Sabtu, 07 Februari 2015

Satapi Murca

Kisah ini menceritakan perkawinan Dewi Srini putri Prabu Brahmasatapa dengan Raden Wahnaya putra Prabu Sri Mahawan, yang diselingi dengan hilangnya Dewi Satapi yang akhirnya dapat ditemukan oleh Arya Sadaskara, putra Patih Pujangkara.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.


Kediri, 07 Februari 2015

Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------


DEWI SATAPI HILANG DARI ISTANA GILINGWESI

Prabu Brahmasatapa di Kerajaan Gilingwesi dihadap Raden Parikenan, Patih Brahmasadana, Arya Brahmastuti, Arya Brahmayana, Arya Brahmanakestu, dan para punggawa lainnya. Mereka sedang membicarakan perihal Dewi Satapi (putri Prabu Brahmasatapa dengan Dewi Rajatadi) yang hilang entah ke mana. Sampai saat ini Prabu Brahmasatapa belum mendapatkan petunjuk tentang keberadaan putri bungsunya tersebut.

Tidak lama kemudian datanglah utusan dari Kerajaan Purwacarita, yaitu Patih Pujangkara dan putranya yang bernama Arya Sadaskara. Kedatangan mereka adalah untuk menyampaikan lamaran resmi Prabu Sri Mahawan yang ingin mengambil Dewi Srini sebagai menantu, yaitu dinikahkan dengan Raden Wahnaya. Beberapa bulan yang lalu, yaitu saat pernikahan Raden Parikenan dan Dewi Brahmaneki di Kerajaan Wirata, Prabu Sri Mahawan sempat mengutarakan niatnya itu kepada Prabu Brahmasatapa. Kini ia pun mengirim utusan untuk menegaskan lamarannya dengan membawa segala macam benda-benda pertunangan.

Prabu Brahmasatapa sebenarnya sangat senang apabila dapat berbesan dengan Prabu Sri Mahawan. Akan tetapi, saat ini ia sedang berduka karena putri bungsunya menghilang tanpa jejak, sehingga belum dapat memberikan jawaban terhadap lamaran tersebut. Patih Pujangkara turut prihatin mendengar hal itu dan ia bersedia membantu mencari keberadaan Dewi Satapi. Setelah menyerahkan benda-benda pertunangan dari rajanya, Patih Pujangkara dan Arya Sadaskara pun mohon pamit kembali ke Kerajaan Purwacarita.

PRABU BRAHMASATAPA MENGUTUK DEWI RAJATADI MENJADI BUAYA

Setelah membubarkan pertemuan, Prabu Brahmasatapa masuk ke dalam kedaton menemui Dewi Rajatadi yang saat itu sedang menangisi hilangnya Dewi Satapi. Prabu Brahmasatapa berusaha menyabarkan istrinya itu dan ia juga menceritakan tentang lamaran yang dikirim Prabu Sri Mahawan untuk Dewi Srini. Hal ini justru membuat Dewi Rajatadi bertambah sedih. Ia mengeluh Prabu Brahamasatapa pilih kasih, lebih menyayangi Dewi Srini yang lahir dari bidadari dibanding Dewi Satapi yang lahir darinya. Dewi Rajatadi menduga hilangnya Dewi Satapi pasti kabur dari istana karena mengetahui sikap ayahnya yang berat sebelah tersebut.

Tuduhan ini membuat Prabu Brahmasatapa sangat tersinggung. Padahal, saat Dewi Rajatadi terbukti membuang Raden Parikenan dan Dewi Srini sewaktu bayi dan menukar mereka dengan sepasang anak kambing, Prabu Brahmasatapa masih dapat mengampuni. Namun, gara-gara ucapan istrinya tadi amarah Prabu Brahmasatapa menjadi bangkit kembali. Prabu Brahmasatapa pun mengucapkan kutukan, sehingga wujud Dewi Rajatadi seketika berubah menjadi seekor buaya betina.

Prabu Brahmasatapa sangat menyesal dan segera memanggil Patih Brahmasadana yang merupakan adik kandung Dewi Rajatadi. Patih Brahmasadana terkejut bukan main, namun ia menyadari kalau kakaknya memang bersalah. Ia pun menghibur hati Prabu Brahmasatapa bahwa hal ini memang sudah menjadi hukum karma atas dosa-dosa Dewi Rajatadi di masa lalu. Patih Brahmasadana lalu membawa buaya perwujudan kakaknya itu dan melepaskannnya di Sungai Jamuna.

PATIH PUJANGKARA MEMINTA PETUNJUK BEGAWAN RUKMAWATI

Sementara itu, Patih Pujangkara dan Arya Sadaskara yang dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan Purwacarita menyempatkan untuk singgah di Gunung Mahendra. Rupanya Patih Pujangkara berniat meminta petunjuk kepada Begawan Rukmawati perihal hilangnya Dewi Satapi.

Begawan Rukmawati menyambut kedatangan ayah dan anak itu, lalu memberikan penjelasan bahwa hilangnya Dewi Satapi adalah hukuman untuk Dewi Rajatadi sebagai balasan atas perbuatannya dulu yang pernah membuang Raden Parikenan dan Dewi Srini semasa bayi. Namun kini, Dewi Rajatadi telah mendapatkan hukuman baru, yaitu dikutuk suaminya menjadi buaya. Dengan demikian, hilangnya Dewi Satapi sudah saatnya harus diakhiri. Begawan Rukmawati pun menyarankan agar Arya Sadaskara yang berangkat mencari Dewi Satapi, karena ia diramalkan berjodoh dengan putri bungsu Kerajaan Gilingwesi tersebut.

Begawan Rukmawati memberikan petunjuk bahwa yang menculik Dewi Satapi adalah raksasa penguasa Hutan Wanapringga, bernama Ditya Singasari. Untuk mengalahkan raksasa tersebut, Begawan Rukmawati pun membekali Arya Sadaskara dengan ilmu kesaktian berupa mantra Aji Danurdara dan tulisan Rajah Kalamuksa. Arya Sadaskara berterima kasih dan menghafalkannya dengan baik, lalu mohon restu kepada pertapa wanita tersebut dan juga kepada ayahnya untuk kemudian berangkat menuju Hutan Wanapringga. Patih Pujangkara juga mohon pamit kepada Begawan Rukmawati untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Purwacarita.

ARYA SADASKARA MEMBANTU PISACI DARTI MENEMUKAN SUAMINYA

Perjalanan Arya Sadaskara telah sampai di pinggiran Hutan Wanapringga, di mana ia melihat seorang wanita sedang menangis. Wanita itu didekatinya dan mengaku bernama Darti dari bangsa pisaci, yaitu sejenis makhluk halus. Darti mengaku bahwa dirinya sengaja menampakkan diri di hadapan manusia supaya dibantu menemukan suaminya, yaitu seorang pisaca bernama Wulingga.

Darti bercerita bahwa pemimpin kaum pisaca yang bernama Pisacaraja Bahli telah ditaklukkan oleh Ditya Singasari, sehingga semua pisaca, termasuk Wulingga, kini menjadi pelayan Ditya Singasari. Darti meminta bantuan Arya Sadaskara supaya memanggil Wulingga agar keluar dari barisan dengan cara bersiul menyanyikan lagu. Darti menjelaskan bahwa suaminya itu sangat senang mendengar siulan dan ia akan menari-nari mendekati orang yang bersiul itu. Supaya Arya Sadaskara dapat melihat wujud Wulingga, Darti pun memberikan Minyak Pranawa untuk dioleskan di kedua mata dan telinganya.

Arya Sadaskara lalu berangkat menyusuri sebuah jurang di Hutan Wanapringga sesuai petunjuk yang diberikan Darti. Berkat Minyak Pranawa, ia dapat melihat ada begitu banyak makhluk halus beserta perkampungan mereka. Ketika melihat ada barisan para pisaca, Arya Sadaskara segera bersiul menyanyikan lagu Bremara. Dari barisan itu tampak keluar seorang pisaca menari-nari dan mendekati Arya Sadaskara. Arya Sadaskara yakin yang datang ini pasti bernama Wulingga. Ia pun segera menangkap pisaca itu dan membawanya pergi menemui Darti.

Wulingga sangat terkejut mengapa Arya Sadaskara dapat melihat dan menangkapnya. Begitu sampai di tempat Darti, ia pun paham kalau pemuda itu ternyata mendapatkan Minyak Pranawa dari istrinya. Wulingga sangat senang bisa bertemu dengan Darti, namun ia juga takut mendapat hukuman dari Ditya Singasari karena meninggalkan barisan. Arya Sadaskara menawarkan diri untuk mengalahkan Ditya Singasari, namun Wulingga tidak berani mengantarkannya. Ia hanya berani mempertemukan Arya Sadaskara dengan pemimpinnya, yaitu Pisacaraja Bahli, supaya mereka bersekutu dan bersama-sama menghadapi Ditya Singasari. Akan tetapi, Wulingga bersedia mengantarkan Arya Sadaskara apabila dirinya diajari cara bersiul menyanyikan lagu Bremara tadi.

Arya Sadaskara menyanggupi hal itu. Ia pun mengajarkan cara bersiul kepada Wulingga. Setelah mahir, Wulingga lalu mengantarkan Arya Sadaskara menemui Pisacaraja Bahli.

ARYA SADASKARA MEMBUNUH DITYA SINGASARI


Wulingga telah mengantarkan Arya Sadaskara menemui Pisacaraja Bahli. Setelah berkenalan dan menjalin persahabatan, Pisacaraja Bahli dan Arya Sadaskara pun merundingkan cara untuk membebaskan kaum pisaca dari penjajahan Ditya Singasari. Pisacaraja Bahli mengaku dirinya mempunyai batu ajaib bernama Sela Timpuru yang bisa diubah menjadi benda apa saja untuk dipakai membunuh Ditya Singasari. Akan tetapi, Sela Timpuru hanya bisa digunakan oleh orang yang menguasai Aji Danurdara dan Rajah Kalamuksa.

Sungguh kebetulan, Arya Sadaskara telah mendapatkan kedua ilmu tersebut dari Begawan Rukmawati. Pisacaraja Bahli sangat senang mendengarnya. Mereka berdua lalu berangkat menuju Gua Sindula, tempat Ditya Singasari menyembunyikan seorang wanita cantik di dalamnya. Pisacaraja Bahli bercerita bahwa Ditya Singasari beberapa kali hendak memerkosa wanita itu, namun selalu saja si wanita lenyap dari pandangan. Arya Sadaskara yakin wanita itu pastilah Dewi Satapi, putri bungsu Prabu Brahmasatapa.

Sesampainya di Gua Sindula, Pisacaraja Bahli segera meminjamkan Sela Timpuru kepada Arya Sadaskara, kemudian berteriak menantang Ditya Singasari. Arya Sadaskara lalu menuliskan Rajah Kalamuksa pada batu ajaib tersebut dan membaca mantra Aji Danurdara. Seketika Sela Timpuru berubah menjadi senjata cambuk. Ketika Ditya Singasari keluar dari gua, Arya Sadaskara segera menyerang raksasa itu dan terjadilah perkelahian di antara mereka. Saat Ditya Singasari berhasil menghindari lecutan cambuk tersebut dan makin mendekat, Arya Sadaskara pun mengubah Sela Timpuru menjadi pedang untuk pertarungan jarak dekat. Ketika Ditya Singasari mundur untuk menghindari tusukan pedang tersebut, Arya Sadaskara mengubah senjatanya menjadi sebatang tombak dan melemparkannya tepat menusuk leher raksasa tersebut.

Ditya Singasari tewas meninggalkan seorang putra yang masih bayi, bernama Ditya Rambana. Sahabatnya yang bernama Ditya Saniwara pun menggendong bayi raksasa itu dan membawanya kabur meninggalkan Hutan Wanapringga.

Sementara itu, Arya Sadaskara masuk ke dalam Gua Sindula menemui Dewi Satapi yang sedang bersamadi. Dewi Satapi sangat berterima kasih kepada pahlawan penolongnya itu. Ia pun menceritakan peristiwa yang ia alami. Pada mulanya Ditya Singasari ingin menikah lagi setelah ditinggal mati istrinya saat melahirkan Ditya Rambana. Ditya Singasari pun menyusup ke dalam istana Gilingwesi dan menculik Dewi Satapi saat sedang memetik bunga. Ditya Singasari lalu menyembunyikan Dewi Satapi di dalam Gua Sindula. Dewi Satapi pun bersamadi memohon perlindungan dewata, sehingga Ditya Singasari yang berniat ingin memerkosa tidak dapat melihat wujudnya. Meskipun Ditya Singasari menggunakan Minyak Pranawa, tetap saja ia tidak mampu melihat keberadaan Dewi Satapi.

Arya Sadaskara bersyukur mendengar cerita tersebut dan segera memasukkan Dewi Satapi ke dalam Sela Timpuru. Ia kemudian berangkat menuju Kerajaan Gilingwesi dengan ditemani Pisacaraja Bahli.

PRABU BRAHMASATAPA MENCURIGAI ARYA SADASKARA

Arya Sadaskara tiba di hadapan Prabu Brahmasatapa dan melaporkan semua pengalamannya. Ia kemudian mengeluarkan Dewi Satapi dari dalam Sela Timpuru. Prabu Brahmasatapa sangat bahagia bisa bertemu kembali dengan putri bungsunya itu, namun ia kemudian menaruh curiga, jangan-jangan Arya Sadaskara yang telah menculiknya dan mengarang cerita palsu tentang raksasa bernama Ditya Singasari.

Pisacaraja Bahli lalu berbisik di samping Arya Sadaskara supaya menyerahkan Minyak Pranawa kepada Prabu Brahmasatapa. Setelah menerima minyak tersebut dan mengoleskannya di mata, Prabu Brhamasatapa dapat melihat wujud Pisacaraja Bahli dan sempat terkejut beberapa saat. Pisacaraja Bahli lalu bersumpah bahwa semua yang diceritakan Arya Sadaskara adalah benar.

Tiba-tiba Prabu Brahmasatapa melihat ada sesosok makhluk halus berwujud api yang menyala berkobar-kobar hendak membakar istana Gilingwesi. Pisacaraja Bahli menjelaskan bahwa itu adalah Jalegi, makhluk halus kesayangan Ditya Singasari yang ingin membalas dendam. Prabu Brahmasatapa ketakutan dan meminta tolong kepada Pisacaraja Bahli agar membunuhnya. Pisacaraja Bahli mematuhi, kemudian ia menyerang Jalegi dan berhasil menewaskannya.

Prabu Brahmasatapa berterima kasih dan meminta Pisacaraja Bahli supaya tetap tinggal di Kerajaan Gilingwesi sebagai penjaga istana. Pisacaraja Bahli bercerita bahwa kakeknya yang bernama Pisacaraja Sentruya juga pernah mengabdi di Kerajaan Gilingwesi pada masa pemerintahan Prabu Watugunung. Setelah Prabu Watugunung gugur, Pisacaraja Sentruya pun pindah ke Gunung Rewataka. Ia kemudian memiliki anak bernama Pisacaraja Wilika yang pindah ke Hutan Parimbun. Adapun Pisacaraja Wilika adalah ayah dari Pisacaraja Bahli.

Pisacaraja Bahli menerima tawaran Prabu Brahmasatapa, namun ia meminta diizinkan tinggal di sanggar yang dulu ditempati kakeknya. Kemudian setiap hari Anggara Kasih ia juga meminta diberi sesaji berupa minyak wangi dan dupa. Prabu Brahmasatapa menyanggupinya. Sebagai hadiah atas jasanya membunuh Jalegi tadi, Prabu Brahmasatapa pun memberikan Mutiara Matuwahni kepada Pisacaraja Bahli. Mutiara Matuwahni tersebut tidak lain adalah kenang-kenangan dari Batari Dresanala saat dulu Prabu Brahmasatapa jatuh cinta kepada bibinya itu.

PERNIKAHAN DEWI SRINI DAN DEWI SATAPI

Prabu Brahmasatapa sangat gembira karena segala masalah telah teratasi. Ia pun menyatakan bahwa Arya Sadaskara akan diambil sebagai menantu, yaitu dinikahkan dengan Dewi Satapi. Ia juga mengutus Patih Brahmasadana untuk membalas lamaran Prabu Sri Mahawan terhadap Dewi Srini yang hendak dijodohkan dengan Raden Wahnaya.

Maka, pada hari yang ditentukan, dilangsungkanlah upacara pernikahan ganda di Kerajaan Gilingwesi, yaitu Dewi Srini dengan Raden Wahnaya, serta Dewi Satapi dengan Arya Sadaskara. Kebahagiaan ini semakin bertambah dengan berita kelahiran anak pertama Raden Parikenan dan Dewi Brahmaneki, yang diberi nama Dewi Kaniraras.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


kembali ke: daftar isi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar