Senin, 08 Agustus 2016

Pendadaran Siswa Sokalima


Kisah ini menceritakan para Pandawa dan Kurawa telah menyelesaikan pendidikannya kepada Danghyang Druna dan mereka pun dipertandingkan di hadapan seluruh rakyat Kerajaan Hastina. Puncak dari pertandingan ini adalah pertarungan antara Raden Permadi melawan Raden Suryaputra yang tidak lain adalah kakak sulungnya sendiri, yaitu putra Dewi Kunti dengan Batara Surya, sewaktu belum menikah dengan Prabu Pandu.

Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, serta beberapa bagian saya ambil dari serial Suryaputra Karna, dengan sedikit pengembangan seperlunya.

Kediri, 08 Agustus 2016

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Raden Suryaputra melawan Raden Permadi

DANGHYANG DRUNA MELAPORKAN KELULUSAN PARA PANDAWA DAN KURAWA

Adipati Dretarastra di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri oleh Resiwara Bisma, Dewi Gandari, Raden Yamawidura, Patih Sangkuni, dan Resi Krepa. Hadir pula Danghyang Druna yang melaporkan bahwa hari ini telah genap lima tahun para Pandawa dan Kurawa berguru ilmu perang kepadanya di Padepokan Sokalima. Semua ilmu telah diajarkan olehnya, meliputi seni menggunakan senjata, ilmu memimpin pasukan, ilmu mengatur siasat perang, serta bagaimana caranya merusak formasi barisan perang.

Danghyang Druna bercerita bahwa di antara murid-muridnya, Raden Permadi (Arjuna) adalah yang paling pandai dan berbakat, terutama dalam bidang panahan. Tidak hanya siang hari, bahkan di malam hari sekalipun ia rajin berlatih panah dalam kegelapan. Pernah suatu hari Danghyang Druna pura-pura diserang buaya di sungai. Para pangeran berlomba-lomba hendak menolong, namun hanya Raden Permadi yang dengan sigap dan cekatan mengambil busur dan panah untuk membidik si buaya. Pernah pula Danghyang Druna menguji kemahiran memanah para murid dengan membidik sasaran berupa boneka burung di puncak pohon. Hanya Raden Permadi seorang yang berhasil mengenai sasaran, yaitu panahnya bisa menembus mata boneka burung tersebut tanpa menjatuhkannya dari pohon.

Adipati Dretarastra kecewa karena Danghyang Druna selalu memuji-muji Raden Permadi, bukannya Raden Suyudana putranya. Menyadari hal itu, Resiwara Bisma mengusulkan agar Danghyang Druna mengadakan sebuah acara pertunjukan terbuka. Dalam acara itu, para Pandawa dan Kurawa harus memperlihatkan hasil pendidikannya di hadapan seluruh rakyat Kerajaan Hastina. Setelah acara selesai, barulah dapat ditentukan siapa murid terbaik di antara para pangeran tersebut.

Patih Sangkuni mendukung usulan Resiwara Bisma. Danghyang Druna tidak perlu tergesa-gesa mengumumkan Raden Permadi sebagai lulusan terbaik jika belum memperlihatkan kemahirannya di depan umum. Pertunjukan ini tentunya sangat bermanfaat, karena rakyat dapat menyaksikan kehebatan para pangeran, sehingga bisa ikut bangga melihat para Pandawa dan Kurawa memiliki kemampuan untuk melindungi Kerajaan Hastina. Tidak hanya itu, Patih Sangkuni juga mengusulkan agar Adipati Dretarastra mengundang para raja negara tetangga untuk ikut menyaksikan pertunjukan ini, sehingga mereka akan semakin segan dan tidak berani macam-macam terhadap Kerajaan Hastina.

Adipati Dretarastra senang mendengar usulan ini. Ia pun menunjuk Patih Sangkuni untuk mengurusi segala keperluan, mulai dari mempersiapkan panggung, menyebar undangan, hingga menyusun urutan siapa pangeran yang akan tampil. Patih Sangkuni berterima kasih dan siap melaksanakan tugas. Ia pun mengusulkan agar acara tersebut dilaksanakan di Tegal Kurusetra, yaitu sebidang tanah lapang yang sangat luas di pinggiran Kerajaan Hastina, yang mampu menampung jutaan orang. Patih Sangkuni juga mengusulkan agar acara nanti bukan sekadar pertunjukan belaka, tetapi harus bersifat pertandingan. Barangsiapa yang menjadi juara, maka dia yang pantas dilantik sebagai pangeran mahkota Kerajaan Hastina.

Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura menolak usulan Patih Sangkuni. Kedudukan sebagai pangeran mahkota tidak dapat ditentukan melalui pertandingan adu kemahiran. Bagaimanapun juga yang berhak menjadi ahli waris takhta adalah Raden Puntadewa, selaku putra sulung mendiang Prabu Pandu Dewanata.

Dewi Gandari ikut bicara mendukung Patih Sangkuni. Jika memang putra sulung yang berhak menjadi raja, mengapa dulu bukan suaminya yang dilantik? Memang benar, Adipati Dretarastra menderita cacat tunanetra, tetapi keseratus putranya tidaklah demikian. Itu berarti, para Kurawa pun memiliki hak yang sama dengan para Pandawa, karena Kerajaan Hastina bukan milik Prabu Pandu seorang, tetapi juga milik Adipati Dretarastra. Jika bukan karena Adipati Dretarastra rela melepaskan haknya sebagai putra sulung, mana mungkin Prabu Pandu bisa menjadi raja Hastina?

Patih Sangkuni menambahkan, beberapa tahun yang lalu saat para Pandawa dan Kurawa berguru ilmu agama dan tata negara kepada Resi Krepa, memang Raden Puntadewa dinyatakan sebagai murid yang terpandai. Namun, menjadi raja Hastina tidak cukup hanya mengandalkan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga harus memiliki kemahiran dalam pertempuran. Raja yang tidak mahir melindungi negaranya akan kehilangan wibawa, baik itu di hadapan kawan maupun lawan. Jika memang Raden Puntadewa berhak atas takhta, maka dalam pertunjukan nanti ia harus mampu meyakinkan rakyat Hastina bahwa dirinya memang pantas menjadi raja yang bisa melindungi segenap wilayah negaranya.

Adipati Dretarastra dalam hati memuji kepandaian Patih Sangkuni yang selalu berusaha menciptakan peluang bagi Raden Suyudana. Membayangkan bahwa putranya nanti akan tampil sebagai pemenang, ia pun menyetujui usulan Patih Sangkuni. Ia lalu mengumumkan bahwa Patih Sangkuni telah diserahi tugas ini, maka segala keputusan Patih Sangkuni harus dipatuhi semuanya.

Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura tidak bisa membantah lagi. Mereka pun setuju jika pertunjukan nanti diubah menjadi perlombaan. Akan tetapi, yang menjadi juri dalam menentukan pemenang haruslah Danghyang Druna, bukan Patih Sangkuni. Adipati Dretarastra setuju. Ia lalu meminta Danghyang Druna untuk menyusun peraturan pertandingan.

Danghyang Druna mengusulkan bahwa dalam pertandingan nanti hendaknya menjadi pertandingan persaudaraan, dan para pangeran tidak boleh saling melukai. Siapa yang menang cukup dilihat dari seberapa lama ia mampu bertahan di atas panggung. Sebaliknya, barangsiapa yang menyebabkan pihak lawan berdarah, maka ia akan dinyatakan gugur.

Demkikianlah, Adipati Dretarastra telah menetapkan Danghyang Druna sebagai juri dan Patih Sangkuni sebagai panitia acara. Resiwara Bisma meminta Patih Sangkuni harus adil dalam menentukan urutan siapa pangeran yang akan tampil. Patih Sangkuni pun menyanggupi, bahwa nanti pangeran yang tampil akan ditentukan berdasarkan undian.

Karena semuanya telah sepakat, Adipati Dretarastra menetapkan tujuh hari lagi acara pertandingan ini akan diadakan. Danghyang Druna diperintahkan untuk mempersiapkan para pangeran, sedangkan Patih Sangkuni diperintahkan untuk mempersiapkan segala sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Setelah dirasa cukup, pertemuan pun dibubarkan.

RADEYA MENYELESAIKAN PENDIDIKANNYA PADA BATARA RAMAPARASU

Tersebutlah seorang pemuda bernama Radeya yang berguru kepada Batara Ramaparasu di Hutan Jatiraga selama lima tahun. Hari itu Batara Ramaparasu menyatakan kelulusannya dan mempersilakan Radeya pulang ke tempat asalnya, yaitu Desa Petapralaya. Radeya ini adalah putra Kyai Adirata, yaitu kusir kereta Adipati Dretarastra, sedangkan ibunya bernama Nyai Rada.

Radeya berterima kasih kepada Batara Ramaparasu yang telah berkenan mendidik seorang pemuda miskin seperti dirinya. Memang dirinya putra seorang kusir kereta, tetapi sejak kecil bercita-cita ingin menjadi pelindung Kerajaan Hastina. Ketika terdengar kabar bahwa para Pandawa dan Kurawa berguru kepada Danghyang Druna, Radeya pun ikut pergi ke Padepokan Sokalima dan memohon supaya diterima sebagai murid pula.

Akan tetapi, Danghyang Druna menolak Radeya karena ia hanya bersedia mengajar para pangeran Hastina saja. Radeya pun bertanya mengapa putra Danghyang Druna yang bernama Bambang Aswatama juga ikut belajar, bukankah dia bukan Pandawa, juga bukan Kurawa? Danghyang Druna tersinggung dan mengusir Radeya. Atas penghinaan itu, Radeya pun bersumpah bahwa dirinya pasti bisa berguru kepada orang yang telah mengajar Danghyang Druna.

Radeya lalu pergi ke Hutan Jatiraga untuk bertapa. Selama berhari-hari ia bersamadi tanpa makan, tanpa minum, hingga akhirnya datang Batara Ramaparasu membangunkan dirinya. Batara Ramaparasu berkata bahwa dewata telah menerima tapa brata Radeya yang bercita-cita ingin berguru kepada orang yang pernah mendidik Danghyang Druna. Maka, Batara Guru pun mengirim Batara Ramaparasu untuk mengajari Radeya. Batara Ramaparasu memang pernah menjadi guru Danghyang Druna, bahkan juga pernah mengajar Resiwara Bisma saat masih bernama Raden Dewabrata.

Demikianlah, selama lima tahun Radeya berguru segala macam ilmu perang kepada Batara Ramaparasu, terutama ilmu memanah. Hari itu ia dinyatakan lulus dan dipersilakan pulang ke Desa Petapralaya. Sebelum berpamitan, tiba-tiba datang seorang pemuda bernama Adimanggala, yang merupakan adik angkat Radeya.

Radeya dan Adimanggala sama-sama bukan anak kandung Kyai Adirata dan Nyai Rada. Radeya semasa bayi diperoleh Kyai Adirata dari pemberian Resi Druwasa, sedangkan Adimanggala adalah pemberian Buyut Antyagopa dari Desa Widarakandang.

Adimanggala sangat bahagia bisa bertemu kakaknya. Ia bangga melihat Radeya telah mewujudkan cita-cita yaitu bisa belajar kepada Batara Ramaparasu. Ia juga mengatakan bahwa tidak lama lagi Danghyang Druna akan mengadakan pertunjukan adu kemahiran antara para muridnya di Tegal Kurusetra.

Radeya sangat tertarik ingin menghadiri acara tersebut. Ia pun memohon restu kepada Batara Ramaparasu semoga nanti bisa mempermalukan Danghyang Druna yang telah menghina dirinya. Ia ingin menunjukkan pada semua orang bahwa Radeya si putra kusir kini menjadi pemanah terbaik di dunia.

Batara Ramaparasu tidak suka melihat sifat sombong Radeya. Ia pun mengutuk Radeya jika terus-menerus bersikap angkuh dan sombong seperti itu, maka semua ilmu kesaktian yang telah diajarkan olehnya akan lenyap dari ingatan pada saat paling dibutuhkan.

Radeya memohon ampun kepada sang guru. Namun, Batara Ramaparasu tidak dapat mencabut kutukannya. Ia hanya menasihati Radeya agar menjadi manusia dermawan sebagai penyeimbang sifatnya yang angkuh. Radeya mematuhi dan bersumpah tidak akan menolak siapa pun yang meminta sedekah kepadanya.

Batara Ramaparasu merestui Radeya semoga namanya dikenang sepanjang masa. Ia lalu terbang meninggalkan Hutan Jatiraga, kembali ke kahyangan.

RADEYA BERTARUNG MELAWAN PASUKAN SENGKAPURA

Radeya dan Adimanggala keluar dari Hutan Jatiraga menuju Tegal Kurusetra untuk menonton pertandingan para Pandawa dan Kurawa. Di tengah jalan mereka bertemu pasukan raksasa dari Sengkapura yang dipimpin Ditya Danuka. Para raksasa itu ditugasi Adipati Kangsa untuk menyelidiki keberadaan putra-putri Prabu Basudewa raja Mandura.

Ditya Danuka bertanya kepada Radeya dan Adimanggala apa pernah melihat dua pemuda, yang satu berkulit putih bule, dan yang satu lagi berkulit hitam legam. Radeya menjawab dengan seenaknya, membuat para raksasa itu marah dan menyerangnya.

Radeya memang sengaja memancing amarah para raksasa itu karena ingin mencoba ilmu kesaktian yang ia peroleh dari Batara Ramaparasu. Demikianlah, dalam pertempuran itu Radeya dan Adimanggala berhasil menumpas habis para prajurit raksasa tersebut, dan juga menewaskan Ditya Danuka.

