Kisah ini menceritakan tentang pelantikan Arya Gatutkaca sebagai raja
Pringgadani, yang diwarnai dengan pemberontakan pamannya, yaitu Adipati
Brajadenta.
Kisah ini saya olah dari sumber pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki
Manteb Soedharsono, dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 30 Agustus 2018
Heri Purwanto
Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, klik di sini
------------------------------
ooo ------------------------------
Arya Gatutkaca setelah dimahkotai. |
PATIH SANGKUNI BERNIAT MENGHASUT ADIPATI BRAJADENTA
Di Kerajaan Hastina, Prabu
Duryudana memimpin pertemuan yang dihadiri para menteri dan punggawa, antara
lain Danghyang Druna, Patih Sangkuni, Adipati Karna, dan Raden Kartawarma.
Dalam pertemuan itu, mereka membahas tentang kegagalan Patih Sangkuni dalam
mengadu domba putra-putra Pandawa, yaitu antara Arya Gatutkaca dengan Raden
Antareja. Awalnya Raden Antareja terhasut untuk memberontak kepada Kerajaan
Amarta, namun pada akhirnya ia bertobat dan mengakui kesalahannya.
Patih Sangkuni berkata dirinya
masih mempunyai rencana lain untuk mengacaukan perdamaian di dalam tubuh para
Pandawa. Ia baru saja mendengar kabar bahwa Arya Gatutkaca akan dilantik
menjadi raja Pringgadani mewarisi takhta dari ibunya, yaitu Dewi Arimbi.
Rencana pelantikan inilah yang akan dimanfaatkan Patih Sangkuni untuk menghasut
adik Dewi Arimbi, yaitu Adipati Brajadenta di Kadipaten Glagahtinunu agar
memberontak kepada Kerajaan Pringgadani.
Prabu Duryudana dapat membaca
rencana Patih Sangkuni. Selama ini Kerajaan Amarta bersahabat baik dengan
Kerajaan Pringgadani. Apabila Kerajaan Pringgadani dilanda perang saudara, maka
akan berakibat buruk pula kepada Kerajaan Amarta. Maka, Prabu Duryudana pun
mendukung rencana adu domba ini.
Karena telah diputuskan
demikian, Patih Sangkuni pun mohon pamit berangkat menuju Kadipaten
Glagahtinunu dengan diiringi para Kurawa, antara lain Arya Dursasana, Raden
Kartawarma, Raden Durmagati, dan yang lainnya.
PATIH SANGKUNI MENGHASUT ADIPATI BRAJADENTA
Patih Sangkuni dan para Kurawa
telah sampai di Kadipaten Glagahtinunu. Mereka pun disambut sang tuan rumah
Adipati Brajadenta dengan penuh hormat. Sungguh mengherankan Patih Sangkuni
tiba-tiba saja datang berkunjung, membuat Adipati Brajadenta bertanya ada pesan
apa yang hendak ia sampaikan.
Patih Sangkuni menjawab,
dirinya diutus Prabu Duryudana untuk menyampaikan salam persahabatan, baik itu
secara pribadi antara para Kurawa dan Kadang Braja, juga antara Kerajaan
Hastina dan Kerajaan Pringgadani. Dahulu kala pada masa pemerintahan Prabu
Pandu dan Prabu Tremboko telah terjalin persahabatan antara kedua negara
tersebut. Namun, karena sikap Prabu Pandu yang terhasut oleh fitnah Patih
Gandamana, membuat persahabatan itu pun putus. Kini Prabu Duryudana berniat
menjalin kembali persahabatan antara Kerajaan Hastina dan Pringgadani.
Adipati Brajadenta berkata
bahwa Patih Sangkuni salah alamat karena dirinya bukan raja Pringgadani. Prabu
Tremboko meninggalkan tujuh orang anak, yaitu Raden Arimba, Dewi Arimbi, Raden
Brajadenta, Raden Brajamusti, Raden Brajalamatan, Raden Brajawikalpa, dan Raden
Kalabendana. Raden Arimba menggantikan ayah mereka menjadi raja, bergelar Prabu
Arimba. Pada suatu hari, Prabu Arimba tewas dalam pertarungan melawan Raden
Bratasena. Sebelum meninggal, Prabu Arimba sempat menyerahkan takhta
Pringgadani kepada musuh yang telah mengalahkannya itu. Namun, Raden Bratasena
menolak menjadi raja. Prabu Arimba akhirnya mewariskan Kerajaan Pringgadani
kepada Dewi Arimbi yang menjadi istri Raden Bratasena.
Patih Sangkuni mengaku sudah
mengetahui cerita tersebut. Ia juga tahu bahwa Dewi Arimbi adalah rajaputri
pengganti Prabu Arimba. Namun, Dewi Arimbi lebih sering tinggal di tempat
suaminya, yaitu di Kesatrian Unggulpawenang daripada memimpin Kerajaan Pringgadani.
Dalam keseharian, roda pemerintahan Kerajaan Pringgadani dijalankan oleh Raden
Brajadenta yang juga berkedudukan sebagai adipati di Glagahtinunu. Itulah
sebabnya, Prabu Duryudana mengutus Patih Sangkuni menemui Adipati Brajadenta.
Menurut pandangan Prabu Duryudana, pemimpin sejati Kerajaan Pringgadani adalah
Adipati Brajadenta, bukan Dewi Arimbi.
Adipati Brajadenta tidak
berani menerima pujian tersebut. Selama ini ia hanya menjalankan tugas mewakili
Dewi Arimbi saja. Dewi Arimbi adalah raja Pringgadani yang sesungguhnya, bukan
dirinya. Patih Sangkuni memuji Adipati Brajadenta sebagai sosok bijaksana yang
suka merendah. Jelas-jelas Adipati Brajadenta lebih paham soal Kerajaan
Pringgadani, tetapi tidak mau menonjolkan diri. Dewi Arimbi jelas tidak ada
apa-apanya dibandingkan dengan dirinya. Dewi Arimbi hanyalah sosok perempuan
lemah dengan segala keterbatasannya, sedangkan Adipati Brajadenta adalah
laki-laki perkasa yang mampu mengatur Kerajaan Pringgadani dan juga Kadipaten
Glagahtinunu secara sekaligus.
Adipati Brajadenta mulai termakan
hasutan Patih Sangkuni. Ia pun berterus terang bahwa dalam hatinya ada perasaan
kesal kepada kakaknya, yaitu Dewi Arimbi. Jelas-jelas Prabu Tremboko, ayah
mereka gugur di tangan Prabu Pandu, tetapi Dewi Arimbi justru jatuh cinta dan
menikah dengan Raden Bratasena, atau Arya Wrekodara. Kemudian, Arya Wrekodara
juga membunuh Prabu Arimba. Itu artinya dendam turun-temurun ini semakin
mendalam.
Adipati Brajadenta juga heran
mengapa Prabu Arimba sebelum wafat merestui Dewi Arimbi sebagai raja
Pringgadani. Bukankah Dewi Arimbi telah menjadi pengkhianat karena menikah
dengan musuh? Namun, kala itu Adipati Brajadenta tidak berani menentang.
Lagipula adik-adiknya semua mendukung pengangkatan Dewi Arimbi sebagai raja
yang baru.
Patih Sangkuni menjawab, andai
saja dulu dirinya dan Adipati Brajadenta sudah saling kenal, tentu mereka bisa
berteman dan bersama-sama menghadapi Arya Wrekodara dan para Pandawa lainnya. Namun,
tidak ada kata terlambat dalam bersekutu. Apabila Adipati Brajadenta ingin
menjadi raja Pringgadani, maka para Kurawa dan seluruh bala tentara Kerajaan
Hastina siap membantu.
Adipati Brajadenta masih
bimbang, karena menurut kabar yang ia terima, Dewi Arimbi berniat mewariskan
takhta Kerajaan Pringgadani kepada putranya, yaitu Arya Gatutkaca. Patih
Sangkuni pura-pura terkejut mendengar berita itu. Ia berkata bahwa ini semua
pasti ulah licik para Pandawa. Arya Gatutkaca memiliki darah campuran, yaitu
perpaduan antara keluarga Pandawa dengan keluarga Pringgadani. Dengan
menjadikan Arya Gatutkaca sebagai raja, itu artinya para Pandawa hendak
menjajah Kerajaan Pringgadani secara tidak langsung.
