Rabu, 14 Januari 2015

Sri - Sadana Murca

Kisah ini menceritakan perjalanan kedua anak Prabu Sri Mahapunggung yang meloloskan diri meninggalkan Kerajaan Purwacarita, yaitu Dewi Sri dan Raden Sadana yang kelak dipuja masyarakat Jawa sebagai dewi pelindung pangan atau pertanian, dan dewa pelindung sandang.

Kisah ini disusun dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.


Kediri, 14 Januari 2015

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------


PATIH PULASWA MENDIRIKAN KERAJAAN MEDANG KUMUWUNG

Patih Pulaswa, yaitu cucu Batara Kala yang dulu menyerah kalah kepada Prabu Brahmanaraja (saat masih bernama Resi Bremana) telah melarikan diri dari penjara Kerajaan Gilingwesi dan bersembunyi di Hutan Roban. Setelah keadaan aman dan memiliki banyak pengikut, ia pun mendirikan istana Medang Kumuwung dan menjadi raja di sana bergelar Prabu Pulaswa.

Pada suatu hari Prabu Pulaswa dihadap para sepupunya sesama cucu Batara Kala, yaitu Patih Kalasuba dan Ditya Kalandaru (keduanya adalah putra Batara Kalayuwana). Kepada mereka berdua Prabu Pulaswa bercerita tentang mimpi tadi malam, yaitu memperistri Dewi Sri, putri Kerajaan Purwacarita. Untuk mewujudkan mimpi tersebut, Prabu Pulaswa pun mengutus Ditya Kalandaru untuk menyampaikan lamaran kepada Prabu Sri Mahapunggung.

PRABU SRI MAHAPUNGGUNG KEHILANGAN DEWI SRI DAN RADEN SADANA

Prabu Sri Mahapunggung di Kerajaan Purwacarita dihadap Patih Mudabatara dan Raden Wandu (anak nomor tiga), serta para punggawa yang dipimpin Arya Nitiradya, Arya Yadupura, dan Arya Partaka. Saat itu Prabu Sri Mahapunggung sedang bersedih karena anak pertama dan kedua, yaitu Dewi Sri dan Raden Sadana telah pergi meninggalkan istana tanpa pamit. Awal permasalahannya ialah Prabu Sri Mahapunggung hendak menjodohkan Raden Sadana dengan Dewi Panitra, putri Arya Partaka. Akan tetapi, Raden Sadana tidak bersedia dan memilih kabur pada malam hari karena sang ayah terus-menerus memaksa. Mendengar adik kembarnya telah pergi, Dewi Sri pun ikut pergi pula untuk mencarinya tanpa membawa pengawal seorang pun.

Pada saat itu Ditya Kalandaru telah tiba di istana Purwacarita menghadap Prabu Sri Mahapunggung untuk menyampaikan lamaran dari rajanya. Prabu Sri Mahapunggung tidak dapat memberikan jawaban karena Dewi Sri telah hilang dari istana demi mencari keberadaan Raden Sadana. Apabila Ditya Kalandaru bisa menemukan dan membawa pulang Dewi Sri, maka Prabu Sri Mahapunggung berjanji akan menerima lamaran Prabu Pulaswa tersebut.

Ditya Kalandaru menerima persyaratan yang diajukan Prabu Sri Mahapunggung. Ia lalu mohon pamit dan mengerahkan Aji Penggandan untuk menelusuri bau jejak langkah Dewi Sri.

DEWI SRI BERLINDUNG DI DESA MEDANGWANGI

Ditya Kalandaru melacak kepergian Dewi Sri hingga masuk ke dalam sebuah hutan. Di sana ia bertemu seorang pencari kayu bernama Wedana dan bertanya kepadanya apakah pernah melihat seorang wanita cantik lewat di situ. Wedana menjawab tidak tahu. Ditya Kalandaru merasa kesal dan langsung membunuh pencari kayu tersebut.

Setelah Ditya Kalandaru pergi, Dewi Sri justru melewati hutan itu. Ia sangat terkejut hingga jatuh pingsan saat menemukan mayat Wedana yang bentuk tubuhnya mirip Raden Sadana. Tidak lama kemudian datanglah kepala Desa Medangwangi bernama Buyut Bawada, yang tidak lain adalah kakak kandung Wedana. Melihat adiknya tewas, Buyut Bawada sangat terkejut dan menangis sedih. Tangisannya itu membuat Dewi Sri terbangun dari pingsan. Begitu mengetahui kalau wanita di hadapannya adalah putri sulung Prabu Sri Mahapunggung, Buyut Bawada seketika menyembah hormat.

Buyut Bawada kemudian membawa mayat adiknya untuk dikuburkan, serta mengajak Dewi Sri beristirahat di rumahnya. Istri Buyut Bawada yang bernama Ken Patani menghidangkan makanan, tetapi Dewi Sri meminta disediakan tempat tidur. Dewi Sri lalu mengajarkan tata cara membersihkan tempat tidur kepada Ken Patani, karena tempat tidur yang bersih akan mendatangkan berkah dari dewata.

Esok paginya, Ditya Kalandaru dan pasukannya datang menyerbu Desa Medangwangi dan meminta supaya Dewi Sri diserahkan kepadanya. Buyut Bawada beserta warga desa menghadapi serangan itu. Banyak sekali di antara mereka yang tewas, termasuk Buyut Bawada sendiri juga gugur terkena golok Ditya Kalandaru.

DEWI SRI BERLINDUNG DI DESA KARANGLENGKI

Sementara itu, Dewi Sri dan Ken Patani berhasil lolos meninggalkan Desa Medangwangi dan mereka pun sampai di rumah kepala Desa Karanglengki yang bernama Buyut Krama. Kebetulan Ken Patani mengenal istri Buyut Krama yang bernama Biyang Samba. Sejak pergi meninggalkan istana, baru kali ini Dewi Sri merasa lapar. Biyang Samba pun menghidangkan nasi golong, pecel ayam, dan sayur menir kepadanya. Dewi Sri berterima kasih, lalu mengajarkan tata cara kebersihan dapur dan pedaringan tempat menyimpan beras, karena dapur yang bersih akan mendatangkan berkah dewata.

Tidak lama kemudian, Ditya Kalandaru dan pasukannya datang mengejar Dewi Sri. Buyut Krama dan sejumlah warga desa menghadapi mereka. Terjadilah pertempuran yang berakhir dengan kematian Buyut Krama dan kawan-kawannya itu. Dewi Sri sendiri berhasil meloloskan diri dengan ditemani Ken Patani dan Biyang Samba.

DEWI SRI MEMINTA PERTOLONGAN BUYUT WANGKENG


Perjalanan Dewi Sri dan kedua janda pengikutnya telah sampai di Desa Kalimarka. Mereka bertemu seorang remaja bernama Sindura yang sedang memetik bunga di taman. Sindura lalu mengantarkan rombongan Dewi Sri itu menemui kedua orang tuanya, yaitu Buyut Radima dan Ken Sangkep.

Dewi Sri disambut dengan penuh hormat oleh pasangan tersebut. Ia kemudian mengajarkan tata cara merawat taman dan kebun serta bagaimana cara sesajinya. Buyut Radima dan Ken Sangkep sangat berterima kasih. Mereka lalu menyarankan agar Dewi Sri meminta pertolongan Buyut Wangkeng di Desa Medangwantu untuk mengalahkan para raksasa, karena kepala desa yang satu ini terkenal sakti dan memiliki banyak ilmu. Dewi Sri menerima saran tersebut. Buyut Radima sekeluarga lalu ikut mengantarkan menuju ke sana.

Perjalanan rombongan itu kemudian melewati Desa Beji. Di sana Dewi Sri mengobati hewan ternak milik Umbul Manggala yang terkena penyakit. Dewi Sri juga mengajarkan tata cara merawat kandang kepadanya. Setelah itu perjalanan pun dilanjutkan, dan Umbul Manggala ikut serta mengantarkan sang dewi.

Rombongan Dewi Sri selanjutnya tiba di Desa Boga, di mana si kepala desa yang bernama Buyut Warahas dan istrinya yang bernama Ken Pitengan sedang memilih padi di lumbung karena diserang hama ulat merah. Dewi Sri ikut membantu mengajarkan mantra penolak hama, lalu mengajarkan tata cara merawat lumbung kepada mereka berdua. Ia juga mengganti nama Ken Pitengan menjadi Ken Martani, karena nama Pitengan dianggap kurang baik dan dapat mengundang datangnya hama. Adapun nama Buyut Warahas juga diganti menjadi Buyut Muskala sebagai bentuk pengharapan agar lumbung dan sawahnya tidak diserang hama lagi.

Dewi Sri kemudian melanjutkan perjalanan dengan jumlah pengiring yang semakin bertambah banyak. Ia akhirnya sampai di Desa Medangwantu, di mana Buyut Wangkeng sedang menjemur padi, sedangkan istrinya yang bernama Ken Sani sedang menabuh lesung hendak menumbuk padi. Dewi Sri sangat senang mendengar suara tetabuhan itu dan memerintahkan Ken Sani supaya melestarikan ini sebagai tradisi masyarakat Jawa. Buyut Wangkeng dan Ken Sani mematuhi, lalu mereka mengadakan perjamuan, tetapi Dewi Sri hanya memilih minum air kelapa muda saja.

DITYA KALANDARU BERTARUNG MELAWAN BUYUT WANGKENG

Ditya Kalandaru dan pasukan raksasa akhirnya tiba di Desa Medangwantu dan meminta supaya Dewi Sri diserahkan kepadanya. Buyut Wangkeng dan murid-muridnya maju menghadapi. Terjadilah pertempuran seru di desa itu. Baru kali ini Ditya Kalandaru mendapatkan lawan yang seimbang. Ia akhirnya mengerahkan Aji Pengasrepan membuat Buyut Wangkeng dan murid-muridnya lumpuh kedinginan.

Ditya Kalandaru lalu menangkap Buyut Wangkeng dan hendak membunuhnya. Namun, Buyut Wangkeng sempat membaca Aji Bawanamantra, membuat pandangan Ditya Kalandaru menjadi gelap hingga akhirnya buta sama sekali. Semua prajurit raksasa pengikutnya juga ikut mengalami nasib yang sama. Mereka meraung-raung dan sambil bergandeng-gandeng tangan pergi meninggalkan Desa Medangwantu.

Pada saat itulah datang murid Buyut Wangkeng yang bernama Buyut Sondong dari Desa Medanggowong. Melihat gurunya menggigil kedinginan, Buyut Sondong segera memberikan pertolongan. Dewi Sri kemudian bertanya kepadanya apakah mengetahui keberadaan Raden Sadana yang telah lama hilang. Sungguh kebetulan, Buyut Sondong mengaku ia dan istrinya yang bernama Ken Sademi pernah menjamu Raden Sadana beserta dua orang pengikutnya, bernama Empu Cakut dari Dadapagung dan Buyut Tuha dari Awanda. Saat itu Raden Sadana mengungkapkan niatnya ingin membangun sebuah permukiman di Hutan Medangagung.

Dewi Sri sangat gembira dan mengajak Buyut Sondong menyusul ke sana. Buyut Wangkeng dan Ken Sani menyatakan siap mengawal pula. Maka, berangkatlah rombongan yang semakin banyak itu pergi menuju ke Desa Medanggowong.

DITYA KALANDARU BERTEMU GARUDA WILMUKA

Sementara itu, Ditya Kalandaru dan para pengikutnya yang kehilangan penglihatan akhirnya tersesat sampai ke sebuah pegunungan. Mereka berjalan menabrak-nabrak dan menghancurkan bebatuan yang menghalangi. Hingga akhirnya Ditya Kalandaru tanpa sadar memukul hancur sebongkah batu besar, dan tiba-tiba saja muncul seekor burung besar bernama Garuda Wilmuka dari dalamnya.

Garuda Wilmuka berterima kasih kepada Ditya Kalandaru karena telah dibebaskan dari himpitan batu besar tadi. Ia mengaku mengalami kecelakaan terjepit batu besar tersebut karena mengejar seekor ular untuk dimangsa. Sebagai balasan, ia pun menyapukan bulu sayapnya pada kedua mata Ditya Kalandaru dan para raksasa lainnya sehingga mereka pun mendapatkan kesembuhan.

Ditya Kalandaru memperkenalkan dirinya sebagai anak Batara Kalayuwana, atau cucu Batara Kala. Sebaliknya, Garuda Wilmuka mengaku sebagai putra Resi Jaluda, atau cucu Batara Antaga. Keduanya lalu bersahabat dan Garuda Wilmuka mempersilakan Ditya Kalandaru pulang saja, karena dia yang akan merebut Dewi Sri untuk dipersembahkan kepada Prabu Pulaswa di Kerajaan Medang Kumuwung.

GARUDA WILMUKA MENCULIK DEWI SRI

Rombongan Dewi Sri telah sampai di Desa Medanggowong dan mereka pun melanjutkan perjalanan menuju ke Hutan Medangagung. Tiba-tiba Garuda Wilmuka muncul dan langsung menyambar tubuh Dewi Sri untuk dibawa terbang ke angkasa. Para pengikutnya pun menjerit-jerit tapi tiada seorang pun yang dapat menolong.

Dewi Sri yang dicengkeram Garuda Wilmuka menangis dan berteriak meminta pertolongan kakeknya, yaitu Batara Wisnu. Pada saat itulah muncul seekor garuda bernama Garuda Winanteya yang merupakan putra Garuda Nartiwinata, atau cucu Garuda Bribrahma, atau cicit Garuda Brihawan, kendaraan Batara Wisnu. Mendengar tangisan Dewi Sri itu, Garuda Winanteya segera menerjang Garuda Wilmuka. Akibatnya, tubuh Dewi Sri pun terlepas dari cengkeraman dan meluncur jatuh ke tanah.

Garuda Winanteya hendak menyambar Dewi Sri, tetapi Garuda Wilmuka menyerangnya. Maka, terjadilah perkelahian antara dua burung besar tersebut, sedangkan nasib Dewi Sri akhirnya tak tertolong lagi. Ia pun tewas dengan tubuh hancur lumat menghantam bumi.

Garuda Winanteya berhasil membunuh Garuda Wilmuka, lalu turun menghampiri jasad Dewi Sri dan menangisinya. Pada saat itulah Batara Narada turun dari kahyangan membawa air suci Tirtamarta Kamandanu untuk menghidupkan kembali Dewi Sri karena belum takdir baginya untuk mati. Setelah Dewi Sri bangun dari kematian dengan tubuh pulih seperti sedia kala, Batara Narada pun memerintahkan Garuda Winanteya untuk mengantarkannya menemui Raden Sadana di Hutan Medangagung.

DEWI SRI BERTEMU RADEN SADANA

Dewi Sri lalu naik ke punggung Garuda Winanteya dan mereka pun terbang menuju ke Hutan Medangagung. Sesampainya di sana, Dewi Sri sangat gembira bisa bertemu dengan Raden Sadana. Kedua bersaudara itu saling berangkulan dengan perasaan haru dan saling menceritakan pengalaman masing-masing.

Akan tetapi, Raden Sadana tetap menolak diajak pulang ke Purwacarita dan bertekad ingin mendirikan permukiman di Hutan Medangagung. Dewi Sri tidak dapat membujuknya lagi, bahkan berbalik siap membantunya. Dewi Sri lalu menyuruh Raden Sadana pergi ke Desa Medanggowong untuk memberitahukan hal ini kepada Buyut Sondong, Buyut Wangkeng, dan yang lain. Raden Sadana pun berangkat dengan mengendarai Garuda Winanteya, sedangkan Dewi Sri tetap tinggal dengan dijaga Empu Cakut dan Buyut Tuha.

RADEN SADANA MENGALAHKAN PARA RAKSASA

Dalam perjalanan, Raden Sadana berjumpa Ditya Kalandaru dan pasukannya. Raden Sadana dan Garuda Winanteya pun turun dari angkasa dan menyerang kawanan raksasa yang selalu mengejar Dewi Sri itu. Terjadilah pertempuran di mana satu per satu prajurit raksasa tewas terkena panah Raden Sadana atau dipatuk Garuda Winanteya. Ditya Kalandaru yang tinggal seorang diri mengamuk menyerang Raden Sadana. Karena raksasa yang satu ini tidak mempan senjata, Raden Sadana pun mengerahkan Aji Bayurota, membuat tubuh Ditya Kalandaru terlempar sejauh-jauhnya.

DEWI SRI DAN RADEN SADANA MEMBANGUN DESA SRINGAWANTI

Raden Sadana dan Garuda Winanteya akhirnya tiba di Desa Medanggowong dan masuk ke rumah Buyut Sondong. Di situ tampak berkumpul lengkap Buyut Sondong, Ken Sademi, Buyut Wangkeng, Ken Sani, Buyut Muskala, Ken Martani, Umbul Manggala, Buyut Radima, Ken Sangkep, Sindura, Biyang Samba, dan Ken Patani. Mereka semua sedang menangisi nasib Dewi Sri yang hilang diculik Garuda Wilmuka.

Raden Sadana menceritakan kepada mereka bahwa kakaknya telah selamat dari penculikan itu, dan saat ini sedang menunggu di Hutan Medangagung. Buyut Sondong dan lainnya sangat gembira. Mereka pun beramai-ramai berangkat menuju ke sana. Raden Sadana juga meminta mereka supaya membawa bibit tanaman untuk membangun lahan pertanian sesuai perintah Dewi Sri.

Dewi Sri di Hutan Medangagung menyambut kedatangan para pengikutnya tersebut. Mereka lalu bergotong royong membuka Hutan Medangagung menjadi sebuah permukiman baru. Dewi Sri prihatin melihat Biyang Samba dan Ken Patani telah menjadi janda karena suami mereka, yaitu Buyut Krama dan Buyut Bawada tewas dibunuh Ditya Kalandaru demi membela dirinya. Maka, Dewi Sri pun menjodohkan kedua janda itu dengan para pengikut Raden Sadana, yaitu Biyang Samba dengan Empu Cakut, sedangkan Ken Patani dengan Buyut Tuha. Mereka mematuhi dan menerima perjodohan tersebut dengan senang hati.

Demikianlah, Dewi Sri dan Raden Sadana telah selesai membuka Hutan Medangagung menjadi sebuah permukiman baru, yang kemudian diberi nama Desa Sringawanti.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


kembali ke: daftar isi





1 komentar:

  1. saya pengin tau dengan tokoh Sri Genduyu..apakah muncul di jaman sri mahapunggung..kalau muncul apa peran tokoh Sri Genduyu tersebut

    BalasHapus