patih Kerajaan
Amarta. Selama ini sejak pertama kali berdiri, Kerajaan Amarta belum memiliki
seorang patih karena Prabu Puntadewa merangkap jabatan, di mana ia menangani
langsung segala urusan pemerintahan negerinya.
Sementara itu, Raden Gagakbaka
dan adik-adiknya juga ingin mengabdi kepada Arya Wrekodara yang telah berhasil
mengalahkan mereka dalam sayembara. Prabu Janinraja pun mengizinkan putra-putranya
itu apabila ingin ikut pindah ke Kerajaan Amarta, tepatnya di Kesatrian
Jodipati. Namun, sebagian harus tetap tinggal di Kerajaan Slagahima. Tidak baik
jika negara sampai kosong karena para pangerannya lebih memilih hidup di luar
negeri.
Demikianlah, kedelapan putra
Prabu Janinraja pun dibagi menjadi dua kelompok. Raden Gagakbaka, Raden
Dandangminangsi, Raden Podangbinorehan, dan Raden Jangetkinatelon mengabdi
kepada Arya Wrekodara di Kesatrian Jodipati, sedangkan Raden Dandanggaok, Raden
Celengdemalung, Raden Cecakandon, dan Raden Menjanganketawang tetap tinggal di
Kerajaan Slagahima bersama ayah mereka.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
Untuk kisah Wahyu Purbasejati dapat dibaca di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar