Kisah ini menceritakan Prabu Pandu berusaha memenuhi idaman Dewi Madrim
yang ingin bertamasya mengendarai Lembu Andini. Kisah dilanjutkan dengan perang
besar antara Kerajaan Hastina melawan Kerajaan Pringgadani yang disebut dengan
istilah Perang Pamuksa. Dalam perang ini Prabu Tremboko tewas, sedangkan Prabu
Pandu terluka di paha, dan kelak ini menjadi penyebab kematiannya.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta)
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang saya padukan dengan rekaman pentas Ki Manteb Soedharsono dan pentas Ki
Purbo Asmoro, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 15 Juli 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Prabu Tremboko melawan Prabu Pandu |
DEWI MADRIM MENGIDAM NAIK LEMBU ANDINI
Prabu Pandu Dewanata di
Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri oleh Adipati Dretarastra,
Dewi Gandari, Resi Krepa, dan Patih Sangkuni. Dalam pertemuan itu mereka
membahas tentang hubungan antara Kerajaan Hastina dan Kerajaan Pringgadani yang
belum juga membaik, bahkan semakin memburuk. Patih Sangkuni bahkan melaporkan tentang
para prajurit perbatasan yang sering terlibat bentrokan dengan para raksasa
Pringgadani yang berusaha menyerang masuk ke wilayah Hastina.
Selain permasalahan dengan Kerajaan
Pringgadani, Prabu Pandu juga sedang pusing memikirkan istri keduanya, yaitu
Dewi Madrim yang sedang mengandung lima bulan. Akhir-akhir ini, Dewi Madrim
sering merengek meminta hal yang sangat aneh, yaitu ia ingin bertamasya bersama
Prabu Pandu dengan mengendarai Lembu Andini. Padahal, semua orang tahu bahwa
Lembu Andini adalah sapi kahyangan, kendaraan pribadi Batara Guru sang raja
dewa.
Demikianlah, Prabu Pandu
merasa bingung mengatasi masalah ini. Pada saat Kerajaan Hastina sedang sibuk
menghadapi perselisihan dengan Kerajaan Pringgadani, tiba-tiba saja Dewi Madrim
meminta hal yang aneh seperti itu. Dalam hal ini Prabu Pandu merasa bimbang mana
yang lebih baik harus didulukan.
Dewi Gandari tiba-tiba menyela
pembicaraan. Ia mengatakan bahwa Dewi Madrim kali ini sedang mengidam. Sebagai
sesama perempuan, ia dapat merasakan betapa sedihnya apabila suami tidak dapat
mewujudkan idaman istri yang sedang mengandung.
Sebenarnya istri yang mengidam itu bukan ingin menyusahkan suami, tetapi
ingin lebih diperhatikan. Mungkin selama ini Prabu Pandu terlalu sibuk
memikirkan urusan negara, sehingga lupa memerhatikan Dewi Madrim. Bagaimanapun
juga Dewi Madrim sedang mengandung calon penerus silsilah Kerajaan Hastina. Untuk
itu, tiada salahnya apabila Prabu Pandu meluangkan waktu untuk mengusahakan
permintaan Dewi Madrim yang aneh itu, sebagai bukti tanda cinta suami terhadap
istri.
Adipati Dretarastra
membenarkan ucapan istrinya. Ia menyarankan agar Prabu Pandu segera naik ke
Kahyangan Jonggringsalaka, meminjam Lembu Andini barang sehari kepada Batara
Guru. Adipati Dretarastra berusaha meyakinkan bahwa di masa kecilnya dulu,
Prabu Pandu pernah berjasa terhadap para dewa, yaitu menumpas Prabu Nagapaya
yang menyerang kahyangan. Apabila Prabu Pandu meminjam Lembu Andini barang
sehari, tentu Batara Guru akan mengizinkan dengan suka rela.
Prabu Pandu masih saja
ragu-ragu. Ia takut Batara Guru akan murka jika kendaraan pribadinya dipinjam
untuk bertamasya. Lalu, bagaimana pula dengan permasalahan menghadapi Kerajaan
Pringgadani? Bukankah ini sama artinya menghindari urusan negara dan lebih
mementingkan urusan keluarga? Sebagai raja yang bijaksana, tentunya lebih baik
Prabu Pandu mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan
keluarga.
Patih Sangkuni pun ikut
bicara. Ia berusaha meyakinkan bahwa apa gunanya seorang raja mengangkat para
menteri dan punggawa jika mereka tidak bisa menangani persoalan. Sudah
sewajarnya apabila seorang raja menugasi bawahannya untuk menyelesaikan
masalah. Urusan menghadapi Kerajaan Pringgadani cukup diserahkan kepada dirinya
dan para punggawa, sedangkan urusan Dewi Madrim mengidam hanya bisa dipenuhi
oleh Prabu Pandu seorang. Bagaimanapun juga, Prabu Pandu adalah suami, maka tidak
mungkin urusan mewujudkan idaman istri diserahkan pada orang lain.
Prabu Pandu terdiam. Ia merasa
Adipati Dretarastra, Dewi Gandari, dan Patih Sangkuni sudah satu suara
menyarankan agar dirinya mengutamakan permintaan Dewi Madrim. Sebenarnya ia
ingin meminta pendapat lain sebagai penyeimbang, tetapi yang ada di situ hanya
Resi Krepa, yaitu kepala pendeta yang pendiam dan jarang bicara. Raden
Yamawidura yang bijaksana saat ini masih berada di Padepokan Arga Kumelun,
sedangkan Resiwara Bisma sang sesepuh kerajaan masih bertapa di Padepokan
Talkanda.
Prabu Pandu akhirnya
memantapkan hati untuk menerima saran dari Adipati Dretarastra bertiga. Ia pun
mohon restu kepada sang kakak semoga berhasil meminjam Lembu Andini kepada
Batara Guru. Urusan menghadapi Kerajaan Pringgadani sepenuhnya diserahkan
kepada Patih Sangkuni. Bagaimanapun juga Patih Sangkuni harus bisa mengusahakan
perdamaian. Namun, jika pihak Pringgadani masih juga bersikeras ingin
berperang, maka pasukan Hastina sama sekali tidak boleh gentar.
Patih Sangkuni menerima tugas
tersebut dan berusaha meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Prabu
Pandu merasa lega. Ia pun membubarkan pertemuan dan masuk ke dalam kedaton.
PRABU PANDU PAMIT KEPADA KEDUA ISTRINYA
Prabu Pandu lalu bertemu Dewi
Kunti dan Dewi Madrim yang menunggu di depan gapura kedaton. Mereka telah siap
dengan air bunga dalam jambangan untuk membasuh kaki sang suami. Dalam
kesempatan itu Prabu Pandu berpamitan kepada dua istrinya itu untuk segera naik
ke Kahyangan Jonggringsalaka, meminjam Lembu Andini kepada Batara Guru.
Dewi Madrim sangat senang mengetahui
idamannya akan segera terwujud. Sebaliknya, Dewi Kunti justru terlihat gugup
dan gelisah. Ia mengaku telah bermimpi melihat Prabu Pandu mengenakan pakaian
serba putih naik perahu di tengah lautan. Tiba-tiba muncul badai ganas yang
membuat perahu tersebut terbalik dan Prabu Pandu pun tenggelam tergulung ombak.
Dewi Madrim menjadi bimbang
setelah mendengar cerita Dewi Kunti. Ia pun meminta agar sang suami
mengurungkan niat untuk naik ke kahyangan. Ia mengaku rela apabila idamannya
tidak jadi diwujudkan. Namun, Prabu Pandu menolak hal itu. Ia telah memantapkan
hati untuk meminjam Lembu Andini dan bagaimanapun juga harus dapat diwujudkan.
Mengenai mimpi Dewi Kunti semoga itu hanyalah hiasan tidur yang tidak memiliki
makna. Namun, apabila benar dirinya harus menjadi korban juga tidak masalah.
Prabu Pandu justru merasa bangga jika bisa berkorban untuk keluarga daripada
diam berpangku tangan tanpa berusaha sama sekali.
Dewi Kunti tidak berani bicara
lagi. Ia hanya bisa berdoa agar usaha Prabu Pandu membawa hasil, dan juga agar sang
suami selalu mendapat perlindungan dari Yang Mahakuasa. Prabu Pandu merasa
senang. Namun, ketika ia hendak berangkat, tiba-tiba Dewi Madrim merengek minta
diizinkan ikut. Ia masih khawatir mendengar cerita Dewi Kunti. Apabila nanti
Batara Guru sudi meminjamkan Lembu Andini, maka Prabu Pandu dan dirinya bisa
langsung segera pergi bertamasya. Namun, apabila Batara Guru menolak dan
menghukum Prabu Pandu, maka Dewi Madrim bersedia untuk ikut dihukum bersama.
Prabu Pandu dan Dewi Kunti
menasihati Dewi Madrim agar tetap tinggal di istana. Namun, Dewi Madrim
menangis dan menuduh mereka tidak sayang kepadanya. Prabu Pandu akhirnya luluh.
Ia pun mengizinkan Dewi Madrim ikut serta bersama dirinya naik ke Kahyangan
Jonggringsalaka. Prabu Pandu juga berpesan agar Dewi Kunti menunggu di istana
dengan tenang karena semuanya pasti baik-baik saja.
PATIH SANGKUNI MENGADU DOMBA HASTINA DAN PRINGGADANI
Sementara itu, para Kurawa
yang dipimpin Raden Suyudana dan Raden Dursasana telah menunggu di luar istana.
Begitu melihat Patih Sangkuni keluar, mereka segera maju menghadap sang paman.
Patih Sangkuni tampak tersenyum senang karena usahanya akan segera berhasil.
Tidak lama kemudian hadir pula kedua adiknya, yaitu Aryaprabu Anggajaksa dan
Aryaprabu Sarabasanta dari Kerajaan Gandaradesa.
Aryaprabu Anggajaksa dan
Aryaprabu Sarabasanta menyampaikan laporan kepada sang kakak bahwa usaha untuk
mengadu domba Kerajaan Hastina dan Pringgadani telah berjalan baik sesuai
rencana. Sejak peristiwa Patih Gandamana dikeroyok para raksasa Pringgadani dan
diceburkan ke dalam Sumur Upas, hubungan antara kedua negara semakin renggang.
Prabu Pandu sudah mengusahakan perdamaian, namun Patih Sangkuni justru
memperkeruh keadaan.
Tanpa sepengetahuan Prabu
Pandu, diam-diam Patih Sangkuni memerintahkan kedua adiknya untuk menyusup ke
Kerajaan Pringgadani. Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta pun
mengerahkan pasukan untuk mengacau desa-desa pinggiran Pringgadani. Mereka merampok,
memerkosa, dan menyebarkan minuman keras atau candu untuk meracuni pikiran
rakyat Pringgadani. Pasukan ronda yang dikirim Prabu Tremboko berhasil
menangkap orang-orang Gandaradesa itu. Namun, saat tertangkap mereka mengaku
sebagai orang-orang Hastina yang sengaja disusupkan oleh Prabu Pandu demi merusak
Kerajaan Pringgadani dari dalam.
Aryaprabu Anggajaksa dan
Aryaprabu Sarabasanta melaporkan pula bahwa Prabu Tremboko sekeluarga telah
berhasil dibakar amarahnya. Mereka pun berubah sikap dari yang dulu memuja
Prabu Pandu, sekarang menjadi sangat benci kepadanya. Mereka menuduh Prabu
Pandu seorang raja yang tampan parasnya tetapi busuk hatinya. Tidak hanya itu,
bahkan Prabu Tremboko telah memerintahkan putra sulungnya, yaitu Raden Arimba untuk
menyerang Kerajaan Hastina secara besar-besaran.
Patih Sangkuni sangat senang
mendengar laporan dari kedua adiknya. Ia pun telah menyusun siasat untuk
menyingkirkan Prabu Pandu. Ia berhasil membujuk Adipati Dretarastra dan Dewi
Gandari supaya ikut mendesak Prabu Pandu agar naik ke Kahyangan Jonggringsalaka
meminjam Lembu Andini, dan tidak perlu mengurusi Prabu Tremboko. Patih Sangkuni
yakin Batara Guru pasti murka dan menghukum mati Prabu Pandu karena hal ini. Jika
Prabu Pandu mati, maka takhta Kerajaan Hastina akan kembali pada yang berhak,
yaitu Adipati Dretarastra selaku putra sulung Bagawan Abyasa.
Tiba-tiba datang Arya Bargawa
yang melaporkan bahwa pasukan raksasa Pringgadani yang dipimpin oleh Raden
Arimba telah datang menyerang dan memasuki wilayah Kerajaan Hastina. Patih
Sangkuni menerima laporan itu dan berbalik memberikan perintah kepada sang
senapati Arya Banduwangka agar memimpin langsung pasukan garis depan untuk menghadapi
para raksasa tersebut. Arya Bargawa dan Arya Bilawa diperintah pula sebagai
senapati pengapit kanan dan kiri. Arya Bargawa menerima perintah tersebut lalu
berangkat menemui Arya Banduwangka dan Arya Bilawa.
Raden Suyudana bertanya apakah
dirinya boleh ikut berperang membela negara. Patih Sangkuni berkata bahwa para
Kurawa tidak perlu ikut berperang, tapi cukup menonton dari kejauhan saja. Jika
Arya Banduwangka menang, maka Patih Sangkuni akan ikut mendapat nama baik.
Tetapi, jika Arya Banduwangka gugur, maka Patih Sangkuni akan kehilangan
saingan. Syukur-syukur jika Arya Bargawa dan Arya Bilawa juga ikut tewas
bersama dengannya.
GUGURNYA ARYA BANDUWANGKA
Arya Bargawa telah sampai di tempat
Arya Banduwangka yang sedang bersiaga bersama Arya Biawa. Tiga punggawa tua itu
sudah menduga Patih Sangkuni tidak mungkin berani ikut perang di garis depan, melainkan
hanya main perintah saja. Arya Banduwangka yakin bahwa Patih Sangkuni
menginginkan kematiannya. Namun, ia sama sekali tidak takut jika harus mati
demi membela negara. Yang ia takutkan hanya satu, yaitu pengaruh jahat Patih
Sangkuni semakin besar dan membahayakan keselamatan Prabu Pandu sekeluarga.
Tidak lama kemudian terdengar
suara ribut bahwa pasukan raksasa dari Pringgadani sudah semakin dekat. Arya
Banduwangka pun memerintahkan pasukan Hastina untuk maju menghadapi serangan
tersebut. Maka, terjadilah pertempuran sengit. Kedua pihak saling serang,
saling berusaha mengalahkan lawan.
Arya Banduwangka yang sudah
mengabdi di Hastina sejak zaman Prabu Kresna Dwipayana semakin hari semakin
kesal melihat sepak terjang Patih Sangkuni yang berusaha merusak ketentraman
negara. Ia pun melampiaskan kekesalannya dengan mengamuk menggempur para
raksasa itu. Raden Arimba kewalahan menghadapi senapati tua tersebut. Ia tidak
mengira ternyata selain Patih Gandamana yang telah dipecat, Kerajaan Hastina
masih memiliki jago yang sedemikian hebat. Ditambah lagi dengan Arya Bargawa
dan Arya Bilawa yang sama-sama berbadan tinggi besar juga memiliki kekuatan
setara dengan para raksasa.
Raden Arimba lalu
memerintahkan adik-adiknya, yaitu Raden Brajadenta, Raden Brajamusti, Raden Brajalamatan,
dan Raden Brajawikalpa untuk bersama-sama mengeroyok Arya Banduwangka.
Menghadapi serangan para raksasa itu, Arya Banduwangka mulai kewalahan. Berangsur-angsur
ia kehabisan tenaga dan akhirnya lengah, sehingga tewas di tangan para raksasa
itu.
Melihat sang senapati telah
gugur, Arya Bargawa dan Arya Bilawa segera mengambil alih pimpinan dan bersama
menggempur para raksasa Pringgadani. Raden Arimba merasa cukup untuk hari ini.
Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur ke perkemahan menghindari amukan
Arya Bargawa dan Arya Bilawa.
PRABU PANDU MEMINJAM LEMBU ANDINI KEPADA BATARA GURU
Sementara itu, Prabu Pandu dan
Dewi Madrim telah sampai di Kahyangan Jonggringsalaka. Dewi Madrim menunggu di lapangan
Repatkepanasan, sedangkan Prabu Pandu masuk sendiri untuk menghadap Batara
Guru.
Batara Guru tampak duduk di
Balai Marcukunda dihadap Batara Narada dan segenap para dewa. Prabu Pandu
datang dan menyembah hormat lalu mengutarakan keinginannya untuk meminjam Lembu
Andini sebagai kendaraan bertamasya bersama Dewi Madrim yang sedang mengidam.
Prabu Pandu begitu yakin bahwa Batara Guru pasti sangat tersinggung mendegar
keinginannya itu. Maka, ia pun berjanji kelak jika meninggal dunia, biarlah
rohnya ditempatkan di dasar Kawah Candradimuka.
Batara Guru dan para dewa
terkejut mendengar ucapan Prabu Pandu. Sungguh Batara Guru tidak mengira kalau
Prabu Pandu akan berjanji demikian. Padahal, ia sama sekali tidak keberatan
apabila raja Hastina tersebut meminjam Lembu Andini untuk memenuhi idaman
istri, mengingat jasa Prabu Pandu yang begitu besar di masa lalu.
Batara Guru pun memberi
perintah kepada Lembu Andini untuk menjadi kendaraan Prabu Pandu dan Dewi
Madrim selama sehari penuh. Lembu Andini mematuhi lalu ia pun berjalan
mendekati Prabu Pandu. Karena permintaannya dikabulkan, Prabu Pandu merasa
senang. Ia menyembah kepada Batara Guru dan para dewa kemudian langsung naik ke
punggung Lembu Andini dan mengendarainya keluar menuju Kori Selamatangkep.
Batara Guru dan para dewa
tertegun melihat sikap Prabu Pandu yang kehilangan tata krama. Bahkan, ada
beberapa dewa yang mengusulkan agar Prabu Pandu segera dicabut nyawanya sebagai
balasan atas kekurangajaran ini. Namun demikian, rasa sayang Batara Guru
terhadap Prabu Pandu terlalu besar. Ia pun memerintahkan Batara Yamadipati agar
pergi bersama istrinya, yaitu Batari Komini, untuk mengawasi Prabu Pandu dari
kejauhan. Batara Guru khawatir dalam acara tamasya nanti, Prabu Pandu dan Dewi
Madrim lupa diri sehingga melanggar kutukan Resi Kindama di masa lalu.
Begitu mendapat perintah,
Batara Yamadipati segera mohon pamit berangkat menemui istrinya untuk kemudian
bersama-sama mengikuti perjalanan Prabu Pandu.
PRABU PANDU DAN DEWI MADRIM DIINGATKAN OLEH BATARA YAMADIPATI DAN
BATARI KOMINI
Prabu Pandu dan Dewi Madrim
telah duduk di atas punggung Lembu Andini. Bersama-sama mereka melanglang
buana, menikmati keindahan alam dari atas langit. Tiba-tiba di bawah terlihat
sebuah taman bunga alami yang membentang di kaki Gunung Madusakawan. Dewi
Madrim sangat terkesan dan ingin bermain di taman tersebut. Lembu Andini
menurut dan segera mendarat di sana.
Prabu Pandu dan Dewi Madrim lalu
berjalan kaki menyusuri taman indah itu. Bunga-bunga yang tumbuh secara alami tampak
bermekaran, disertai suara burung bersahut-sahutan menambah indahnya suasana.
Mereka berdua merasa betah berada di situ sehingga tanpa sadar matahari pun
telah bergeser ke ufuk barat.
Sinar matahari senja yang
menerpa tubuh Dewi Madrim membuat parasnya terlihat semakin cantik. Prabu Pandu
menjadi terlena. Perlahan ia memeluk tubuh istri keduanya itu dan mengajaknya
bermesraan. Dewi Madrim sendiri juga sedang terlena. Selama menikah ia sama
sekali belum pernah merasakan nikmatnya hubungan suami istri, karena Prabu Pandu
terlanjur mendapat kutukan dari Resi Kindama. Janin yang kini dikandungnya memang
berasal dari benih sang suami, tetapi ditanam di dalam perutnya dengan bantuan
Resi Druwasa dan dimatangkan oleh dewa kembar Batara Aswan dan Batara Aswin.
Belum sempat Prabu Pandu
membuka pakaian, tiba-tiba muncul sepasang kijang yang saling kejar-kejaran,
kemudian bermesraan di hadapan mereka. Prabu Pandu dan Dewi Madrim tersinggung
karena merasa disindir. Dewi Madrim pun meminta Prabu Pandu agar membunuh kedua
kijang itu sekaligus menjadikan mereka sebagai makanan di malam nanti. Prabu
Pandu segera melepaskan panah dan seketika mengenai kedua kijang tersebut.
Begitu terkena panah, kedua
kijang itu langsung musnah dan berubah wujud menjadi Batara Yamadipati dan
Batari Komini. Batara Yamadipati menjelaskan bahwa dirinya diutus Batara Guru
untuk mengawasi Prabu Pandu dan Dewi Madrim agar jangan sampai lupa diri
sehingga melanggar kutukan Resi Kindama. Dahulu kala Resi Kindama dan Rara
Dremi tewas saat bermesraan dalam wujud sepasang kijang karena dipanah oleh Prabu
Pandu. Resi Kindama pun mengutuk kelak apabila Prabu Pandu bermesraan dengan
istrinya, maka ia akan mendapatkan celaka. Untuk itulah, tujuan Batara
Yamadipati dan Batari Komini mengubah wujud menjadi sepasang kijang adalah untuk
mengingatkan Prabu Pandu akan peristiwa tersebut.
Prabu Pandu bukannya berterima
kasih, tetapi justru meminta Batara Yamadipati dan Batari Komini segera pulang ke
kahyangan. Ia sama sekali tidak butuh diawasi dan dibuntuti seperti penjahat.
Batara Yamadipati tersinggung dan berkata bahwa mungkin memang sudah tiba
saatnya Prabu Pandu menyelesaikan tugas-tugas di dunia. Ia pun berkata bahwa
kelak dirinya sendiri yang akan menjemput roh Prabu Pandu. Selesai berkata
demikian, Batara Yamadipati lalu mengajak istrinya pergi meninggalkan tempat
itu.
PRABU PANDU MENYURUH LEMBU ANDINI PULANG SENDIRI
Prabu Pandu merasa kesal
karena dirinya diawasi dari belakang oleh Batara Yamadipati seperti penjahat.
Rasa kesalnya pun meluap menjadi nafsu birahi saat melihat Dewi Madrim.
Keduanya sudah sama-sama lupa diri. Mereka pun melakukan hubungan badan di
dalam taman bunga tersebut hingga sama-sama merasa puas. Tiba-tiba halilintar
menyambar di angkasa. Prabu Pandu tertegun dan merasa kutukan Resi Kindama akan
segera menjadi kenyataan.
Prabu Pandu dan Dewi Madrim segera
berpakaian dan kemudian kembali ke tempat Lembu Andini yang menunggu di luar
taman. Prabu Pandu berkata bahwa matahari sudah terbenam, alangkah baiknya jika
Lembu Andini pulang sendiri ke tempat Batara Guru. Karena hari sudah senja, ia
merasa sudah tidak berhak lagi duduk di atas punggung sapi kahyangan tersebut.
Lembu Andini tersinggung dan menyebut
Prabu Pandu tidak tahu sopan santun karena menyuruh dirinya pulang begitu saja.
Namun, Prabu Pandu sudah terlanjur kesal kepada Batara Guru yang memerintahkan
Batara Yamadipati untuk mengawasi dirinya. Ia bersikukuh tidak mau mengantarkan
Lembu Andini pulang ke Kahyangan Jonggringsalaka. Lembu Andini menyebut Prabu Pandu
kekanak-kanakan, lalu ia pun melesat terbang ke angkasa.
Setelah Lembu Andini pergi,
Prabu Pandu segera menggendong Dewi Madrim dan berlari menuju Kerajaan Hastina
menggunakan Aji Sepi Angin.
RADEN PUNTADEWA DAN RADEN BRATASENA MENJEMPUT PULANG RADEN YAMAWIDURA
Sementara itu, Raden
Yamawidura (adik Prabu Pandu) sudah lima bulan berada di tempat istri barunya,
yaitu Endang Sinduwati, putri Resi Gunabantala di Padepokan Arga Kumelun. Pada
hari itu datang berkunjung dua keponakannya, yaitu Raden Puntadewa dan Raden
Bratasena.
Kedua putra Prabu Pandu tersebut
mengabarkan bahwa Kerajaan Hastina saat ini sedang kacau. Patih Gandamana telah
dipecat dan dipulangkan ke Kerajaan Pancala. Arya Suman pun dilantik sebagai
patih yang baru, bergelar Patih Sangkuni dan ia berhasil memengaruhi Adipati
Dretarastra dan Dewi Gandari untuk berkuasa di istana. Prabu Pandu tidak bisa
memusatkan pikirannya dengan tenang karena Dewi Madrim juga sedang mengidam
ingin naik Lembu Andini. Ditambah lagi, Kerajaan Hastina kini sedang berperang
dengan Kerajaan Pringgadani.
Raden Puntadewa pun meminta
sang paman agar segera kembali ke Hastina, mendampingi ayahnya menata negara.
Raden Yamawidura sangat prihatin atas hal ini. Ia pun meminta izin kepada Resi
Gunabantala dan Endang Sinduwati agar diperbolehkan kembali ke istana. Endang
Sinduwati sangat sedih. Sebenarnya ia ingin saat melahirkan nanti, sang suami
berada di sisinya. Adapun kandungannya saat ini baru berusia empat bulan, berarti
masih lima bulan lagi ia ingin bersama Raden Yamawidura.
Resi Gunabantala menasihati putrinya
bahwa Raden Yamawidura bukan hanya suami, tetapi juga jaksa agung Kerajaan
Hastina yang memiliki tugas dan tanggung jawab besar terhadap negara. Mengenai
kelak jika sudah tiba saatnya melahirkan, tentu Raden Yamawidura bisa datang
kembali ke Padepokan Arga Kumelun. Untuk saat ini Kerajaan Hastina sedang
kacau, maka alangkah baiknya Raden Yamawidura kembali ke istana untuk membantu
Prabu Pandu.
Endang Sinduwati akhirnya bisa
memaklumi. Ia pun merelakan Raden Yamawidura apabila ingin pulang ke Hastina.
Raden Yamawidura berterima kasih. Ia lalu berpesan apabila Endang Sinduwati
melahirkan bayi laki-laki, hendaknya diberi nama Raden Yuyutsu. Adapun putra
pertama Raden Yamawidura yang lahir dari Dewi Padmarini, putri Adipati
Dipacandra di Pagombakan, diberi nama Raden Sanjaya dan kini telah dewasa.
RADEN YAMAWIDURA BERTEMU RESIWARA BISMA DAN RADEN PERMADI
Raden Yamawidura, Raden
Puntadewa, dan Raden Bratasena telah meninggalkan Padepokan Arga Kumelun menuju
Kerajaan Hastina. Di tengah jalan mereka dihadang para raksasa yang mengaku
dari Kerajaan Pringgadani. Raden Bratasena pun maju untuk menghadapi mereka.
Tiba-tiba datang pula Resiwara Bisma dan Raden Permadi di tempat itu. Raden
Permadi segera terjun membantu sang kakak menumpas para raksasa tersebut.
Setelah para raksasa binasa,
Raden Yamawidura menyembah hormat kepada Resiwara Bisma dan saling bertanya
kabar. Resiwara Bisma menjelaskan bahwa Raden Permadi dan para panakawan telah
datang ke Padepokan Talkanda untuk melaporkan keadaan Kerajaan Hastina yang
kini semakin kacau. Selain itu, Kerajaan Hastina juga sedang berperang dengan
Kerajaan Pringgadani, dan ini sepertinya hasil adu domba Patih Sangkuni.
Mendengar itu, Resiwara Bisma merasa prihatin dan segera menuju Kerajaan
Hastina bersama Raden Permadi dan para panakawan.
Kebetulan Resiwara Bisma
berjumpa rombongan Raden Yamawidura. Karena tujuan yang sama, mereka pun
bersama-sama melanjutkan perjalanan menuju istana.
PRABU TREMBOKO MENYERANG KERAJAAN HASTINA
Prabu Tremboko raja
Pringgadani telah datang di perkemahan anak-anaknya. Ia pun mengumumkan bahwa
hari ini Kerajaan Pringgadani akan bertempur habis-habisan dengan pihak
Hastina. Raden Arimba dan adik-adiknya, serta segenap para raksasa bersorak
gembira. Mereka pun maju bersama-sama, menggempur Kerajaan Hastina.
Arya Bargawa dan Arya Bilawa
yang bersiaga di garis depan segera menyambut serangan itu. Maka, pertempuran
kembali meletus. Prabu Tremboko mengamuk menumpas pasukan Hastina. Arya Bargawa
pun gugur di tangan raja raksasa tersebut.
KEMATIAN PRABU TREMBOKO
Pada saat itulah Prabu Pandu
datang sambil menggendong Dewi Madrim. Ia segera memerintahkan Arya Bilawa
untuk mengamankan istrinya ke dalam istana. Arya Bilawa sebenarnya masih ingin
berperang mengadu nyawa, namun karena Prabu Pandu memaksa, ia tidak berani
membantah lagi. Segera ia pun mengantarkan Dewi Madrim masuk ke dalam istana
Hastina.
Prabu Pandu lalu menantang
Prabu Tremboko berperang tanding satu lawan satu, dan biarlah para prajurit
kedua pihak menjadi penonton. Prabu Tremboko setuju. Ia mengaku sadar bahwa
perang yang terjadi kali ini adalah akibat adu domba dari pihak yang tidak
menyukai persahabatan Kerajaan Hastina dan Pringgadani. Namun, semuanya sudah
kepalang tanggung. Prabu Tremboko dan pasukannya sudah terlanjur menjebak Patih
Gandamana, serta menewaskan Arya Banduwangka dan Arya Bargawa. Kini antara
dirinya dengan Prabu Pandu sebaiknya bertanding sampai mati salah satu. Jika
yang mati Prabu Tremboko anggap saja ada guru “nyuwargakake” murid. Sebaliknya,
jika Prabu Pandu yang tewas, anggap saja ada murid “nyuwargakake” gurunya.
Prabu Pandu bersedia. Mereka
lalu mulai bertanding. Para punggawa dan prajurit dari kedua pihak tegang
menyaksikan raja mereka bertarung. Prabu Pandu tampak bersenjatakan Keris
Pulanggeni, sedangkan Prabu Tremboko bersenjatakan Keris Kalanadah.
Prabu Pandu yang lebih lincah
dan cekatan berhasil menikam dada Prabu Tremboko. Raja raksasa itu pun roboh di
tanah bersimbah darah. Prabu Pandu tersenyum senang karena mengira kutukan Resi
Kindama tidak berlaku atas dirinya. Ia telah bersetubuh dengan Dewi Madrim
tetapi sama sekali tidak mendapatkan celaka, bahkan berhasil merobohkan Prabu
Tremboko.
Karena pikirannya takabur,
Prabu Pandu menjadi lengah. Tiba-tiba saja Prabu Tremboko bangkit kembali dan menancapkan
Keris Kalanadah di paha kanan Prabu Pandu. Setelah itu, Prabu Tremboko pun
tewas mengembuskan napas terakhirnya. Jasadnya terlihat musnah seperti asap. Melihat
sang ayah tewas, Raden Arimba segera memerintahkan pasukan untuk pulang ke
Kerajaan Pringgadani.
PRABU PANDU DIBAWA MASUK KE ISTANA
Rombongan Resiwara Bisma dan
Raden Yamawidura baru datang di tempat itu. Raden Bratasena sangat gugup
melihat ayahnya terluka berlumuran darah. Ia langsung menggendong tubuh Prabu
Pandu dan membawanya masuk ke dalam istana.
Adipati Dretarastra, Dewi
Gandari, Dewi Kunti, dan Dewi Madrim menangis melihat Prabu Pandu terluka
setelah bertarung melawan Prabu Tremboko. Patih Sangkuni juga ikut pura-pura
sedih. Ia pun menangis tapi dalam hati tertawa-tawa karena yakin ajal Prabu
Pandu akan segera tiba. Dengan demikian, dirinya bisa berkuasa penuh di
Kerajaan Hastina, mengendalikan para Kurawa.
Resiwara Bisma perlahan-lahan
mencabut Keris Kalanadah yang masih menancap di paha kanan Prabu Pandu, lalu
menyerahkannya kepada Raden Permadi untuk disimpan. Begitu pula dengan Keris
Pulanggeni yang masih berlumuran darah Prabu Tremboko juga diserahkan kepada
Pandawa nomor tiga tersebut.
Prabu Pandu tersenyum dan sama
sekali tidak takut jika dirinya harus meninggal, karena ini mungkin menjadi
penebus atas dosa-dosanya. Namun, Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura tidak mau
menyerah. Mereka pun memanggil para tabib agar segera mengobati luka sang raja.
------------------------------
TANCEB KAYON ------------------------------
CATATAN : Serat Pustakaraja Purwa versi Surakarta mengisahkan bahwa
Prabu Pandu jatuh sakit setelah memanah kijang penjelmaan Batara Yamadipati.
Kisah ini oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita diberi angka tahun Suryasengkala 689
yang ditandai sengkalan “ragoning brahmana angraras kamuksan”, atau tahun
Candrasengkala 710 yang ditandai sengkalan “muksaning ratu kaswareng wiyat”.
Sementara itu, menurut kisah-kisah pedalangan, Prabu Pandu terluka akibat
perang melawan Prabu Tremboko. Maka, dalam tulisan di atas, saya pun
menggabungkan keduanya menjadi satu cerita.
lanjutan kisahnya bisa dibaca dimana pak? penasaran nih bagaimana wafatnya prabu pandu?
BalasHapus