RADEN BRAJAMUSTI MENGUNJUNGI ADIPATI BRAJADENTA
Ketika Adipati Brajadenta mulai
terhasut oleh ucapan Patih Sangkuni, tiba-tiba datang adiknya yang bernama
Raden Brajamusti. Patih Sangkuni terkejut melihatnya karena wajah Raden
Brajamusti sangat mirip dengan Adipati Brajadenta bagaikan saudara kembar.
Raden Brajamusti memberi
hormat kepada Adipati Brajadenta dan para hadirin lainnya, kemudian
menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu menjemput kakaknya itu untuk hadir di
pelantikan Arya Gatutkaca sebagai raja Pringgadani yang baru. Tidak hanya itu,
ia juga menyampaikan keputusan para Pandawa yang memilih Adipati Brajadenta
sebagai patih mendampingi Arya Gatutkaca.
Adipati Brajadenta bukannya
senang tetapi justru marah-marah menyebut para Pandawa sudah terlalu banyak
mencampuri urusan Kerajaan Pringgadani. Soal siapa yang menjadi patih, ada hak
apa mereka ikut mengatur segala?
Raden Brajamusti terkejut
melihat kakaknya marah seperti itu. Ia pun menjelaskan bahwa soal pemilihan
patih adalah usulan Arya Gatutkaca, yang mana usulan tersebut disetujui para
Pandawa. Bagaimanapun juga, selama Dewi Arimbi menjadi rajaputri di
Pringgadani, Adipati Brajadenta yang bertindak sebagai wakil sehari-hari.
Adipati Brajadenta bertanya
apakah Raden Brajamusti sudah lupa bahwa ayah para Pandawa, yaitu Prabu Pandu
Dewanata telah membunuh Prabu Tremboko, ayah mereka. Selain itu, Arya Wrekodara
sang Pandawa kedua juga membunuh Prabu Arimba, kakak mereka. Para Kadang Braja harusnya
menagih hutang nyawa ini, bukannya justru tunduk pada segala keputusan para
Pandawa.
Raden Brajamusti mulai paham
bahwa Adipati Brajadenta pasti telah termakan hasutan Patih Sangkuni. Ia pun
mengingatkan kakaknya itu tentang sumpah yang mereka ucapkan dulu di depan
jasad kakak mereka. Saat itu Prabu Arimba gugur di tangan Raden Bratasena yang
kelak bergelar Arya Wrekodara. Sebelum meninggal, Prabu Arimba sempat meminta
Raden Bratasena untuk menduduki takhta Kerajaan Pringgadani yang ia tinggalkan.
Namun, Raden Bratasena menolak tawaran itu. Prabu Arimba pun menunjuk Dewi
Arimbi sebagai pengganti dirinya. Para adik yang lain, yaitu Raden Brajadenta,
Raden Brajamusti, Raden Brajalamatan, Raden Brajawikalpa, dan Raden
Kalabendana, semuanya menyatakan setuju pada keputusan tersebut. Mereka juga
bersumpah akan selalu mematuhi para Pandawa serta menjadikan Raden Bratasena
sebagai saudara tertua pengganti Prabu Arimba.
Adipati Brajadenta mengaku
tidak pernah lupa pada janji tersebut. Namun, kini ia telah sadar bahwa para
Pandawa sudah melanggar batas wewenang mereka. Pemilihan raja dan patih adalah
urusan rumah tangga Kerajaan Pringgadani, bukan urusan mereka. Lagipula ia
tidak setuju jika Arya Gatutkaca yang menjadi raja Pringgadani, karena
keponakan mereka tersebut berdarah campuran. Menjadikan Arya Gatutkaca sebagai
raja adalah siasat Pandawa untuk menjajah Kerajaan Pringgadani secara tidak
langsung.
Patih Sangkuni menyela ikut
bicara. Ia membujuk Raden Brajamusti agar ikut menentang pelantikan Arya Gatutkaca
sebagai raja Pringgadani. Menurutnya, Kadang Braja harusnya bersatu
menggagalkan penjajahan para Pandawa atas negeri mereka. Raden Brajamusti
menjawab, jika para Pandawa tidak boleh mencampuri urusan Kerajaan Pringgadani,
mengapa pula Patih Sangkuni dan para Kurawa ikut campur urusan ini? Ia menyebut
Patih Sangkuni hanyalah ingin menghasut Adipati Brajadenta untuk memberontak
dan kemudian menjadikan Kerajaan Pringgadani sebagai bawahan Kerajaan Hastina.
Adipati Brajadenta memarahi
Raden Brajamusti yang berani memaki tamunya. Raden Brajamusti meminta maaf dan
menegaskan sekali lagi apakah kakaknya itu bersedia ikut dirinya pergi ke
Kerajaan Pringgadani untuk dilantik sebagai patih? Adipati Brajadenta menolak
dengan tegas. Ia bersedia datang ke sana apabila yang menjadi raja bukan Arya
Gatutkaca.
Mendengar jawaban itu, Raden
Brajamusti merasa tidak ada gunanya berlama-lama lagi. Ia pun mohon pamit
kembali ke Kerajaan Pringgadani.
Setelah Raden Brajamusti
pergi, Patih Sangkuni memberi saran agar Adipati Brajadenta menangkap adiknya
tersebut. Syukur apabila Raden Brajamusti bisa ditarik bergabung dengan
dirinya. Apabila tidak bersedia, lebih baik disingkirkan daripada menjadi
penambah kekuatan pihak Pandawa. Adipati Brajadenta setuju dan segera memimpin
pasukan mengejar Raden Brajamusti. Para Kurawa pun ikut serta.
PARA KURAWA GAGAL MENANGKAP RADEN BRAJAMUSTI
Raden Brajamusti yang
meninggalkan Kadipaten Glagahtinunu bertemu Raden Antareja dan Raden Antasena
di tengah jalan. Kedua pemuda itu sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan
Pringgadani untuk menyaksikan pelantikan Arya Gatutkaca sebagai raja. Mereka
pun memberi hormat kepada Raden Brajamusti.
Raden Brajamusti bercerita
bahwa dirinya ditugasi Dewi Arimbi dan para Pandawa untuk menjemput Adipati Brajadenta
yang sedianya hendak dijadikan sebagai calon patih mendampingi Arya Gatutkaca.
Namun, kakaknya itu telah terkena hasutan Patih Sangkuni untuk memberontak.
Tidak lama kemudian datanglah
Adipati Brajadenta bersama pasukan Glagahtinunu dan para Kurawa mengejar Raden
Brajamusti. Raden Antareja yang pernah memberontak karena dihasut Patih
Sangkuni tidak ingin kejadian itu terulang lagi dan menimpa Adipati Brajadenta.
Ia pun maju menerjang para Kurawa. Raden Antasena ikut membantu kakaknya.
Pertempuran pun meletus.
Adipati Brajadenta marah
melihat kedua pemuda itu memukul mundur pasukannya. Ia pun maju menghadapi
mereka. Raden Antareja terdesak dan bertanya kepada Raden Brajamusti bagaimana
caranya mengalahkan Adipati Brajadenta. Raden Brajamusti tidak menjawab,
melainkan mengajak Raden Antareja dan Raden Antasena untuk mundur saja, tidak
perlu buang-buang tenaga menghadapi Adipati Brajadenta. Raden Antareja dan
Raden Antasena heran, namun tidak berani membantah ucapan sang paman.
ARYA GATUTKACA BERZIARAH KE CANDI MAKAM PRABU TREMBOKO
Sementara itu, Arya Gatutkaca
yang menjadi bahan pembicaraan saat ini sedang berziarah ke candi makam
kakeknya, yaitu Prabu Tremboko. Dalam kunjungannya itu, ia memohon restu kepada
sang kakek agar diizinkan menduduki takhta Kerajaan Pringgadani, memimpin
seluruh rakyat.
Tiba-tiba muncul penampakan
sosok raksasa besar di hadapan Arya Gatutkaca. Sosok tersebut tidak lain adalah
roh Prabu Tremboko yang sengaja datang untuk merestui Arya Gatutkaca. Seumur
hidup baru kali ini Arya Gatutkaca melihat wajah kakeknya, meskipun tampak
samar-samar antara ada dan tiada. Ia pun segera menyembah kaki sang kakek
dengan perasaan haru.
