Sabtu, 18 Oktober 2014

Prahara Gilingwesi

Kisah ini bercerita tentang meninggalnya Begawan Anggara, putra sulung Prabu Palindriya, yang dilanjutkan dengan kelahiran Raden Radeya putra Prabu Watugunung dan Dewi Sinta yang kelak bergelar Sri Maharaja Gotaka. Kelahiran anak dari hasil perkawinan terlarang antara ibu dan anak ini menyebabkan Kerajaan Gilingwesi dilanda bencana dan wabah penyakit, hingga akhirnya bisa reda setelah Prabu Watugunung menjadi pemuja Batara Kala.

Kisah ini disusun dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.


Kediri, 18 Oktober 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Prabu Watugunung menjadi pemuja Batara Kala.

BEGAWAN ANGGARA MENINGGAL DUNIA

Prabu Watugunung di Kerajaan Gilingwesi dihadap Patih Suwelacala, Danghyang Suktina, dan para arya. Mereka membicarakan sang permaisuri Dewi Sinta yang kini sedang mengandung dan beberapa waktu lagi akan melahirkan. Prabu Watugunung merasa cintanya kepada Dewi Sinta semakin hari semakin besar, sedangkan kepada istri-istri yang lain sama sekali ia tidak ingin menyentuh mereka. Patih Suwelacala pun menyarankan agar Prabu Watugunung juga memerhatikan para istri yang lain, jangan hanya melulu kepada Dewi Sinta saja.

Akan tetapi, Prabu Watugunung menolak saran itu, bahkan ia berniat hendak menceraikan semua istrinya, kecuali Dewi Sinta seorang. Prabu Watugunung memutuskan untuk menyerahkan Dewi Darti kepada Patih Suwelacala, serta para Putri Domas kepada para arya. Sementara itu, Dewi Tumpak yang pada dasarnya masih terlalu muda belia dibiarkan menjadi janda untuk sementara waktu sampai kelak menemukan calon suami yang benar-benar tepat untuknya.

Tiba-tiba datang Begawan Sukra (kakak tiri Prabu Watugunung) yang menyampaikan berita duka bahwa Begawan Anggara telah meninggal dunia. Prabu Watugunung dan Patih Suwelacala sangat terkejut dan bersedih mendengar berita yang sangat mendadak ini. Pertemuan pun dibubarkan, dan Prabu Watugunung berangkat memimpin langsung rombongan melayat menuju Padepokan Andongdadapan.

Sesampainya di sana, rombongan Prabu Watugunung itu disambut oleh Begawan Buda, dan mereka kemudian bersama-sama menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah Begawan Anggara. Setelah upacara selesai, Prabu Watugunung memberikan kedudukan kepada tiga orang putra Begawan Anggara. Putra yang paling tua diangkat sebagai pandita menggantikan sang ayah, bergelar Resi Dwara, sedangkan putra kedua dan ketiga dijadikan punggawa Kerajaan Gilingwesi, dengan nama Arya Wakya dan Arya Byatara.

RESI SATMATA MENJADI DUKUN

Sementara itu, Resi Satmata (penjelmaan Batara Wisnu) di Padepokan Parangtritis telah bertapa sekian lama demi untuk menebus dosanya yang telah lancang berani menikahi calon istri Batara Guru, yaitu Dewi Sriyuwati. Pada suatu hari Batara Narada datang berkunjung melihat keadaannya. Dalam kunjungannya itu, Batara Narada menyarankan supaya Resi Satmata menjalani tapa rame, yaitu mengamalkan pikiran dan tenaga untuk membantu sesama demi mendapatkan ampunan dari Batara Guru.

Resi Satmata berterima kasih atas saran tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pamit kembali ke kahyangan, sedangkan Resi Satmata pindah ke Desa Kayuwan di Tanah Pagelen yang lebih ramai sehingga lebih mudah untuk melakukan amal kebaikan. Di desa itu, Resi Satmata menjadi seorang dukun yang mengamalkan ilmu pengetahuan dan tenaganya untuk mengobati masyarakat yang menderita sakit apa saja.

RESI SATMATA MENGAMBIL MURID

Pengobatan yang dibuka Resi Satmata semakin hari semakin bertambah ramai. Bahkan, orang-orang yang datang berobat kepadanya bukan melulu dari Desa Kayuwan saja, tetapi juga dari desa-desa lain banyak yang meminta pertolongannya. Antara lain yang datang kepadanya adalah Buyut Gopa, kepada Desa Sewu. Buyut Gopa datang untuk memintakan obat atas penyakit aneh yang dialami anaknya, bernama Pastima, yang tiba-tiba saja mengalami kelumpuhan tidak bisa berjalan.

Resi Satmata menerawang mencari tahu apa penyebab penyakit Pastima. Ternyata pada suatu hari Pastima yang masih kecil itu bermain-main bersama teman-temannya di pinggir kuburan desa. Tanpa sengaja, Pastima melangkahi pusaka yang dipendam di sana sehingga terkena balak dan jatuh sakit. Resi Satmata lalu memberikan resep panjang lebar untuk mengobati penyakit Pastima itu. Tak disangka, Buyut Gopa ternyata memiliki ingatan tajam dan dapat langsung menghafalkan resep yang rumit tersebut dengan baik.

Buyut Gopa lalu mengumpulkan bahan-bahan obat seperti yang diajarkan Resi Satmata dan memberikannya kepada Pastima. Secara ajaib, Pastima langsung sembuh dan bisa bermain lagi dengan teman-temannya. Buyut Gopa sangat bahagia dan kembali menemui Resi Satmata untuk berterima kasih. Sebaliknya, Resi Satmata juga sangat senang melihat bakat serta kepandaian Buyut Gopa dan berkenan menjadikannya sebagai murid.

Maka, sejak saat itu, Buyut Gopa pun berguru kepada Resi Satmata di Desa Kayuwan. Yang ia pelajari tidak hanya ilmu pengobatan, tapi juga ilmu perbintangan dan ilmu tafsir mimpi. Setelah menamatkan pendidikannya, Buyut Gopa diizinkan membuka tempat pengobatan sendiri di Desa Sewu, dan boleh menggunakan nama Empu Gopa.

KELAHIRAN RADEN RADEYA DAN PEMBUNUHAN EMPU GOPA

Di Kerajaan Gilingwesi, Dewi Sinta telah melahirkan seorang bayi laki-laki. Prabu Watugunung sangat bahagia menyambut kelahiran putra pertamanya itu, dan memberinya nama Raden Radeya.

Beberapa hari kemudian, Prabu Watugunung bermimpi namun setelah bangun dari tidurnya ia ternyata lupa kepada mimpinya itu. Ia pun mengumpulkan para pandita untuk menafsirkan arti mimpinya, dan tentu saja tidak ada seorang pun yang bisa. Bagaimana mungkin orang lain bisa menafsirkan mimpinya, jika ia sendiri lupa apa yang telah diimpikannya? Bahkan, dua pemuka para pandita, yaitu Begawan Buda dan Begawan Sukra juga tidak dapat menafsirkannya.

Prabu Watugunung sangat kecewa dan marah kepada semua pandita itu. Namun, Begawan Buda berhasil menyabarkannya dengan mengatakan bahwa ia mempunyai seorang kawan yang pandai menafsirkan mimpi, bernama Empu Gopa dari Desa Sewu. Prabu Watugunung tertarik dan memerintahkan Begawan Buda untuk pergi menjemputnya.

Begawan Buda lalu mohon pamit berangkat ke Desa Sewu dan kemudian kembali ke istana dengan membawa serta Empu Gopa. Prabu Watugunung menyambut mereka dan meminta Empu Gopa menafsirkan mimpinya. Empu Gopa yang menguasai ilmu tafsir mimpi dapat melihat bahwa Prabu Watugunung tadi malam telah bermimpi melihat seekor harimau dimangsa ular sampai tinggal tulang belulangnya. Dari mulut ular itu lalu keluar ulat, tikus, nyamuk, dan kuman.

Mendengar uraian tersebut, samar-samar Prabu Watugunung dapat mengingat kembali mimpinya tadi malam. Ia lalu memerintahkan Empu Gopa untuk menafsirkan mimpi tersebut, namun Empu Gopa mengaku tidak berani. Prabu Watugunung terus memaksa, sehingga Empu Gopa akhirnya menjelaskan bahwa mimpi tersebut bermakna dewata akan mengurangi kasih sayangnya kepada Kerajaan Gilingwesi, dengan ditandai munculnya musibah empat macam, yaitu ulat, tikus, nyamuk, dan kuman tersebut.

Prabu Watugunung sangat tersinggung mendengar uraian Empu Gopa. Tanpa pikir panjang, ia langsung membunuh Empu Gopa di hadapan para hadirin. Begawan Buda ngeri melihatnya dan menasihati bahwa jika Empu Gopa dibunuh, lantas siapa nanti yang bisa dimintai bantuan mengatasi musibah tersebut? Amarah Prabu Watugunung berangsur-angsur reda, dan ia pun menyesali perbuatannya tadi.

Begawan Buda dan Begawan Sukra lalu pamit pulang ke Padepokan Andongdadapan. Anak laki-laki Empu Gopa, yaitu Pastima kemudian diasuh oleh Begawan Buda dan dijadikan sebagai murid.

KERAJAAN GILINGWESI DILANDA MUSIBAH

Beberapa hari setelah pembunuhan Empu Gopa, tiba-tiba Kerajaan Gilingwesi dilanda bencana alam bertubi-tubi, mulai dari gempa bumi, hujan deras, petir halilintar, dan banjir bandang yang merobohkan banyak bangunan serta menewaskan banyak penduduk.

Setelah banjir surut, tiba-tiba saja datang ulat-ulat sedemikian banyaknya yang merusak tanaman pertanian, kemudian disusul ribuan tikus yang menyerang bahan makanan penduduk. Selanjutnya datang pula sekawanan nyamuk yang tak terhitung banyaknya menggigit dan menghisap darah para penduduk dan hewan ternak. Terakhir adalah munculnya kuman-kuman pembawa penyakit yang menyerang kulit para penduduk sehingga banyak di antara mereka yang menderita sakit kudis sangat parah.

Prabu Watugunung sedih menyaksikan penderitaan penduduknya. Berangsur-angsur wibawa Kerajaan Gilingwesi merosot sehingga banyak negeri jajahan yang menolak tunduk kepadanya. Karena pikirannya sudah buntu, Prabu Watugunung pun memutuskan untuk meminta pertolongan kepada Batara Kala yang merupakan penguasa dari segala hewan berbisa demi melenyapkan wabah di negerinya itu.

PRABU WATUGUNUNG MENJADI PEMUJA BATARA KALA

Prabu Watugunung kemudian mendirikan sebuah candi di Gunung Kusara demi untuk menyenangkan hati Batara Kala. Ketika candi telah berdiri, Batara Kala datang dan sangat berkenan melihat usaha Prabu Watugunung tersebut. Di hadapan Batara Kala, Prabu Watugunung menyatakan diri memeluk Agama Kala dan memohon supaya dibantu mengatasi musibah dan wabah penyakit yang melanda Kerajaan Gilingwesi.

Batara Kala bersedia memenuhi permohonan Prabu Watugunung. Ia lalu memerintahkan para murid yang dipimpin raksasa ayah dan anak, bernama Ditya Pulasya dan Ditya Brekutu. Para raksasa itu dibantu kaum makhluk halus segera menaklukkan seluruh hama dan kuman penyakit yang melanda, sehingga Kerajaan Gilingwesi kembali pulih seperti sedia kala.

Prabu Watugunung sangat gembira menyaksikan negerinya sudah kembali aman dan tentram. Ia pun meminta Ditya Brekutu supaya tinggal di istana Gilingwesi sebagai pembimbingnya dalam mendalami Agama Kala. Batara Kala mengizinkan, dan ia pun kembali ke Kahyangan Selamangumpeng bersama Ditya Pulasya.

DEWI LANDEP MENGUNJUNGI KERAJAAN GILINGWESI

Beberapa waktu kemudian, Dewi Landep datang mengunjungi Kerajaan Gilingwesi. Patih Suwelacala sangat gembira dan terharu menyambut ibu kandungnya itu karena mereka sudah lama tidak bertemu.

Dewi Landep menceritakan pengalamannya sejak Patih Suwelacala dan para arya pergi meninggalkan Kerajaan Medang Kamulan untuk bergabung dengan Prabu Watugunung di Kerajaan Gilingwesi. Saat itu Dewi Landep tetap tinggal di Medang Kamulan bersama anaknya yang lain, yaitu Dewi Sriyuwati yang telah dinikahi Prabu Satmata. Akan tetapi, pada suatu hari Prabu Satmata mendapatkan hukuman buang dari Batara Guru, yaitu diusir pergi dari Kerajaan Medang Kamulan karena berani menikahi calon istri raja para dewa tersebut. Prabu Satmata mematuhi hukuman itu, dan Dewi Sriyuwati mengikuti ke mana pun sang suami pergi. Karena Prabu Satmata dan Dewi Sriyuwati telah pergi dari istana, Dewi Landep akhirnya memutuskan untuk pergi pula ke tempat asalnya, yaitu Kahyangan Saptapratala.

Kini setelah beberapa tahun berpisah, Dewi Landep akhirnya datang ke Kerajaan Gilingwesi untuk mengunjungi anaknya yang lain, yaitu Patih Suwelacala. Prabu Watugunung pun menerima Dewi Landep dengan baik dan meminta ibu tirinya itu untuk menetap di istana Gilingwesi.

DEWI LANDEP BERTEMU DEWI SINTA

Pada suatu hari Dewi Landep bertemu permaisuri Prabu Watugunung, yaitu Dewi Sinta, yang tidak lain adalah kakaknya sendiri. Mereka pun saling berpelukan dengan rasa haru setelah puluhan tahun berpisah. Nama asli Dewi Sinta adalah Dewi Basundari, sedangkan nama asli Dewi Landep adalah Dewi Basuwati. Setelah keduanya dinikahi Prabu Palindriya, nama mereka pun disederhanakan seperti itu. Pada suatu hari, Dewi Sinta kabur tanpa pamit meninggalkan Kerajaan Medang Kamulan dalam keadaan mengandung karena cemburu. Sejak itulah Dewi Sinta dan Dewi Landep tidak pernah bertemu lagi sampai puluhan tahun lamanya.

Dewi Sinta lalu bercerita bahwa anak yang dikandungnya telah lahir dan diberi nama Jaka Wudug, namun anak itu kemudian hilang entah ke mana pada usia dua tahun. Dewi Landep sangat terkejut mendengarnya, karena ia menduga kalau Jaka Wudug tidak lain adalah Prabu Watugunung sendiri.

Dewi Landep pun menceritakan bagaimana awal mula Prabu Palindriya menerima seorang pemuda bernama Raden Raditya yang ingin mengabdi di Kerajaan Medang Kamulan. Pengabdian itu pun diterima, bahkan Prabu Palindriya berniat menjodohkan Raden Raditya dengan Dewi Sriyuwati. Akan tetapi, tiba-tiba datang Batara Narada mencegah hal itu jangan sampai terjadi, karena Raden Raditya tidak lain adalah putra Prabu Palindriya sendiri yang lahir dari Dewi Basundari. Raden Raditya kemudian diangkat sebagai patih di Medang Kamulan, bergelar Patih Selacala, hingga akhirnya ia berhasil menjadi raja Gilingwesi yang bergelar Prabu Watugunung tersebut.

Dewi Sinta sangat terkejut mendengar cerita itu dan ia merasa ketakutan saat membayangkan jangan-jangan Prabu Watugunung memang benar-benar Jaka Wudug. Itu berarti ia telah menikah dengan anaknya sendiri. Apalagi dari perkawinan tersebut telah lahir seorang putra yang masih bayi, bernama Raden Radeya.

DEWI SINTA MENOLAK DISENTUH PRABU WATUGUNUNG

Dewi Sinta yang ketakutan mendengar cerita Dewi Landep akhirnya bertekad untuk membuktikannya sendiri. Pada suatu hari saat berduaan dengan Prabu Watugunung, ia pun menyisir rambut suaminya itu dan menemukan bekas luka di kepala bagian belakangnya. Prabu Watugunung menceritakan bahwa semasa kecil ia pernah dipukul ibunya yang bernama Dewi Basundari di bagian itu dan lukanya masih membekas sampai sekarang.

Sungguh terkejut hati Dewi Sinta bukan kepalang karena telah mendapatkan kesimpulan dari cerita tersebut, bahwa suaminya ternyata anak kandungnya sendiri. Seketika ia pun teringat peristiwa ketika Dewi Soma melabrak dirinya saat berselingkuh dengan Resi Wrehaspati sebelum menjadi Prabu Palindriya dulu. Saat itu Dewi Soma sangat marah dan mengutuk dirinya kelak akan mengalami “sungsang bawana” dan menderita malu luar biasa. Ternyata kutukan itu kini telah menjadi kenyataan.

Sejak saat itu Dewi Sinta selalu menolak dengan halus apabila Prabu Watugunung mengajaknya bermesraan. Ia yakin bahwa segala musibah dan malapetaka yang melanda Kerajaan Gilingwesi adalah hukuman dewata terhadap perbuatannya yang telah menikah dengan anak kandung sendiri. Ia takut jika melakukan hubungan badan lagi dengan Prabu Watugunung, maka bencana dan musibah akan kembali terjadi dan kemungkinan bisa lebih dahsyat lagi.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


kembali ke: daftar isi





Tidak ada komentar:

Posting Komentar