Rabu, 11 Maret 2015

Satrukem Lahir

Kisah ini menceritakan kelahiran tiga orang putra Resi Manumanasa, yaitu Bambang Satrukem, Bambang Sriati, dan Bambang Manumadewa. Mereka lahir dalam keadaan terbungkus dan digunakan untuk menumpas musuh kahyangan bernama Prabu Kalimantara, yang kemudian jasadnya berubah menjadi sebuah kitab pusaka bernama Jamus Kalimasada. Kisah dilanjutkan dengan kematian Prabu Basupati dan kedua istrinya, serta Dewi Brahmaneki, serta pelantikan Raden Basumurti sebagai raja Wirata yang ketiga.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan lakon wayang dalam rubrik Pedhalangan dari Majalah Panjebar Semangat, dengan sedikit pengembangan.


Kediri, 11 Maret 2015

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------


DEWI BRAHMANEKI MENIKAHKAN RADEN MANONBAWA DAN RADEN PARIDARMA

Satu tahun berlalu sejak Prabu Basupati di Kerajaan Wirata menggelar pernikahan Raden Basukesti dan Raden Basunanda. Pada suatu hari Dewi Brahmaneki datang menghadap dan meminta tolong supaya Prabu Basupati mencarikan jodoh untuk Raden Manonbawa dan Raden Paridarma. Prabu Basupati pun memanggil Patih Waksiwara untuk menanyakan kedua putrinya yang bernama Dewi Suwedi dan Dewi Subahni. Adapun putra sulung Patih Wakiswara bernama Arya Suweda telah menjadi punggawa Kerajaan Wirata. Ketika Prabu Basupati menyampaikan maksudnya ingin menikahkan Dewi Suwedi dengan Raden Manonbawa, serta Dewi Subahni dengan Raden Paridarma, Patih Wakiswara langsung menyatakan setuju.

Maka, pada hari yang ditentukan, dilangsungkanlah pernikahan ganda tersebut. Resi Manumanasa juga datang menghadiri perkawinan adik-adiknya itu namun tidak bersama Dewi Retnawati, karena saat itu sedang mengandung. Setelah upacara pernikahan selesai, Prabu Basupati lalu mengangkat kedua keponakannya itu menjadi pegawai Kerajaan Wirata. Raden Manonbawa dijadikan pendeta, bergelar Resi Manonbawa; sedangkan Raden Paridarma dijadikan punggawa, bergelar Arya Paridarma.

DEWI RETNAWATI MEMAKAN BUAH SUMARWANA


Dalam perjalanan pulang ke Gunung Saptaarga, Resi Manumanasa melihat sebuah pohon yang hanya memiliki buah satu butir, namun terlihat bersinar menyilaukan. Buah itu pun dipetiknya dan dibawa pulang. Sesampainya di Pertapaan Ratawu, Resi Manumanasa memberikan buah yang bersinar itu kepada Dewi Retnawati.

Tepat tengah hari, Dewi Retnawati memakan buah pemberian suaminya tersebut. Ternyata rasanya sangat manis dan menyegarkan. Tiba-tiba di luar terdengar suara ribut-ribut. Resi Manumanasa dan Dewi Retnawati segera keluar memeriksa dan melihat di halaman padepokan tampak Putut Supalawa dan Janggan Smara sedang berkelahi melawan sesosok makhluk gandarwa. Gandarwa itu mengamuk dan meminta supaya buah miliknya dikembalikan.

Resi Manumanasa segera melerai perkelahian tersebut dan menanyakan asal-usul si gandarwa. Gandarwa itu mengaku bernama Satrutapa. Ia bercerita pada suatu hari dirinya mendapatkan bibit pohon Sumarwana. Pohon itu kelak akan berbuah satu kali dan barangsiapa yang memakannya tentu akan menurunkan tokoh-tokoh besar di Tanah Jawa. Maka, Gandarwa Satrutapa pun menanam bibit pohon tersebut dan merawatnya setiap hari hingga akhirnya berbuah. Sungguh malang, ketika Resi Manumanasa kebetulan lewat dan memetik buah tersebut, Gandarwa Satrutapa sedang ketiduran.

Mendengar cerita tersebut, Resi Manumanasa merasa sangat bersalah telah mengambil buah milik orang lain. Tadinya ia mengira buah tersebut tumbuh liar begitu saja seperti pohon-pohon lainnya di sekitar situ. Gandarwa Satrutapa sebenarnya sangat kecewa, namun saat melihat Dewi Retnawati yang sedang mengandung, ia akhirnya merelakan buah tersebut. Namun sebagai gantinya, Gandarwa Satrutapa meminta supaya diizinkan menitis kepada janin yang dikandung Dewi Retnawati itu.