Setelah memberikan restu
kepada cucunya itu, roh Prabu Tremboko pun bercerita tentang dirinya di zaman dulu
pernah berguru kepada Prabu Pandu Dewanata, kakek Arya Gatutkaca dari pihak
ayah. Saat itu Prabu Tremboko mendapat ilmu kesaktian berupa Aji Brajadenta dan
Aji Brajamusti. Akibat belajar ilmu tersebut, tiba-tiba dari paha kiri dan
kanan Prabu Tremboko keluar dua bayi raksasa. Prabu Tremboko pun menjadikan
mereka sebagai putra yang diberi nama Raden Brajadenta dan Raden Brajamusti.
Kini cucu Prabu Pandu akan
dilantik menjadi raja Pringgadani. Itu artinya usia Raden Brajadenta dan Raden
Brajamusti tidak akan lama lagi. Mereka akan segera musnah, kembali menjadi
ilmu kesaktian yang bersatu dalam diri Arya Gatutkaca selaku cucu Prabu Pandu.
Arya Gatutkaca prihatin
mendengarnya. Ia tidak ingin menjadi raja daripada kehilangan kedua pamannya
tersebut. Prabu Tremboko menegur cucunya itu. Meskipun Arya Gatutkaca menolak
menjadi raja tetap saja Raden Brajadenta dan Raden Brajamusti akan mati. Tidak
ada manusia yang hidup abadi. Mati sekarang atau besok apa bedanya? Justru
apabila Arya Gatutkaca menolak menjadi raja, maka yang kasihan adalah rakyat
jelata yang tidak mempunyai seorang pemimpin yang cakap.
Arya Gatutkaca mencoba
memantapkan hati. Prabu Tremboko berpesan kepada cucunya itu agar segera pulang
ke Kerajaan Pringgadani, karena di sana para sesepuh sudah berdatangan untuk
menyaksikan upacara pelantikannya. Usai berkata demikian, roh Prabu Tremboko
pun musnah dari pandangan.
Arya Gatutkaca menyembah
menghormati makam kakeknya, kemudian ia pergi melesat ke angkasa.
PELANTIKAN ARYA GATUTKACA MENJADI RAJA PRINGGADANI
Di Kerajaan Pringgadani, Dewi
Arimbi didampingi tiga adiknya, yaitu Raden Brajalamatan, Raden Brajawikalpa,
dan Raden Kalabendana menyambut kehadiran para tamu dari berbagai negeri,
antara lain Pandawa Lima dari Kerajaan Amarta, Prabu Kresna dari Kerajaan
Dwarawati, Prabu Baladewa dari Kerajaan Mandura, serta sesepuh para raja Tanah
Jawa, yaitu Prabu Matsyapati dari Kerajaan Wirata.
Tidak lama kemudian, datanglah
Arya Gatutkaca yang segera menyembah hormat kepada mereka semua. Ia mengaku baru
saja berziarah ke candi makam Prabu Tremboko sebelum menerima kehormatan dilantik
sebagai raja Pringgadani. Para hadirin senang mendengarnya dan mereka pun
memulai upacara pelantikan tersebut.
Prabu Matsyapati selaku raja
tertua pun memimpin upacara. Arya Gatutkaca resmi dinobatkan sebagai raja
Pringgadani, bergelar Prabu Purubaya. Namun, ia meminta tetap dipanggil dengan
nama Arya Gatutkaca saja karena merangkap jabatan pula sebagai senapati
Kerajaan Amarta. Nama panggilan Prabu Purubaya hanyalah dipakai untuk urusan
resmi Kerajaan Pringgadani saja.
ADIPATI BRAJADENTA MENGAMUK DI ISTANA PRINGGADANI
Tiba-tiba datanglah Raden
Brajamusti yang melaporkan bahwa dirinya gagal membawa serta Adipati
Brajadenta. Ia juga berkata bahwa Adipati Brajadenta menolak kedudukan sebagai
patih dan berniat memberontak karena hasutan Patih Sangkuni. Mendengar itu,
Prabu Baladewa marah-marah karena selalu saja Patih Sangkuni menyebarkan
fitnah. Mula-mula Prabu Boma Narakasura dihasut, kemudian Raden Antareja, dan
sekarang ganti Adipati Brajadenta yang menjadi sasaran.
Tidak lama kemudian terdengar
suara ribut-ribut di luar. Rupanya Adipati Brajadenta dengan bala tentaranya
telah tiba dan membuat kekacauan di wilayah Kerajaan Pringgadani. Raden
Brajalamatan dan Raden Brajawikalpa segera memimpin pasukan menghadapi serangan
itu. Namun, mereka terdesak mundur oleh kesaktian sang kakak yang perkasa.
Dewi Arimbi marah besar
melihat ulah Adipati Brajadenta. Ia pun mengambil wujud aslinya yang seorang raksasi
untuk mengamuk menyerang Adipati Brajadenta. Adipati Brajadenta menghindari
serangan sambil mulutnya menuduh Dewi Arimbi telah menjual negara, menjadi
budak para Pandawa. Mendengar tuduhan itu, Dewi Arimbi semakin marah dan
menyerang Adipati Brajadenta dengan gencar.
Adipati Brajadenta jelas lebih
sakti dan lebih berpengalaman dalam pertempuran dibanding Dewi Arimbi. Meskipun
tidak pernah menyerang dengan ganas, namun ia sudah berhasil membuat Dewi
Arimbi terdesak kewalahan.
ARYA GATUTKACA MENGHADAPI ADIPATI BRAJADENTA
Melihat keadaan Dewi Arimbi
yang terdesak namun berusaha sekuat tenaga untuk bertahan, Prabu Kresna pun
mendatangi Arya Wrekodara untuk menyampaikan hal itu. Prabu Kresna
memanas-manasi Arya Wrekodara apakah tidak sayang pada istri? Melihat istri
kewalahan menghadapi musuh, apakah Arya Wrekodara tidak ingin membantu?
Arya Wrekodara menjawab, yang
dihadapi Dewi Arimbi bukan musuh, tetapi adiknya sendiri. Pertempuran ini
adalah soal perebutan warisan negara antara dua orang saudara. Arya Wrekodara
tidak ingin terlibat dalam masalah warisan semacam ini.
Prabu Kresna bertanya apakah
Arya Wrekodara tidak ingin membantu istri memenangkan haknya? Arya Wrekodara
menjawab tidak mau ikut campur soal warisan. Jika nanti Dewi Arimbi mati dalam
pertarungan ini, maka Arya Wrekodara pun merelakannya.
Prabu Kresna tersenyum senang
mendengar jawaban Arya Wrekodara. Ia lalu berjalan menghampiri Arya Gatutkaca.
Kepada pemuda itu ia berkata bahwa betapa besar pengorbanan Dewi Arimbi untuk
memuliakan putranya. Namun, mengapa Arya Gatutkaca hanya diam berpangku tangan
melihat ibunya bertarung menghadapi pemberontak?
Arya Gatutkaca menjawab
dirinya bimbang karena harus menghadapi paman sendiri. Prabu Kresna berkata
bahwa, Adipati Brajadenta saat ini bukan lagi seorang paman, tetapi sudah
menjadi musuh negara. Ini adalah ujian pertama yang harus dihadapi Arya
Gatutkaca sebagai raja Pringgadani yang baru dilantik.
Arya Gatutkaca memantapkan
hati, lalu maju menerjang Adipati Brajadenta untuk memberikan kesempatan kepada
Dewi Arimbi agar bisa mundur ke belakang. Setelah ibunya selamat, Arya
Gatutkaca pun menyembah Adipati Brajadenta dan meminta maaf atas serangannya
tadi. Ia juga berkata bahwa dirinya ikhlas menyerahkan takhta Kerajaan
Pringgadani asalkan sang paman menghentikan perbuatannya merusak negara
sendiri.
Adipati Brajadenta justru
marah mendengarnya. Ia tidak sudi menerima belas kasihan Arya Gatutkaca. Yang
ia inginkan hanyalah menunjukkan kepada rakyat Pringgadani bahwa dirinya lebih pantas
menjadi raja daripada yang lain. Maka, ia pun menantang Arya Gatutkaca untuk
bertanding menentukan siapa yang lebih unggul dan lebih layak memimpin negara.
Usai berkata demikian, Adipati
Brajadenta pun menyerang Arya Gatutkaca. Pertarungan pun terjadi. Arya
Gatutkaca hanya menghindar dan sesekali menangkis serangan pamannya, tanpa
membalas sama sekali. Hal itu membuat dirinya lama-lama terdesak. Hingga
akhirnya, Adipati Brajadenta mengerahkan Aji Gelap Sakethi membuat tubuh Arya
Gatutkaca terlempar ke udara.
AKHIR RIWAYAT DUA RAKSASA KEMBAR
Raden Brajamusti melompat
menyambar tubuh Arya Gatutkaca dan membawanya mendarat di tanah. Dewi Arimbi
dan yang lain pun mengerumuni Arya Gatutkaca dan bertanya mengapa tidak
membalas serangan Adipati Brajadenta. Arya Gatutkaca berkata bahwa saat berziarah
ke makam Prabu Tremboko, ia didatangi roh kakeknya itu yang mengatakan bahwa
apabila keturunan Prabu Pandu menjadi raja Pringgadani, maka itu berarti
kehidupan Adipati Brajadenta dan Raden Brajamusti akan segera berakhir. Karena
teringat hal itulah, Arya Gatutkaca tidak ingin bertarung menghadapi pamannya
tersebut.
Mendengar itu, Raden
Brajamusti tersenyum dan berkata bahwa dirinya memang sudah mengetahui tentang
hal ini. Tadinya ia mengira akan mati karena sakit mendadak, tidak tahunya sekarang
harus mati karena menghadapi pemberontakan kakak sendiri. Namun, Raden
Brajamusti tidak takut mati. Sebagai kesatria, mati perang jauh lebih mulia
daripada mati merana di atas tempat tidur.
Arya Gatutkaca tidak rela
kehilangan paman-pamannya. Ia menyatakan lebih baik tidak menjadi raja daripada
berpisah dengan mereka. Raden Brajamusti menjawab, semua manusia asalnya tiada
akan kembali pada ketiadaan. Dahulu kala tidak ada manusia bernama Brajamusti,
maka apabila besok pun tidak ada, apa anehnya? Justru apabila Arya Gatutkaca
menolak menjadi raja, maka yang paling rugi adalah rakyat Pringgadani. Daripada
rakyat Pringgadani kehilangan pemimpin hebat, tentu lebih lebih baik kehilangan
dua raksasa Brajadenta dan Brajamusti.
Dewi Arimbi menyela berkata,
dirinya tidak tega melihat kedua adiknya bertarung dan saling bunuh. Raden
Brajamusti menjawab, seumur hidup Adipati Brajadenta tidak pernah mau bertarung
dengan dirinya, karena apabila mereka bertarung pasti akan mati bersama. Oleh
sebab itu, cara yang paling tepat untuk mengalahkan kakaknya itu ialah dengan
menyusup ke dalam tangan kiri Arya Gatutkaca.
Tanpa menunggu izin Arya
Gatutkaca, Raden Brajamusti pun masuk menyusup ke dalam tangan kiri
keponakannya itu. Prabu Kresna yang telah melihat semuanya segera menyuruh Arya
Gatutkaca maju menantang kembali Adipati Brajadenta. Ia membesarkan hati Arya
Gatutkaca bahwa ini bukanlah pembunuhan seorang paman oleh keponakannya, tetapi
kisah seorang keponakan yang mengantarkan sang paman menjemput takdirnya.
Arya Gatutkaca pun maju
kembali. Ia menantang Adipati Brajadenta melanjutkan pertarungan. Adipati
Brajadenta kembali menyerang Arya Gatutkaca dengan gencar. Arya Gatutkaca hanya
menangkis dengan tangan kanan karena hatinya masih bimbang jika harus
kehilangan kedua paman. Namun, lama-lama serangan Adipati Brajadenta semakin
dahsyat, membuat Arya Gatutkaca terdesak hebat. Pada saat-saat genting itulah,
Arya Gatutkaca menggerakkan tangan kiri sambil memejamkan mata. Tangan kirinya
itu tepat menghantam dada Adipati Brajadenta. Seketika Adipati Brajadenta pun
roboh kehilangan nyawa, dan dari tangan kiri Arya Gatutkaca keluar pula sosok
Raden Brajamusti yang juga telah tewas.
WASIAT TERAKHIR ADIPATI BRAJADENTA
Arya Gatutkaca menangis di
samping jasad kedua pamannya. Tiba-tiba ia melihat roh Adipati Brajadenta dan
Raden Brajamusti berdiri di hadapannya. Roh Adipati Brajadenta menghibur Arya
Gatutkaca agar jangan bersedih hati. Ia berkata, dirinya sudah lama mendengar
ramalan bahwa ajalnya akan tiba apabila keturunan Prabu Pandu menjadi raja
Pringgadani.
Adipati Brajadenta sama sekali
tidak takut pada ramalan itu. Namun, ia juga tidak ingin mati karena sakit
mendadak. Lebih baik ia mengadakan pemberontakan, sekaligus menjadi ujian
pertama Arya Gatutkaca sebagai raja. Kebetulan pula Patih Sangkuni datang
menghasut, maka ini bisa menjadi alasan Adipati Brajadenta untuk mengantarkan
nyawa.
Adipati Brajadenta juga
mengetahui kalau Raden Brajamusti telah menyusup di tangan kiri Arya Gatutkaca.
Itulah sebabnya, dalam pertarungan tadi ia selalu memaksa Arya Gatutkaca agar
menggunakan tangan kirinya. Begitu tangan kiri yang mengandung Raden Brajamusti
digunakan, seketika Adipati Brajadenta pun tewas menjemput takdirnya.
Arya Gatutkaca memohon maaf
telah menjadi penyebab kematian kedua pamannya. Adipati Brajadenta menjawab,
tidak ada yang perlu disesalkan. Dahulu kala Prabu Pandu mengajarikan ilmu
kesaktian Aji Brajadenta dan Aji Brajamusti kepada Prabu Tremboko. Ada
keajaiban alam di mana kedua ajian tersebut berubah menjadi raksasa kembar yang
diambil sebagai putra oleh Prabu Tremboko. Kini sudah saatnya mereka kembali ke
asal, yaitu bergabung dalam tubuh keturunan Prabu Pandu sebagai ilmu kesaktian.
Usai berkata demikian, roh
Adipati Brajadenta pun masuk ke dalam tangan kanan Arya Gatutkaca, sedangkan
roh Raden Brajamusti masuk ke dalam tangan kirinya. Arya Gatutkaca terharu, dan
merasa kekuatan kedua tangannya meningkat pesat.
RADEN BRAJALAMATAN MENJADI PATIH BARU
Arya Gatutkaca lalu mendatangi
ketiga pamannya yang lain, yaitu Raden Brajalamatan, Raden Brajawikalpa, dan
Raden Kalabendana. Karena Adipati Brajadenta telah gugur, maka jabatan patih
Kerajaan Pringgadani diserahkan kepada Raden Brajalamatan, yang mulai saat ini
diberi gelar Patih Prabakesa. Adapun Raden Brajawikalpa ditunjuk menggantikan
tugas Raden Brajamusti sebagai kepala angkatan perang Kerajaan Pringgadani.
Raden Brajawikalpa diberi nama gelar Arya Prabagati. Sementara itu, Raden
Kalabendana diangkat sebagai kepala urusan rumah tangga Keraton Pringgadani.
Ketiga pamannya itu pun menerima perintah dengan penuh tanggung jawab.
Patih Prabakesa dan Arya
Prabagati lalu menggempur Patih Sangkuni dan para Kurawa. Orang-orang Hastina
itu terdesak mundur dan kembali ke negara mereka.
Setelah suasana tenang kembali,
Arya Gatutkaca pun memimpin pemakaman jasad Adipati Brajadenta dan Raden
Brajamusti dengan diiringi upacara kenegaraan yang disaksikan para Pandawa dan
hadirin lainnya.
Adipati Brajadenta |
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
Untuk kisah perang antara Prabu Tremboko dan Prabu Pandu bisa dibaca di sini.
Untuk kisah pernikahan Arya Wrekodara dan Dewi Arimbi bisa dibaca di sini.
terimakasih atas kerja kerasmu mas/pak, semoga bermanfaat bagi para generasi muda, saya sangat mengapresiasinya
BalasHapusCerita nya menarik kan tetapi dalam lakon yg lain cerita nya mudah di tebak alur cerita nya karena kbanyakn kisah nya sama cuma ada pengantian nama pemeran aja
BalasHapusTerima kasih atas kunjungan dan masukannya.
BalasHapus