Senin, 01 Desember 2014

Telaga Amitaya

Kisah ini menceritakan dua anak Batara Kala bernama Batara Siwahoya dan Batara Kartineya, yang menjelma menjadi Prabu Amitaya dan Patih Karkala untuk mencipta bencana kekeringan di Pulau Jawa. Bencana tersebut akhirnya berhasil diatasi berkat jasa Raden Nagatatmala yang kemudian dilantik menjadi raja bergelar Prabu Manindrataya. Kisah ini juga diselingi dengan kelahiran Raden Tritrusta, putra Resi Bremana yang kelak akan menurunkan para Pandawa dan Kurawa.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 01 Desember 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------


PRABU AMITAYA MENGHISAP SEMUA SUMBER AIR DI PULAU JAWA

Tersebutlah dua orang putra Batara Kala bernama Batara Siwahoya dan Batara Kartineya yang pada suatu hari didatangi seekor kera bernama Kapi Jinada. Adapun Kapi Jinada ini adalah keturunan Kutila Pas, yaitu pemimpin hama kera, putra Putut Jantaka di zaman sebelumnya. Kedatangan Kapi Jinada adalah untuk menghasut Batara Siwahoya dan Batara Kartineya supaya membalaskan kekalahan leluhurnya di tangan Sri Maharaja Kanwa dulu. Karena Sri Maharaja Kanwa adalah titisan Batara Wisnu, maka Kapi Jinada pun mengalihkan dendamnya kepada Prabu Wisnupati yang merupakan penjelmaan Batara Wisnu tersebut.

Dengan segala bujuk rayu, Kapi Jinada akhirnya berhasil mengobarkan amarah Batara Siwahoya dan Batara Kartineya, sehingga keduanya menjadi sangat benci kepada Prabu Wisnupati di Purwacarita dan Prabu Brahmaraja di Gilingwesi. Kedua putra Batara Kala itu lalu membangun istana di Hutan Srengga yang diberi nama Kerajaan Medang Srengga. Batara Siwahoya kemudian mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Prabu Amitaya, sedangkan Batara Kartineya menjadi menteri utama, bergelar Patih Karkala.

Prabu Amitaya, Patih Karkala, dan Kapi Jinada lalu bermusyawarah mencari cara untuk mengalahkan Prabu Brahmaraja dan Prabu Wisnupati. Keputusan yang dihasilkan adalah mereka harus menciptakan bencana kekeringan untuk melumpuhkan Kerajaan Purwacarita dan Gilingwesi. Prabu Amitaya lalu mengerahkan kesaktiannya dengan menyedot habis semua air pada sungai, telaga, sumur, dan mata air di segenap penjuru Pulau Jawa. Seluruh air itu dipindahkannya ke dalam sebuah telaga di wilayah Medang Srengga yang dijaga rapat oleh para raksasa.

KELAHIRAN RADEN TRITRUSTA DAN PERKAWINAN RADEN SRIGATI

Prabu Brahmaraja di Kerajaan Gilingwesi sedang berbahagia karena dari perkawinan Resi Bremana dan Dewi Srihuna telah lahir seorang putra yang diberi nama Raden Tritrusta. Prabu Wisnupati dan Patih Sriyana datang berkunjung untuk menengok bayi tersebut, sekaligus melamar putri Prabu Brahmaraja yang bernama Dewi Brahmaniyati sebagai istri Raden Srigati.

Dulu Raden Srigati dan Raden Nagatatmala pernah berselisih memperebutkan Dewi Mumpuni, sehingga Prabu Wisnupati harus turun tangan dengan mengubah bayangan Dewi Mumpuni menjadi kembarannya. Dewi Mumpuni tiruan tersebut kemudian diperistri Raden Srigati sampai akhirnya kini musnah kembali ke asalnya. Untuk mengobati kesedihan putranya itu, maka Prabu Wisnupati pun mengajak Prabu Brahmaraja kembali berbesan, yaitu menikahkan Raden Srigati dengan Dewi Brahmaniyati.

Prabu Brahmaraja setuju dan menerima lamaran tersebut. Maka, pada hari yang telah ditentukan, dilangsungkanlah upacara pernikahan antara Raden Srigati dengan Dewi Brahmaniyati di istana Gilingwesi. Lima hari kemudian, Prabu Brahmaraja mengantar kedua pengantin tersebut ke istana Purwacarita. Di sana, Prabu Brahmaraja tertarik melihat kedua anak Prabu Wisnupati yang bernama Raden Srinada dan Dewi Srinadi. Ia pun melamar kedua keponakannya itu untuk dinikahkan dengan kedua anaknya yang masih lajang, yaitu Dewi Brahmaniyuta dan Raden Brahmaniyata.

Prabu Wisnupati setuju dan menerima lamaran ganda tersebut, namun belum bisa menentukan hari pernikahan karena saat ini Kerajaan Purwacarita dan Gilingwesi sedang dilanda bencana kekeringan. Kedua raja itu hanya mengikat perjanjian, kemudian mengirim kabar kepada saudara mereka, yaitu Batara Indra di Kahyangan Suralaya supaya membantu mengatasi kekeringan tersebut.

KAHYANGAN SURALAYA MENGALAMI KEKERINGAN

Prabu Amitaya di Kerajaan Medang Srengga menerima laporan dari Patih Karkala dan Kapi Jinada, bahwa rakyat Kerajaan Gilingwesi dan Purwacarita banyak yang mati kehausan akibat bencana kekeringan yang mereka ciptakan. Akan tetapi, Batara Indra saat ini telah membantu kedua kerajaan tersebut dengan cara mengucurkan air hujan dari Kahyangan Suralaya.

Mendengar itu, Prabu Amitaya sangat marah dan kembali mengerahkan kesaktiannya untuk menghirup habis air dari kahyangan dan memindahkannya ke dalam telaga miliknya di Medang Srengga.

Batara Indra menjadi kebingungan karena air di telaga dan kolam-kolam Kahyangan Suralaya tiba-tiba habis tanpa sisa. Ia pun memerintahkan Batara Wrehaspati untuk memberi kabar kepada Prabu Wisnupati bahwa dirinya tidak bisa lagi membantu mengatasi bencana kekeringan di Pulau Jawa.

Prabu Wisnupati di Kerajaan Purwacarita menerima kedatangan Batara Wrehaspati yang menyampaikan kabar tersebut. Apabila bumi yang mengalami kekeringan tentunya sudah biasa. Namun, jika yang dilanda kekeringan adalah kahyangan, tentu hal ini sangat aneh. Maka, Prabu Wisnupati pun mengutus Raden Srigati untuk menyelidiki apa penyebab kekeringan ini. Raden Srigati mohon restu dan segera berangkat melaksanakan perintah tersebut.

RADEN SRIGATI MENGEJAR PATIH KARKALA

Sementara itu, para bidadari di Kahyangan Suralaya merasa gerah dan haus. Mereka pun ramai-ramai turun ke dunia untuk mencari sumber air yang masih ada. Kebetulan Patih Karkala sedang menyusup ke wilayah Purwacarita untuk mengintai keadaan di sana. Melihat kedatangan para bidadari itu, Patih Karkala segera mengerahkan kesaktiannya dengan berubah wujud menjadi sebuah telaga berair jernih.

Para bidadari sangat gembira menemukan telaga tersebut. Mereka pun langsung mandi dan minum sepuasnya. Tiba-tiba saja telaga itu berubah kembali menjadi Patih Karkala, sehingga para bidadari itu menjerit-jerit ketakutan bercampur malu. Patih Karkala pun mengejar mereka dengan penuh nafsu birahi.

Raden Srigati yang sedang dalam perjalanan bertemu para bidadari itu dan segera menolong mereka. Maka, terjadilah pertarungan antara dirinya melawan Patih Karkala. Setelah bertarung cukup lama, Patih karkala akhirnya terdesak kalah dan melarikan diri kembali ke Medang Srengga.

Raden Srigati yang penasaran segera mengejar musuhnya itu. Sesampainya di Medang Srengga ia melihat ada telaga sangat luas yang penuh dengan air melimpah ruah dan dijaga ketat oleh para raksasa. Ia pun menduga pasti telaga inilah yang menjadi penyebab kekeringan yang sedang melanda Pulau Jawa.

Para raksasa yang berjaga itu melihat kedatangan Raden Srigati. Mereka segera menyerang putra Prabu Wisnupati itu sehingga terjadilah pertempuran sengit. Raden Srigati dengan cekatan dapat mengalahkan mereka semua. Prabu Amitaya yang mendengar berita ini segera terjun ke pertempuran menghadapi Raden Srigati. Kali ini ganti Raden Srigati yang terdesak kalah dan ia pun melarikan diri kembali ke Kerajaan Purwacarita.

RADEN NAGATATMALA MEMINTA PETUNJUK BATARA ANANTABOGA

Prabu Wisnupati di Kerajaan Purwacarita telah menerima laporan Raden Srigati tentang hasil penyelidikannya. Raden Nagatatmala mohon izin supaya diperbolehkan meminta bantuan ayahnya (Batara Anantaboga). Prabu Wisnupati setuju dan mengizinkannya berangkat. Maka, Raden Nagatatmala pun bergegas menuju ke Kahyangan Saptapratala.

Setibanya di hadapan sang ayah, Raden Nagatatmala segera menceritakan musibah kekeringan yang saat ini melanda Pulau Jawa akibat ulah Prabu Amitaya dan Patih Karkala. Batara Anantaboga pun memberikan dua buah permata, yaitu Permata Iratkata yang berwarna merah, dan Permata Irattaka yang berwarna hijau. Permata Iratkata hendaknya diceburkan ke dalam telaga milik Prabu Amitaya, sedangkan Permata Irattaka hendaknya ditanam di pusat Kerajaan Purwacarita. Batara Anantaboga juga menjelaskan bahwa Prabu Amitaya dan Patih Karkala tidak lain adalah dua orang putra Batara Kala yang bernama Batara Siwahoya dan Batara Kartineya, dan mereka ingin membalas dendam kepada Prabu Wisnupati dan Prabu Brahmaraja.

Setelah mendapatkan segala penjelasan, Raden Nagatatmala pun mohon pamit kembali ke Kerajaan Purwacarita.

PRABU WISNUPATI MENGALAHKAN PRABU AMITAYA DAN PATIH KARKALA

Prabu Wisnupati menerima laporan Raden Nagatatmala dan segera menanam Permata Irattaka di tengah-tengah wilayah Kerajaan Purwacarita. Permata ini bersifat dingin, serta berkhasiat menghidupkan kembali sumber air dan sumur-sumur yang kering. Segala tanaman pun kembali menghijau, membuat seluruh penduduk bersuka ria.

Prabu Brahmaraja di Kerajaan Gilingwesi mendengar kabar bahwa Kerajaan Purwacarita telah terbebas dari bencana kekeringan. Ia pun berangkat ke Purwacarita dengan didampingi Patih Suktina untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Prabu Wisnupati menjelaskan kepada sang kakak sama seperti apa yang telah disampaikan Batara Anantaboga kepada Raden Nagatatmala. Mendengar itu, Prabu Brahmaraja sangat marah dan segera mengajak Prabu Wisnupati untuk mengalahkan Prabu Amitaya supaya seluruh Pulau Jawa terbebas dari bencana kekeringan.

Prabu Wisnupati dan Prabu Brahmaraja pun berangkat menuju ke Medang Srengga dengan disertai Raden Srigati, Raden Nagatatmala, Patih Sriyana, dan Patih Suktina. Sesampainya di sana, mereka langsung dihadang Prabu Amitaya dan Patih Karkala. Prabu Wisnupati pun menegur kedua raksasa itu dengan kalimat:

“Anumoda manadukara, hongi muti mutika mangalipya mudye muta.”

Yang artinya: “ingat-ingatlah, semoga yang lupa menjadi ingat.”

Kalimat ini membuat Prabu Amitaya dan Patih Karkala terdiam tidak bisa menjawab. Mereka berdua pun kembali ke wujud Batara Siwahoya dan Batara Kartineya, kemudian lenyap dari pandangan.

Melihat raja dan patihnya menghilang, Kapi Jinada segera memimpin pasukan Medang Srengga mengamuk menyerang Prabu Wisnupati dan Prabu Brahmaraja. Raden Srigati dan Raden Nagatatmala maju menghadapi mereka. Pertempuran sengit pun terjadi. Pasukan Medang Srengga seolah tidak ada habisnya, karena setiap ada prajurit raksasa yang terluka atau tewas, jika diceburkan ke dalam Telaga Amitaya akan segera pulih kembali.

Raden Nagatatmala yang teringat pesan ayahnya segera menceburkan Permata Iratkata ke dalam Telaga Amitaya tersebut. Permata ini bersifat panas, sehingga air telaga langsung mendidih dan meledak ke angkasa. Kapi Jinada dan semua prajurit raksasa tewas terkena ledakan tersebut, sedangkan butiran-butiran air telaga berubah menjadi awan tebal di angkasa kemudian turun kembali menjadi hujan deras yang merata di seluruh Pulau Jawa selama tujuh hari berturut-turut.

RADEN NAGATATMALA MENJADI RAJA MEDANG SRENGGA

Prabu Brahmaraja dan Prabu Wisnupati sangat senang melihat Pulau Jawa kini subur kembali dan terbebas dari bencana kekeringan akibat ulah Prabu Amitaya. Mereka berdua pun sepakat menyerahkan Kerajaan Medang Srengga kepada Raden Nagatatmala yang dianggap sebagai pahlawan dalam peristiwa ini.

Raden Nagatatmala menerima keputusan tersebut dengan rendah hati. Ia pun dilantik sebagai raja Medang Srengga yang baru, bergelar Prabu Manindrataya.

PRABU BRAHMARAJA DAN PRABU WISNUPATI KEMBALI BERBESAN

Sesuai dengan kesepakatan jika Kerajaan Gilingwesi dan Purwacarita terbebas dari bencana kekeringan, maka Prabu Brahmaraja dan Prabu Wisnupati akan kembali berbesan. Maka, pada hari yang ditentukan, diadakanlah upacara pernikahan antara Dewi Brahmaniyuta dengan Raden Srinada, yang kemudian disusul dengan Raden Brahmaniyata dan Dewi Srinadi.

Dengan demikian, Prabu Brahmaraja dan Prabu Wisnupati telah menikahkan lima pasang putra dan putri mereka, yaitu Resi Bremana dengan Dewi Srihuna; Resi Bremani dengan Dewi Srihuni; Dewi Brahmaniyati dengan Raden Srigati; Dewi Brahmaniyuta dengan Raden Srinada; serta Raden Brahmaniyata dengan Dewi Srinandi.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


kembali ke : daftar isi





Tidak ada komentar:

Posting Komentar