Resi Manumanasa mengamati sosok Gandarwa Satrutapa yang berwujud makhluk halus namun sepertinya memiliki sifat yang polos dan jujur. Maka, ia pun mengizinkan apabila gandarwa tersebut menitis kepada calon anaknya. Gandarwa Satrutapa sangat senang, lalu ia pun masuk ke dalam kandungan Dewi Retnawati.

DEWI RETNAWATI MELAHIRKAN BAYI BUNGKUS

Ketika kandungannya memasuki usia sembilan bulan, Dewi Retnawati pun melahirkan. Akan tetapi, bayi yang dilahirkannya berukuran sangat besar dan terbungkus oleh semacam selaput keras. Dewi Retnawati sendiri meninggal dunia akibat persalinan yang tak wajar itu dan sukmanya kembali ke kahyangan sebagai bidadari.

Resi Manumanasa sangat berduka. Ia berusaha membuka bungkus bayi tersebut namun tidak berhasil. Putut Supalawa dan Janggan Smara juga mencoba namun mereka pun tidak mampu membuka bungkus bayi berukuran besar itu.

Pada saat itulah Batara Narada turun dari kahyangan menemui Resi Manumanasa. Ia menjelaskan mengapa ukuran bayi berbungkus yang dilahirkan Dewi Retnawati itu sangat besar, adalah karena di dalamnya berisi tiga orang bayi laki-laki. Bungkus tersebut dapat dibuka hanya jika Resi Manumanasa membantu Kahyangan Suralaya yang saat ini diserang musuh dari Kerajaan Nusarukmi, dipimpin Prabu Kalimantara.

Batara Narada pun bercerita bahwa Prabu Kalimantara datang ke Kahyangan Suralaya untuk melamar Batari Gagarmayang sebagai permaisuri, namun ditolak oleh Batara Indra. Merasa tersinggung, Prabu Kalimantara dan saudara-saudaranya lantas mengamuk menyerang para dewa. Menurut petunjuk dari Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka, Prabu Kalimantara hanya bisa dikalahkan oleh Resi Manumanasa dengan menggunakan bayi berbungkus yang baru saja dilahirkan Dewi Retnawati.

Resi Manumanasa menyanggupi hal itu. Ia lalu berangkat bersama Batara Narada menuju Kahyangan Suralaya sambil menggendong ketiga bayinya yang terbungkus menjadi satu itu. Putut Supalawa dan Janggan Smara pun ikut serta.

RESI MANUMANASA MENGALAHKAN PRABU KALIMANTARA

Resi Manumanasa telah sampai di Kahyangan Suralaya dan langsung berhadapan dengan pasukan Kerajaan Nusarukmi. Putut Supalawa ikut bertempur menewaskan banyak prajurit musuh. Prabu Kalimantara tampak berbaris bersama saudara-saudaranya, yang bernama Patih Ardadedali, Arya Karawelang, dan Garuda Banatara. Dalam pertempuran sebelumnya, Batara Indra dan para dewa tidak mampu mengalahkan mereka, karena setiap kali ada yang terluka atau terbunuh, akan segera bangkit kembali setelah mendapatkan kibasan sayap Garuda Banatara.

Resi Manumanasa yang telah mendapatkan petunjuk dari Batara Narada segera bersiap untuk melemparkan bayi berbungkusnya. Ia paham hal ini sangat berbahaya, namun hanya dengan cara demikian ketiga bayinya bisa terbebas dari selaput pembungkus. Maka, ketika mendapatkan waktu yang tepat, Resi Manumanasa pun melemparkan bayi berbungkusnya itu ke arah musuh.

Bayi berbungkus tersebut melayang secepat kilat dan membentur kepala Prabu Kalimantara, lalu mental dan berturut-turut mengenai Patih Ardadedali, Arya Karawelang, dan Garuda Banatara. Mereka semua pun roboh kehilangan nyawa, dan secara ajaib jasad masing-masing berubah wujud menjadi pusaka. Prabu Kalimantara berubah menjadi sebuah kitab; Patih Ardadedali menjadi sebatang anak panah; Arya Karawelang menjadi sebatang tombak; dan Garuda Banatara menjadi sebuah payung.

Di lain pihak, selaput pembungkus bayi robek pula, sehingga ketiga putra Resi Manumanasa kini bebas merdeka. Ketiga bayi laki-laki itu menangis bersamaan, membuat Resi Manumanasa kesulitan menentukan siapa yang lebih tua dan siapa yang lebih muda. Batara Narada lalu memberikan petunjuk sehingga Resi Manumanasa dapat menetapkan urutan usia bagi ketiga putranya itu. Yang paling tua adalah titisan Gandarwa Satrutapa, diberi nama Bambang Satrukem. Yang nomor dua diberi nama Bambang Sriati, sedangkan yang paling muda diberi nama Bambang Manumadewa.

Batara Indra berterima kasih atas bantuan Resi Manumanasa mengalahkan para musuh kahyangan dan bersiap memberikan hadiah kepadanya. Namun, Resi Manumanasa meminta anugerah untuk ketiga anaknya saja, supaya bisa tetap hidup meskipun ditinggal ibu mereka. Maka, Batara Indra pun memberikan anugerah apabila ketiga bayi itu menghisap jari tangan mereka sendiri, maka dari jari itu akan memancar keluar air susu, sampai kelak mereka berusia dua tahun. Resi Manumanasa sangat berterima kasih atas anugerah ajaib tersebut.

Sementara itu, Batara Narada telah memberi nama kepada pusaka-pusaka yang berasal dari jasad para musuh kahyangan tadi. Prabu Kalimantara yang telah berubah menjadi kitab, diberi nama Serat Kalimasada. Namun, lembaran-lembaran kitab tersebut masih kosong tanpa tulisan. Batara Narada meramalkan kelak akan ada keturunan Resi Manumanasa bernama Resi Abyasa yang mampu menulisi kitab kosong tersebut dengan ajaran-ajaran kesempurnaan hidup.

Sementara itu, anak panah yang berasal dari jasad Patih Ardadedali diberi nama Panah Ardadedali, sedangkan tombak yang tercipta dari jasad Arya Karawelang diberi nama Tombak Karawelang. Adapun Garuda Banatara yang berubah menjadi payung pusaka, diberi nama Payung Tunggulnaga. Batara Narada lalu menitipkan keempat pusaka itu kepada Batara Indra supaya disimpan dan kelak hendaknya diberikan kepada anak keturunan Resi Manumanasa. Batara Indra pun menerima dan menyanggupi permintaan tersebut.

Setelah dirasa cukup, Resi Manumanasa lalu mohon pamit meinggalkan Kahyangan Suralaya, dengan disertai Putut Supalawa dan Janggan Smara. Mereka masing-masing menggendong bayi Bambang Satrukem, Bambang Sriati, dan Bambang Manumadewa.

PRABU BASUPATI DIGANTIKAN PRABU BASUMURTI

Sesampainya di Gunung Saptaarga, Resi Manumanasa menerima kunjungan Arya Suweda yang menyampaikan berita duka bahwa Prabu Basupati, Dewi Wakiswari, Dewi Awanti, serta Dewi Brahmaneki meninggal dunia karena keracunan masakan jamur. Resi Manumanasa sangat sedih dan segera berangkat menuju Kerajaan Wirata.

Sesampainya di istana Wirata, Resi Manumanasa melihat semuanya telah berkumpul. Upacara pemakaman terhadap mereka berempat pun diselenggarakan dalam suasana haru, dengan dipimpin Raden Basumurti selaku putra sulung Prabu Basupati.

Beberapa pekan kemudian, Raden Basumurti dilantik menjadi raja Wirata yang baru, bergelar Prabu Basumurti. Patih Wakiswara yang sudah tua mengundurkan diri dan menjadi pendeta, bergelar Resi Wakiswara. Kedudukannya sebagai menteri utama digantikan oleh adik ipar Prabu Basumurti, bergelar Patih Jatikanda (adik Dewi Jatiswara). Sementara itu, Arya Suweda putra Resi Wakiswara juga menjadi pendeta, bergelar Resi Wedawaka.

Prabu Basumurti juga menawarkan kedudukan kepada Resi Manumanasa. Akan tetapi, Resi Manumanasa menolak dan menyatakan lebih suka menyepi di Gunung Saptaarga sebagai pertapa dan sesekali saja berkunjung ke Kerajaan Wirata sebagai saudara, bukan sebagai pejabat. Prabu Basumurti tidak dapat memaksa sepupunya itu. Setelah masa berkabung usai, Resi Manumanasa dan kedua adiknya, yaitu Resi Manonbawa dan Arya Paridarma mohon pamit kembali ke tempat tinggal masing-masing.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


kembali ke : daftar isi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar