Kisah ini menceritakan tentang perang antara Prabu Boma Narakasura
melawan Prabu Arya Gatutkaca yang memperebutkan Kadipaten Tunggarana, yang
akhirnya dapat didamaikan oleh Bambang Pamegat-tresna putra Raden Arjuna.
Kisah ini saya olah dari sumber ilustrasi kalender Rokok Grendhel,
dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 19 Oktober 2018
Heri Purwanto
Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, klik di sini
------------------------------
ooo ------------------------------
Bambang Pamegat-tresna menengahi Prabu Boma dan Arya Gatutkaca. |
PRABU BOMA NARAKASURA BERNIAT MENGHUKUM ADIPATI KAHANA
Di Kerajaan Trajutiksna, Prabu
Boma Narakasura memimpin pertemuan dihadap para menteri dan punggawa raksasa,
antara lain Patih Pancadnyana, Ditya Yayahgriwa, Ditya Mahudara, Ditya
Amisunda, dan Ditya Ancakugra. Dalam pertemuan itu, Prabu Boma menanyakan alasan
mengapa Adipati Kahana dari Kadipaten Tunggarana tidak pernah lagi datang menghadap
kepadanya.
Patih Pancadnyana melaporkan
hasil penyelidikan mata-matanya yang melihat Adipati Kahana pergi ke Kerajaan
Pringgadani, menghadap Prabu Arya Gatutkaca. Besar kemungkinan, Adipati Kahana
ingin melepaskan Kadipaten Tunggarana dari kekuasaan Kerajaan Trajutiksna dan
bergabung dengan Kerajaan Pringgadani.
Prabu Boma yang memiliki
dendam pribadi terhadap Arya Gatutkaca seketika marah besar mendengar berita ini.
Ia merasa harga dirinya diinjak-injak apabila benar Adipati Kahana lebih
memilih menjadi bawahan Kerajaan Pringgadani daripada Kerajaan Trajutiksna.
Maka, ia pun mengutus Ditya Yayahgriwa pergi ke Tunggarana untuk menangkap
Adipati Kahana dan menyeretnya ke istana Trajutiksna. Ditya Yayahgriwa menjawab
bersedia, dan segera berangkat melaksanakan tugas.
ADIPATI KAHANA MENGUNJUNGI KERAJAAN PRINGGADANI
Adipati Kahana yang
dicari-cari saat itu tidak berada di Kadipaten Tunggarana, melainkan sedang
berkunjung ke Kerajaan Pringgadani dengan ditemani Resi Sumberkatong. Prabu
Arya Gatutkaca didampingi para paman, yaitu Patih Prabakesa (Brajalamatan), Raden
Prabagati (Brajawikalpa), dan Raden Kalabendana menyambut dan menerima
kedatangan mereka.
Beberapa waktu yang lalu,
Adipati Kahana dan Resi Sumberkatong sudah berkunjung ke Pringgadani, namun
tidak bertemu Arya Gatutkaca karena sedang berada di Kerajaan Amarta. Kali ini ia
datang lagi untuk yang kedua kalinya dan bertemu dengan raja Pringgadani tersebut.
Adipati Kahana pun
menyampaikan kegelisahan hatinya yang tidak betah menjadi bawahan Kerajaan
Trajutiksna. Kepemimpinan Prabu Boma Narakasura ia rasakan sewenang-wenang dan
terlalu menindas Kadipaten Tunggarana. Setiap saat wilayah Tunggarana yang
subur diperas untuk diangkut hasil buminya ke ibu kota Trajutiksna. Pembayaran
pajak dan upeti Kadipaten Tunggarana jauh lebih besar dibanding kadipaten-kadipaten
lainnya. Bahkan, Prabu Boma mengumumkan kenaikan pajak dan upeti yang harus
dibayar Kadipaten Tunggarana dalam setahun bisa tiga kali. Jika ini dituruti,
rakyat Tunggarana akan semakin miskin karena hasil jerih payah mereka lebih
banyak yang diangkut ke ibu kota daripada untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Arya Gatutkaca menjawab,
dirinya merasa prihatin atas keadaan Tunggarana. Namun, ia merasa serbasalah
jika ikut campur urusan Kadipaten Tunggarana yang masuk ke dalam wilayah
Kerajaan Trajutiksna. Resi Sumberkatong menyela ikut bicara. Ia bercerita bahwa
dahulu kala Kadipaten Tunggarana adalah bawahan Kerajaan Pringgadani, bukan
berada di bawah Kerajaan Trajutiksna.
Resi Sumberkatong saat itu
menjabat sebagai patih Kadipaten Tunggarana, mendampingi Adipati Kalapustaka.
Adapun Kerajaan Pringgadani masih di bawah kepemimpinan Prabu Arimba. Setelah
Prabu Arimba meninggal, Kerajaan Pringgadani dipimpin oleh Dewi Arimbi. Namun,
karena Dewi Arimbi telah menikah dengan Arya Wrekodara dari keluarga Pandawa,
maka ia lebih banyak tinggal di Kesatrian Unggulpawenang bersama suami daripada
tinggal di Kerajaan Pringgadani. Adapun tugas memimpin Kerajaan Pringgadani sehari-hari
diwakili oleh adiknya, yaitu Adipati Brajadenta dari Kadipaten Glagahtinunu.
Rupanya Adipati Brajadenta
terlalu sibuk membagi waktu antara memimpin Kerajaan Pringgadani dan mengatur
Kadipaten Glagahtinunu, sehingga ia tidak mampu mempertahankan Kadipaten
Tunggarana ketika diserang Prabu Bomantara dari Kerajaan Surateleng. Adipati
Kalapustaka gugur dalam serangan itu, dan Kadipaten Tunggarana resmi menjadi
jajahan Kerajaan Surateleng. Putra Adipati Kalapustaka pun dijadikan sebagai
bawahan Prabu Bomantara, yaitu Adipati Kahana, sedangkan Patih Sumberkatong
dijadikan sebagai pendeta, bergelar Resi Sumberkatong.
Beberapa tahun berlalu, Prabu
Bomantara gugur di tangan Raden Sitija, yang kemudian menduduki Kerajaan
Surateleng dengan gelar Prabu Boma Narakasura. Kemudian Kerajaan Surateleng
diganti nama menjadi Kerajaan Trajutiksna, dan Adipati Kahana pun menjadi
bawahan Prabu Boma Narakasura.
Demikianlah sejarah Kadipaten
Tunggarana yang awalnya merupakan bawahan Kerajaan Pringgadani, kini berganti
menjadi bawahan Kerajaan Trajutiksna. Adipati Kahana dan Resi Sumberkatong
sepakat ingin Kadipaten Tunggarana kembali menjadi bawahan Kerajaan
Pringgadani, yaitu setelah mereka mendengar kabar bahwa Arya Gatutkaca putra
Dewi Arimbi naik takhta dan memimpin dengan bijaksana, meskipun masih usia
muda.
Arya Gatutkaca terdiam tidak menanggapi
pujian Resi Sumberkatong. Ia lalu meminta pertimbangan kepada Patih Prabakesa,
Raden Prabagati, dan Raden Kalabendana. Ketiga pamannya itu meminta Arya
Gatutkaca untuk tidak buru-buru mengabulkan permohonan Adipati Kahana, karena
ini menyangkut wibawa negara lain, yaitu Kerajaan Trajutiksna. Arya Gatutkaca
harus pula memikirkan perasaan Prabu Boma Narakasura. Jangan sampai urusan
Kadipaten Tunggarana membuat hubungan antara para orang tua, yaitu Prabu Kresna
dan para Pandawa menjadi rusak.
DITYA YAYAHGRIWA HENDAK MENYERET ADIPATI KAHANA
Belum sempat Arya Gatutkaca
menjawab permohonan Adipati Kahana, tiba-tiba datang Ditya Yayahgriwa
menghadap. Setelah memberi salam, ia pun berkata bahwa dirinya diutus Prabu
Boma Narakasura untuk menangkap Adipati Kahana dan membawanya ke Kerajaan
Trajutiksna. Mula-mula ia datang ke Kadipaten Tunggarana tetapi Adipati Kahana
tidak ada di sana. Maka, ia pun bergegas menyusul ke Kerajaan Pringgadani dan
ternyata benar bisa menemukan orang yang dicarinya itu.
Arya Gatutkaca bertanya
mengapa Adipati Kahana harus ditangkap dan dihadapkan kepada Prabu Boma
Narakasura. Ditya Yayayhgriwa menjelaskan bahwa Adipati Kahana berniat
memberontak dan ingin melepaskan diri sebagai bawahan Kerajaan Trajutiksna. Ini
adalah kesalahan besar yang harus mendapatkan hukuman berat.
Arya Gatutkaca berkata kepada
Adipati Kahana agar pulang dan mematuhi panggilan Prabu Boma. Namun, Adipati
Kahana menolak. Ia berkata dirinya pasti dihukum mati oleh Prabu Boma
Narakasura jika datang ke istana Trajutiksna. Apabila dirinya mati, maka rakyat
Tunggarana akan kehilangan pemimpin dan semakin ditindas oleh Prabu Boma. Maka,
ia pun memohon perlindungan kepada Arya Gatutkaca atas masalah ini.
Ditya Yayahgriwa marah melihat
Adipati Kahana memohon perlindungan kepada raja Pringgadani. Ia pun berniat
menjambak Adipati Kahana dan menyeretnya keluar. Patih Prabakesa maju menangkis
tangan Ditya Yayahgriwa. Ia berkata bahwa Adipati Kahana adalah tamu Kerajaan
Pringgadani, maka memperlakukannya dengan kasar sama artinya menghina wibawa
Kerajaan Pringgadani. Ditya Yayahgriwa semakin marah dan meminta Arya Gatutkaca
menegur Patih Prabakesa yang ikut campur.
Arya Gatutkaca menjawab,
memang benar Adipati Kahana saat ini menjadi tamu Kerajaan Pringgadani, maka
tidak boleh diperlakukan semena-mena di hadapannya. Ia mempersilakan Ditya
Yayahgriwa agar pulang lebih dulu. Nanti, dia sendiri yang akan mengantarkan
Adipati Kahana menghadap Prabu Boma Narakasura.
Ditya Yayahgriwa tertawa tidak
percaya. Ia menyebut dirinya bukan anak kecil yang mudah dibohongi. Ia ditugasi
Prabu Boma untuk menangkap Adipati Kahana, dan itu harus dilaksanakan. Apabila Arya
Gatutkaca berniat melindungi Adipati Kahana demi supaya bisa mengangkangi bumi
Tunggarana yang subur, maka itu artinya Kerajaan Pringgadani harus siap
berperang melawan Kerajaan Trajutiksna.
Patih Prabakesa tidak terima
mendengar Ditya Yayahgriwa berkata kasar terhadap Arya Gatutkaca. Ia pun maju
dan menendang tubuh Ditya Yayahgirwa hingga terpental keluar istana.
Ditya Yayahgriwa terguling di
depan istana Kerajaan Pringgadani. Para raksasa Trajutiksna lainnya, yaitu
Ditya Amisunda, Ditya Mahodara, dan Ditya Ancakugra segera maju menolong.
Mereka bersama-sama mengamuk membuat keributan menantang para raksasa
Pringgadani. Patih Prabakesa dan Raden Prabagati memimpin pasukan Pringgadani
menghadapi mereka. Pertempuran pun terjadi. Para raksasa Trajutiksna akhirnya
terdesak dan kabur meninggalkan tempat itu.
PRABU BOMA NARAKASURA BERANGKAT MENGEPUNG KERAJAAN PRINGGADANI
Prabu Boma Narakasura sedang
duduk di istana Trajutiksna dihadap Patih Pancadnyana. Tiba-tiba Ditya
Yayahgriwa datang melapor bahwa dirinya gagal menangkap Adipati Kahana yang
kini ternyata berada di Kerajaan Pringgadani bersama Resi Sumberkatong.
Rupa-rupanya Prabu Arya Gatutkaca dan para raksasa Pringgadani berniat
mengukuhi Kadipaten Tunggarana.
Prabu Boma Narakasura marah
mendengar berita ini. Namun, ia juga senang karena memiliki alasan untuk
menggempur Kerajaan Pringgadani. Bagaimanapun juga Prabu Boma masih menyimpan
dendam atas peristiwa Wahyu Topeng Waja tempo hari. Kini adalah saat yang tepat
untuk membalas sakit hatinya kepada Arya Gatutkaca.
Maka, Prabu Boma pun mengajak
Patih Pancadnyana menyiapkan pasukan Trajutiksna, lalu berangkat menyerang
Kerajaan Pringgadani.
KYAI SEMAR MENJEMPUT BAMBANG PAMEGAT-TRESNA
Di Padepokan Argabinatur, Resi
Pamintajati sedang menerima kedatangan para panakawan, yaitu Kyai Semar, Nala
Gareng, Petruk, dan Bagong. Setelah saling memberi salam, Resi Pamintajati pun
menanyakan apa keperluan Kyai Semar dan anak-anaknya datang ke Padepokan
Argabinatur. Kyai Semar bercerita bahwa saat ini Prabu Boma Narakasura bersama
pasukan Trajutiksna sedang mengepung Kerajaan Pringgadani karena memperebutkan
Kadipaten Tunggarana. Menurut wangsit yang diterima Kyai Semar, ada seorang
putra Raden Arjuna dari wilayah Tunggarana yang dapat mendamaikan perselisihan
tersebut.
Kyai Semar teringat peristiwa
dua puluh tahun yang lalu, saat Raden Arjuna diculik Patih Kalagambira untuk
diserahkan kepada Prabu Suryaasmara sebagai tumbal Kerajaan Parangkencana.
Waktu itu Raden Arjuna berhasil menewaskan Patih Kalagambira, namun ia sendiri
pingsan karena gigitan raksasa tersebut. Raden Arjuna lalu ditemukan oleh Resi
Pamintajati dan dirawat di Padepokan Argabinatur. Setelah sembuh, Raden Arjuna
pun dinikahkan dengan putri Resi Pamintajati yang bernama Endang Pamegatsih.
Resi Pamintajati membenarkan
hal itu. Ia mengatakan bahwa dari perkawinan tersebut telah lahir seorang putra
yang diberi nama Bambang Pamegat-tresna. Kyai Semar senang mendengarnya.
Padepokan Argabinatur terletak di wilayah Kadipaten Tunggarana, dan itu artinya
Bambang Pamegat-tresna adalah pemuda yang diramalkan bisa melerai peperangan
antara Prabu Boma Narakasura dan Prabu Arya Gatutkaca.
Resi Pamintajati pun memanggil
Endang Pamegatsih dan Bambang Pamegat-tresna serta menceritakan semuanya kepada
anak dan cucunya itu. Bambang Pamegat-tresna bertanya apakah dia bisa bertemu
ayah kandungnya jika mengikuti Kyai Semar ke Kerajaan Pringgadani. Kyai Semar
menjawab bisa. Apabila Bambang Pamegat-tresna bersedia ikut dengannya ke
Kerajaan Pringgadani, maka pemuda itu akan bisa bertemu dengan Raden Arjuna.
Bambang Pamegat-tresna sangat
gembira. Ia pun mohon pamit kepada ibu dan kakeknya. Endang Pamegatsih merasa
berat untuk melepas kepergian putranya itu. Namun, Resi Pamintajati membesarkan
hati putrinya, bahwa keberangkatan Bambang Pamegat-tresna adalah demi kedamaian
negara. Seharusnya Endang Pamegatsih sebagai ibu memberikan doa restu, bukannya
menghalangi kebaikan yang hendak dilakukan anak.
Endang Pamegatsih dapat
menerima penjelasan ayahnya. Ia pun memberikan restunya kepada Bambang
Pamegat-tresna semoga bisa mendamaikan perselisihan antara Prabu Boma
Narakasura dan Prabu Arya Gatutkaca. Setelah menyembah kakek dan ibunya,
Bambang Pamegat-tresna pun berangkat bersama Kyai Semar dan para panakawan lainnya.
PRABU BOMA NARAKASURA MENGGEMPUR IBU KOTA PRINGGADANI
Prabu Boma Narakasura dan
pasukannya telah tiga hari lamanya mengepung Kerajaan Pringgadani, menuntut
agar Adipati Kahana dan Resi Sumberkatong diserahkan kepadanya. Namun, Arya
Gatutkaca sama sekali tidak menanggapi tuntutan tersebut. Prabu Boma menganggap
Arya Gatutkaca memilih jalan perang. Maka, ia pun memerintahkan Patih
Pancadnyana dan para punggawa raksasa Trajutiksna untuk segera menggempur ibu
kota Kerajaan Pringgadani.
Di lain pihak, Patih Prabakesa
dan Raden Prabagati telah bersiaga menghadapi serangan tersebut. Perang pun
terjadi. Kedua pihak sama-sama terdiri atas pasukan raksasa yang tentunya
memiliki cara bertempur ganas dan mengerikan. Bedanya ialah, para raksasa
Pringgadani tidak memiliki gigi taring karena sudah peraturan negara harus
meratakan gigi sejak kecil.
Sementara itu, Prabu Boma
terbang mengendarai Garuda Wilmuna mencari keberadaan Arya Gatutkaca. Namun, ia
sama sekali tidak melihat musuh bebuyutannya tersebut. Dengan penuh amarah, ia
pun menyerang Patih Prabakesa dan Raden Prabagati. Kedua raksasa itu pun
terluka oleh kesaktiannya. Namun, mereka dapat diselamatkan oleh Raden
Kalabendana dan dibawa masuk ke dalam istana Pringgadani.
PRABU KRESNA MENENGAHI KEDUA PIHAK YANG BERTEMPUR
Kedua pihak yang ramai
bertempur tidak menyadari kedatangan Prabu Kresna dari Kerajaan Dwarawati
beserta dua orang Pandawa, yaitu Arya Wrekodara dan Raden Arjuna. Ketiga orang
itu langsung masuk ke dalam istana Pringgadani di mana Arya Gatutkaca sudah
bersiap-siap hendak turun ke medan tempur.
Melihat ketiga orang tuanya
datang, Arya Gatutkaca pun menunda keberangkatan dan menyembah kepada mereka.
Prabu Kresna menjelaskan bahwa kedatangannya bersama Arya Wrekodara dan Raden
Arjuna adalah untuk menengahi perselisihan antara Kerajaan Pringgadani dan
Kerajaan Trajutiksna. Arya Gatutkaca menjelaskan bahwa dirinya sama sekali
tidak berniat untuk mengukuhi ataupun merebut Kadipaten Tunggarana. Namun,
karena Adipati Kahana dan Resi Sumberkatong telah menjadi tamunya, maka ia sebagai
tuan rumah harus memberikan perlindungan kepada tamu.
Tiba-tiba Raden Kalabendana
datang dengan membawa Patih Prabakesa dan Raden Prabagati yang terluka akibat
serangan Prabu Boma. Arya Gatutkaca marah hendak keluar, namun Prabu Boma sudah
lebih dulu masuk ke istana untuk menantangnya berperang.
Prabu Kresna melerai mereka
dan meminta permasalahan ini diselesaikan secara kekeluargaan. Bagaimanapun
juga antara Prabu Boma dan Arya Gatutkaca masih terhitung saudara, sehingga tidak
pantas jika saling berperang apalagi melukai. Prabu Boma menjawab ketus,
dirinya tidak setuju masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan. Ia sudah
kehilangan rasa percaya kepada Prabu Kresna sejak peristiwa rebutan Topeng Waja
dahulu. Menurutnya, urusan Kadipaten Tunggarana harus diselesaikan melalui
perang, bukan melalui perundingan. Jika melalui perundingan, ia yakin dirinya
pasti menjadi pihak yang dikalahkan.
Prabu Kresna tidak menyangka
Prabu Boma ternyata sudah tidak percaya lagi kepadanya. Ia lalu bertanya kepada
Arya Wrekodara dan Raden Arjuna mengenai bagaimana baiknya persoalan ini. Arya
Wrekodara menjawab, silakan saja kalau mereka hendak menyelesaikan masalah
Kadipaten Tunggarana secara laki-laki. Raden Arjuna menambahkan, boleh saja berperang
tetapi jangan sampai jatuh korban.
Prabu Kresna pun memutuskan
bahwa permasalahan Kadipaten Tunggarana harus diselesaikan oleh Arya Gatutkaca
dan Prabu Boma saja, tidak perlu melibatkan para prajurit. Arya Gatutkaca
setuju karena ia tidak ingin jatuh korban lebih banyak. Prabu Boma tidak ada
pilihan lain, maka ia pun menyatakan setuju pula.
BAMBANG PAMEGAT-TRESNA MELERAI PERTARUNGAN
Prabu Boma Narakasura dan Arya
Gatutkaca telah berada di halaman istana dan keduanya mulai bertarung. Patih
Prabakesa dan Patih Pancadnyana memimpin pasukan masing-masing mengelilingi
arena pertarungan. Tampak kedua raja itu bertarung dengan seimbang, sama-sama
sakti dan sama-sama perkasa.
Ketika pertarungan sedang
seru-serunya, tiba-tiba muncul Bambang Pamegat-tresna dan para panakawan
menghadap Prabu Kresna, Arya Wrekodara, dan Raden Arjuna. Pemuda itu menyembah
dan mengaku sebagai putra Raden Arjuna yang dilahirkan oleh Endang Pamegatsih,
putri Resi Pamintajati. Prabu Kresna menjawab, tidak semudah itu mengaku sebagai
anak Pandawa. Bambang Pamegat-tresna harus bisa menyelesaikan urusan Kadipaten
Tunggarana. Bambang Pamegat-tresna menyatakan sanggup, apalagi Padepokan
Argabinatur tempat ia dilahirkan masih termasuk wilayah Tunggarana, sehingga sudah
menjadi kewajibannya pula untuk memelihara perdamaian di negeri sendiri. Usai
berkata demikian, Bambang Pamegat-tresna menyembah lalu melesat ke arena
pertarungan
Sementara itu, Prabu Boma dan
Arya Gatutkaca masih sibuk bertarung dan berusaha saling menjatuhkan. Ketika
keduanya sama-sama memukul, tiba-tiba Bambang Pamegat-tresna hadir di antara
mereka. Pukulan Prabu Boma ditangkap dengan tangan kanan, sedangkan pukulan
Arya Gatutkaca ditangkap dengan tangan kiri. Para hadirin yang menonton
terkejut, terutama kedua raja yang sedang bertarung tersebut. Mereka tidak
menyangka, ada anak muda kurus yang mampu menangkap pukulan dahsyat Prabu Boma
dan Arya Gatutkaca.
Bambang Pamegat-tresna
melepaskan tangkapannya dan meminta maaf telah menengahi pertarungan. Ia pun
memperkenalkan diri sebagai pemuda dari Padepokan Argabinatur, sehingga
termasuk warga Kadipaten Tunggarana. Prabu Boma tidak peduli dan ia marah-marah
karena pertarungannya dihentikan. Ia pun meminta Bambang Pamegat-tresna agar
menyingkir.
Bambang Pamegat-tresna berkata,
dirinya telah diberi mandat oleh Prabu Kresna untuk menyelesaikan persoalan
Kadipaten Tunggarana. Prabu Boma tidak mau tahu. Apabila Bambang Pamegat-tresna
tidak menyingkir, maka pemuda itu akan dibunuh lebih dulu sebelum Arya
Gatutkaca. Namun, Bambang Pamegat-tresna tidak takut pada ancaman tersebut. Ia
balik menantang apabila dirinya mampu menahan tiga pukulan Prabu Boma, maka
Prabu Boma harus bersedia mengikuti keputusannya.
Prabu Boma tersinggung
ditantang pemuda kurus seperti ini. Namun, karena usianya lebih tua tentunya
malu jika menolak tantangan Bambang Pamegat-tresna. Maka, ia pun bersedia
melepaskan tiga pukulan ke arah pemuda itu. Bambang Pamegat-tresna bersiaga dan
mempersilakan Prabu Boma untuk menyerang.
Prabu Boma pun memukul dada
Bambang Pamegat-tresna dengan setengah tenaga. Pemuda itu mampu menahannya
sambil tersenyum. Prabu Boma melepaskan pukulan kedua dengan lebih keras.
Bambang Pamegat-tresna masih mampu menahannya, hanya saja ia tampak mundur dua langkah.
Pada pukulan ketiga Prabu Boma mengerahkan tenaga penuh tanpa belas kasihan
lagi. Bambang Pamegat-tresna pun terpental oleh pukulan tersebut. Namun, pemuda
itu tampak bangkit kembali dan berjalan sempoyongan menghampiri Prabu Boma.
BAMBANG PAMEGAT-TRESNA MENGGELAR ACARA PENENTUAN PENDAPAT RAKYAT
Prabu Boma Narakasura terkesan
melihat kekuatan Bambang Pamegat-tresna yang mampu menerima tiga pukulannya
tanpa terluka. Ia pun mengaku kalah dan mempersilakan Bambang Pamegat-tresna
untuk mengatur urusan Kadipaten Tunggarana. Arya Gatutkaca juga demikian. Ia
mempersilakan Bambang Pamegat-tresna menyelesaikan persoalan ini. Sejak awal ia
tidak tertarik untuk merebut Kadipaten Tunggarana. Yang ia lakukan selama ini
hanyalah membela diri karena diserang Kerajaan Trajutiksna.
Bambang Pamegat-tresna lalu
bertanya kepada Adipati Kahana dan Resi Sumberkatong apakah rencana bergabung
dengan Kerajaan Pringgadani adalah keinginan mereka pribadi, ataukah keinginan rakyat
Tunggarana. Adipati Kahana menjawab, itu adalah keinginan dirinya sendiri karena
dahulu kala Tunggarana adalah kadipaten di bawah Kerajaan Pringgadani, namun kemudian
direbut oleh Kerajaan Surateleng atau Trajutiksna.
Mendengar itu, Bambang
Pamegat-tresna pun memutuskan untuk mengadakan acara Penentuan Pendapat Rakyat
atau disingkat Pepera. Mengenai nasib Kadipaten Tunggarana hendak bergabung
dengan Kerajaan Pringgadani ataukah tetap di bawah Kerajaan Trajutiksna biarlah
rakyat sendiri yang bersuara, bukannya para pejabat yang menentukan. Caranya
ialah, sebanyak tiga ratus kepala desa yang berada di bawah Kadipaten
Tunggarana hendaknya mengadakan musyawarah bersama warga masing-masing. Hasil
dari musyawarah tersebut barulah dilaporkan kepada Adipati Kahana.
Adipati Kahana menyetujui
rencana ini. Ia pun kembali ke Tunggarana dengan ditemani Bambang
Pamegat-tresna, Ditya Mahudara, dan Raden Kalabendana sebagai panitia. Mereka
bekerja mengumpulkan pendapat para kepala desa yang bermusyawarah dengan warga
masing-masing. Tujuh hari kemudian, mereka menghadap Prabu Kresna untuk melaporkan
bahwa hampir delapan puluh persen warga Tunggarana menyatakan ingin bergabung
kembali dengan Kerajaan Pringgadani.
Prabu Kresna lalu menyampaikan
hal itu kepada Prabu Boma dan Arya Gatutkaca. Prabu Boma merasa kecewa, namun
ia sudah terlanjur berjanji akan mengikuti keputusan yang diajukan Bambang
Pamegat-tresna, sehingga mau tidak mau harus mengakhiri peperangan dengan
Kerajaan Pringgadani. Sebaliknya, Arya Gatutkaca yang sejak awal tidak berniat
mengukuhi Kadipaten Tunggarana terpaksa menerima keputusan ini. Namun, ia juga
memberi hak otonomi luas kepada Adipati Kahana untuk mengatur wilayah
Tunggarana. Mengenai pajak dan upeti yang harus dibayar diturunkan dan
dipersilakan untuk biaya pembangunan di Kadipaten Tunggarana.
Prabu Kresna berterima kasih
atas kerja keras Bambang Pamegat-tresna dalam menyelesaikan urusan Kadipaten
Tunggarana. Raden Arjuna merasa bangga dan mengakui pemuda itu sebagai putra
Kesatrian Madukara. Arya Gatutkaca baru tahu kalau Bambang Pamegat-tresna
adalah sepupunya sendiri. Ia pun memeluk sepupunya itu dan memberikan jamuan
terbaik kepadanya.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
Catatan : Menghubungkan lakon Kikis Tunggarana dengan Arjuna Tumbal
adalah ide dari saya sendiri.
Untuk kisah pertemuan Raden Arjuna dengan Endang Pamegatsih bisa dibaca
di sini.
Mantap cerita nya, jadi lebih paham lagi sama lakon pewayangan👍
BalasHapus