RARA IRENG INGIN MENONTON PERTANDINGAN PARA PANGERAN

Pemuda berkulit bule dan hitam legam yang dicari-cari oleh Adipati Kangsa adalah Kakrasana dan Narayana, yaitu putra Prabu Basudewa yang sejak kecil dititipkan kepada Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi di Desa Widarakandang. Kini mereka telah tubuh menjadi remaja berusia delapan belas tahun (sebaya dengan Raden Permadi). Kakrasana rajin bekerja di sawah membantu Buyut Antyagopa, sedangkan Narayana lebih suka berkelana bersama Udawa, kakak sulungnya.

Pada suatu hari, Narayana dan Udawa pulang ke rumah dan mengabarkan bahwa di Kerajaan Hastina sebentar lagi akan diadakan sebuah acara pertunjukan ilmu kesaktian antara para Kurawa dan Pandawa, yaitu para pangeran yang baru saja menamatkan pendidikannya kepada Danghyang Druna di Padepokan Sokalima.

Adik perempuan Narayana yang bernama Rara Ireng merengek ingin menonton acara itu. Narayana lalu meminta izin kepada Buyut Antyagopa agar Rara Ireng diperbolehkan ikut pergi ke Tegal Kurusetra. Buyut Antyagopa mengizinkan tetapi Kakrasana juga harus ikut pergi untuk menjaga keselamatan Rara Ireng.

Demikianlah, Narayana, Kakrasana, Udawa, dan Rara Ireng berangkat menuju Tegal Kurusetra, sedangkan adik bungsu mereka yang bernama Rara Sati tetap tinggal di Desa Widarakandang.

ACARA PERTANDINGAN DI TEGAL KURUSETRA : RADEN BIMA MELAWAN PARA KURAWA

Hari yang ditentukan akhirnya tiba. Tegal Kurusetra yang luas dan lapang telah dipenuhi rakyat Hastina yang ingin menonton pertandingan antara para Pandawa dan Kurawa. Narayana dan saudara-saudaranya menyusup di antara para penonton, berbaur dengan rakyat Hastina. Tampak para tamu dan undangan dari berbagai negara sahabat telah duduk di depan panggung, antara lain Prabu Matsyapati dari Wirata, Prabu Salya dari Mandaraka, Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta dari Gandaradesa, serta Prabu Jarasanda dari Magada. Hanya Prabu Drupada dari Pancala yang tidak hadir, sedangkan Prabu Basudewa dari Mandura diwakili putranya, yaitu Adipati Kangsa beserta Patih Suratimantra.

Danghyang Druna berdiri di atas panggung mengumumkan peraturan pertandingan. Murid-muridnya nanti akan bertanding satu lawan satu secara bergiliran, hingga diperoleh siapa murid terbaik yang bertahan paling akhir. Namun demikian, pertandingan ini adalah pertandingan persaudaraan. Untuk menentukan yang kalah cukup dilihat siapa yang terlempar dari panggung lebih dulu, atau siapa yang menyatakan menyerah kalah. Tidak boleh ada yang melukai di pertandingan ini. Barangsiapa yang menyebabkan pihak lawan mengeluarkan darah akan dinyatakan gugur.

Setelah dirasa cukup, Danghyang Druna lalu mempersilakan Patih Sangkuni untuk melempar undian. Dari lemparan tersebut, keluar nama Raden Bima Bratasena (Pandawa nomor dua) dan Raden Dursasana (Kurawa nomor dua).

Kedua pangeran itu naik ke panggung dan mulai bertanding. Mereka berdua kini telah berusia dua puluh tahun. Pertandingan pertama ini dimenangkan oleh Raden Bratasena yang berhasil melempar Raden Dursasana keluar panggung.

Patih Sangkuni kembali melempar undian untuk siapa yang tampil di pertandingan kedua. Ternyata nama Raden Bratasena kembali muncul dan kali ini melawan Raden Surtayu. Setelah mengalahkan Raden Surtayu, nama Raden Bratasena kembali muncul dan ia harus melawan Raden Durmagati. Setelah itu, namanya kembali muncul untuk melawan Raden Citraksa, kemudian melawan Raden Citraksi, demikian seterusnya. Entah mengapa nama Raden Bratasena selalu muncul ketika Patih Sangkuni melempar undian.

Raden Yamawidura menuduh Patih Sangkuni curang ingin membuat Raden Bratasena kehabisan tenaga. Patih Sangkuni pun mempersilakan Raden Yamawidura untuk memeriksa peralatan undiannya. Sebaliknya, Raden Bratasena justru senang selalu tampil di atas panggung karena bisa menjadi sarana baginya untuk menghajar para Kurawa.

RADEN BRATASENA MELAWAN RADEN SUYUDANA

Satu persatu para Kurawa dinyatakan kalah. Ada yang terlempar dari panggung, ada pula yang menyerah kalah kepada Raden Bratasena. Kini yang tersisa dari mereka hanya tinggal Raden Suyudana dan Raden Kartawarma. Rencana pertama Patih Sangkuni untuk menguras tenaga Raden Bratasena dan menyingkirkannya dari panggung telah gagal. Tampak olehnya, Raden Bratasena masih segar bugar dan bersemangat melanjutkan pertandingan.

Patih Sangkuni kembali melempar undian. Kali ini nama Raden Bratasena kembali muncul bersama nama Raden Suyudana, Kurawa nomor satu. Sebelum naik ke panggung, Raden Suyudana telah mendapat pesan dari Patih Sangkuni agar memancing amarah Raden Bratasena.

Demikianlah, Raden Suyudana pun bertarung melawan Raden Bratasena. Tidak hanya tangannya yang memainkan senjata gada, mulutnya juga ikut bicara mengejek. Ia menyebut para Pandawa adalah hasil perselingkuhan Dewi Kunti dengan para dewa, karena Prabu Pandu telah mendapat kutukan tidak bisa memiliki anak selamanya.

Raden Bratasena terpancing amarahnya. Ia memukul mulut Raden Suyudana hingga mengeluarkan darah. Para Kurawa yang lain tidak terima dan beramai-ramai naik ke panggung untuk mengeroyok Raden Bratasena. Pertandingan kini menjadi kacau balau, bukan lagi satu lawan satu.

Sementara itu, Kakrasana yang menonton di antara warga Hastina tidak terima dan segera melompat naik ke atas panggung. Para hadirin heran melihat ada pemuda desa berkulit bule tiba-tiba membantu Raden Bratasena menghadapi para Kurawa sambil mulutnya memaki-maki dengan kasar.

Udawa, Narayana, dan Rara Ireng ikut naik ke panggung untuk melerai. Udawa memegangi tubuh Kakrasana, sedangkan Narayana meminta maaf kepada Adipati Dretarastra atas ulah kakaknya itu. Adipati Dretarastra tidak terima ada rakyat jelata berani memukul anak-anaknya. Ia pun memerintahkan para prajurit untuk menangkap mereka. Narayana segera mengajak Udawa, Kakrasana, dan Rara Ireng turun panggung lalu tiba-tiba tubuh mereka menghilang entah ke mana. Para prajurit mencari ke mana-mana tetapi tidak berhasil menemukan keempat remaja tersebut.

ADIPATI KANGSA MEMBURU NARAYANA DAN SAUDARA-SAUDARANYA

Adipati Kangsa yang duduk di antara para tamu undangan terkejut saat tadi melihat ada pemuda berkulit bule naik ke panggung untuk membantu Raden Bratasena, yang kemudian dilerai oleh pemuda berkulit hitam legam. Ia yakin mereka adalah Kakrasana dan Narayana yang selama ini ia cari untuk dilenyapkan. Itu karena Adipati Kangsa telah mendapat petunjuk dari gurunya, yaitu Resi Anggawangsa bahwa dirinya kelak akan mati di tangan pemuda berkulit bule dan hitam, yang merupakan putra-putra Prabu Basudewa.

Adipati Kangsa tidak tertarik lagi untuk menyaksikan pertandingan para Pandawa dan Kurawa. Ia mengajak Patih Suratimantra mencari Kakrasana dan Narayana yang tadi menghilang dari pandangan. Adipati Kangsa berniat membunuh mereka, sekaligus menikahi gadis berkulit hitam manis yang menawan hati, yang tadi ikut naik ke panggung bersama Narayana dan Udawa, yaitu Rara Ireng.

RADEN PERMADI MENGALAHKAN RADEN PUNTADEWA

Danghyang Druna menyatakan Raden Bratasena gugur tidak boleh melanjutkan pertandingan karena telah menyebabkan mulut Raden Suyudana berdarah. Ini sesuai dengan rencana Patih Sangkuni. Karena para Kurawa tidak berhasil menguras tenaga Raden Bratasena, maka siasat pun diubah, yaitu memancing kemarahannya agar dikeluarkan dari pertandingan.

Patih Sangkuni lalu melemparkan undian. Kali ini yang muncul adalah nama Raden Permadi (Pandawa nomor tiga), melawan Raden Kartawarma (Kurawa nomor lima puluh). Keduanya pun bertanding di atas panggung. Dengan cekatan Raden Permadi berhasil mengalahkan Raden Kartawarma dan membuat sepupunya itu jatuh keluar panggung.

Patih Sangkuni kembali melempar undian. Kali ini nama Raden Permadi kembali muncul, sedangkan lawannya adalah Raden Pinten atau Nakula (Pandawa nomor empat). Sesuai perkiraan Patih Sangkuni, Raden Pinten menyerah kalah tanpa bertanding karena tidak mau melawan kakak sendiri.

Patih Sangkuni kembali melempar undian. Lagi-lagi nama Raden Permadi muncul, dan yang menjadi lawannya adalah Raden Tangsen atau Sadewa (Pandawa nomor lima). Sama seperti sebelumnya, Raden Tangsen pun menyerah kalah karena tidak mau bertarung melawan kakak sendiri.

Nama yang tersisa kini tinggal tiga orang, yaitu Raden Suyudana, Raden Puntadewa, dan Raden Permadi. Sejak tadi Patih Sangkuni selalu bermain ilmu sihir untuk mengatur jalannya pertandingan. Ia menyihir supaya nama Raden Bratasena selalu muncul, dan kini mengatur nama Raden Permadi supaya muncul pula. Adapun yang dimunculkan sebagai lawannya kali ini adalah Raden Puntadewa (Pandawa nomor satu).

Raden Puntadewa dan Raden Permadi telah berhadapan di atas panggung. Patih Sangkuni menyindir Raden Permadi sebaiknya bersikap hormat kepada saudara tua seperti si kembar tadi. Raden Puntadewa terkenal tidak punya pengalaman bertarung. Tentunya tidak pantas jika Raden Permadi mempermalukan kakaknya itu di hadapan banyak orang.

Raden Puntadewa melarang Raden Permadi termakan hasutan Patih Sangkuni. Bagaimanapun juga Raden Permadi harus bertanding secara adil melawan dirinya. Meskipun Raden Puntadewa tidak pernah bertarung, bukan berarti ia tidak bisa bertarung. Di antara murid-murid Padepokan Sokalima, Raden Puntadewa adalah yang paling pandai melempar lembing. Hari ini ia akan melemparkan lembing-lembingnya kepada Raden Permadi. Jika nanti Raden Permadi mampu mengalahkannya, itu bukan berarti seorang adik mempermalukan kakaknya, tetapi hendaknya dipahami lain, yaitu seorang adik membuat kakaknya bangga.

Raden Permadi merasa mantap setelah mendengar nasihat kakaknya. Raden Puntadewa lalu melemparkan lembing-lembingnya ke arah Raden Permadi. Satu persatu lembing-lembing itu dapat ditangkis oleh panah-panah Raden Permadi. Setelah melihat lembing kakaknya habis, Raden Permadi pun menghujani Raden Puntadewa dengan ratusan panah. Para hadirin merasa kagum karena panah-panah itu sama sekali tidak melukai Raden Puntadewa, tetapi tersusun rapi membentuk sebuah kursi.

Raden Permadi lalu menyembah Raden Puntadewa dan mempersilakannya untuk duduk di atas kursi panah tersebut. Raden Puntadewa pun duduk sambil mengumumkan bahwa dirinya dengan bangga menyatakan kalah di tangan sang adik.

Para hadirin seketika bersorak memuji kehebatan Raden Permadi yang berhasil mengalahkan Raden Puntadewa tanpa mempermalukan kakaknya itu. Sebaliknya, Patih Sangkuni sangat kecewa karena sejak awal ia berharap Raden Permadi yang menyerah kalah kepada kakaknya, sehingga Raden Puntadewa yang maju ke pertandingan selanjutnya melawan Raden Suyudana. Ia membayangkan Raden Suyudana yang perkasa pasti dapat dengan mudah mengalahkan Raden Puntadewa di hadapan banyak orang.

RADEN PERMADI DITETAPKAN SEBAGAI PEMANAH TERBAIK DI DUNIA

Kini pangeran yang tersisa hanya tinggal Raden Permadi dan Raden Suyudana saja. Tanpa diundi keduanya pun naik ke atas panggung untuk bertanding. Begitu Danghyang Druna memberikan aba-aba, Raden Suyudana segera menyerang lebih dulu menggunakan senjata gada.

Raden Permadi menggunakan busur sebagai senjata untuk menghadapinya. Setelah agak lama bertarung, ia pun berniat mengalahkan lawan. Sambil membaca mantra, Raden Permadi melepaskan panah ke angkasa. Tidak lama kemudian tiba-tiba muncul angin kencang menggulung dan mengurung tubuh Raden Suyudana.

Danghyang Druna bersorak memuji Raden Permadi sebagai muridnya yang terbaik. Bahkan, ia berpendapat bahwa kehebatan memanah Raden Permadi sudah melampaui dirinya. Ia pun mengumumkan kepada semua orang bahwa Raden Permadi adalah pemanah terbaik di dunia.

RADEYA MENANTANG RADEN PERMADI

Tiba-tiba dari kalangan penonton muncul seorang pemuda yang langsung naik ke atas panggung untuk membebaskan Raden Suyudana. Pemuda itu melepaskan panah bermantra yang mampu mengeluarkan angin panas yang melenyapkan angin dingin yang menggulung Raden Suyudana.

Semua orang terkagum-kagum melihat kehebatan pemuda itu dalam menggunakan panah. Pemuda itu mengaku keberatan jika Danghyang Druna mengumumkan Raden Permadi sebagai pemanah terbaik di dunia. Di hadapan semua orang, ia pun menantang Raden Permadi bertanding adu panah untuk menentukan siapa yang lebih baik di antara mereka.

RADEYA BERSUMPAH SETIA KEPADA RADEN SUYUDANA

Danghyang Druna lalu bertanya siapa nama dan asal-usul si pemuda penantang. Pemuda itu hanya diam saja tidak menjawab. Tiba-tiba muncul Kyai Adirata naik ke atas panggung dan memanggilnya dengan nama Radeya. Kyai Adirata mengumumkan bahwa Radeya adalah putranya, dan ia memohon maaf atas kelancangan Radeya yang berani menantang Raden Permadi.

Danghyang Druna berkata bahwa dalam tata tertib peperangan, senapati hanya boleh melawan senapati, raja melawan raja, pangeran melawan pangeran. Radeya adalah anak seorang kusir kereta, tentunya tidak sederajat bila bertanding melawan Raden Permadi. Maka itu, lebih baik ia pulang saja ke Desa Petapralaya.

Raden Bratasena yang berada di luar panggung ikut bersuara. Ia menyebut Radeya tidak pantas melawan adiknya, dan menyuruh Kyai Adirata untuk menasihati anaknya itu agar mengerti sopan santun. Raden Puntadewa segera menegur Raden Bratasena bahwa dirinya sendiri juga harus belajar sopan santun. Raden Bratasena pun terdiam, tidak berani membantah.

Radeya sangat kecewa. Ketika ia hendak pulang bersama ayahnya, tiba-tiba Raden Suyudana mencegahnya. Raden Suyudana lalu berkata kepada Adipati Dretarastra agar menjadikan Petapralaya sebagai kadipaten, serta mengangkat Kyai Adirata sebagai adipati. Dengan demikian, Radeya bisa mendapat gelar Raden, sehingga sederajat dengan Raden Permadi.

Adipati Dretarastra yang selalu menuruti keinginan putranya segera mengabulkan permintaan itu. Ia pun mengumumkan bahwa mulai hari ini, Desa Petapralaya diubah menjadi Kadipaten Petapralaya, sedangkan Kyai Adirata diangkat sebagai adipati, dan Radeya boleh memakai gelar raden.

Kyai Adirata dan Radeya merasa gugup dan tidak berani menerima anugerah itu. Radeya mengaku datang ke situ adalah untuk bertanding, bukan mencari hadiah. Namun, Raden Suyudana berusaha meyakinkan mereka bahwa anugerah tersebut bukan hadiah, melainkan sebagai bentuk rasa terima kasih. Tadi ketika tubuhnya digulung oleh angin dingin ciptaan Raden Permadi, hanya Radeya seorang yang bisa membebaskan dirinya dengan mengirimkan angin panas. Kini sebagai balasan, Raden Suyudana pun mengangkat Radeya sebagai saudara, dan seluruh Kurawa akan memanggil kakak kepadanya.

Radeya sangat terharu melihat kebaikan Raden Suyudana. Ia pun bersumpah bahwa seumur hidup akan selalu setia melindungi dan mengawal Raden Suyudana. Keduanya lalu berpelukan dengan disambut tepuk tangan Patih Sangkuni dan para Kurawa.

Sementara itu, Raden Yamawidura menggugat Adipati Dretarastra yang terlalu mudah mengangkat seorang adipati tanpa pertimbangan matang. Selain itu, sang kakak juga bersikap mendua. Tadi ketika ada pemuda bule naik panggung membantu Pandawa, Adipati Dretarastra langsung memerintahkan para prajurit untuk menangkapnya. Sebaliknya, ketika muncul Radeya membantu Kurawa, justru Adipati Dretarastra memberikan anugerah kepadanya.

Adipati Dretarastra menjawab bahwa Kyai Adirata sudah lama mengabdi kepada Kerajaan Hastina, maka sudah sepantasnya ia mendapatkan kenaikan pangkat. Keputusan pun sudah ditetapkan, tidak bisa diubah-ubah begitu saja, karena ini akan berpengaruh pada wibawa Adipati Dretarastra sebagai raja wakil di Hastina.

DEWI KUNTI PINGSAN MENYADARI RADEYA ADALAH PUTRANYA

Danghyang Druna lalu mempersilakan Raden Permadi bertanding melawan Radeya. Kyai Adirata dan Raden Suyudana kemudian turun panggung. Sebelum pergi, Kyai Adirata berkata bahwa Radeya saat bayi dilahirkan pada pagi hari, sehingga diberi nama Suryaputra. Alangkah baiknya kalau sekarang kembali memakai nama tersebut. Radeya menurut. Ia pun memakai nama Raden Suryaputra untuk menghadapi Raden Permadi.

Pertarungan dimulai. Keduanya saling melepaskan panah ke arah lawan. Para penonton terkagum-kagum melihat kehebatan mereka. Tidak ada yang menang, juga tidak ada yang kalah. Keduanya tampak seimbang. Hingga akhirnya matahari pun terbenam di ufuk barat. Danghyang Druna menabuh bende tanda pertandingan harus diakhiri. Padahal, Raden Permadi terlanjur melepaskan panah terakhirnya. Panah itu melesat ke arah Raden Suryaputra. Karena Danghyang Druna telah menabuh bende, Raden Suryaputra pun tidak berusaha menangkis. Ia menerima panah terakhir itu dengan dadanya. Sungguh ajaib, panah tersebut patah jadi dua saat membentur dada Raden Suryaputra.

Dewi Kunti yang menonton di samping Adipati Dretarastra dan Dewi Gandari sangat terkejut melihat dada Raden Suryaputra bersinar seperti matahari saat menerima panah Raden Permadi. Ia juga melihat Raden Suryaputra memakai anting-anting berbentuk matahari. Seketika ia pun teringat pada bayi yang dilahirkannya sebelum menikah dulu. Bayi laki-laki itu mengenakan baju zirah di dalam kulit yang disebut Suryakawaca, serta anting-anting Suryakundala, yang semuanya adalah pemberian Batara Surya. Seketika Dewi Kunti pun jatuh pingsan karena menyadari bahwa Raden Suryaputra adalah putra sulungnya yang terpisah sejak bayi, yaitu dibawa pergi oleh Resi Druwasa.

Melihat sang ibu jatuh pingsan, Raden Bratasena segera menggendongnya meninggalkan tempat itu, dengan diikuti Raden Puntadewa dan si kembar. Sementara itu, Raden Permadi dan Raden Suryaputra masih berada di atas panggung. Mereka saling berjanji akan melanjutkan pertarungan kelak di kemudian hari. Para Kurawa lalu berdatangan naik ke atas panggung. Mereka menjunjung tubuh Raden Suryaputra dan mengelu-elukannya bagaikan seorang pahlawan pemenang pertandingan.

DANGHYANG DRUNA DIANGKAT SEBAGAI KEPALA PUJANGGA KERAJAAN HASTINA

Acara pertandingan telah usai. Danghyang Druna mengembalikan mandat sebagai guru para pangeran kepada Adipati Dretarastra. Tugas-tugasnya mengajar kini telah selesai. Namun, Patih Sangkuni melarangnya pulang begitu saja. Patih Sangkuni lalu memohon kepada Adipati Dretarastra untuk memberikan kedudukan kepada Danghyang Druna, agar menjadi bagian dari keluarga besar Kerajaan Hastina.

Adipati Dretarastra masih kecewa karena bukan putranya yang ditetapkan sebagai murid terbaik. Namun, Patih Sangkuni meminta kakak iparnya itu agar jangan mudah berpikiran pendek. Manusia sakti seperti Danghyang Druna harus dijaga agar tetap setia kepada Kerajaan Hastina. Apabila Danghyang Druna sampai pindah ke negara lain tentunya akan sangat berbahaya.

Adipati Dretarastra merasa ucapan Patih Sangkuni masuk akal. Maka, ia pun mengumumkan bahwa tugas Danghyang Druna sebagai guru para Pandawa dan Kurawa memang telah selesai. Mulai hari ini, Danghyang Druna diberi kedudukan baru sebagai kepala pujangga Kerajaan Hastina, bergelar Resi Druna. Adipati Dretarastra juga berjanji akan mengucurkan dana pembangunan Padepokan Sokalima menjadi lebih besar, dan Resi Druna diizinkan menerima murid dari berbagai negara. Sebagai syarat, para murid itu harus bersedia menjadi sekutu Kerajaan Hastina.

Danghyang Druna menerima keputusan Adipati Dretarastra dengan senang hati. Ia pun berterima kasih dan bersumpah akan selalu setia kepada Kerajaan Hastina. Dalam hati ia merasa senang karena ini bisa menjadi jalan baginya untuk membalas dendam kepada Prabu Drupada dan Arya Gandamana di Kerajaan Pancala.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------




CATATAN : Kisah pertunjukan kemahiran antara para Pandawa dan Kurawa ini menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 691 yang ditandai dengan sengkalan “Rupa Rudra angoyak langit”, atau tahun Candrasengkala 712 yang ditandai dengan sengkalan “Paksa hanunggal paksi”.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar