Kisah ini menceritakan tentang lahirnya Raden Samba Wisnubrata, yaitu
putra Prabu Kresna dan Dewi Jembawati yang kelak menjadi pangeran mahkota
Kerajaan Dwarawati. Juga diceritakan asal mula Kesatrian Paranggaruda menjadi
tempat tinggal Raden Samba.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan)
karya Ki Tristuti Suryasaputra dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 18 Maret 2017
Heri Purwanto
Untuk daftar judul lakon
wayang lainnya, klik di sini
Raden Samba Wisnubrata |
------------------------------
ooo ------------------------------
DEWI JEMBAWATI DUA KALI MELAHIRKAN BAYI BERBULU KERA
Prabu Kresna Wasudewa di
Kerajaan Dwarawati memimpin pertemuan, dengan dihadap Arya Setyaki dan Patih
Udawa. Hadir pula sang kakak, yaitu Prabu Baladewa dari Kerajaan Mandura yang
diiringi Patih Pragota dan Arya Prabawa. Hari itu Prabu Kresna sedang membicarakan
istri nomor dua dan tiga, yaitu Dewi Rukmini dan Dewi Setyaboma yang sama-sama mengandung
usia sembilan bulan. Ia berharap kedua istrinya itu melahirkan bayi berwujud
normal, karena istri yang pertama, yaitu Dewi Jembawati telah dua kali melahirkan,
dan semuanya berwujud bayi laki-laki berbulu lebat seperti kera.
Dewi Jembawati adalah putri
kandung Resi Jembawan dan Dewi Trijata yang keduanya tinggal di Astana
Gandamadana. Dewi Jembawati sendiri berparas cantik seperti ibunya. Prabu
Kresna menikah dengan istri pertamanya itu ketika ia masih bernama Raden
Narayana. Dari perkawinan tersebut telah lahir seorang putra berwajah tampan,
tetapi sekujur tubuhnya berbulu lebat dan memiliki ekor seperti kera. Rupanya bayi
tersebut mewarisi wujud Resi Jembawan yang seorang pendeta bangsa wanara. Prabu
Kresna pun memberi nama putra pertamanya itu Raden Gunadewa. Resi Jembawan dapat
membaca pikiran menantunya yang malu memiliki putra berwujud demikian. Maka, ia
pun mengambil bayi Raden Gunadewa untuk dibesarkan di Astana Gandamadana
daripada menjadi bahan pembicaraan di lingkungan istana.
Dua tahun berlalu setelah
kejadian itu, Dewi Jembawati pun melahirkan lagi untuk yang kedua kalinya. Kali
ini yang lahir seorang bayi laki-laki juga dengan sekujur tubuh berbulu lebat mirip
kera, tetapi tidak memiliki ekor seperti kakaknya. Dewi Jembawati merasa malu
sudah dua kali melahirkan selalu saja berwujud demikian. Padahal, sewaktu dirinya
mengandung, Prabu Kresna pernah berjanji kelak setelah putra keduanya itu lahir,
ia akan ditetapkan sebagai pangeran mahkota Kerajaan Dwarawati. Dewi Jembawati
merasa malu karena gagal memberikan putra yang berwujud sempurna untuk suaminya.
Diam-diam ia pun membawa putra keduanya itu pergi menuju Astana Gandamadana
untuk tinggal di sana daripada menjadi bahan ejekan penghuni istana.
Demikianlah Prabu Kresna
bercerita kepada Prabu Baladewa tentang kepergian Dewi Jembawati yang sudah dua
bulan ini meninggalkan istana Dwarawati untuk tinggal bersama kedua orang
tuanya, yaitu Resi Jembawan dan Dewi Trijata di Astana Gandamadana. Prabu
Kresna merasa serbasalah. Dalam hati ia ingin menjemput pulang istri tertuanya
itu, tetapi Dewi Jembawati pasti akan sangat malu apabila kedua putranya
menjadi bahan pembicaraan penghuni istana atau penduduk ibu kota.
Prabu Baladewa merasa maklum
atas apa yang menimpa rumah tangga adiknya. Sebenarnya mudah saja bagi Prabu
Baladewa untuk menasihati Prabu Kresna agar tetap tabah dalam menghadapi cobaan
hidup, atau menyarankan agar sang adik mencari hikmah di balik setiap musibah.
Yang namanya rumah tangga, baik atau buruk harus diterima. Jangan hanya mau merasakan
yang baik-baik saja, tetapi yang buruk pun harus dijalani juga dengan lapang
dada. Namun demikian, Prabu Baladewa tidak berani menasihati seperti itu,
karena andai saja ia yang mendapatkan cobaan hidup seperti ini, kemungkinan
besar akan lebih marah dan bersedih daripada Prabu Kresna.
Prabu Baladewa pun bertanya
apakah Prabu Kresna sudah mencoba meruwat kedua putranya menggunakan Kembang
Wijayakusuma. Bukankah dulu Prabu Kresna semasa muda pernah meruwat bayi Prabu
Supala yang bermata tiga, berlengan tiga, dan berkaki tiga, lantas mengapa sekarang
tidak mencoba meruwat kedua putranya sendiri? Prabu Kresna menjawab ia sudah
mencoba meruwat mereka tetapi rupanya dewata tidak mengizinkan hal itu terjadi.
Keduanya pun tetap saja berbulu lebat seperti kera.
Prabu Kresna Wasudewa |
PRABU KILATMAKA DARI PARANGGARUDA MELAMAR DEWI JEMBAWATI
Ketika Prabu Kresna dan Prabu
Baladewa sedang membahas tentang Dewi Jembawati dan putranya, tiba-tiba datang
seorang tamu bernama Patih Kilatwarna dari Kerajaan Paranggaruda. Laki-laki
tersebut datang untuk menyampaikan surat dari rajanya yang bernama Prabu Kilatmaka.
Prabu Kresna menerima surat itu dan membaca isinya, ternyata berisi lamaran
Prabu Kilatmaka terhadap Dewi Jembawati. Dalam surat tersebut, Prabu Kilatmaka
berterus terang meminta Prabu Kresna agar menceraikan Dewi Jembawati. Sebagai gantinya,
ia berjanji akan memberikan sejumlah wanita cantik beserta emas permata sebanyak-banyaknya
kepada Prabu Kresna.
Prabu Baladewa sangat marah
begitu mendengar isi surat dari Prabu Kilatmaka tersebut. Ia pun menolak
lamaran itu dan menyuruh Patih Kilatwarna segera pulang. Patih Kilatwarna
berkata bahwa dirinya sudah mendapat wewenang sepenuhnya dari Prabu Kilatmaka
untuk merebut Dewi Jembawati, baik itu melalui cara halus ataupun kasar.
Lagipula Prabu Baladewa bukan suami Dewi Jembawati, mengapa pula ikut campur
menolak lamaran Prabu Kilatmaka segala?
Prabu Baladewa semakin murka
dan melabrak Patih Kilatwarna keluar dari istana. Prabu Kresna merasa prihatin
di saat satu masalah belum selesai, tiba-tiba muncul satu masalah baru. Ia pun
membubarkan pertemuan dan memerintahkan Arya Setyaki beserta Patih Udawa agar membantu
Prabu Baladewa menghadapi serangan musuh.
Prabu Baladewa |
PRABU BALADEWA MEMBUNUH PATIH KILATWARNA
Patih Kilatwarna keluar dari istana
Dwarawati dan segera mempersiapkan pasukannya untuk berperang. Prabu Baladewa pun
menghadapinya dengan mengerahkan pasukan Dwarawati, di mana di dalamnya
terdapat Arya Setyaki, Patih Udawa, Patih Pragota, dan Arya Prabawa.
Pertempuran sengit pun
terjadi. Pasukan Paranggaruda dapat dihancurkan oleh pihak Dwarawati. Bahkan,
Patih Kilatwarna sendiri tewas di tangan Prabu Baladewa. Melihat pemimpinnya
terbunuh, pasukan Paranggaruda menjadi berantakan. Ditya Kilatyaksa segera
menarik mundur para prajurit yang masih hidup untuk kembali ke Kerajaan
Paranggaruda, melapor kepada raja mereka, yaitu Prabu Kilatmaka.
Prabu Baladewa dengan angkuh
mengejek kekuatan pihak Paranggaruda yang ternyata tidak sebanding dengan
kesombongan Patih Kilatwarna. Prabu Kresna muncul dan berterima kasih atas
bantuan kakaknya itu dalam menjaga keamanan Kerajaan Dwarawati. Namun, ia juga mengingatkan
Prabu Baladewa untuk tidak takabur dan hendaknya tetap waspada terhadap segala
kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Kedua raja kakak beradik itu kemudian
masuk ke dalam istana, di mana Prabu Kresna menjamu Prabu Baladewa untuk
merayakan kemenangannya.
Arya Prabawa dan Patih Pragota |
RADEN ARJUNA MENEMUI DEWI JEMBAWATI
Sementara itu, Raden Arjuna
diiringi para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong datang
berkunjung ke Astana Gandamadana untuk menjenguk Dewi Jembawati bersama
bayinya. Resi Jembawan, Dewi Trijata, dan Dewi Jembawati pun menyambut
kedatangan Pandawa nomor tiga itu dengan penuh sukacita. Tampak Dewi Trijata
sedang memangku Raden Gunadewa, sedangkan Dewi Jembawati menggendong putra keduanya.
Raden Arjuna mengaku dirinya telah
mendengar kabar tentang Dewi Jembawati yang pergi meninggalkan istana Dwarawati
karena malu sudah dua kali melahirkan selalu saja berwujud bayi penuh bulu
seperti kera. Hal ini membuat Raden Arjuna sangat prihatin dan ingin sekali
membantu kesusahan kakak iparnya tersebut. Ia pun meminta petunjuk kepada Bagawan
Abyasa di Padepokan Saptaarga. Menurut sang kakek, yang bisa meruwat putra Dewi
Jembawati menjadi bayi nomal adalah Batara Sambu di Kahyangan Suwelagringging,
dengan menggunakan air pusaka Mustika Tirtakencana.
Berbekal petunjuk tersebut,
Raden Arjuna pun datang ke Astana Gandamadana agar diizinkan membawa kedua
putra Dewi Jembawati naik ke Kahyangan Suwelagringging. Dewi Jembawati terharu
mendengar niat baik Raden Arjuna. Ia lalu berunding dengan ayah dan ibunya
mengenai hal ini. Resi Jembawan menyarankan agar putra yang nomor dua saja yang
diserahkan kepada Raden Arjuna, karena dialah yang dijanjikan Prabu Kresna
menjadi pangeran mahkota Kerajaan Dwarawati. Adapun putra yang pertama, yaitu
Raden Gunadewa, biarlah tetap berbulu seperti ini. Resi Jembawan sudah sangat
tua dan kelak jika sudah meninggal, ia ingin cucunya itu yang mewarisi jabatan
sebagai juru kunci Astana Gandamadana sekaligus menjadi pendeta pula. Apabila
Raden Gunadewa juga diruwat, maka dikhawatirkan ia akan lebih betah tinggal di
istana Dwarawati daripada di Astana Gandamadana.
Raden Arjuna dapat memahami maksud
baik Resi Jembawan. Ia lalu menggendong putra kedua Dewi Jembawati lalu mohon pamit
berangkat menuju Kahyangan Suwelagringging dengan ditemani para panakawan.
Raden Arjuna |
BATARA SAMBU MERUWAT PUTRA DEWI JEMBAWATI
Atas petunjuk Kyai Semar,
Raden Arjuna dapat mencapai Kahyangan Suwelagringging tempat Batara Sambu
bersemayam. Batara Sambu ini tidak lain adalah putra sulung Batara Guru sang
raja dewa. Ia menyambut kedatangan Raden Arjuna dan bertanya ada keperluan apa
menemui dirinya.
Raden Arjuna berkata bahwa ia datang
untuk memohon bantuan Batara Sambu agar meruwat bayi yang ada dalam
gendongannya. Bayi tersebut adalah putra kedua Prabu Kresna dan Dewi Jembawati,
yang terlahir dengan tubuh tertutup bulu lebat seperti kera. Menurut petunjuk
kakeknya di Padepokan Saptaarga, bayi tersebut hanya bisa diruwat dengan air
pusaka Mustika Tirtakencana milik Batara Sambu.
Batara Sambu meraih bayi
tersebut dan menggendongnya dengan hati-hati. Prabu Kresna adalah titisan
Batara Wisnu, sedangkan Batara Wisnu adalah adik kandung Batara Sambu yang
nomor lima. Maka, bayi tersebut bisa dibilang masih keponakannya sendiri.
Batara Sambu pun mengambil Mustika Tirtakencana dan mengusapkannya ke sekujur
tubuh si bayi. Sungguh ajaib, seketika seluruh bulu kera yang tumbuh pada kulit
si bayi pun rontok berjatuhan di lantai. Kini yang terlihat adalah sosok bayi
tampan rupawan yang berkulit keemasan.
Batara Sambu lalu
mengembalikan si bayi kepada Raden Arjuna dan berpesan agar segera membawanya
pulang ke Kerajaan Dwarawati karena takdir lain menunggu di sana. Raden Arjuna
menerima keponakannya itu dan mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan
Batara Sambu. Ia lalu mohon pamit meninggalkan Kahyangan Suwelagringging untuk
kembali ke Astana Gandamadana.
Batara Sambu |
DEWI JEMBAWATI MEMBERI NAMA PUTRANYA RADEN SAMBA
Raden Arjuna dan para
panakawan telah kembali ke Astana Gandamadana di mana Resi Jembawan, Dewi
Trijata, dan Dewi Jembawati menunggu sejak tadi. Melihat kedatangan mereka,
Dewi Jembawati yang paling gembira menyambut dan ia sangat terkejut melihat
putranya kini telah berubah menjadi tampan sempurna, tidak lagi berbulu lebat
seperti sediakala.
Resi Jembawan dan Dewi Trijata
sudah tentu ikut bahagia melihat cucu mereka telah diruwat oleh Batara Sambu.
Sebagai tanda terima kasih, Dewi Jembawati pun mengusulkan agar putranya itu
diberi nama Raden Samba saja, sesuai dengan nama dewa yang telah meruwatnya.
Resi Jembawan setuju dan sebaiknya itu nanti dibicarakan langsung dengan Prabu
Kresna.
Raden Arjuna lalu menyampaikan
pesan Batara Sambu bahwa si bayi Raden Samba harus segera dibawa pulang ke
Kerajaan Dwarawati karena takdir lain sedang menunggu di sana. Dewi Jembawati
menurut. Ia pun menggendong bayi Raden Samba untuk kemudian berangkat
meninggalkan Astana Gandamadana. Resi Jembawan ikut serta mendampingi,
sedangkan Dewi Trijata tetap tinggal bersama Raden Gunadewa.
Dewi Jembawati |
PRABU KILATMAKA MENYERANG KERAJAAN DWARAWATI
Sementara itu, Prabu Kilatmaka
raja Paranggaruda mendapat laporan dari Ditya Kilatyaksa, bahwa Patih
Kilatwarna telah gugur melawan pasukan Kerajaan Dwarawati dalam usahanya
merebut Dewi Jembawati. Prabu Kilatmaka sangat marah mendengar laporan
tersebut. Ia pun memimpin langsung pasukan Paranggaruda untuk berangkat
menggempur Kerajaan Dwarawati.
Singkat cerita, pasukan dari
Paranggaruda itu telah sampai di tujuan. Prabu Baladewa kembali memimpin
pasukan Dwarawati menghadapi serangan tersebut. Pertempuran sengit kembali
terjadi. Prabu Baladewa yang tadinya meremehkan kekuatan Kerajaan Paranggaruda
kini dibuat terdesak kewalahan oleh kesaktian Prabu Kilatmaka. Hingga akhirnya,
tubuh Prabu Baladewa tiba-tiba menjadi lemas tak berdaya saat terkena air ludah
Prabu Kilatmaka.
Melihat kakak sepupunya kalah,
Arya Setyaki segera maju menyerang Prabu Kilatmaka. Keduanya pun bertarung
sengit. Sama seperti nasib Prabu Baladewa, Arya Setyaki akhirnya roboh pula
kehilangan tenaga karena terkena air ludah Prabu Kilatmaka.
Arya Setyaki |
RADEN SAMBA MENGALAHKAN PRABU KILATMAKA
Prabu Kresna terkejut melihat
Prabu Baladewa dan Arya Setyaki telah roboh tak berdaya menghadapi kesaktian
musuh. Ketika ia berniat untuk maju sendiri melawan Prabu Kilatmaka, tiba-tiba
terlihat rombongan Raden Arjuna datang, di mana terdapat Dewi Jembawati dan
Resi Jembawan di dalamnya. Dewi Jembawati pun memperkenalkan bayi tampan yang
ada pada gendongannya sebagai putra kedua mereka yang kemarin masih berbulu
lebat seperti kera. Putra kedua itu kini telah diberi nama Raden Samba, karena
diruwat oleh Batara Sambu.
Prabu Kresna senang
melihatnya. Namun, ia tidak mau mengakui begitu saja apabila si bayi Raden
Samba tidak dapat membuktikannya. Ia pun memerintahkan Raden Arjuna agar
membawa Raden Samba terjun ke medan laga untuk mengalahkan Prabu Kilatmaka.
Dewi Jembawati heran mendengarnya dan memohon kepada Prabu Kresna untuk tidak mencelakakan
putra mereka. Prabu Kresna menjelaskan bahwa ia sama sekali tidak mempunyai
niat hendak mencelakakan anak sendiri. Ia hanya ingin Raden Samba membuktikan
diri sebagai putra raja Dwarawati.
Raden Arjuna dapat memahami
niat Prabu Kresna. Ia pun mengambil Raden Samba dari gendongan Dewi Jembawati
lalu melesat pergi menghadapi Prabu Kilatmaka. Sesampainya di sana, Raden
Arjuna segera menantang raja Paranggaruda itu di mana ia sendiri mengajukan
Raden Samba.
Prabu Kilatmaka marah merasa
dipermainkan. Ia pun meludahi Raden Arjuna namun air ludahnya itu mengenai
Raden Samba. Sungguh ajaib, bukannya lemas kehilangan tenaga, tubuh Raden Samba
justru berubah menjadi anak-anak yang bisa berlari-lari ke sana kemari. Prabu
Kilatmaka heran tidak percaya. Ia pun meludahi Raden Samba sekali lagi, dan
kali ini tubuh Raden Samba berubah menjadi pemuda remaja dalam waktu seketika.
Raden Samba segera balas
menyerang Prabu Kilatmaka. Dasar cucu Resi Jembawan, ia pun berkelahi seperti
monyet yang melompat ke sana kemari dan juga menggigit telinga Prabu Kilatmaka.
Prabu Kilatmaka merasa risih dan berusaha menangkap Raden Samba. Namun, Raden
Samba semakin lincah dan sesekali berhasil memukul atau menendang raja
Paranggaruda tersebut.
Prabu Kresna yang melihat dari
kejauhan segera memanggil Raden Samba untuk meninggalkan musuhnya barang
sejenak. Raden Arjuna pun menggandeng keponakannya itu untuk menghadap. Prabu
Kresna merasa senang melihat kelincahan Raden Samba. Namun, ia tidak suka
putranya berkelahi seperti seekor kera. Maka, ia pun meminjamkan Senjata Cakra
kepada Raden Samba sebagai bekal untuk mengalahkan Prabu Kilatmaka.
Raden Samba menerima senjata
tersebut dan kembali maju menghadapi Prabu Kilatmaka. Begitu jarak mereka tidak
terlalu jauh, Raden Samba segera melemparkan Senjata Cakra yang tepat mengenai
leher Prabu Kilatmaka. Seketika Prabu Kilatmaka pun tewas dengan leher putus.
Melihat rajanya terbunuh,
Ditya Kilatyaksa marah dan memimpin pasukannya untuk melakukan bela pati, yaitu
bertempur sampai mati melawan pasukan Dwarawati. Pertempuran sengit kembali
terjadi. Akhirnya, Ditya Kilatyaksa pun tewas terkena panah Raden Arjuna.
Resi Jembawan |
PRABU KRESNA MENGANGKAT RADEN SAMBA SEBAGAI PUTRA MAHKOTA
Prabu Kresna telah mengobati
Prabu Baladewa dan Arya Setyaki dengan menggunakan Kembang Wijayakusuma. Mereka
lalu bersama-sama memuji kemenangan Raden Samba. Karena Raden Samba mampu menggunakan
Senjata Cakra dengan baik, Prabu Kresna pun memberikan nama tambahan untuknya,
menjadi Raden Samba Wisnubrata. Hal ini karena Senjata Cakra adalah pusaka
milik Batara Wisnu yang kemudian terlahir sebagai Prabu Kresna.
Sesuai janjinya, Prabu Kresna
pun mengangkat Raden Samba sebagai putra mahkota Kerajaan Dwarawati. Adapun
Kerajaan Paranggaruda yang kini telah kosong karena raja dan seluruh pasukannya
tewas, menjadi negeri bawahan Dwarawati. Prabu Kresna pun mengubah Kerajaan
Paranggaruda menjadi kesatrian sebagai tempat tinggal Raden Samba. Sejak saat
itu, Raden Samba pun mendapat nama baru pula, yaitu Raden Kusuma Kilatmaka.
Prabu Kresna lalu mengadakan
pesta syukuran untuk merayakan pelantikan Raden Samba Wisnubrata sebagai putra
mahkota. Bersamaan dengan itu, Dewi Rukmini dan Dewi Setyaboma masing-masing melahirkan
bayi laki-laki pula yang membuat Kerajaan Dwarawati semakin berbahagia. Prabu
Kresna pun memberikan nama Raden Partajumena untuk putranya yang lahir dari
Dewi Rukmini, serta Raden Setyaka untuk putranya yang lahir dari Dewi
Setyaboma.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
Untuk kisah perkawinan Prabu Kresna muda dengan Dewi Jembawati dapat dibaca
di sini
Raden Samba adalah tokoh pewayangan
BalasHapusBacot
HapusLakon petruk ilang pethele.
BalasHapussamba monyet