Kisah ini menceritakan para Pandawa dan Kurawa mendapat tugas dari Resi
Druna untuk menangkap Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Tugas ini berhasil
dipenuhi oleh para Pandawa, sehingga Resi Druna dapat berkuasa atas setengah
wilayah Kerajaan Pancala. Kisah dilanjutkan dengan kelahiran Dewi Drupadi, Dewi
Srikandi, dan Raden Drestajumena.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabharata karya Resi Wyasa yang
dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 13 Agustus 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Resi Druna membalas penghinaan Prabu Drupada |
RESI DRUNA MEMINTA PARA PANDAWA DAN KURAWA MENANGKAP PRABU DRUPADA
Adipati Dretarastra di
Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri oleh Resiwara Bisma, Dewi
Gandari, Raden Yamawidura, Patih Sangkuni, dan Resi Krepa. Hadir pula Danghyang
Druna yang telah resmi diangkat sebagai kepala pujangga istana, bergelar Resi
Druna. Hari itu mereka membahas tentang hasil pertandingan antara para Pandawa
dan Kurawa di Tegal Kurusetra kemarin, di mana Raden Permadi (Arjuna)
dinyatakan sebagai pemenang. Resiwara Bisma mengusulkan agar Adipati
Dretarastra melantik Raden Permadi sebagai pangeran mahkota, sesuai dengan apa
yang telah disepakati di awal.
Patih Sangkuni menyatakan tidak
setuju. Dalam pertandingan terakhir, Raden Suyudana belum menyerah kalah, juga
belum terlempar keluar dari panggung, tetapi Resi Druna sudah buru-buru
mengumumkan Raden Permadi sebagai murid terbaiknya. Untunglah waktu itu tiba-tiba
muncul Raden Suryaputra (Radeya) yang membebaskan Raden Suyudana dan
mewakilinya melawan Raden Permadi. Namun, ketika belum jelas siapa yang menang
dan siapa yang kalah, hari sudah terlanjur senja sehingga pertandingan harus
dihentikan. Patih Sangkuni pun mengusulkan agar diadakan pertandingan ulang
antara Raden Permadi dan Raden Suyudana, untuk menentukan siapa yang pantas
menjadi putra mahkota.
Resi Druna menyela. Ia setuju
diadakan ujian ulang antara para Pandawa dan Kurawa. Akan tetapi, ujian tersebut
bukan pertandingan satu lawan satu di atas panggung seperti kemarin, melainkan
dalam bentuk perlombaan menangkap musuh. Resi Druna memiliki musuh bernama
Prabu Drupada dan Arya Gandamana di Kerajaan Pancala. Barangsiapa bisa
menangkap mereka berdua, maka dia yang pantas diangkat sebagai pangeran mahkota
Kerajaan Hastina.
Resiwara Bisma dan Raden
Yamawidura tidak setuju karena itu berarti akan terjadi perang antara Kerajaan
Hastina dan Pancala. Padahal, kedua negara telah bersahabat lama sejak zaman
Prabu Santanu dan Prabu Gandabayu. Jika para Pandawa dan Kurawa menyerang
Pancala, maka itu akan merusak hubungan baik antara kedua pihak.
Patih Sangkuni yang memiliki
dendam pribadi dengan Arya Gandamana segera mendukung Resi Druna. Ia meminta
agar Adipati Dretarastra menyetujui peperangan tersebut. Bagaimanapun juga para
Pandawa dan Kurawa telah belajar ilmu perang selama lima tahun. Untuk apa hasil
belajar mereka jika tidak digunakan untuk berperang? Ujian kemarin berupa
pertandingan antarsaudara, sehingga ada beberapa orang yang sengaja mengalah
kepada lawan karena merasa segan. Namun, ujian kali ini adalah ujian yang
sesungguhnya. Dengan demikian, akan terlihat siapa yang benar-benar telah menyerap
ilmu yang diajarkan Resi Druna.
Raden Yamawidura mengakui
bahwa ilmu perang memang digunakan untuk berperang melawan musuh, tetapi bukan
untuk memerangi negara sahabat seperti Pancala. Patih Sangkuni menjawab keberatan
jika Kerajaan Pancala masih dianggap sebagai sahabat. Dalam acara pertandingan
di Tegal Kurusetra kemarin, pihak Hastina telah mengundang semua negara
sahabat. Prabu Matsyapati dari Wirata hadir, Prabu Salya dari Mandraka hadir, Aryaprabu
Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta dari Gandaradesa hadir, begitu pula Prabu
Jarasanda dari Magada juga hadir. Prabu Basudewa dari Mandura memang tidak
hadir, tetapi diwakili putranya yang bernama Adipati Kangsa. Hari itu semua
negara sahabat hadir memenuhi undangan Adipati Dretarastra, kecuali Prabu
Drupada dan Arya Gandamana yang sama sekali tidak kelihatan, juga tidak
menyampaikan permohonan maaf. Itu artinya, mereka benar-benar ingin memutuskan
hubungan persahabatan antara Pancala dan Hastina.
Raden Yamawidura bertanya
apakah Patih Sangkuni selaku panitia acara benar-benar mengundang Prabu Drupada
atau tidak. Patih Sangkuni menjawab bahwa dirinya benar-benar mengundang Prabu Drupada,
tetapi surat undangannya justru dirobek-robek oleh Arya Gandamana. Ia bersumpah
apabila ceritanya ini bohong, biarlah kelak dirinya mati mengenaskan. Dewi
Gandari ikut bicara mendukung adiknya. Jika benar Arya Gandamana telah
merobek-robek surat undangan tersebut, itu berarti sama dengan menghina wibawa
Kerajaan Hastina.
Adipati Dretarastra telah termakan
bujukan Patih Sangkuni dan Dewi Gandari. Ia pun memutuskan bahwa para Kurawa
dan Pandawa boleh menyerang Kerajaan Pancala untuk menangkap Prabu Drupada dan
Arya Gandamana. Karena raja telah memutuskan demikian, Resiwara Bisma dan Raden
Yamawidura tidak bisa menentang lagi. Mereka hanya bisa terdiam melihat Adipati
Dretarastra kini semakin jatuh ke dalam pengaruh orang-orang Gandaradesa.
Adipati Dretarastra lalu
memanggil para Pandawa dan Kurawa untuk menghadap. Para Pandawa diwakili Raden
Puntadewa, Raden Bratasena, dan Raden Permadi, sedangkan para Kurawa diwakili
Raden Suyudana, Raden Dursasana, dan Raden Kartawarma. Mereka diperintahkan
berangkat ke Kerajaan Pancala untuk menangkap Prabu Drupada dan Arya Gandamana,
serta menyerahkan keduanya kepada Resi Druna. Barangsiapa yang berhasil
melakukan tugas ini akan dilantik sebagai pangeran mahkota Kerajaan Hastina.
Raden Permadi memohon izin
bicara. Ia berkata bahwa Pandawa Lima adalah satu kesatuan yang tidak ada
persaingan di antara saudara dalam urusan takhta. Jika nanti Prabu Drupada dan
Arya Gandamana tertangkap oleh para Pandawa, maka yang harus dilantik sebagai
pangeran mahkota adalah Raden Puntadewa.
Raden Suyudana menanggapi
bahwa yang memenangkan ujian ini nanti adalah para Kurawa, bukan para Pandawa.
Apalagi para Kurawa kini telah memiliki seorang saudara angkat bernama Raden
Suryaputra yang merupakan pemanah paling hebat di dunia. Sudah pasti ia sanggup
membantu menangkap Prabu Drupada dan Arya Gandamana.
Resi Druna menjelaskan bahwa
ujian kali ini hanya berlaku untuk murid-muridnya saja. Jika para Kurawa berhasil
menangkap Prabu Drupada dan Arya Gandamana dengan bantuan Raden Suryaputra,
maka kemenangan mereka dianggap gagal. Raden Suyudana marah dan tidak mau
berangkat jika saudara angkatnya tidak diizinkan ikut. Namun, Patih Sangkuni
berusaha menyabarkannya. Ia berhasil meyakinkan Raden Suyudana untuk berperang
dengan kemampuan sendiri dan membuat Adipati Dretarastra bangga. Raden Suyudana
yang selalu menuruti Patih Sangkuni segera terdiam dan menyetujui ucapan sang
paman.
Demikianlah, karena para
Pandawa dan Kurawa telah menerima tugas tersebut, Adipati Dretarastra pun menunjuk
Resi Druna sebagai pemimpin mereka, sekaligus untuk memastikan keselamatan para
pangeran tersebut. Resi Druna menerima tugas ini dengan senang hati. Setelah
dirasa cukup, Adipati Dretarastra pun membubarkan pertemuan.
PATIH SANGKUNI BERSAHABAT DENGAN RESI DRUNA
Di luar istana, Resi Druna
berterima kasih kepada Patih Sangkuni yang telah banyak membantunya dalam
membujuk Adipati Dretarastra, sehingga mengizinkan para pangeran menyerang
Kerajaan Pancala. Patih Sangkuni menjelaskan bahwa dirinya juga menyimpan
dendam kepada Arya Gandamana. Karena mereka memiliki musuh yang sama, Patih
Sangkuni pun mengajak Resi Druna untuk menjalin persahabatan. Mulai hari ini ia
akan memanggil Resi Druna dengan sebutan “kakang”, supaya lebih akrab.
Patih Sangkuni mengajak Resi
Druna untuk membantu melancarkan jalan bagi Raden Suyudana agar berhasil menjadi
pangeran mahkota. Jika hal itu bisa terjadi, maka Resi Druna pasti akan hidup
lebih sejahtera dan bergelimang kekayaan. Resi Druna menjawab bahwa
cita-citanya hanya satu, yaitu membalas dendam kepada Prabu Drupada dan Arya
Gandamana. Soal nanti menjadi orang kaya atau tidak, bukan masalah baginya. Lagipula
ia sangat segan terhadap Resiwara Bisma yang lebih mendukung para Pandawa.
Patih Sangkuni mempersilakan Resi
Druna jika ingin hidup biasa-biasa saja, tapi bagaimana dengan putranya yang
bernama Bambang Aswatama? Patih Sangkuni pun bercerita, bahwa Raden Suyudana berteman
baik dengan Bambang Aswatama sejak masih belajar di Padepokan Sokalima. Pernah
suatu hari Bambang Aswatama berkata bahwa dirinya ingin bekerja sebagai pejabat
istana dan hidup lebih sejahtera. Oleh sebab itu, Patih Sangkuni baru saja mengangkat
Bambang Aswatama sebagai juru tulis di tempat tinggalnya, yaitu Kepatihan
Plasajenar, dan ini pun telah mendapat persetujuan Adipati Dretarastra.
Resi Druna sangat senang
karena Patih Sangkuni telah memberikan jalan kemuliaan bagi putranya. Ia
berterima kasih dan bersedia menjalin persahabatan dengan sang patih. Keduanya lalu
bersalaman, kemudian Resi Druna mohon pamit untuk mempersiapkan segala
keperluan sebelum berangkat menyerang Kerajaan Pancala.
Setelah Resi Druna pergi,
Raden Suyudana datang mendekati Patih Sangkuni. Ia bertanya mengapa tadi di
dalam istana, sang paman ikut mendukung Resi Druna yang melarang Raden
Suryaputra untuk pergi berperang di pihak Kurawa. Patih Sangkuni menjawab bahwa
dirinya harus bisa mengambil simpati Resi Druna. Apabila Raden Suyudana
bersikeras mengajak sahabatnya itu, maka Resi Druna pasti merasa tidak senang.
Untuk itu, Patih Sangkuni pun berusaha mendukungnya, dengan maksud agar Resi
Druna menjadi sekutu para Kurawa. Untuk bisa menjadi raja Hastina, Raden
Suyudana harus bisa bersekutu dengan Resi Druna, dan tidak cukup hanya
mengandalkan Raden Suryaputra saja.
Raden Suyudana dapat memahami
siasat Patih Sangkuni. Ia berterima kasih telah diingatkan dan mohon pamit
berangkat menuju Kerajaan Pancala. Patih Sangkuni merestui semoga pihak Kurawa
mendapat kemenangan.
PRABU DRUPADA DAN ARYA GANDAMANA MENANGKAP PARA KURAWA
Prabu Drupada dan Arya
Gandamana di Kerajaan Pancala telah menerima surat tantangan dari Resi Druna.
Mereka pun berangkat menuju perbatasan dengan dikawal Patih Drestaketu dan
pasukan Pancala untuk menghadang serangan tersebut.
Sementara itu, Resi Druna dan
murid-muridnya telah bersiaga di perbatasan Kerajaan Hastina dan Pancala. Resi
Druna yang telah bersahabat dengan Patih Sangkuni kini mencari cara agar Raden
Suyudana bisa memenangkan perlombaan. Ia pun membagi pertempuran menjadi dua
babak. Para Kurawa diperintahkan untuk maju lebih dulu menangkap Prabu Drupada
dan Arya Gandamana. Jika para Kurawa gagal, barulah para Pandawa maju di babak
kedua.
Raden Bratasena tidak setuju
karena pertempuran dua babak sama artinya dengan menempatkan para Pandawa
sebagai pemain cadangan saja. Jika para Kurawa berhasil mengalahkan musuh dalam
babak pertama, maka hilang sudah kesempatan para Pandawa untuk berlaga. Akan
tetapi, Raden Puntadewa dengan penuh percaya diri mempersilakan para Kurawa maju
lebih dulu. Karena sang kakak sulung sudah memutuskan demikian, Raden Bratasena
dan yang lainnya pun mematuhi tanpa membantah lagi.
Demikianlah, Raden Suyudana
dan adik-adiknya mendapat kesempatan pertama untuk menggempur barisan Pancala
yang sudah bersiaga. Pertempuran pun meletus di antara mereka. Banyak prajurit
Pancala yang tewas menjadi korban amukan para Kurawa. Namun, tidak sedikit pula
para Kurawa yang tertangkap oleh Arya Gandamana. Prabu Drupada sendiri telah
memerintahkan jangan sampai ada pangeran Hastina yang terbunuh, cukup ditangkap
hidup-hidup saja.
Raden Suyudana melihat satu
persatu adiknya telah tertangkap oleh Arya Gandamana yang perkasa. Ia sendiri
bertarung melawan Prabu Drupada. Meskipun tubuhnya lebih gagah, tetapi Raden
Suyudana masih kalah pengalaman jika dibandingkan dengan sang raja Pancala.
Apalagi pikirannya sedang terpecah karena cemas melihat adik-adiknya
tertangkap. Akhirnya ia pun lengah dan terkena pukulan Prabu Drupada. Patih
Drestaketu segera maju dan mengikat tubuh Raden Suyudana.
PARA PANDAWA MENEMUI PRABU DRUPADA DAN ARYA GANDAMANA
Resi Druna kecewa melihat para
Kurawa telah gagal. Ia lalu memerintahkan para Pandawa untuk maju menghadapi
pihak Pancala. Para Pandawa pun mohon restu kemudian berangkat menjalankan tugas.
Raden Puntadewa dan adik-adiknya
berjalan kaki menemui Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Mereka berlima
menyembah hormat dan memanggil “paman” kepada kedua orang itu. Prabu Drupada
dan Arya Gandamana yang sangat menghormati mendiang Prabu Pandu tak kuasa
menahan haru. Mereka pun memeluk para Pandawa satu persatu bagaikan anak
sendiri.
Raden Puntadewa menjelaskan bahwa
kedatangan mereka kali ini sungguh serbasalah. Di satu sisi para Pandawa sangat
menghormati Prabu Pandu dan Arya Gandamana yang merupakan sahabat baik ayah
mereka, namun di sisi lain mereka tidak mampu menolak perintah guru. Raden
Puntadewa tidak tahu harus berbuat bagaimana, apakah tetap maju menghadapi orang
tua sendiri, ataukah mundur tanpa melakukan perlawanan.
Prabu Drupada menasihati para
Pandawa bahwa guru adalah orang tua kedua. Perintah guru sama nilainya dengan
perintah orang tua. Prabu Drupada dan Arya Gandamana pun menyatakan siap jika
harus berperang melawan para Pandawa. Dalam pertempuran nanti tidak ada paman,
tidak ada keponakan, yang ada hanyalah mana lawan, mana kawan. Para Pandawa
harus menjalankan darma sebagai murid yang berbakti, dan itu pasti akan membuat
ayah mereka bangga di alam baka.
PRABU DRUPADA MENYERAH KALAH TERHADAP PARA PANDAWA
Para Pandawa menerima nasihat
Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Raden Puntadewa lalu berkata bahwa
pertempuran ini terjadi karena dendam Resi Druna terhadap Prabu Drupada dan
Arya Gandamana. Untuk menghindari jatuh korban lebih banyak, sebaiknya Patih
Drestaketu dan para prajurit Pancala tidak perlu melibatkan diri. Cukup Prabu
Drupada dan Arya Gandamana saja yang bertanding melawan dua dari lima Pandawa. Prabu
Drupada setuju dan memuji kebijaksanaan Raden Puntadewa. Ia pun memerintahkan
Patih Drestaketu dan para prajurit untuk menonton di belakang saja.
Raden Bratasena dan Raden
Permadi meminta izin kepada Raden Puntadewa untuk maju lebih dulu menghadapi
Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Jika mereka nanti kalah, barulah sang kakak sulung
yang maju untuk bertanding. Raden Puntadewa berkata bahwa Pandawa Lima adalah
satu kesatuan. Jika Raden Bratasena dan Raden Permadi kalah, maka dirinya akan
ikut mengaku kalah pula.
Setelah mendapat restu dari
sang kakak, Raden Bratasena dan Raden Permadi pun maju ke depan. Prabu Drupada
menasihati kedua keponakannya itu agar bertanding dengan sungguh-sungguh,
jangan ada rasa segan sama sekali, karena ia dan Arya Gandamana pun tidak akan
bersikap segan pada mereka. Untuk sementara lupakan hubungan persaudaraan, dan
anggaplah ini pertarungan antara musuh bebuyutan.
Pertandingan pun dimulai.
Raden Bratasena menghadapi Arya Gandamana, sedangkan Raden Permadi menghadapi
Prabu Drupada. Kedua pertarungan itu berlangsung seru dan menegangkan. Setelah
matahari condong ke arah barat barulah Prabu Drupada dapat dipukul jatuh oleh
Raden Permadi. Ia pun menyatakan kalah dan bersedia dihadapkan kepada Resi
Druna.
Sementara itu, Arya Gandamana
dan Raden Bratasena masih bertarung imbang, tidak ada yang menang ataupun
kalah. Karena melihat Prabu Drupada telah mengaku kalah, Arya Gandamana pun
menghentikan pertandingan dan ikut mengaku kalah.
Prabu Drupada memerintahkan
Patih Drestaketu untuk membebaskan para Kurawa. Ia lalu menyerahkan diri kepada
Raden Puntadewa agar diikat sebagai bukti kemenangan para Pandawa. Raden
Puntadewa menolak, namun Prabu Drupada terus memaksa. Mau tidak mau, Raden
Puntadewa pun mengikat tangan Prabu Drupada dan juga tangan Arya Gandamana
menggunakan selendang.
RESI DRUNA MENGAMBIL SETENGAH WILAYAH KERAJAAN PANCALA
Resi Druna sangat gembira
melihat para Pandawa berhasil membawa Prabu Drupada dan Arya Gandamana dalam
keadaan terikat. Di belakang mereka tampak para Kurawa berjalan dengan wajah
tertunduk malu. Resi Druna lalu memerintahkan para Pandawa agar Prabu Drupada
dan Arya Gandamana digiring ke istana Pancala.
Sesampainya di istana Pancala,
Resi Druna segera duduk di atas takhta dengan sikap angkuh. Ia memerintahkan
agar ikatan Prabu Drupada dan Arya Gandamana dibuka. Arya Gandamana ingin maju
menghajar Resi Druna, tapi dicegah Prabu Drupada. Bagaimanapun juga mereka
telah mengaku kalah sehingga tidak pantas jika menjilat ludah sendiri.
Resi Druna bercerita kepada murid-muridnya
bahwa sejak kecil dirinya dan Prabu Drupada diasuh dan dididik oleh Resi
Baradwaja di negeri Atasangin. Saat itu Resi Druna masih bernama Bambang
Kumbayana, sedangkan Prabu Drupada masih bernama Raden Sucitra. Mereka berdua
bersahabat bagaikan saudara kandung yang selalu bersama dan selalu berbagi.
Mereka tidur di tikar yang sama, makan pun menggunakan piring yang sama.
Pada suatu hari Raden Sucitra
pamit pergi ke Tanah Jawa untuk mendapatkan kembali haknya sebagai putra Prabu
Drupara raja Duhyapura. Konon setelah Kerajaan Duhyapura runtuh diserang Prabu
Bahlika raja Siwandapura, seluruh harta pusaka dapat diselamatkan oleh Patih
Suganda. Kemudian Patih Suganda membangun Kerajaan Pancala dan menjadi raja,
bergelar Prabu Gandabayu. Berkat bantuan Prabu Pandu, Raden Sucitra berhasil
menjadi menantu Prabu Gandabayu, sekaligus menjadi raja Pancala yang
selanjutnya, bergelar Prabu Drupada.
Belasan tahun kemudian,
Bambang Kumbayana menyusul ke Tanah Jawa untuk mencari Raden Sucitra. Sungguh
bahagia perasaan Bambang Kumbayana melihat sahabatnya telah duduk di atas
takhta sebagai raja. Ia teringat bahwa sebelum berangkat mengembara, Raden
Sucitra pernah berjanji akan membagi dua setiap kemuliaan yang berhasil
didapatkannya. Namun demikian, Bambang Kumbayana mengaku tidak ingin menagih
janji itu, melainkan hanya meminta hadiah seekor sapi perah saja untuk anaknya
yang bernama Bambang Aswatama.
Akan tetapi, Prabu Drupada
dengan angkuh menyuruh Bambang Kumbayana pulang dan dirinya sanggup memberikan
sedekah berupa seratus ekor sapi. Hal ini membuat Bambang Kumbayana
tersinggung. Ia datang untuk meminta hadiah, bukan meminta sedekah. Ia pun
memaki Prabu Drupada sebagai sahabat yang tidak tahu diri, melupakan perjanjian
di masa lampau. Arya Gandamana yang tidak tahu-menahu duduk persoalannya
tiba-tiba saja menyerang Bambang Kumbayana dan membuatnya menjadi buruk rupa.
Demikianlah, Resi Druna
bercerita tentang awal mula permusuhannya dengan Prabu Drupada dan Arya
Gandamana. Itu semua terjadi karena Prabu Drupada mengingkari janji yang pernah
diucapkannya sendiri. Hari ini Resi Druna telah mewujudkan sumpahnya, yaitu
memiliki murid yang bisa mengalahkan Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Tidak
hanya itu, ia juga berhasil merebut takhta Kerajaan Pancala.
Namun demikian, Resi Druna mengaku
tidak akan pernah lupa terhadap janji lama. Oleh sebab itu, dengan sikap angkuh
ia memberikan setengah dari wilayah Kerajaan Pancala kepada Prabu Drupada.
Mulai hari ini, Prabu Drupada dan keluarganya tidak boleh lagi tinggal di
istana Pancala yang terletak di utara, tetapi harus pindah ke bagian selatan.
Prabu Drupada merasa sangat
terhina, tetapi sebagai pihak yang kalah ia hanya bisa menerima nasib. Ia lalu
pergi meninggalkan istana Pancala bersama istrinya, yaitu Dewi Gandawati, serta
Arya Gandamana dan Patih Drestaketu.
PRABU DRUPADA MEMBANGUN KERAJAAN CEMPALAREJA
Demikianlah, mulai hari itu
Kerajaan Pancala terbagi menjadi dua. Resi Druna berkuasa di bagian utara,
namun ia tidak mau tinggal di istana dan merasa lebih nyaman hidup di Padepokan
Sokalima. Sementara itu, Prabu Drupada berkuasa di bagian selatan, dan
membangun istana baru di Desa Cempala. Sejak saat itu, Kerajaan Pancala Selatan
dikenal pula dengan sebutan Kerajaan Cempalareja.
Sejak peristiwa kekalahannya,
Prabu Drupada selalu dirundung duka. Ia menyesal tidak mampu menjaga warisan
sang mertua dengan baik, sehingga setengah dari wilayah Kerajaan Pancala kini
menjadi milik Resi Druna. Ia juga merasa iri melihat Resi Druna memiliki seorang
putra dan seratus lima murid, yang semuanya patuh dan tunduk terhadap
perintahnya. Sementara itu, ia sendiri tidak memiliki anak sama sekali karena
Dewi Gandawati mandul.
Dewi Gandawati yang mengetahui
kesedihan sang suami mengaku rela jika Prabu Drupada menikah lagi. Namun, Prabu
Drupada menolak karena tidak ingin menduakan cintanya kepada istrinya itu. Ia
lalu memutuskan untuk pergi bertapa saja, agar bisa memiliki putra yang bisa
membalaskan sakit hatinya kepada Resi Druna, tanpa harus menikah lagi.
KELAHIRAN DEWI DRUPADI, DEWI SRIKANDI, DAN RADEN DRESTAJUMENA
Prabu Drupada pun mulai bertapa
di Hutan Jatirokeh dengan ditemani Patih Drestaketu. Untuk sementara, pemerintahan
di istana diwakili oleh Arya Gandamana. Setelah empat puluh hari bersamadi,
tiba-tiba datang dua orang pendeta kembar membangunkan Prabu Drupada. Kedua
pendeta itu bernama Resi Yodya dan Resi Upayodya.
Prabu Drupada memberi hormat
kepada mereka. Kedua pendeta kembar itu mengaku telah mendapat petunjuk dari
Batara Guru agar membantu Prabu Drupada mendapatkan keturunan. Prabu Drupada
merasa senang dan berterima kasih atas hal ini.
Resi Yodya dan Resi Upayodya
lalu mengadakan sesaji api. Mereka duduk bersila membaca mantra sambil
menghadap api unggun yang menyala berkobar-kobar. Api unggun itu kemudian
menyerap saripati benih dari tubuh Prabu Drupada. Atas izin Yang Mahakuasa,
tiba-tiba dari dalam kobaran api muncul seorang gadis cantik berusia sekitar
dua puluh tahun.
Prabu Drupada menyambut gadis cantik
itu yang tidak lain berasal dari saripati benihnya sendiri. Ia pun memberikan
nama yang mirip dengan dirinya, yaitu Dewi Drupadi. Namun demikian, ia masih
belum puas jika hanya memiliki seorang putri saja. Ia pun meminta Resi Yodya
dan Resi Upayodya agar melanjutkan sesaji.
Kedua resi itu kembali membaca
mantra. Api unggun pun berkobar lagi dan menyerap saripati benih Prabu Drupada.
Tidak lama kemudian muncul seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun
yang keluar dari dalam kobaran api. Resi Yodya menjelaskan bahwa putri yang
kedua ini bersifat seperti laki-laki dan kelak akan menjadi seorang perwira tangguh.
Prabu Drupada menerima gadis itu
sebagai putri keduanya. Karena ia bersifat “kandi”, maka gadis itu pun diberi
nama Dewi Srikandi. Namun demikian, Prabu Drupada masih belum puas. Ia ingin
memiliki anak lagi yang benar-benar laki-laki, bukannya wanita yang bersifat kelaki-lakian.
Resi Yodya dan Resi Upayodya
kembali membaca mantra. Api unggun pun berkobar lagi dan menyerap saripati
benih Prabu Drupada. Kali ini dari dalam kobaran api keluar seorang pemuda
tampan berusia sekitar enam belas tahun.
Prabu Drupada sangat senang
karena akhirnya bisa memiliki seorang anak laki-laki. Ia pun memberi nama
putranya itu Raden Drestajumena, sebagai penghormatan untuk Patih Drestaketu
yang selama ini setia melayani dan menjaga dirinya bertapa.
Demikianlah, Resi Yodya dan
Resi Upayodya lalu mohon pamit kepada Prabu Drupada. Dalam sekejap mereka berdua
pun menghilang dalam lebatnya hutan.
RADEN DRESTAJUMENA MENJADI MURID RESI DRUNA
Prabu Drupada dan keluarga
barunya telah kembali ke istana Pancala. Dewi Gandawati dan Arya Gandamana
menyambut kedatangan mereka dengan perasaan haru dan bahagia. Hari itu Arya
Gandamana ingin meminta izin kepada Prabu Drupada untuk membalas dendam kepada
Resi Druna. Namun, Prabu Drupada melarangnya pergi. Ia menjelaskan bahwa Resi
Druna telah mempermalukan dirinya menggunakan para murid, maka ia akan membalas
dendam dengan cara yang sama.
Untuk itu, Prabu Drupada pun berniat
menjadikan Raden Drestajumena sebagai murid Resi Druna. Kelak, setelah Raden
Drestajumena pandai, Prabu Drupada akan menjadikan putra bungsunya itu sebagai
musuh Resi Druna. Dengan demikian, Resi Druna akan mengalami penghinaan karena
dikalahkan oleh muridnya sendiri.
Demikianlah, Prabu Drupada lalu
mengantarkan Raden Drestajumena ke Padepokan Sokalima. Resi Druna menyambut
kedatangan mereka dengan perasaan gembira. Prabu Drupada pura-pura mengajak
Resi Druna kembali bersahabat seperti dulu lagi. Resi Druna sangat senang dan
berangkulan dengan Prabu Drupada.
Karena hubungan mereka sudah
kembali baik, Prabu Drupada pun meminta Resi Druna agar bersedia menerima putranya
yang bernama Raden Drestajumena sebagai murid. Resi Druna mengabulkan
permintaan itu dengan senang hati. Lagipula Adipati Dretarastra sudah mengizinkan
Padepokan Sokalima menjadi tempat pendidikan umum, yaitu Resi Druna boleh menerima
murid lain setelah para Pandawa dan Kurawa lulus. Namun demikian, Adipati
Dretarastra mengajukan syarat bahwa semua murid Padepokan Sokalima harus
bersedia menjadi sekutu Kerajaan Hastina.
Prabu Drupada menyatakan
setuju. Ia berjanji bahwa Kerajaan Pancala Selatan bersedia menjadi sekutu
Kerajaan Hastina seperti dulu lagi. Akan tetapi, apabila kelak terjadi sebuah
peristiwa yang menghina wibawa Pancala, maka persekutuan ini dinyatakan batal.
Resi Druna setuju. Maka, sejak hari itu Raden Drestajumena pun resmi menjadi
murid Resi Druna.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
CATATAN : Kisah para Pandawa dan Kurawa menyerang Kerajaan Pancala ini
menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada
tahun Suryasengakala 690 yang ditandai dengan sengkalan “Tanpa gatra retuning
barakan”, atau tahun Candrasengkala 711 yang ditandai dengan sengkalan “Rupa
janma saswareng wiyat”.
sumber buku atau literatur tentang cerita pewayangan ini bisa saya lihat dimana ya ? trims..
BalasHapusTerimakasih atas tulisan2nya. Benar2 indah karya sastra masa lalu.
BalasHapus