Selasa, 23 Desember 2014

Paksi Rukmawati

Kisah ini menceritakan putra Prabu Watugunung yang bernama Raden Radeya mendirikan Kerajaan Medang Galungan dan memakai gelar Prabu Sindula. Ia mengirim pasukan yang dipimpin tujuh raksasa cucu Batara Kala untuk menggempur empat negara saingan. Dalam pertempuran itu, Prabu Manindrataya kalah dan menjadi dewa bergelar Batara Nagatatmala, sedangkan Kerajaan Gilingwesi kehilangan Patih Suktina. Pasukan raksasa itu akhirnya dapat ditumpas oleh Prabu Sri Mahapunggung. Kisah ini juga menceritakan asal-usul kesaktian pertapa wanita bernama Begawan Rukmawati, putri Batara Anantaboga.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.


Kediri, 23 Desember 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------


ANAK PRABU WATUGUNUNG MEMBANGUN KERAJAAN

Di Padepokan Andongdadapan berkumpul para anggota keluarga Prabu Watugunung, yang mana mereka sedang menerima kedatangan tujuh orang raksasa cucu Batara Kala.

Para anggota keluarga Prabu Watugunung tersebut adalah:
  • Raden Radeya, putra Prabu Watugunung dengan Dewi Sinta Basundari.
  • Resi Sadara, putra Patih Suwelacala.
  • Resi Dwara, Arya Wakya, dan Arya Byatara, yaitu putra-putra Begawan Anggara.
  • Resi Arhyang, Wasi Warukung, Wasi Paningron, Wasi Uwas, Wasi Mawulu, dan Dewi Tungle (istri Buyut Pastima), yaitu anak-anak Begawan Buda.
  • Resi Dangu, Wasi Jagur, Wasi Gigis, Wasi Kerangan, Wasi Nohan, Wasi Wogan, Dewi Tulus (istri Raden Radeya), Janggan Wurung, dan Janggan Dadi, yaitu anak-anak Begawan Sukra.
  • serta Buyut Pastima, anak angkat sekaligus menantu Begawan Buda. Adapun ayah kandung Buyut Pastima adalah Empu Gopa (murid Resi Satmata) yang dulu dibunuh Prabu Watugunung gara-gara menyampaikan ramalan tentang kehancuran Kerajaan Gilingwesi.

Sementara itu, para cucu Batara Kala yang datang berkunjung adalah:
  • Ditya Kalana dan Ditya Kalayata, yaitu anak-anak Batara Kalakutana.
  • Ditya Wirot, Ditya Werka, dan Ditya Martyawa, yaitu anak-anak Batara Siwahoya.
  • Ditya Saraweda dan Ditya Upadarwya, yaitu anak-anak Batara Kalayuwana.

Kedatangan tujuh raksasa ini adalah untuk mengajak Raden Radeya bekerja sama membalaskan kematian Prabu Watugunung dan menguasai Pulau Jawa. Pada dasarnya Raden Radeya juga menyimpan dendam atas kematian ayahnya, sehingga ia langsung menerima ajakan tersebut. Setelah kesepakatan terjalin, mereka pun bersama-sama membangun sebuah negeri bernama Kerajaan Medang Galungan dan membentuk angkatan perang.

Raden Radeya kemudian dilantik sebagai raja bergelar Prabu Sindula. Saudara angkatnya, yaitu Buyut Pastima dilantik sebagai menteri utama bergelar Patih Sukapa, sedangkan keempat sepupunya, yaitu Resi Dwara, Resi Arhyang, Resi Dangu, dan Resi Sadara dilantik sebagai raja bawahan, masing-masing berganti nama menjadi Raja Wipara, Raja Dyapara, Raja Yogyapara, dan Raja Capala. Adapun yang dijadikan sebagai pendeta kerajaan adalah Arya Wakya dan Arya Byatara, yang masing-masing diberi gelar Begawan Kudadu dan Begawan Kartika. Sementara itu, para sepupu yang lain dijadikan sebagai punggawa dengan memakai gelar Arya.

Dari pihak raksasa, Ditya Kalana diangkat sebagai pemimpin mereka, bergelar Raja Kalana.

PASUKAN MEDANG GALUNGAN MENYERANG MEDANG SRENGGA


Setelah persiapan selesai, Prabu Sindula mulai melaksanakan rencana menguasai Pulau Jawa. Ia pun mengirim pasukan Medang Galungan yang dipimpin para raksasa menyerbu keempat kerajaan musuh. Raja Kalana bertugas menyerang Kerajaan Gilingwesi; Ditya Kalayata dan Ditya Wirot bertugas menyerang Kerajaan Medang Srengga; Ditya Werka dan Ditya Martyawa bertugas menyerang Kerajaan Wirata; sedangkan Ditya Saraweda dan Ditya Upadarwya bertugas menyerang Kerajaan Purwacarita.

Pasukan Ditya Kalayata dan Ditya Wirot lebih dulu mencapai sasaran dibandingkan yang lain. Menghadapi serangan mendadak tersebut, Prabu Manindrataya segera terjun ke pertempuran memimpin langsung pasukan Medang Srengga. Dalam pertempuran itu, Ditya Kalayata dan Ditya Wirot berhasil ditewaskan olehnya.

Mendengar kedua saudaranya terbunuh, Raja Kalana segera memanggil para raksasa lainnya untuk menunda serangan masing-masing. Mereka semua dikumpulkan untuk kemudian bersama-sama menggempur Kerajaan Medang Srengga. Kali ini Prabu Manindrataya terdesak karena dikeroyok lima raksasa tersebut.

Pada saat itulah Batara Indra datang menyelamatkan Prabu Manindrataya beserta istrinya, yaitu Dewi Mumpuni untuk diangkat ke Kahyangan Suralaya. Batara Indra menjelaskan bahwa sudah menjadi suratan takdir jika Kerajaan Medang Srengga harus hancur diserang musuh, sedangkan Prabu Manindrataya dan Dewi Mumpuni diangkat menjadi dewa dan bidadari, masing-masing bergelar Batara Nagatatmala dan Batari Mumpuni.

PUTRA PRABU MANINDRATAYA TERLUNTA-LUNTA

Kerajaan Medang Srengga telah jatuh ke tangan Raja Kalana dan menjadi daerah jajahan Medang Galungan. Putra Prabu Manindrataya yang bernama Raden Anantawirya berhasil meloloskan diri namun pikirannya kacau karena kehilangan kedua orang tua. Ia berkelana tak tentu arah seperti orang gila, sampai akhirnya tersesat ke Gunung Titisari.

Di gunung itu ia bertemu seorang pertapa wanita yang bernama Dewi Wiratma. Setelah saling memperkenalkan diri, ternyata Dewi Wiratma adalah bibi Raden Anantawirya sendiri, karena ia adalah adik lain ibu dari Batara Nagatatmala. Jika Batara Nagatatmala adalah putra Batara Anantaboga yang lahir dari Batari Suparti, maka Dewi Wiratma lahir dari Batari Ken Driya.

Raden Anantawirya bertanya apa sebabnya sang bibi meninggalkan kahyangan dan bertapa sendiri di Gunung Titisari. Dewi Wiratma menjelaskan bahwa tujuannya adalah ingin bertemu burung betina ajaib bernama Paksi Rukmawati. Burung betina tersebut memiliki paruh emas, kaki emas, mata mutiara, bulu permata warna-warni, dan mampu menceritakan apa yang terjadi di masa depan dan masa lalu, serta apa yang terjadi di alam nyata dan alam gaib. Dewi Wiratma sendiri mendengar adanya burung ajaib tersebut dari ibunya (Batari Ken Driya) dan ia ingin sekali bertemu dengannya. Akan tetapi, tempat tinggal Paksi Rukmawati di Gunung Cakrawala sangat sulit didekati karena dilindungi oleh petir beraneka macam.

Pada saat itulah datang Batara Basuki (adik Batara Anantaboga) menemui Dewi Wiratma dan menyampaikan petunjuk bahwa segala petir di Gunung Cakrawala itu bisa ditembus oleh manusia kurang waras yang berlidah cabang tiga. Raden Anantawirya terkejut mendengarnya karena sejak lahir ia memiliki lidah cabang tiga dan sejak kehilangan kedua orang tua, ia pun berkurang kewarasan dan sering bertingkah seperti orang gila.

Batara Basuki dan Dewi Wiratma sangat gembira mendengar pengakuan Raden Anantawirya tersebut dan merasa ini sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Mahakuasa. Maka, mereka bertiga pun berangkat ke Gunung Cakrawala saat itu juga.

DEWI WIRATMA MENJADI MURID PAKSI RUKMAWATI

Batara Basuki membawa Dewi Wiratma dan Raden Anantawirya terbang memasuki kawasan Gunung Cakrawala. Mereka pun disambut sambaran petir beraneka macam, namun tidak ada yang mampu membuat ketiganya terluka. Ini semua berkat keberadaan Raden Anantawirya yang berlidah cabang tiga dan sudah berkurang kewarasannya itu. Akhirnya, mereka pun berhasil memasuki kahyangan tempat tinggal Paksi Rukmawati di puncak gunung tersebut.

Paksi Rukmawati sendiri sangat gembira menyambut kedatangan mereka bertiga. Sudah menjadi suratan takdir bahwa burung ajaib itu harus mewariskan ilmunya kepada Dewi Wiratma yang telah bertapa sekian lama demi bisa menemuinya. Maka, sejak saat itu Dewi Wiratma pun menjadi murid sang burung ajaib dan mendapat segala ilmu pengetahuan darinya.

Setelah menamatkan pelajaran, Paksi Rukmawati lalu bertukar nama dengan Dewi Wiratma, sehingga sejak hari itu Dewi Wiratma dikenal dengan nama Begawan Rukmawati, sedangkan Paksi Rukmawati dikenal dengan nama Paksi Wiratma. Begawan Rukmawati kemudian mendapat perintah supaya mendirikan padepokan di Gunung Mahendra, bekas kahyangan Sri Padukaraja Mahadewa Buda (Batara Guru) dulu.

Paksi Wiratma lalu mengobati penyakit Raden Anantawirya hingga sembuh. Ia kemudian menitis bersatu jiwa raga dengan pemuda itu dan menyerahkan Kahyangan Cakrawala kepadanya. Maka, sejak saat itu Raden Anantawirya pun dikenal dengan nama Batara Wiratma.

BEGAWAN RUKMAWATI MENGUBAH GAJAH ERAWATI MENJADI MANUSIA

Batara Basuki dan Begawan Rukmawati mohon pamit kepada Batara Wiratma untuk kemudian berangkat menuju Gunung Mahendra. Ketika terbang melewati Hutan Pancala, mereka berdua melihat seekor gajah betina sedang bertapa. Begawan Rukmawati mendatangi gajah betina itu dan menebak namanya adalah Gajah Erawati. Tidak hanya itu, Begawan Rukmawati juga dapat menebak asal-usul gajah betina tersebut.

Dahulu kala, ada sepasang gajah bersaudara, yang jantan bernama Gajah Erawata, dan yang betina bernama Gajah Erawati. Keduanya menarik perhatian Batara Indra dan mereka pun dibawa ke Kahyangan Suralaya untuk dijadikan kendaraan. Akan tetapi, Gajah Erawati sangat nakal susah diatur sehingga akhirnya diusir keluar dari kahyangan.

Gajah Erawati menyesali kecerobohannya dan ia pun bertapa di Hutan Pancala supaya bisa menjadi manusia yang mengerti tata krama. Pada suatu hari datang Batari Wiranci (istri Batara Indra) yang memberikan petunjuk bahwa hanya murid Paksi Rukmawati yang bisa meruwat dirinya menjadi manusia. Gajah Erawati pun mematuhi pesan tersebut dan ia bertapa dengan lebih tekun agar bisa tercapai cita-citanya.

Demikianlah, Begawan Rukmawati dapat menebak asal-usul Gajah Erawati dengan sangat rinci. Ia kemudian mengusap kepala gajah betina itu tiga kali. Secara ajaib, Gajah Erawati pun berubah wujud menjadi seorang wanita cantik, yang kemudian diberi nama Dewi Rukmini. Begawan Rukmawati lalu mengajarkan segala macam tata krama dan ilmu kepandaian kepadanya, serta meramalkan kelak Dewi Rukmini akan menjadi istri seorang raja di Pulau Jawa.

Begawan Rukmawati kemudian menyuruh Dewi Rukmini untuk melanjutkan bertapa di Hutan Pancala tersebut. Dewi Rukmini sangat berterima kasih dan mematuhi segala petunjuk sang guru. Begawan Rukmawati dan Batara Basuki lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Gunung Mahendra.

RAJA KALANA MENAKLUKKAN WIRATA DAN GILINGWESI

Sementara itu, pasukan Medang Galungan yang dipimpin Raja Kalana bergerak menggempur Kerajaan Wirata. Banyak sekali punggawa Wirata yang terbunuh, antara lain Arya Kulalata (anak Patih Sunggata) beserta Arya Wiraketu, Arya Prayagnita, Arya Nirdaprawa, dan Arya Prawasata. Karena semakin terdesak, Prabu Basurata dan Patih Sunggata terpaksa mengungsi ke Kerajaan Purwacarita.

Setelah menaklukkan Kerajaan Wirata, pasukan Medang Galungan lalu menggempur Kerajaan Gilingwesi. Pertempuran sengit pun terjadi. Raja Kalana berhasil membunuh Patih Suktina beserta para punggawa, yaitu Arya Sudarya dan Arya Bahniwirya. Sebaliknya, anak Patih Suktina yang bernama Arya Atmera berhasil menewaskan Ditya Werka dan Ditya Martyawa.

Karena pihak Gilingwesi semakin terdesak oleh gempuran musuh, Prabu Brahmanaraja dan para punggawa yang masih hidup terpaksa mengungsi pula ke Kerajaan Purwacarita.

PRABU SRI MAHAPUNGGUNG MENUMPAS PARA RAKSASA

Prabu Basurata dan Prabu Brahmanaraja telah tiba di istana Purwacarita dan menceritakan segalanya kepada Prabu Sri Mahapunggung. Mendengar itu, Prabu Sri Mahapunggung sangat marah dan segera menghimpun pasukan untuk bersiaga menghadapi serangan para raksasa tersebut.

Maka, ketika pasukan Medang Galungan tiba, mereka segera disambut perang oleh pihak Purwacarita. Tiga raksasa yang masih tersisa, yaitu Raja Kalana, Ditya Saraweda, dan Ditya Upadarwya bertempur menghadapi Prabu Sri Mahapunggung. Dalam pertarungan itu, Ditya Saraweda dan Ditya Upadarwya tewas terbunuh, sedangkan Raja Kalana lari ketakutan melihat kesaktian Prabu Sri Mahapunggung.

Prabu Sri Mahapunggung mengejar ke mana pun Raja Kalana lari. Pertempuran di antara mereka kembali terjadi di Hutan Pancala. Kali ini Raja Kalana tidak bisa lolos lagi dan ia pun tewas di tangan raja Purwacarita tersebut.

Prabu Sri Mahapunggung kemudian berjalan menyusuri Hutan Pancala dan bertemu Dewi Rukmini yang sedang bertapa. Prabu Sri Mahapunggung jatuh hati dan melamar Dewi Rukmini untuk dijadikan sebagai istri kedua di samping Dewi Brahmaniyati. Dewi Rukmini yang teringat pada ramalan Begawan Rukmawati tanpa ragu langsung menerima lamaran tersebut. Maka, Prabu Sri Mahapunggung dengan perasaan suka cita pun memboyong Dewi Rukmini ke istana Purwacarita.

BATARA NARADA MELARANG PRABU SRI MAHAPUNGGUNG MEMBALAS SERANGAN


Prabu Sri Mahapunggung, Prabu Basurata, dan Prabu Brahmanaraja berunding di istana Purwacarita untuk menyusun rencana membalas serangan kepada Prabu Sindula di Kerajaan Medang Galungan. Pada saat itulah datang Batara Narada yang melarang niat tersebut supaya jangan sampai diteruskan. Batara Narada menjelaskan bahwa Prabu Sindula adalah anak Prabu Watugunung, sedangkan dulu Batara Wisnu dalam wujud Resi Satmata telah berjanji bahwa keturunan Prabu Watugunung tidak akan disakiti.

Mendengar penjelasan tersebut, Prabu Sri Mahapunggung terpaksa mengurungkan niatnya. Prabu Basurata dan Prabu Brahmanaraja lalu mohon pamit kembali ke kerajaan masing-masing. Kedudukan para punggawa yang telah gugur kemudian diwariskan kepada anak-anak mereka. Dalam hal ini kedudukan mendiang Patih Suktina sebagai menteri utama Kerajaan Gilingwesi pun digantikan Arya Atmera, yang bergelar Patih Atmera.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


kembali ke: daftar isi





Tidak ada komentar:

Posting Komentar