Kisah ini menceritakan perjalanan Bambang Kumbayana ke Tanah Jawa,
kelahiran Bambang Aswatama, dan bagaimana wujud Bambang Kumbayana berubah
menjadi buruk rupa dan berganti nama menjadi Danghyang Druna. Kisah diakhiri
dengan pengangkatan Danghyang Druna menjadi guru ilmu perang bagi para Pandawa
dan Kurawa, setelah menengahi mereka saat berebut Lenga Tala.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta)
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan kitab Mahabharata karya
Resi Wyasa, serta rekaman pentas Ki Nartosabdo, dengan sedikit pengembangan
seperlunya.
Kediri, 30 Juli 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
RESI BARADWAJA MENGUSIR BAMBANG KUMBAYANA DARI PADEPOKAN
Tersebutlah seorang pendeta di
negeri Atasangin, bernama Resi Baradwaja, pemimpin Padepokan Girijembangan.
Dahulu kala, Resi Baradwaja ini mengabdi pada kakak sepupunya yang bernama
Prabu Drupara di Kerajaan Duhyapura. Pada suatu hari Kerajaan Duhyapura hancur
diserang Prabu Bahlika raja Sewandapura (kakak kandung Prabu Santanu raja
Hastina). Prabu Drupara gugur dalam pertempuran itu, namun putranya yang masih
bayi bernama Raden Sucitra berhasil diselamatkan oleh Resi Baradwaja.
Resi Baradwaja menggendong
bayi Raden Sucitra sambil menuntun istrinya yang sedang mengandung, bernama
Dewi Padmayoni untuk mengungsi ke negeri Atasangin. Dalam perjalanan itu Dewi
Padmayoni jatuh sakit dan melahirkan janin yang belum sempurna. Setelah
melahirkan, ia pun meninggal dunia.
Setelah menguburkan istrinya, Resi
Baradwaja memasukkan janin tadi ke dalam periuk lalu melanjutkan perjalanan
sambil membaca mantra. Dengan demikian, bayi Raden Sucitra digendong di tangan
kanan, sedangkan periuk berisi janin putranya digendong di tangan kiri. Sungguh
ajaib, begitu sampai di negeri Atasangin, janin dalam periuk tersebut telah
berubah menjadi bayi sempurna. Resi Baradwaja sangat senang dan memberi nama
putranya itu, Bambang Kumbayana. Kumba artinya “periuk”, dan Ayana artinya
“perjalanan”. Raden Sucitra dan Bambang Kumbayana pun ia besarkan bersama-sama
di Padepokan Girijembangan.
Kini Bambang Kumbayana telah
berusia empat puluh tahun namun belum juga menikah. Ia lebih suka
bersenang-senang, menggoda gadis desa, dan juga merampok rombongan para pedagang.
Berita ini terdengar oleh Resi Baradwaja. Ia pun memarahi Bambang Kumbayana dan
memerintahkannya untuk segera menikah dan berumah tangga secara baik-baik.
Namun, Bambang Kumbayana menolak. Ia hanya mau menikah dengan bidadari atau
putri raja, bukan dengan anak pendeta seperti keinginan sang ayah.
Resi Baradwaja semakin marah
dan mengusir putranya itu. Bambang Kumbayana pun pergi seketika meninggalkan
Padepokan Girijembangan.
PUTUT JAYAMARUTA MENGEJAR BAMBANG KUMBAYANA
Setelah Bambang Kumbayana
pergi, kemarahan Resi Baradwaja mulai reda. Ia pun memanggil pimpinan para
cantrik, bernama Putut Jayamaruta untuk menghadap. Resi Baradwaja memerintahkan
Putut Jayamaruta untuk mengejar Bambang Kumbayana dan memberikan ujian
kepadanya. Apabila Bambang Kumbayana berhasil lolos dari kejaran Putut
Jayamaruta dan kawan-kawan, maka Resi Baradwaja merestui putranya itu untuk
hidup mandiri meraih cita-citanya.
Putut Jayamaruta dan para
cantrik lainnya segera berangkat melaksanakan perintah. Mereka mengejar Bambang
Kumbayana dan berhasil menghadangnya. Putut Jayamaruta mengajak Bambang
Kumbayana pulang dan mengabarkan bahwa sang ayah telah menyesal dan reda
kemarahannya. Namun, Bambang Kumbayana paham kalau dirinya sedang diuji. Ia pun
menolak dan memilih melanjutkan perjalanan. Sesuai perintah, Putut Jayamaruta
dan yang lain segera menyerang Bambang Kumbayana. Terpaksa Bambang Kumbayana
pun bertarung menghadapi murid-murid ayahnya itu.
Bagaimanapun juga ilmu
kesaktian Bambang Kumbayana masih berada di atas Putut Jayamaruta dan
kawan-kawan. Dalam pertempuran itu ia berhasil meloloskan diri dan menghilang
masuk hutan. Putut Jayamaruta dan yang lain tidak bisa menemukannya dan akhirnya
kembali ke padepokan untuk melapor kepada Resi Baradwaja.
BAMBANG KUMBAYANA MENUNGGANG KUDA SEMBRANI
Setelah lolos dari kejaran
murid-murid ayahnya, Bambang Kumbayana pun melanjutkan perjalanan. Ia bertekad
ingin menyusul saudara angkatnya, yaitu Raden Sucitra yang beberapa tahun lalu pergi
ke Tanah Jawa. Namun sayangnya, begitu sampai di tepi pantai, Bambang Kumbayana
tidak tahu bagaimana caranya agar bisa menyeberangi lautan.
Bambang Kumbayana yang sudah
sangat rindu kepada Raden Sucitra pun bersumpah, barangsiapa bisa
menyeberangkan dirinya ke Tanah Jawa, maka apabila laki-laki akan dijadikan
sebagai saudara dan apabila perempuan akan dijadikan sebagai istri. Setelah
bersumpah demikian, tiba-tiba di hadapannya muncul seekor kuda sembrani
bersayap putih bersih yang mengangguk-angguk seolah siap membantu dirinya menyeberang.
Bambang Kumbayana sangat kagum
karena seumur hidup baru kali ini melihat ada seekor kuda yang memiliki sayap. Ia
pun segera naik ke punggung kuda tersebut dan memerintahkannya untuk terbang
menyeberangi lautan menuju ke Tanah Jawa.
Perjalanan menyeberangi lautan
itu memakan waktu berhari-hari. Bambang Kumbayana merasa letih dan tertidur di
atas punggung kuda sembrani tersebut. Dalam tidurnya ia mimpi bertemu seorang
wanita yang mengaku bernama Dewi Krepi. Bambang Kumbayana jatuh cinta kepadanya
dan bersetubuh dengan wanita itu. Karena persetubuhan ini terjadi di alam
mimpi, maka air mani Bambang Kumbayana pun jatuh tercebur ke dalam laut.
Si kuda sembrani menyadari
bahwa Bambang Kumbayana telah mengalami mimpi basah. Ia pun turun ke laut untuk
berenang mengejar air mani tersebut yang telah bercampur ombak. Setelah air
mani itu masuk ke dalam alat kelaminnya, si kuda sembrani lalu terbang kembali ke
angkasa melanjutkan perjalanan.
KUDA SEMBRANI KEMBALI KE WUJUD BIDADARI
Sesampainya di Tanah Jawa,
Bambang Kumbayana terbangun dari tidur. Ia mendarat dan berterima kasih atas
bantuan si kuda sembrani. Namun, kuda sembrani itu tidak mau pergi dan
menunjukkan perutnya yang telah membesar. Bambang Kumbayana terkejut dan
menyadari kalau kuda tersebut telah mengandung anaknya akibat mimpi basah di
atas lautan. Ia menyesal karena terlanjur bersumpah barangsiapa bisa
menyeberangkan dirinya akan dijadikan sebagai saudara apabila laki-laki, dan
dijadikan istri apabila perempuan. Setelah bersumpah demikian, tiba-tiba muncul
seekor kuda sembrani di hadapannya. Tanpa pikir panjang ia langsung menaiki
punggung kuda tersebut yang ternyata berkelamin betina.
Bambang Kumbayana membayangkan
Raden Sucitra pasti akan mengejek dirinya apabila menikahi seekor kuda betina. Tanpa
pikir panjang lagi, ia pun menikam perut si kuda sembrani menggunakan keris.
Tujuannya adalah untuk membunuh si kuda sekaligus janin yang dikandung dalam
perutnya. Sungguh ajaib, dari dalam perut si kuda sembrani yang robek itu
keluar janin manusia, bukan janin kuda.
Si kuda sembrani pun tewas dan
bangkainya musnah menjadi asap. Tiba-tiba asap tersebut berubah menjadi wanita
cantik jelita yang mengaku seorang bidadari bernama Batari Wilotama.
LAHIRNYA BAMBANG ASWATAMA
Batari Wilotama segera
memungut janin yang tadi keluar dari dalam perutnya. Janin itu dipeluk dan
lambat laun berubah menjadi bayi sempurna berkat kekuasaannya. Bambang
Kumbayana sangat kagum melihat pemandangan itu dan bertanya tentang asal-usul
Batari Wilotama mengapa berubah menjadi seekor kuda sembrani.
Batari Wilotama pun bercerita
bahwa ia memiliki sahabat di kahyangan bernama Batari Janapadi. Dahulu kala Batari
Janapadi pernah berubah menjadi kuda sembrani gara-gara menelan permata Mustika
Aswandari. Batari Wilotama tertarik mendengar cerita itu dan membayangkan
betapa nikmat jika terbang ke sana kemari dalam wujud kuda, yang tentu berbeda rasanya
dibanding terbang dalam wujud bidadari.
Batari Wilotama diam-diam
mencuri Mustika Aswandari. Tiba-tiba Batara Janapada (ayah Batari Janapadi) memergokinya.
Batari Wilotama langsung menelan permata itu dan seketika wujudnya pun berubah
menjadi seekor kuda betina yang memiliki sayap. Batari Wilotama memohon ampun
atas kelancangannya dan ingin dikembalikan menjadi bidadari. Namun, Batara
Janapada tidak mampu menolongnya. Karena Batari Wilotama telah menelan Mustika
Aswandari tanpa izin, maka ia akan berwujud kuda sembrani selamanya, kecuali
jika dirinya bisa melahirkan seorang anak manusia.
Demikianlah, Batari Wilotama
pun menjalani kutukan sebagai kuda sembrani selama bertahun-tahun, hingga akhirnya
ia bertemu Bambang Kumbayana. Maka, ketika Bambang Kumbayana mimpi basah dan
air maninya tumpah ke laut, Batari Wilotama nekat mengejarnya supaya ia bisa
hamil dan melahirkan anak manusia. Kini, putra Bambang Kumbayana tersebut telah
lahir. Batari Wilotama pun berpesan bahwa bayi laki-laki ini memiliki
pertumbuhan yang cepat seperti anak kuda. Oleh sebab itu, hendaknya ia diberi
nama Bambang Aswatama. Aswa artinya “kuda”, sedangkan Tama adalah singkatan
dari nama “Wilotama”.
Setelah berpesan demikian,
Batari Wilotama lalu terbang ke kahyangan untuk mengembalikan Mustika Aswandari
kepada Batara Janapada. Bambang Kumbayana memandangnya dengan penuh penyesalan,
karena jika tadi dibicarakan baik-baik tentu dirinya dapat memperistri seorang
bidadari.
Demikianlah, apa yang
diucapkan Batari Wilotama sebelum berpisah menjadi kenyataan. Pertumbuhan
Bambang Aswatama sungguh cepat seperti anak kuda. Dalam waktu singkat bayi itu
sudah bisa berjalan dan berlari-lari, membuat Bambang Kumbayana merasa terhibur
karena memiliki teman dalam perjalanan. Ia sama sekali tidak menyesal memiliki
anak tanpa istri, bahkan perasaannya kepada Bambang Aswatama kini sangat sayang
luar biasa.
BAMBANG KUMBAYANA BERTEMU DEWI KREPI DAN RESI KREPA
Perjalanan Bambang Kumbayana
telah sampai di sebuah tempat yang dipenuhi bunga angsoka liar berwarna lima
macam. Ia merasa nyaman dan memutuskan untuk beristirahat di tempat itu.
Bambang Aswatama sendiri tampak kehausan, karena sejak dilahirkan belum sempat
minum susu sama sekali.
Tiba-tiba terdengar suara
laki-laki yang berteriak meminta tolong. Bambang Kumbayana segera mendatangi
arah suara. Ternayata ada seorang pendeta yang seumuran dirinya sedang bergulat
dengan seekor ular besar. Bambang Kumbayana pun melepaskan panah membantu si
pendeta yang tepat mengenai kepala ular tersebut. Sungguh ajaib, ular besar itu
musnah dan berubah menjadi seorang wanita. Yang lebih mengejutkan lagi, si
pendeta laki-laki memanggil wanita itu dengan sebutan kakak dan mereka pun
saling berpelukan.
Pendeta laki-laki itu
berterima kasih kepada Bambang Kumbayana. Ia mengaku bernama Resi Krepa yang
bekerja sebagai kepala brahmana di Kerajaan Hastina. Adapun kakaknya bernama
Dewi Krepi dari Kerajaan Timpurusa. Resi Krepa sendiri baru tahu kalau ular
besar yang telah menyerangnya tadi ternyata penjelmaan sang kakak. Di sisi
lain, Bambang Kumbayana sangat terkejut karena Dewi Krepi inilah yang
bersetubuh dengannya di alam mimpi sehingga menyebabkan dirinya mimpi basah.
BAMBANG KUMBAYANA MENIKAH DENGAN DEWI KREPI
Tidak lama kemudian datang
pula Prabu Purunggaji raja Timpurusa bersama keponakannya, yaitu Raden Carya.
Prabu Purunggaji ini adalah ayah kandung Dewi Krepi dan Resi Krepa. Ia pun
berterima kasih kepada Bambang Kumbayana yang telah menemukan putrinya yang lama
hilang.
Prabu Purunggaji bercerita
bahwa Dewi Krepi hendak dijodohkan dengan Raden Carya. Adapun Raden Carya
adalah putra Prabu Paruwa raja Malawa, yaitu kakak kandung Prabu Purunggaji
yang sudah lama meninggal. Akan tetapi, Dewi Krepi menolak karena ia hanya
mencintai Bambang Kumbayana yang pernah ditemuinya di alam mimpi. Prabu
Purunggaji marah dan memaksa Dewi Krepi untuk melupakan Bambang Kumbayana dan
memilih Raden Carya saja. Akan tetapi, Dewi Krepi memilih kabur meninggalkan
istana Timpurusa. Prabu Purunggaji sangat prihatin akan nasib putrinya itu. Ia
pun mengirim surat kepada Resi Krepa di Kerajaan Hastina agar membantu mencari keberadaan
Dewi Krepi.
Dewi Krepi ganti menceritakan
pengalamannya. Setelah melarikan diri dari istana, ia bertemu dengan ibu
kandungnya di tengah jalan, yaitu Batari Janapadi (sahabat Batari Wilotama yang
juga pernah menjadi kuda sembrani). Dahulu kala Batari Janapadi meninggalkan
Dewi Krepi dan Resi Krepa setelah mereka lahir untuk kembali ke kahyangan. Dewi
Krepi dan Resi Krepa semasa bayi diasuh oleh Ken Yoni di tengah hutan. Setelah
Ken Yoni meninggal, kedua bayi tersebut ditemukan dan dirawat oleh Bagawan
Santanu dan Resi Bisma di Kerajaan Hastina. Belasan tahun kemudian, Dewi Krepi
dan Resi Krepa bertemu dengan ayah kandungnya, yaitu Prabu Purunggaji. Dewi
Krepi lalu ikut ayahnya tinggal di Kerajaan Timpurusa, sedangkan Resi Krepa
tetap tinggal di Kerajaan Hastina untuk bekerja sebagai kepala brahmana.
Dewi Krepi selalu menolak
untuk dinikahkan sehingga ia menjadi perawan tua. Itu karena hatinya sudah
terlanjur jatuh cinta kepada Bambang Kumbayana yang ditemuinya berkali-kali di
alam mimpi. Hingga pada akhirnya, Dewi Krepi memilih kabur dari istana karena
terus-menerus dipaksa oleh Prabu Purunggaji untuk menikah dengan Raden Carya.
Dalam perjalanannya itu, ia pun bertemu sang ibu, yaitu Batari Janapadi.
Batari Janapadi sangat
prihatin melihat nasib putrinya. Ia pun membantu Dewi Krepi apabila ingin
bertemu Bambang Kumbayana. Syaratnya, Dewi Krepi harus bersedia diubah wujudnya
menjadi ular besar dan harus mau menyerang adiknya sendiri, yaitu Resi Krepa.
Dewi Krepi menurut. Maka, Batari Janapadi pun mengubah wujud putrinya itu
menjadi ular besar. Ular tersebut merayap ke sana kemari hingga akhirnya
bertemu dengan Resi Krepa. Ia pun menyerang sang adik, hingga akhirnya diruwat
oleh Bambang Kumbayana menjadi manusia seperti sediakala.
Prabu Purunggaji terharu
mendengar perjuangan putrinya. Karena Dewi Krepi telah berhasil menemukan
Bambang Kumbayana, maka ia tidak akan memaksa lagi. Ia pun merestui apabila
Dewi Krepi menjadi istri Bambang Kumbayana. Sebaliknya, Bambang Kumbayana pun
bersedia menikahi Dewi Krepi karena ia juga membutuhkan ibu untuk anaknya yang
bernama Bambang Aswatama. Dewi Krepi yang melihat si kecil Bambang Aswatama
langsung tumbuh sifat keibuannya. Ia pun menggendong anak laki-laki tersebut
dan menyusuinya. Sungguh ajaib, air susu Dewi Krepi langsung keluar meskipun
dirinya tidak ikut melahirkan.
Raden Carya yang gagal menikah
dengan Dewi Krepi justru merasa senang. Ia pun berterus terang kepada Prabu
Purunggaji bahwa dirinya diam-diam telah menjalin hubungan dengan Dewi Paruti,
putri Resi Luda, yaitu kepala brahmana Kerajaan Timpurusa. Prabu Purunggaji
merasa bersalah telah memaksa Raden Carya dan Dewi Krepi menikah, karena
ternyata masing-masing telah mencintai orang lain. Maka, Prabu Purunggaji pun
berjanji apabila nanti kembali ke Timpurusa akan segera menikahkan Raden Carya
dengan Dewi Paruti.
Prabu Purunggaji lalu bertanya
apakah Resi Krepa tidak ingin menikah juga. Resi Krepa menjawab bahwa ia pernah
bersumpah untuk mengikuti jalan hidup Resiwara Bisma yang telah membimbingnya
sejak kecil. Oleh sebab itu, ia pun bertekad untuk hidup wahdat, yaitu tidak
menikah seumur hidup, sama seperti yang dilakukan oleh Resiwara Bisma. Ia juga
menegaskan bahwa dirinya akan tetap mengabdi di Kerajaan Hastina, dan
mempersilakan Raden Carya saja yang diangkat sebagai ahli waris Kerajaan
Timpurusa.
Prabu Purunggaji bangga
terhadap niat baik Resi Krepa. Ia lalu mengajak Bambang Kumbayana untuk tinggal
di istana Timpurusa. Namun, Bambang Kumbayana menolak karena dirinya sudah
merasa nyaman dan ingin membangun rumah di taman bunga angsoka lima warna ini.
Dewi Krepi juga memilih untuk menemani sang suami dan menolak ikut pulang ke
istana. Prabu Purunggaji memaklumi. Ia pun memerintahkan para prajurit untuk membangun
padepokan sebagai tempat tinggal Bambang Kumbayana dan Dewi Krepi di tempat itu.
Demikianlah, padepokan dekat
taman bunga angsoka lima warna telah berdiri, sebagai tempat tinggal Bambang
Kumbayana dan Dewi Krepi. Bambang Kumbayana lalu mengganti gelarnya menjadi
Danghyang Kumbayana, dan memberi nama padepokannya itu dengan sebutan Padepokan
Sokalima.
DANGHYANG KUMBAYANA MENDENGAR BERITA TENTANG RADEN SUCITRA
Padepokan Sokalima terletak di
perbatasan Kerajaan Hastina dan Pancala. Resi Krepa bercerita bahwa Kerajaan
Hastina dipimpin Prabu Pandu yang baru saja meninggal, sedangkan Kerajaan
Pancala dipimpin Prabu Drupada. Dahulu kala Prabu Drupada juga pernah mengabdi
kepada Prabu Pandu, dan nama aslinya adalah Raden Sucitra dari negeri
Atasangin.
Danghyang Kumbayana sangat
terkejut mendengar cerita adik iparnya itu. Ia pun teringat bahwa tujuannya
pergi ke Tanah Jawa adalah untuk mencari Raden Sucitra, sahabatnya sejak kecil.
Mereka dulu sama-sama berlajar kepada Resi Baradwaja, tidur bersama dalam satu
tikar, makan bersama dalam satu piring. Jika Raden Sucitra mendapatkan sesuatu
pasti dibagi dua dengan Bambang Kumbayana. Sebaliknya, jika Bambang Kumbayana
mendapatkan sesuatu, pasti dibagi dua pula dengan Raden Sucitra.
Mendegar Raden Sucitra telah
menjadi raja Pancala, Danghyang Kumbayana merasa tertarik untuk mengunjunginya.
Lagipula Bambang Aswatama sudah semakin besar dan air susu Dewi Krepi juga sudah
tidak keluar lagi. Maka itu, Danghyang Kumbayana pun berniat pergi ke istana
Pancala untuk meminta seekor sapi perah kepada Prabu Drupada.
DANGHYANG KUMBAYANA DIHAJAR ARYA GANDAMANA
Danghyang Kumbayana pergi ke
istana Pancala seorang diri, meninggalkan Dewi Krepi dan Bambang Aswatama di
Padepokan Sokalima. Saat itu Prabu Drupada sedang memimpin pertemuan yang
dihadiri para menteri dan punggawa, antara lain Arya Gandamana dan Patih
Drestaketu. Tiba-tiba saja Danghyang Kumbayana menyelonong masuk dan tertawa gembira
melihat sahabatnya duduk di atas takhta.
Danghyang Kumbayana pun
memanggil Prabu Drupada dengan sebutan “Kakang Sucitra”, dan langsung meminta
seekor sapi perah untuk anaknya yang masih kecil. Ia bersenda gurau seolah-olah
masih berada di negeri Atasangin, tanpa peduli kepada para menteri dan punggawa
yang hadir di situ. Prabu Drupada merasa malu dan ia pun menjawab akan
memberikan seratus sapi sebagai sedekah dan mempersilakan Danghyang Kumbayana untuk
segera pulang. Danghyang Kumbayana merasa sangat terhina melihat sikap
sahabatnya itu. Ia pun memaki-maki Prabu Drupada telah mengkhianati persahabatan
di masa lampau.
Arya Gandamana marah mendengar
ada orang berani memaki-maki kakak iparnya. Ia pun menyambar tubuh Danghyang
Kumbayana dan menyeretnya keluar istana. Arya Gandamana lalu menghajar
Danghyang Kumbayana tanpa memberikan kesempatan untuk membalas. Prabu Drupada
keluar istana melerai mereka, namun sudah terlambat. Wujud Danghyang Kumbayana
kini telah berubah menjadi buruk rupa. Matanya berubah sipit dan sulit dibuka
lebar, serta hidungnya menjadi bengkok seperti paruh burung. Lengannya yang
sebelah pun dibuat bengkok pula.
Apa yang pernah dilakukan Arya
Gandamana terhadap Patih Sangkuni, kini dilakukannya kepada Danghyang
Kumbayana. Arya Gandamana masih menyimpan dendam karena diusir dari Kerajaan
Hastina akibat fitnah Patih Sangkuni. Ketika Perang Pamuksa meletus, ia hanya
bisa berdoa dari jauh tanpa bisa membantu Prabu Pandu menghadapi Prabu
Tremboko. Kematian Prabu Pandu membuat Arya Gandamana semakin kesal terhadap Patih
Sangkuni. Maka, begitu Danghyang Kumbayana datang ke istana Pancala dan berbuat
kurang ajar, Arya Gandamana pun sekilas teringat Patih Sangkuni dan langsung
melampiaskan kemarahan kepadanya.
Prabu Drupada meminta maaf
kepada Danghyang Kumbayana atas perbuatan Arya Gandamana yang melampaui batas.
Danghyang Kumbayana menolak permintaan maaf tersebut. Ia kesal mengapa Prabu
Drupada tidak melerai dari awal sehingga wujudnya tidak sampai rusak seperti
ini. Ia berkata bahwa dirinya bisa saja membalas perbuatan Arya Gandamana saat
ini juga. Namun, ia bersumpah bahwa kelak murid-muridnya yang akan datang untuk
membalas Arya Gandamana sekaligus Prabu Drupada. Hal ini tentu akan lebih memalukan
daripada ia sendiri yang membalas.
Arya Gandamana kembali marah dan
hendak membunuh Danghyang Kumbayana. Namun, Prabu Drupada buru-buru mencegahnya
dan mengatakan ucapan Danghyang Kumbayana jangan diambil hati. Sementara itu,
Danghyang Kumbayana telah bangkit dan berjalan tertatih-tatih pulang ke
Padepokan Sokalima, dengan menyimpan dendam kesumat di dalam hati.
DANGHYANG KUMBAYANA MENJADI MURID BATARA RAMAPARASU
Dewi Krepi menyambut
kedatangan sang suami dengan perasaan duka mendalam. Namun, Danghyang Kumbayana
tidak mau masuk ke dalam padepokan, tetapi memilih duduk bertapa di bawah
pohon. Siang malam ia bertapa tanpa makan dan minum, hingga akhirnya datang
seorang dewa bertubuh tinggi besar membangunkannya. Dewa tersebut adalah Batara
Ramaparasu.
Danghyang Kumbayana bangun dan
menyembah hormat kepadanya. Batara Ramaparasu menyampaikan pesan dari Batara
Guru, bahwa tapa brata Danghyang Kumbayana telah diterima. Mulai saat ini Danghyang
Kumbayana diganti nama menjadi Danghyang Druna, dan ia mendapat tugas dari dewa
untuk mendidik para Pandawa dan Kurawa di Kerajaan Hastina. Tugas dari dewata
ini merupakan ujian bagi Danghyang Druna. Apabila ia berhasil, maka namanya
akan dipuji sepanjang masa. Sebaliknya jika ia gagal, maka namanya akan dicela
sepanjang sejarah.
Danghyang Druna sangat
berterima kasih atas kemurahan dewata pada dirinya. Maka, sejak hari itu ia pun
berguru kepada Batara Ramaparasu. Pada dasarnya Danghyang Druna sudah
mempelajari banyak ilmu dari sang ayah, yaitu Resi Baradwaja. Maka, kedatangan
Batara Ramaparasu hanya sekadar untuk menyempurnakan ilmunya saja.
Setelah tiga bulan lamanya,
Batara Ramaparasu menyatakan Danghyang Druna lulus dan ia pun pamit kembali ke
kahyangan.
ADIPATI DRETARASTRA MEMBUANG PARA PANDAWA
Sementara itu, Kerajaan
Hastina sedang dilanda wabah penyakit. Adipati Dretarastra selaku raja wakil
sudah mengusahakan banyak hal untuk mengatasinya namun wabah tidak juga mereda.
Raden Yamawidura mengatakan bahwa wabah ini terjadi karena sikap Adipati
Dretarastra yang menghukum buang para Pandawa dan Dewi Kunti demi membela para Kurawa.
Namun, Adipati Dretarastra tidak percaya dan merasa perbuatannya membuang para
Pandawa sudah adil.
Tiba-tiba datanglah Bagawan
Abyasa dari Padepokan Saptaarga menemui Adipati Dretarastra. Ia telah mendengar
kabar tentang wabah penyakit yang melanda Kerajaan Hastina sekaligus ingin
bertanya mengapa para Pandawa dan Dewi Kunti sampai dibuang dari istana setelah
Prabu Pandu meninggal.
Adipati Dretarastra pun
bercerita bahwa Raden Bratasena telah berkelahi dengan para Kurawa. Patih
Sangkuni buru-buru menyela ikut bicara. Ia menceritakan kepada Bagawan Abyasa
bahwa hari itu Raden Dursasana dan adik-adiknya sedang memanen buah mangga di
kebun istana. Raden Bratasena tiba-tiba datang ingin meminta bagian. Raden
Dursasana memintanya bersabar sampai para Kurawa selesai memanen. Karena Raden
Bratasena memiliki tubuh yang tinggi besar, Raden Dursasana melarangnya ikut
memanjat pohon. Namun, Raden Bratasena tidak sabar dan menggoyang semua pohon.
Akibatnya, para Kurawa yang sedang memetik mangga di atas ikut berjatuhan ke
tanah.
Raden Suyudana datang dan
menasihati Raden Bratasena bahwa perbuatannya sangat keterlaluan. Raden
Bratasena tidak terima dan menyerang Raden Suyudana, sehingga terjadilah
perkelahian di antara mereka. Raden Suyudana selaku saudara yang silsilahnya
lebih tua akhirnya mengalah. Namun, Raden Bratasena tidak tahu diri dan
menghajar Raden Suyudana hingga babak belur. Inilah yang membuat Adipati
Dretarastra menjatuhkan hukuman terhadap Raden Bratasena. Sebenarnya, Adipati
Dretarastra tidak bermaksud membuang Raden Bratasena, tetapi hanya memintanya
untuk merenung di Hutan Pramuwana. Akan tetapi, Dewi Kunti dan para Pandawa
lainnya ikut pergi menemani Raden Bratasena, sehingga seolah-olah tersiar kabar
burung bahwa Adipati Dretarastra membuang mereka dari istana.
Raden Yamawidura membantah bahwa
cerita Patih Sangkuni sama sekali tidak benar. Awal mulanya ialah Raden
Dursasana dan adik-adiknya asyik memakan buah mangga di atas pohon. Raden
Bratasena datang dan meminta diberi secukupnya. Raden Dursasana mengatakan
bahwa Raden Bratasena tidak perlu memanjat karena para Kurawa akan melemparkan
bagian untuknya. Raden Bratasena cukup mengambil apa saja yang jatuh dari
pohon. Ternyata Raden Dursasana dan adik-adiknya melemparkan biji dan kulit
mangga kepada Raden Bratasena, bukan buah yang utuh.
Sebenarnya Raden Bratasena
masih bersabar. Namun, Raden Dursasana memintanya agar mengemis. Para Kurawa
juga mengungkit soal almarhum Prabu Pandu pernah tinggal di hutan, pasti
mengetahui bagaimana caranya mengemis. Penghinaan ini membuat Raden Bratasena
marah dan menggoyang semua pohon sehingga para Kurawa pun berjatuhan. Ia
berkata bahwa dirinya hanya mengambil apa yang jatuh dari pohon, dan ternyata
yang jatuh adalah para Kurawa. Maka, ia pun menyambar para sepupunya itu dan
memukuli mereka semua. Raden Suyudana datang membela adik-adiknya. Dalam
perkelahian itu, Raden Suyudana sama sekali tidak mengalah sebagaimana cerita
Patih Sangkuni tadi. Justru Raden Suyudana berkelahi dengan senjata, sedangkan
Raden Bratasena menghadapinya dengan tangan kosong.
Bagawan Abyasa menampung
cerita Patih Sangkuni dan Raden Yamawidura. Ia lalu berkata kepada Adipati
Dretarastra agar berbuat adil. Bagaimanapun juga Prabu Pandu telah menitipkan
istri dan anak-anaknya untuk dirawat Adipati Dretarastra. Apabila terjadi
pertengkaran antara para Pandawa dan Kurawa, janganlah Adipati Dretarastra
berat sebelah, tetapi harus mendengarkan penjelasan dari kedua pihak. Mengenai
wabah penyakit yang melanda Kerajaan Hastina, Bagawan Abyasa telah mendapatkan
petunjuk dari dewa bahwa ini adalah teguran untuk Adipati Dretarastra agar bersikap
lebih adil dan bijaksana dalam memutuskan perkara.
Adipati Dretarastra menyesali
perbuatannya. Ia pun mengutus Raden Yamawidura agar pergi ke Hutan Pramuwana
untuk menjemput pulang Dewi Kunti dan para Pandawa. Raden Yamawidura segera berangkat
menjalankan perintah.
Bagawan Abyasa senang
melihatnya. Ia lalu berkata bahwa sebelum meninggal, Prabu Pandu sempat
menitipkan beberapa pusaka kepadanya untuk disimpan di Gunung Saptaarga.
Pusaka-pusaka yang berwujud senjata sebaiknya diserahkan nanti saja apabila
para Pandawa sudah menamatkan pelajaran ilmu perang. Adapun pusaka yang
berwujud minyak ajaib Lenga Tala, hendaknya diserahkan saat ini juga.
Bagawan Abyasa menjelaskan
khasiat Lenga Tala apabila dioleskan ke sekujur tubuh akan membuat si pemakai
menjadi manusia berkulit kebal seumur hidupnya. Setelah berkata demikian, ia lalu
menyerahkan cupu berisi Lenga Tala kepada Adipati Dretarastra, kemudian pulang
ke Gunung Saptaarga.
PATIH SANGKUNI MENGHASUT PARA KURAWA UNTUK MEREBUT LENGA TALA
Para Pandawa dan Dewi Kunti
telah dijemput Raden Yamawidura kembali ke istana. Adipati Dretarastra meminta
maaf kepada mereka dan memberikan tempat tinggal berupa bangunan indah di dekat
Taman Kadilengleng. Berangsur-angsur wabah penyakit yang melanda Kerajaan
Hastina pun reda. Para penduduk yang jatuh sakit mulai sehat kembali.
Patih Sangkuni memberi tahu
para Kurawa bahwa Adipati Dretarastra hendak memberikan Lenga Tala kepada para
Pandawa. Hal ini sangat berbahaya karena akan membuat anak-anak Prabu Pandu itu
menjadi manusia kebal tidak mempan senjata. Oleh sebab itu, para Kurawa harus
bisa menggagalkannya dan merebut Lenga Tala agar jangan sampai jatuh ke tangan
para Pandawa.
Mendengar itu, Raden Suyudana,
Raden Dursasana, Raden Surtayu, Raden Kartawarma, dan para Kurawa lainnya
segera menghadap sang ayah. Hanya Raden Durmagati yang tidak mau ikut karena
bagaimanapun juga Lenga Tala adalah warisan Prabu Pandu untuk para Pandawa. Menurutnya,
para Kurawa sama sekali tidak berhak ikut campur ingin memilikinya.
PATIH SANGKUNI MENUMPAHKAN LENGA TALA
Adipati Dretarastra telah
memanggil para Pandawa untuk acara serah-terima Lenga Tala. Tiba-tiba Raden
Suyudana dan adik-adiknya datang mencegah. Mereka meminta Lenga Tala harus
dibagi rata, karena khasiat minyak tersebut dapat membuat si pemakai menjadi
manusia kebal tak mempan senjata. Bagaimanapun juga para pangeran di Kerajaan
Hastina tidak hanya Pandawa Lima saja. Apabila Kerajaan Hastina berperang
melawan negara lain, bisa-bisa hanya para Pandawa yang hidup, sedangkan para
Kurawa tewas terkena senjata.
Adipati Dretarastra agak
bimbang mendengar penuturan putra sulungnya yang dirasa masuk akal. Sementara
itu, Raden Puntadewa menangis setelah mendengar tentang khasiat Lenga Tala.
Andai saja ayahnya dulu menggunakan Lenga Tala, tentu ia tidak akan terluka
oleh senjata Prabu Tremboko. Karena Prabu Pandu semasa hidupnya tidak pernah
menggunakan Lenga Tala, maka Raden Puntadewa juga tidak mau menggunakan minyak
tersebut. Terserah jika para Kurawa ingin memilikinya.
Raden Bratasena tidak setuju
pada kakak sulungnya. Bagaimanapun juga Lenga Tala adalah anugerah dewa yang
didapat Prabu Pandu setelah menumpas Prabu Nagapaya, maka hanya para Pandawa
yang berhak mewarisinya. Soal nanti dipakai atau tidak, itu urusan para
Pandawa. Raden Suyudana tidak setuju, karena itu berarti menyia-nyiakan
anugerah kahyangan, yang sama saja seperti menghina para dewa.
Adipati Dretarastra melerai
pertengkaran Raden Bratasena dan Raden Suyudana. Ia pun memutuskan untuk
membuang jauh-jauh cupu berisi Lenga Tala. Terserah nanti siapa yang menemukan itulah
yang berhak memilikinya. Mungkin ini adalah keputusan yang paling adil. Usai
berkata demikian, ia lalu memerintahkan para Pandawa dan Kurawa agar keluar
istana dan bersiap-siap mengejar ke mana cupu Lenga Tala melayang.
Setelah para Pandawa dan
Kuwara pergi, Adipati Dretarastra bersiap-siap melemparkan cupu berisi Lenga
Tala tersebut. Tiba-tiba Patih Sangkuni datang dan menabraknya. Cupu tersebut
jatuh dan isinya tergenang di lantai. Patih Sangkuni meminta maaf lalu
menyerahkan cupu sekaligus tutupnya kepada Adipati Dretarastra.
Adipati Dretarastra mengetahui
maksud perbuatan Patih Sangkuni. Ia pun berkata agar Patih Sangkuni membagi
Lenga Tala yang tumpah itu dengan para Kurawa. Setelah berpesan demikian, ia
lalu melemparkan cupu kosong tersebut sekuat tenaga. Pada dasarnya Adipati
Dretarastra seorang sakti berkekuatan perkasa meskipun menderita tunanetra.
Cupu tersebut pun terlempar sangat jauh hingga keluar istana, entah di mana
jatuhnya nanti.
Setelah Adipati Dretarastra
pergi, Patih Sangkuni mengkhianati amanah darinya. Ia lalu bertelanjang bulat
dan bergulung-gulung di lantai, sehingga Lenga Tala pun meresap ke sekujur
kulitnya, kecuali bagian mulut dan dubur. Setelah Lenga Tala habis tak bersisa,
Patih Sangkuni kembali berpakaian. Ia merasa puas karena mulai saat ini dirinya
menjadi manusia kebal tidak mempan senjata. Namun, kesaktian ini akan
disembunyikannya, kecuali jika nanti benar-benar dibutuhkan.
DANGHYANG DRUNA MEMAMERKAN KESAKTIANNYA DI HADAPAN PARA PANGERAN
Cupu yang dilemparkan Adipati
Dretarastra tadi telah melayang di udara meninggalkan istana. Para Kurawa
berlarian mengejarnya, begitu pula dengan Raden Bratasena dan Raden Permadi.
Sementara itu, Raden Puntadewa berjalan paling belakang sambil menggandeng
Raden Nakula dan Raden Sadewa.
Raden Suyudana memerintahkan
adik-adiknya untuk menghadang para Pandawa. Para Kurawa mematuhi. Mereka pun
mengeroyok Raden Bratasena dan Raden Permadi agar Lenga Tala jatuh ke tangan
Raden Suyudana saja. Maka, terjadilah perkelahian di antara mereka. Namun
sayangnya, cupu tersebut ternyata jatuh tercebur ke dalam sebuah sumur kering
di luar istana.
Para Pandawa dan Kurawa
menghentikan perkelahian dan beramai-ramai mendatangi sumur tersebut. Mereka
berebut ingin turun ke bawah untuk mengambil cupu, tetapi tiba-tiba muncul
Danghyang Druna mencegah mereka.
Tanpa banyak bicara, Danghyang
Druna lalu melemparkan beberapa batang ilalang satu persatu ke dasar sumur.
Sungguh ajaib, ilalang yang pertama langsung menancap pada cupu, sedangkan
ujung ilalang yang kedua menancap pada pangkal ilalang pertama, lalu ujung
ilalang yang ketiga menancap pada pangkal ilalang yang kedua, demikian
seterusnya hingga membentuk seutas tali panjang.
Danghyang Druna lalu menarik
rangkaian ilalang tersebut ke atas, sehingga cupu pun berhasil diambil. Namun,
alangkah terkejutnya mereka semua karena cupu tersebut telah kosong melompong.
Para pangeran itu mengira Lenga Tala pasti tercecer di jalan dan mereka pun
berniat mencarinya. Hanya Raden Permadi seorang yang terkagum-kagum melihat
kesaktian Danghyang Druna. Ia pun berlutut menyembah dan meminta agar diterima
sebagai murid. Melihat sikap Raden Permadi, para Pandawa yang lainnya serta
para Kurawa ikut berlutut menyembah pula. Mereka merasa lebih baik menjadi
murid Danghyang Druna yang sakti daripada ribut mencari Lenga Tala yang mungkin
saja sudah hilang meresap ke dalam tanah.
ADIPATI DRETARASTRA MENERIMA DANGHYANG DRUNA BEKERJA
Adipati Dretarastra telah
mendapat laporan bahwa ada seorang pendeta buruk rupa tetapi sangat sakti yang
mampu menarik cupu dari dasar sumur hanya menggunakan rangkaian ilalang. Ia pun
bergegas menemui pendeta itu dengan diantarkan oleh Raden Sanjaya (putra Raden
Yamawidura).
Danghyang Druna pun
memperkenalkan dirinya kepada Adipati Dretarastra, bahwa ia adalah kakak ipar
Resi Krepa, kepala brahmana Kerajaan Hastina. Ia mengaku mendapat cerita dari
Resi Krepa bahwa Kerajaan Hastina sedang membutuhkan pengajar ilmu perang untuk
para Pandawa dan Kurawa. Untuk itulah ia datang ke istana demi memenuhi
kebutuhan tersebut.
Raden Permadi memohon kepada Adipati Dretarastra agar menerima Danghyang Druna bekerja di Kerajaan Hastina. Raden Suyudana tidak mau kalah. Ia juga memohon agar sang ayah menerima pendeta tersebut bekerja. Adipati Dretarastra setuju. Ia pun menerima Danghyang Druna sebagai guru ilmu perang bagi para Pandawa dan Kurawa.
Danghyang Druna berterima
kasih kepada Adipati Dretarastra. Dalam hati ia merasa gembira, karena para
Pandawa dan Kurawa akan menjadi sarana baginya untuk membalas dendam kepada
Prabu Drupada dan Arya Gandamana.
Danghyang Kumbayana menjadi Danghyang Druna |
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
CATATAN : Kisah Bambang Kumbayana meninggalkan ayahnya, kelahiran
putranya, serta perkawinannya dengan Dewi Krepi dalam Serat Pustakaraja Purwa
versi Raden Ngabehi Ranggawarsita diberi angka tahun Suryasengkala 683 yang
ditandai dengan sengkalan “Gunaning brahmana angraras kamuksan”, atau tahun
Candrasengkala 704 yang ditandai dengan sengkalan “Yoga musna kaswareng wiyat”.
Sedangkan kisah Arya Gandamana menghajar Danghyang Kumbayana, hingga
pertemuan Danghyang Druna dengan para Pandawa dan Kurawa terjadi pada tahun
Suryasengkala 690 yang ditandai dengan sengkalan “Tanpa gatra retuning barakan”
atau tahun Candrasengkala 711 yang ditandai dengan sengkalan “Rupa janma
kaswareng wiyat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar