Sabtu, 23 Juli 2016

Pandu Banjut


Kisah ini menceritakan kematian Prabu Pandu, di mana ia menepati janjinya untuk masuk ke dalam Kawah Candradimuka. Dewi Madrim yang telah melahirkan Raden Nakula dan Raden Sadewa juga ikut bunuh diri menemani sang suami.

Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang saya padukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, serta rekaman pentas Ki Manteb Soedharsono, dengan sedikit pengembangan seperlunya.

Kediri, 23 Juli 2016

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Prabu Pandu Dewanata

PRABU PANDU MERASA SAKITNYA BERTAMBAH PARAH

Prabu Pandu Dewanata di Kerajaan Hastina sakit parah setelah bertempur melawan Prabu Tremboko dalam Perang Pamuksa. Dalam perang itu, Prabu Tremboko roboh tertusuk Keris Pulanggeni milik Prabu Pandu. Ketika Prabu Pandu merasa dirinya sudah menang, tiba-tiba pahanya ditusuk Prabu Tremboko menggunakan Keris Kalanadah. Setelah itu, Prabu Tremboko pun meninggal dengan jasad musnah, sedangkan Prabu Pandu terluka parah dan jatuh sakit.

Sudah dua bulan lamanya Prabu Pandu menderita sakit sekujur badan. Sudah sedemikian banyak para tabib, dukun, resi, pendeta yang diundang untuk mengobati lukanya tetapi sama sekali tidak membawa hasil. Bahkan, Prabu Pandu merasa sakitnya bertambah parah dan mungkin dalam beberapa hari lagi dirinya akan meninggal dunia.

Prabu Pandu pun teringat kutukan Resi Kindama belasan tahun yang lalu. Saat itu Resi Kindama dan Rara Dremi bermesraan dalam wujud sepasang kijang di Hutan Pramuwana. Kebetulan Prabu Pandu dan kedua istrinya sedang berburu. Atas permintaan Dewi Madrim, Prabu Pandu pun memanah kedua kijang tersebut. Akibatnya, Resi Kindama dan Rara Dremi pun tewas. Sebelum meninggal, Resi Kindama sempat mengutuk sang raja Hastina kelak akan mendapat celaka apabila bersetubuh dengan istrinya.

Kutukan tersebut membuat Prabu Pandu khawatir dirinya tidak bisa memiliki keturunan. Untungnya, Resi Druwasa muncul membawa sarana sehingga Prabu Pandu dapat menanam benihnya dalam rahim Dewi Kunti dan Dewi Madrim tanpa harus bersentuhan. Atas berkat para dewa, yaitu Batara Darma, Batara Bayu, dan Batara Indra, ketiga benih dalam rahim Dewi Kunti dapat lahir ke dunia dan kini mereka semua telah tumbuh remaja, yaitu Raden Puntadewa, Raden Bratasena, dan Raden Permadi. Adapun benih dalam rahim Dewi Madrim saat ini telah berkembang menjadi janin kembar, berkat bantuan Batara Aswan dan Batara Aswin.

Setelah berhasil menahan nafsu birahi selama belasan tahun, akhirnya Prabu Pandu tergoda juga melihat paras cantik Dewi Madrim saat mereka bertamasya mengendarai Lembu Andini. Prabu Pandu pun bermesraan dengan istrinya yang sedang hamil itu di sebuah taman bunga di kaki gunung. Akibatnya, kutukan Resi Kindama menjadi kenyataan. Prabu Pandu mendapat celaka saat bertarung melawan Prabu Tremboko yang terhitung masih muridnya sendiri.

Teringat pada kutukan itu, Prabu Pandu merasa sia-sia atas semua pengobatan pada dirinya saat ini. Ia pun mengumpulkan segenap anggota keluarga, yaitu Resiwara Bisma dari Talkanda, Adipati Dretarastra dan Dewi Gandari dari Gajahoya, Raden Yamawidura dari Pagombakan, Patih Sangkuni dari Plasajenar, serta Resi Krepa dari Timpurusa. Tidak ketinggalan Dewi Kunti, Dewi Madrim, Raden Puntadewa, Raden Bratasena, dan Raden Permadi juga hadir. Dalam pertemuan yang diadakan di kamar tidur itu, Prabu Pandu menyampaikan bahwa ajalnya sudah dekat. Ia ingin mengembalikan mandat sebagai raja Hastina kepada Resiwara Bisma.

Resiwara Bisma terharu mendengar penuturan sang keponakan. Jika memang Prabu Pandu sudah tidak sanggup lagi menjadi raja, maka Resiwara Bisma akan menyerahkan takhta kepada Raden Puntadewa. Akan tetapi, Patih Sangkuni menyela ikut bicara. Ia berpendapat bahwa Raden Puntadewa belum bisa menjadi raja karena masih belum menamatkan pendidikan. Selama ini para Pandawa dan Kurawa telah belajar ilmu tata negara dan ilmu agama kepada Resi Krepa. Memang Raden Puntadewa adalah murid Resi Krepa yang terbaik dan terpandai. Namun, ia sama sekali belum mempelajari ilmu perang.

Raden Bratasena membantah Patih Sangkuni. Meskipun belum mempelajari ilmu perang, namun dirinya memiliki bakat kesaktian dan kekuatan sejak lahir. Ia siap melindungi kakaknya sebagai raja Hastina dari segala ancaman bahaya. Patih Sangkuni menjawab bahwa berkelahi itu tidak sama dengan berperang. Meskipun Raden Bratasena memiliki bakat kesaktian dan kekuatan sejak lahir, namun ia sama sekali belum paham tentang siasat perang, tentang formasi perang, tentang tata cara memimpin pasukan dan sebagainya. Seorang raja yang hanya mengandalkan kekuatan satu orang akan mudah dikalahkan oleh musuh yang memiliki para prajurit terlatih.

Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura yang biasanya beda pendapat dengan Patih Sangkuni kali ini merasa setuju. Mereka pun memutuskan bahwa para Pandawa dan Kurawa harus menamatkan pelajaran ilmu perang terlebih dulu, barulah Raden Puntadewa bisa duduk di atas takhta Kerajaan Hastina. Untuk sementara, Adipati Dretarastra akan diangkat sebagai raja wakil yang menjalankan pemerintahan selama para putra belum dinyatakan lulus.

Prabu Pandu merasa lega atas keputusan tersebut. Ia ingin sebelum meninggal sempat berpamitan kepada sang ayah, yaitu Bagawan Abyasa di Padepokan Saptaarga. Raden Bratasena mengajukan diri untuk menjemput sang kakek, karena tidak mungkin jika ayahnya yang dibawa ke sana. Raden Permadi dan para panakawan pun siap menemani. Mereka lalu mohon pamit berangkat menuju Gunung Saptaarga.

PRABU SUKSARA DIHASUT PATIH BAKASURA UNTUK MENYERANG HASTINA

Tersebutlah Prabu Suksara, raja raksasa dari Kerajaan Ekacakra. Dahulu kala ia berpangkat patih dan mengabdi kepada Prabu Dawaka, raja Ekacakra yang sebelumnya. Saat itu Prabu Dawaka jatuh cinta kepada Dewi Ambika dan Dewi Ambalika, yaitu permaisuri Prabu Citrawirya raja Hastina. Patih Suksara pun diperintah untuk merebut mereka berdua, namun ia pulang dengan membawa kegagalan. Prabu Dawaka marah dan berangkat bersama gurunya yang bernama Danghyang Anala. Dalam usaha menculik Dewi Ambika dan Dewi Ambalika di Kerajaan Hastina, Danghyang Anala berhasil menewaskan Bagawan Santanu dan Prabu Citrawirya. Namun, ia sendiri tewas di tangan Raden Bisma. Adapun Prabu Dawaka kemudian tewas di tangan Resi Abyasa.

Raden Bisma dan Resi Abyasa mengampuni Patih Suksara yang tertangkap, lalu mempersilakannya pulang ke Ekacakra. Raden Bisma lalu menyerahkan takhta Hastina kepada Resi Abyasa, sedangkan dirinya menjadi pendeta bergelar Resiwara Bisma di Talkanda. Resi Abyasa pun menjadi raja bergelar Prabu Kresna Dwipayana, serta menikahi kedua janda Prabu Citrawirya, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Dari perkawinan itu lahirlah Adipati Dretarastra, Prabu Pandu, dan Raden Yamawidura.

Sementara itu, Patih Suksara menjadi raja di Ekacakra, bergelar Prabu Suksara. Pada suatu hari ia menerima kedatangan seorang pangeran raksasa bernama Raden Bakasura yang mengaku berasal dari Kerajaan Pringgadani dan merupakan adik Prabu Tremboko. Raden Bakasura kecewa karena Prabu Tremboko bersahabat dengan Prabu Pandu, padahal leluhur mereka yaitu Prabu Kuramba pendiri Kerajaan Pringgadani telah tewas di tangan leluhur Prabu Pandu yang bernama Resi Manumanasa, pendiri Padepokan Saptaarga.

Karena Raden Bakasura pandai bicara, Prabu Suksara pun mengangkatnya sebagai patih Kerajaan Ekacakra. Kini terdengar kabar bahwa Prabu Tremboko telah tewas di tangan Prabu Pandu dalam Perang Pamuksa. Patih Bakasura sangat prihatin dan berduka. Ia pun meminta izin kepada Prabu Suksara untuk menggempur Kerajaan Hastina demi membalaskan kematian kakaknya.

Prabu Suksara menolak karena dirinya bisa menjadi raja Ekacakra adalah berkat kemurahan hati Resiwara Bisma dan Bagawan Abyasa. Patih Bakasura terus-menerus menghasut sang raja agar menuruti keinginannya. Ia mengatakan bahwa Kerajaan Hastina adalah negeri paling besar pada zaman ini. Prabu Pandu sedang sakit keras sehingga ini adalah kesempatan emas untuk menaklukkan negeri tersebut. Mengenai Resiwara Bisma tidak perlu dikhawatirkan lagi, karena orang itu sudah tua dan lebih banyak menyepi di Padepokan Talkanda.

Prabu Suksara lama-lama tergoda oleh rayuan Patih Bakasura. Ia membayangkan dengan menaklukkan Kerajaan Hastina, maka Kerajaan Ekacakra akan menjadi negeri paling besar dan paling disegani. Berpikir demikian, Prabu Suksara pun memerintahkan Patih Bakasura untuk menyerang lebih dulu dengan pasukan secukupnya dari arah utara. Saat nanti pasukan Ekacakra dan Hastina sibuk bertempur, barulah Prabu Suksara menyerang dari arah selatan. Dengan demikian, Kerajaan Hastina akan jatuh ke tangan mereka.

Patih Bakasura sangat gembira. Ia lalu mohon pamit berangkat mendahului serangan.

RADEN BRATASENA DAN RADEN PERMADI MENGHADAPI PATIH BAKASURA

Pasukan Ekacakra yang dipimpin Patih Bakasura telah mencapai wilayah Kerajaan Hastina dari arah utara. Mereka bertemu Raden Bratasena, Raden Permadi, dan para panakawan yang sedang menuju ke Gunung Saptaarga. Mengetahui negerinya diserang, Raden Bratasena dan Raden Permadi segera memberikan perlawanan. Maka, terjadilah pertempuran di antara kedua pihak.

Benar apa yang dikatakan Patih Sangkuni, bahwa meskipun Raden Bratasena dan Raden Permadi memiliki bakat kesaktian sejak kecil, namun bertarung tidak sama dengan berperang. Mereka berdua berusaha menahan serangan pasukan raksasa tersebut, namun akhirnya kewalahan juga karena tidak memahami gelar formasi perang.

Melihat itu, Kyai Semar segera berlari secepat kilat kembali ke Kerajaan Hastina, melapor kepada sang senapati Arya Bilawa. Menerima laporan tersebut, Arya Bilawa segera membawa pasukan untuk membantu Raden Bratasena dan Raden Permadi. Dengan datangnya bala bantuan, keadaan menjadi terbalik. Kini ganti Patih Bakasura yang merasa terdesak. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur.

Raden Bratasena dan Raden Permadi berterima kasih atas bantuan Arya Bilawa. Kini mereka menyadari betapa pentingnya mempelajari ilmu perang. Keduanya lalu melanjutkan perjalanan ke Gunung Saptaarga bersama para panakawan.

BATARA GURU HENDAK MENGHUKUM PRABU PANDU

Sementara itu di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru sedang memimpin pertemuan para dewa yang dihadiri Batara Narada, Batara Indra, Batara Yamadipati, Batara Kamajaya, Batara Aswan, dan Batara Aswin. Mereka membahas tentang Prabu Pandu yang sakit parah dan mungkin sebentar lagi akan meninggal dunia.

Batara Indra mengingatkan kepada Batara Guru tentang dosa-dosa Prabu Pandu, antara lain berani memakai gelar Dewanata, yang bermakna “raja dewa”. Itu artinya ia berani menyamai kekuasaan Batara Guru selaku raja para dewa. Apalagi Prabu Pandu juga berani membangun istana Hastina hingga menyerupai kahyangan. Ini adalah dosa besar yang harus mendapatkan hukuman setimpal, yaitu diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka.

Mendengar itu, Batara Kamajaya menyela. Ia mengingatkan Batara Indra bahwa yang memberi nama Dewanata kepada Prabu Pandu justru Batara Indra sendiri. Dulu ketika Kahyangan Suralaya diserang Prabu Nagapaya, para dewa mengalami kekalahan. Raden Pandu yang masih berusia tujuh tahun pun dijemput dan dijadikan sebagai jago kahyangan. Prabu Nagaya berhasil ditumpas. Atas jasanya itu, Batara Guru menganugerahkan minyak ajaib Lenga Tala kepada Raden Pandu, sedangkan Batara Indra memberikan anugerah nama Dewanata kepadanya.

Nama “Dewanata” itu sama maknanya dengan “Surapati” yaitu gelar Batara Indra sendiri. Sedangkan, Batara Guru bergelar “Jagatnata” tentu saja berbeda dengan “Dewanata”. Jadi, menurut Batara Kamajaya, gelar Pandu Dewanata sama sekali tidak bermaksud menyamai Batara Guru, tetapi menyamai Batara Indra. Itu artinya, yang merasa tersinggung adalah Batara Indra sendiri. Dulu Batara Indra menganugerahkan gelar Dewanata, tetapi mengapa kini mempermasalahkannya? Sungguh aneh.

Batara Indra marah merasa didesak oleh Batara Kamajaya. Kedua dewa itu pun bertengkar dan buru-buru dipisah oleh Batara Narada. Batara Guru menjelaskan bahwa memang sudah tiba saatnya hari kematian Prabu Pandu. Mengenai hukuman terhadap Prabu Pandu memang harus dijalankan, tetapi bukan karena kesalahannya memakai nama Dewanata, atau membangun istana seperti kahyangan. Batara Guru mengingatkan Batara Kamajaya bahwa Prabu Pandu pernah meminjam Lembu Andini dan berjanji dirinya rela dimasukkan ke dalam Kawah Candradimuka sebagai ganti. Itu artinya, Prabu Pandu mendapat hukuman adalah untuk memenuhi ucapannya sendiri.

Batara Kamajaya terdiam tidak berani membantah lagi. Batara Guru lalu memerintahkan Batara Yamadipati untuk menjemput roh Prabu Pandu dan membawanya ke Gunung Jamurdipa. Batara Yamadipati menyatakan siap dan mohon pamit menjalankan perintah.

Setelah pertemuan bubar, Batara Kamajaya mengajak Batara Aswan dan Batara Aswin untuk membantu Prabu Pandu. Jika memang ajal Prabu Pandu sudah ditentukan, mereka tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Namun setidaknya, mereka akan mengusahakan bagaimana caranya agar Prabu Pandu bisa meninggal dengan tenang. Setelah bermusyawarah, mereka lalu membagi tugas. Batara Kamajaya pergi ke Gunung Saptaarga, sedangkan Batara Aswan dan Batara Aswin pergi ke Kerajaan Hastina.

BATARA KAMAJAYA MENJADIKAN RADEN PERMADI SEBAGAI ADIK ANGKAT

Batara Kamajaya sampai di Gunung Saptaarga. Di sana telah berkumpul Bagawan Abyasa, Raden Bratasena, Raden Permadi, dan para panakawan, yang semuanya bersiap-siap hendak berangkat menuju Kerajaan Hastina. Terlebih dulu Batara Kamajaya menyembah hormat kepada Kyai Semar yang merupakan penjelmaan ayah kandungnya, yaitu Batara Ismaya (kakak Batara Guru).

Batara Kamajaya mengabarkan bahwa Batara Guru telah mengutus Batara Yamadipati untuk menjemput roh Prabu Pandu dan memasukkannya ke dalam Kawah Candradimuka. Untuk itu, Batara Kamajaya datang lebih dulu ke Gunung Saptaarga agar bisa segera membawa Bagawan Abyasa menemui Prabu Pandu sesuai keinginannya. Raden Permadi tampak sangat sedih dan menangis haru ingin cepat-cepat bertemu ayahnya. Batara Kamajaya prihatin melihatnya. Ia teringat bahwa semua putra Prabu Pandu memiliki dewa pembimbing. Jika Raden Puntadewa dibimbing Batara Darma, Raden Bratasena dibimbing Batara Bayu, maka Raden Permadi seharusnya dibimbing Batara Indra. Namun sayangnya, Batara Indra iri hati pada nama besar Prabu Pandu yang dihormati para raja di segenap penjuru. Untuk itulah, Batara Kamajaya mengajukan diri sebagai pembimbing Raden Permadi, jika memang Batara Indra lepas tangan terhadap Pandawa nomor tiga tersebut.

Raden Permadi berterima kasih atas kemurahan Batara Kamajaya. Namun demikian, Batara Kamajaya melarangnya memanggil dengan sebutan kedewaan. Raden Permadi bahkan diizinkan untuk memanggil kakak saja kepadanya. Demikianlah, sejak saat itu antara Batara Kamajaya dan Raden Permadi terjalin persaudaraan sebagai kakak dan adik.

Setelah dirasa cukup, Batara Kamajaya lalu mempersilakan Bagawan Abyasa, Raden Bratasena, Raden Permadi, dan para panakawan untuk masuk ke dalam jubahnya. Dengan kekuasaannya, Batara Kamajaya pun membawa mereka semua terbang secepat kilat menuju Kerajaan Hastina.

LAHIRNYA RADEN NAKULA DAN RADEN SADEWA

Sementara itu, Batara Yamadipati telah sampai di Kerajaan Hastina dan menemui Prabu Pandu. Ia menyampaikan berita bahwa sudah tiba saatnya Prabu Pandu meninggalkan dunia fana dan memenuhi janji, yaitu masuk ke dalam Kawah Candradimuka.

Prabu Pandu meminta kelonggaran untuk berangkat setelah Dewi Madrim melahirkan, serta menunggu kedatangan Raden Bratasena dan Raden Permadi yang menjemput Bagawan Abyasa. Batara Yamadipati bersedia menunggu, namun hanya dalam batas waktu sehari ini saja, yaitu sebelum matahari terbenam.

Tidak lama kemudian, Batara Aswan dan Batara Aswin turun dari kahyangan dan memberi tahu Prabu Pandu bahwa mereka siap membantu agar Dewi Madrim segera melahirkan. Prabu Pandu bahagia dan sangat berterima kasih kepada sepasang dewa kembar tersebut.

Batara Aswan dan Batara Aswin lalu menemui Dewi Madrim. Dengan kekuasaan mereka, janin dalam rahim Dewi Madrim pun dimatangkan dalam waktu singkat. Pada hari itu pula, Dewi Madrim melahirkan bayi kembar laki-laki. Tidak hanya itu, kedua bayi tersebut juga diubah menjadi anak-anak usia sepuluh tahun, agar tidak selisih terlalu jauh dengan ketiga kakak mereka. Adapun Raden Puntadewa saat ini berusia tujuh belas tahun, Raden Bratasena berusia lima belas tahun, sedangkan Raden Permadi berusia tiga belas tahun.

Batara Aswan dan Batara Aswin lalu menyerahkan kedua anak kembar itu kepada Prabu Pandu. Prabu Pandu yang masih lemah hanya bisa memeluk mereka sambil berbaring, lalu memberikan nama Raden Nakula dan Raden Sadewa.

BATARA YAMADIPATI MENJEMPUT ROH PRABU PANDU

Tidak lama kemudian datang pula Batara Kamajaya di hadapan Prabu Pandu. Ia lalu membuka jubahnya dan keluarlah Bagawan Abyasa, Raden Bratasena, Raden Permadi, serta para panakawan. Karena tugasnya telah selesai, Batara Kamajaya pun mengajak Batara Aswan dan Batara Aswin kembali ke kahyangan.

Sepeninggal ketiga dewa tersebut, Prabu Pandu berpamitan kepada seluruh anggota keluarganya. Ia menitipkan istri dan anak-anaknya kepada Adipati Dretarastra, kemudian menghembuskan napas yang terakhir. Jasad Prabu Pandu pun musnah dari pandangan, sedangkan rohnya dibawa pergi oleh Batara Yamadipati.

DEWI MADRIM BUNUH DIRI MENYUSUL PRABU PANDU

Dewi Madrim terkejut mengetahui sang suami telah meninggal dan rohnya dibawa pergi Batara Yamadipati. Ia pun merasa berdosa karena menjadi penyebab kematian Prabu Pandu. Belasan tahun yang lalu dirinya telah meminta sang suami untuk memanah sepasang kijang yang sedang bermesraan di Hutan Pramuwana, sehingga Prabu Pandu pun mendapat kutukan dari Resi Kindama. Beberapa waktu yang lalu ia juga tidak mampu melawan godaan birahi sehingga melayani hasrat Prabu Pandu yang ingin bersetubuh dengannya. Akibatnya, kutukan Resi Kindama pun menjadi kenyataan, yaitu Prabu Pandu mengalami celaka saat berperang melawan Prabu Tremboko.

Dewi Madrim teringat pula bahwa demi dirinya yang mengidam ingin naik Lembu Andini, sang suami telah berjanji kepada Batara Guru bahwa kelak setelah meninggal ia rela masuk ke dalam Kawah Candradimuka. Dewi Madrim yakin bahwa Batara Yamadipati saat ini membawa roh Prabu Pandu ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk memenuhi janji tersebut. Karena merasa sangat berdosa kepada sang suami, Dewi Madrim pun mengambil keris dan menusuk dadanya sendiri. Sebelum meninggal, ia sempat berpesan kepada Dewi Kunti agar sudi merawat si kembar yang baru saja dilahirkannya, karena dirinya ingin menemani roh Prabu Pandu masuk ke dalam Kawah Candradimuka.

Dewi Kunti dan semua hadirin pun terkejut melihat Dewi Madrim telah roboh meninggal dunia. Raden Bratasena sangat geram mendengar bahwa para dewa akan memasukkan roh Prabu Pandu ke dalam Kawah Candradimuka. Ia pun berlari mengejar dengan diikuti Raden Puntadewa dan Raden Permadi. Bagawan Abyasa segera meminta Kyai Semar agar melindungi mereka. Kyai Semar langsung melesat menyusul ketiga Pandawa tersebut.

ROH PRABU PANDU DAN ROH DEWI MADRIM MASUK KE DALAM KAWAH CANDRADIMUKA

Batara Yamadipati bersama roh Prabu Pandu telah sampai di puncak Gunung Jamurdipa, di mana Batara Guru dan Batara Narada telah menunggu. Tidak lama kemudian datang pula roh Dewi Madrim yang menyatakan ingin menemani sang suami menjalani hukuman. Batara Guru menyambut kedatangan mereka dan mempersilakan Prabu Pandu memenuhi janjinya.

Roh Prabu Pandu menurut. Ia pun mencebur ke dalam Kawah Candradimuka bersama roh Dewi Madrim, melalui mulut Gunung Jamurdipa. Begitu keduanya mencebur, seketika Gunung Jamurdipa pun menyemburkan api yang menyala-nyala dan berkobar mengerikan.

Tidak lama kemudian datang pula Kyai Semar bersama tiga Pandawa. Kyai Semar meminta Batara Guru agar membebaskan roh Prabu Pandu. Namun, Batara Guru menolak karena ini semua bukanlah hukuman darinya, melainkan Prabu Pandu yang ingin memenuhi janji untuk menghukum dirinya sendiri.

Raden Bratasena tidak sabar dan ingin mencebur menyusul sang ayah. Namun, Kyai Semar lebih dulu mencebur ke dalam kawah. Ia mengheningkan cipta membuat gejolak kawah menjadi lebih tenang. Setelah suasana kawah tidak terasa panas lagi, Kyai Semar pun mempersilakan para Pandawa jika ingin mencebur.

PRABU PANDU MENASIHATI ANAK-ANAKNYA AGAR PULANG

Raden Bratasena segera mendahului mencebur, disusul Raden Puntadewa dan Raden Permadi. Mereka bertiga lalu menyelam ke dasar dan berhasil menemukan roh Prabu Pandu dan Dewi Madrim. Ketiganya pun menyatakan ingin tetap di dasar kawah menemani sang ayah dan ibu.

Prabu Pandu terharu melihat ketulusan anak-anaknya. Ia meminta agar Raden Puntadewa mengajak kedua adiknya pulang ke Hastina. Ia juga berpesan agar para Pandawa selalu hidup dengan memegang teguh nilai-nilai kebenaran. Meskipun dirinya berada di dalam Kawah Candradimuka, tetapi jika para Pandawa selalu berbuat kebajikan dan berguna bagi dunia seisinya, maka Prabu Pandu merasa seperti tinggal di surga. Sebaliknya, meskipun Prabu Pandu tinggal di surga, tetapi jika anak-anaknya berbuat kerusakan di dunia, maka itu rasanya sama seperti tinggal di dasar neraka.

Raden Puntadewa, Raden Bratasena, dan Raden Permadi berjanji untuk selalu mematuhi nasihat sang ayah, dan akan menyampaikan hal ini kepada si kembar pula. Mereka lalu menyembah hormat kepada roh Prabu Pandu dan Dewi Madrim kemudian kembali ke permukaan mulut Gunung Jamurdipa.

RADEN BRATASENA BERSUMPAH AKAN MENGENTAS AYAH DAN IBUNYA

Setelah ketiga Pandawa keluar dari Kawah Candradimuka, Kyai Semar segera mengembalikan suasana menjadi panas bergejolak. Raden Puntadewa lalu mohon pamit kepada Batara Guru dan Batara Narada yang masih menunggu di tepi mulut Gunung Jamurdipa. Sebelum pergi, Raden Bratasena lebih dulu bertanya sampai kapan ayah dan ibunya menjalani hukuman di dasar kawah.

Batara Guru menjawab tidak tahu, karena Prabu Pandu sendiri yang berjanji jika dirinya mati maka rohnya bersedia masuk ke dalam Kawah Candradimuka tanpa menyebut sampai kapan batas waktunya. Sementara itu, Dewi Madrim sendiri dengan sukarela menemani Prabu Pandu tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.

Mendengar itu, Raden Bratasena pun bersumpah bahwa kelak dirinya akan mengentas roh ayah dan ibunya dari dasar Kawah Candradimuka, kemudian memberikan tempat terbaik di Swargaloka. Setelah bersumpah demikian, ia lantas mohon pamit kembali ke Hastina bersama yang lain.

KERAJAAN HASTINA DISERANG PRABU SUKSARA

Ketiga Pandawa dan Kyai Semar telah sampai di Kerajaan Hastina. Kedatangan mereka bersamaan dengan datangnya serangan dari Kerajaan Ekacakra yang dipimpin langsung oleh Prabu Suksara. Patih Bakasura dan pasukannya yang mengalami kekalahan juga telah bergabung dengan pasukan tersebut.

Senapati Arya Bilawa memimpin pasukan Hastina menghadapi serangan tersebut. Ia bertarung melawan Prabu Suksara namun tubuhnya tertangkap lalu dibanting keras membentur tembok kerajaan. Sungguh ajaib, tubuh Arya Bilawa yang tinggi besar itu tiba-tiba berubah menjadi seorang manusia cebol.

Raden Bratasena maju menyerang Prabu Suksara. Terjadilah pertarungan satu lawan satu di antara mereka. Dalam pertarungan tersebut, Kuku Pancanaka di tangan Raden Bratasena berhasil menembus dada Prabu Suksara. Raja raksasa itu pun tewas seketika.

Melihat rajanya terbunuh, pasukan Ekacakra menjadi kocar-kacir. Patih Bakasura segera memerintahkan mereka untuk mundur, meninggalkan Kerajaan Hastina.

ARYA BILAWA MENGUNDURKAN DIRI DARI JABATAN SENAPATI

Raden Bratasena sangat prihatin melihat wujud Arya Bilawa yang kini menjadi manusia cebol akibat sihir Prabu Suksara. Arya Bilawa menjelaskan bahwa ini bukan akibat sihir, tetapi sebenarnya memang dirinya sejak awal terlahir cebol.

Arya Bilawa memiliki nama asli Jaka Bilawa, yang awalnya bekerja sebagai tukang kuda di Kerajaan Hastina. Ia memiliki kakak perempuan bernama Ken Bila yang bekerja sebagai dayang pengasuh Prabu Pandu semasa kecil. Jaka Bilawa ingin sekali menjadi punggawa namun diolok-olok karena tubuhnya yang cebol. Namun demikian, Bagawan Abyasa yang saat itu masih bergelar Prabu Kresna Dwipayana sangat murah hati dan mampu melihat bakat kesaktian yang dimiliki Jaka Bilawa. Ia pun meruwat tubuh Jaka Bilawa menjadi tinggi besar dan menerimanya sebagai punggawa. Kini, akibat berperang melawan Prabu Suksara, tubuhnya pun kembali menjadi cebol seperti sediakala.

Raden Bratasena prihatin dan berniat ingin meminta sang kakek untuk kembali meruwat Arya Bilawa menjadi tinggi besar. Arya Bilawa menolak karena ia sendiri merasa sudah tua dan ingin mengundurkan diri dari jabatan senapati Kerajaan Hastina. Ia merasa sudah tidak punya teman lagi setelah Prabu Pandu meninggal, Patih Gandamana dipecat, serta Arya Banduwangka dan Arya Bargawa gugur dalam Perang Pamuksa. Ia sendiri merasa tidak cocok dengan Patih Sangkuni yang kini menguasai jajaran menteri dan punggawa kerajaan. Oleh sebab itu, Arya Bilawa berniat lebih baik pulang saja ke desa dan menyepi sebagai petapa.

Raden Bratasena terharu melihat pengorbanan Arya Bilawa. Ia pun meminta izin agar diperbolehkan memakai nama Bilawa sebagai nama tambahan untuk dirinya. Arya Bilawa mempersilakan dan justru dirinya merasa bangga apabila namanya dipakai oleh Raden Bratasena.

Demikianlah, setelah masa berkabung atas kematian Prabu Pandu dan Dewi Madrim usai, Arya Bilawa pun berpamitan kepada Adipati Dretarastra untuk selanjutnya tinggal di desa mengisi hari tua.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------




CATATAN : Peristiwa Pandu Banjut menurut versi Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa diberi angka tahun Suryasengkala 689 yang ditandai sengkalan “ragoning brahmana angraras kamuksan”, atau tahun Candrasengkala 710 yang ditandai sengkalan “muksaning ratu kaswareng wiyat”. Mengenai pertempuran melawan Prabu Suksara adalah tambahan dari saya untuk pengembangan cerita sekaligus sebagai prolog untuk lakon Bima Bumbu kelak.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar