Kisah ini menceritakan Prabu Jalasengara raja Pringgala menyerang
Kerajaan Hastina, yang dilanjutkan dengan peristiwa pembakaran Balai
Sigala-gala yang dilakukan Patih Sangkuni dan para Kurawa untuk membunuh para
Pandawa dan Dewi Kunti.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabharata karya Resi Wyasa yang
dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 21 Agustus 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Raden Bratasena dan Raden Puntadewa |
RADEN PUNTADEWA DILANTIK SEBAGAI PANGERAN MAHKOTA
Adipati Dretarastra di
Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri oleh Resiwara Bisma, Dewi
Gandari, Raden Yamawidura, Patih Sangkuni, Resi Druna, dan Resi Krepa. Hari itu
mereka membahas tentang keberhasilan para Pandawa dalam menangkap Prabu Drupada
dan Arya Gandamana di Kerajaan Pancala. Kini, setengah dari wilayah Kerajaan
Pancala telah menjadi milik Resi Druna yang disatukan dengan Padepokan Sokalima.
Sementara itu, Prabu Drupada pindah ke Pancala bagian selatan dan mendirikan
negara baru bernama Kerajaan Cempalareja.
Sesuai dengan kesepakatan di
awal, barangsiapa bisa menangkap Prabu Drupada dan Arya Gandamana, berhak menjadi
ahli waris takhta Kerajaan Hastina. Maka, pada hari itu Adipati Dretarastra
dengan berat hati melantik Raden Puntadewa sebagai pangeran mahkota. Dalam hati
ia sangat kecewa karena bukan putra-putranya yang berhasil menaklukkan Kerajaan
Pancala.
PRABU JALASENGARA MENANTANG RAJA HASTINA
Setelah upacara pelantikan
selesai, tiba-tiba Raden Suyudana datang menghadap untuk menyampaikan surat yang
dikirim Prabu Jalasengara, raja negeri Pringgala. Raden Yamawidura mewakili
Adipati Dretarastra menerima surat itu dan membaca isinya yang ternyata berisi
tantangan untuk raja Hastina. Dalam surat tersebut Prabu Jalasengara ingin
menjadikan Hastina sebagai negeri jajahan Pringgala, baik itu secara damai
ataupun dipaksa dengan cara kekerasan.
Adipati Dretarastra marah
mendengar isi surat tersebut. Ia pun memerintahkan Patih Sangkuni untuk
mempersiapkan pasukan guna menghadapi musuh dari Kerajaan Pringgala tersebut.
Raden Suyudana mengajukan diri sebagai senapati demi melindungi negara. Namun,
Patih Sangkuni mengusulkan agar Raden Puntadewa saja yang memimpin pertempuran.
Tentu ini menjadi kesempatan baginya sebagai calon raja untuk membuktikan apakah
mampu melindungi Kerajaan Hastina.
Raden Yamawidura melarang
Raden Puntadewa pergi berperang karena ia paham Patih Sangkuni pasti berniat
mencelakakan keponakannya itu. Namun, Patih Sangkuni menuduh Raden Yamawidura
berburuk sangka kepadanya. Ia berpendapat bahwa seorang calon raja harus bisa
melindungi negara dari ancaman musuh, bukannya malah enak-enakan tinggal di
istana minta dilindungi.
Raden Yamawidura berkata bahwa
Raden Puntadewa tidak perlu membuktikan diri lagi, karena dia sudah terbukti
mampu menaklukkan Kerajaan Pancala beberapa waktu yang lalu. Patih Sangkuni
menjawab memang benar Raden Puntadewa berhasil menaklukkan Kerajaan Pancala,
tetapi yang ia pimpin saat itu hanyalah adik-adiknya yang berjumlah empat orang
saja. Kali ini jelas beda, karena ia harus membuktikan diri apakah mampu memimpin
bala tentara yang berjumlah ribuan orang.
Raden Puntadewa menyetujui
pendapat Patih Sangkuni. Ia lalu meminta Adipati Dretarastra agar menunjuk dirinya
sebagai senapati menghadapi Prabu Jalasengara. Adipati Dretarastra setuju. Raden
Puntadewa pun diangkat sebagai senapati, sedangkan Raden Suyudana sebagai
wakilnya. Setelah mendapat restu, mereka berdua segera keluar mempersiapkan
pasukan.
PATIH SANGKUNI MERENCANAKAN KEMATIAN PARA PANDAWA
Setelah Adipati Dretarastra membubarkan
pertemuan, Patih Sangkuni didampingi Bambang Aswatama (putra Resi Druna)
menemui para Kurawa yang menunggu di paseban luar. Raden Suyudana bertanya
mengapa tadi Patih Sangkuni mencegah dirinya menjadi senapati, tetapi justru
mengusulkan Raden Puntadewa saja yang memimpin pasukan. Bukankah ini justru
memberi peluang kepada para Pandawa untuk semakin disukai rakyat apabila mereka
nanti berhasil memenangkan pertempuran?
Patih Sangkuni menjelaskan bahwa
mata-matanya telah menyelidiki siapa itu Prabu Jalasengara dari Pringgala. Konon
Prabu Jalasengara memiliki kesaktian tinggi dan banyak mengalahkan raja-raja
lain di seberang lautan. Kini ia berniat menaklukkan Kerajaan Hastina yang
merupakan negeri terbesar di Tanah Jawa. Patih Sangkuni merasa ini adalah
kesempatan untuk menyingkirkan Raden Puntadewa beserta para Pandawa lainnya.
Mereka berlima pasti menemui ajal di tangan Prabu Jalasengara. Dengan demikian,
Raden Suyudana memiliki peluang besar untuk dilantik sebagai pangeran mahkota
yang baru.
Raden Durmagati tidak yakin
para Pandawa akan binasa di tangan Prabu Jalasengara. Justru ia berpendapat raja
Pringgala itulah yang akan tewas di Kerajaan Hastina. Patih Sangkuni menjawab
bahwa itu hanyalah rencana pertamanya saja. Jika sampai para Pandawa berhasil
mengalahkan Prabu Jalasengara, ia mengaku masih memiliki rencana kedua yang
saat ini belum bisa dibicarakan.
Raden Suyudana dapat menerima
penjelasan sang paman. Ia lalu memerintahkan adik-adiknya, yaitu Raden Dursasana,
Raden Surtayu, Raden Durmagati, Raden Kartawarma, Raden Citraksa, dan Raden
Citraksi untuk menyiagakan pasukan, pura-pura berada di bawah perintah Raden
Puntadewa.
PARA PANDAWA MENUMPAS PASUKAN PRINGGALA
Sementara itu, Prabu
Jalasengara telah mengerahkan pasukan Pringgala untuk menyerang, dengan
didampingi Patih Purotama dan Tumenggung Purocana. Tidak lama kemudian mereka pun
berhadapan dengan pasukan Hastina yang dipimpin oleh Raden Puntadewa.
Raden Bratasena (Bima) dan
Raden Permadi (Arjuna) meminta izin kepada Raden Puntadewa untuk maju ke garis
depan. Raden Puntadewa merestui kedua adiknya itu. Raden Bratasena lalu
menyerang Prabu Jalasengara, sedangkan Raden Permadi menyerang Patih Purotama.
Pertempuran pun meletus di
antara kedua pihak. Raden Permadi berhasil menewaskan Patih Purotama, sedangkan
Raden Bratasena masih sibuk bertarung melawan Prabu Jalasengara. Ternyata Prabu
Jalasengara memang memiliki kesaktian tinggi, sehingga tidak percuma ia berani
menantang Kerajaan Hastina. Setelah matahari condong ke barat, barulah Raden
Bratasena berhasil membunuh raja dari Pringgala tersebut dengan susah payah.
PATIH SANGKUNI BERENCANA MEMBAKAR PARA PANDAWA
Sementara itu, Tumenggung Purocana
ketakutan melihat raja dan patihnya tewas. Ia berniat melarikan diri tetapi
tertangkap oleh Raden Suyudana dan Raden Dursasana. Kepada kedua Kurawa itu ia
memohon ampun dan meminta agar dirinya jangan dibunuh. Patih Sangkuni muncul dan
bertanya apa keuntungannya jika Tumenggung Purocana diampuni. Tumenggung Purocana
menjawab bahwa dirinya ahli dalam membuat bangunan istana dari bahan apa saja.
Ia berjanji akan membangun sebuah istana dari emas permata untuk Raden
Suyudana.
Patih Sangkuni tidak tertarik
pada istana emas permata. Ia berjanji akan mengampuni Tumenggung Purocana apabila
mampu membangun sebuah istana dari bahan-bahan yang mudah terbakar di daerah Waranawata,
sebelah selatan ibukota Kerajaan Hastina. Tumenggung Purocana menjawab sanggup dan
segera mohon pamit untuk melaksanakan tugas tersebut, di bawah pengawasan Raden
Dursasana.
Patih Sangkuni lalu berkata
kepada Raden Suyudana agar mulai hari ini pura-pura bersikap baik kepada Raden
Puntadewa. Atas kemenangan terhadap Prabu Jalasengara tadi, Raden Suyudana
hendaknya menghadiahkan istana buatan Tumenggung Purocana kepada para Pandawa.
Begitu menghuni istana tersebut, para Pandawa akan dibakar hidup-hidup di
dalamnya seolah mereka mati kecelakaan. Dengan demikian, para Kurawa dapat berkuasa
di Kerajaan Hastina tanpa harus dipersalahkan oleh Resiwara Bisma dan Raden
Yamawidura.
Raden Suyudana bertanya
bagaimana dengan Dewi Kunti yang selalu menemani anak-anaknya. Apabila para
Pandawa dibakar di dalam istana Waranawata, bisa-bisa Dewi Kunti juga ikut
terbakar. Dalam hal ini Raden Suyudana merasa tidak tega karena Dewi Kunti
selalu menyayangi para Kurawa tidak beda dengan para Pandawa. Patih Sangkuni
menjawab Dewi Kunti memang sangat baik dan welas asih. Untuk itu, lebih baik
dia ikut mati bersama para Pandawa daripada hidup menderita karena berpisah
dengan anak-anaknya. Jika sampai Dewi Kunti hidup sendiri tentu akan sangat
menderita dan bisa-bisa menyusul bunuh diri.
Raden Suyudana akhirnya dapat menerima
siasat sang paman yang keji itu. Ia pun berjanji akan menyimpan rapat-rapat
rahasia ini sampai kelak waktunya tiba.
RADEN SUYUDANA MEMPERSEMBAHKAN ISTANA UNTUK PARA PANDAWA
Satu bulan kemudian Raden
Dursasana mengirim laporan kepada Patih Sangkuni dan Raden Suyudana bahwa Tumenggung
Purocana telah selesai membangun istana di Waranawata. Istana itu terbuat dari
bahan-bahan yang mudah terbakar, antara lain kayu kering, lilin, sendawa, damarsela,
belerang, dan juga minyak gala-gala. Tumenggung Purocana menyebut istana
buatannya itu dengan nama Balai Sigala-gala.
Patih Sangkuni memuji
kehebatan Tumenggung Purocana yang mampu menyelesaikan tugasnya dalam waktu
satu bulan. Ia pun membalas laporan Raden Dursasana agar Tumenggung Purocana
tetap ditahan di Waranawata jangan boleh pergi dulu. Patih Sangkuni berjanji
akan memberikan hadiah yang lebih besar setelah para Pandawa tewas.
Patih Sangkuni lalu memberi tahu
Raden Suyudana bahwa rencana jahatnya sudah bisa dilaksanakan. Raden Suyudana segera
berangkat menemui Raden Puntadewa. Setelah bertemu sepupunya itu, Raden
Suyudana pura-pura meminta maaf karena selama ini para Kurawa sering berlaku
jahat kepada para Pandawa. Kini ia sadar bahwa takhta Kerajaan Hastina memang
hak milik Raden Puntadewa. Ia berjanji mulai hari ini semua Kurawa akan patuh
terhadap perintah Raden Puntadewa. Sebagai bukti ketulusan hatinya, Raden
Suyudana pun mempersembahkan sebuah istana indah di Waranawata sebagai tempat
para Pandawa dan Dewi Kunti bertamasya.
Raden Puntadewa berterima kasih
atas niat baik Raden Suyudana namun ia tidak dapat menerima pemberian istana
tersebut. Raden Suyudana terus mendesak dengan mengatakan bahwa pemandangan di
Kota Waranawata sangat indah. Para Pandawa sudah berjasa menaklukkan Prabu
Drupada, Arya Gandamana, dan Prabu Jalasengara sehingga pantas mendapatkan libur
beberapa hari untuk bertamasya dan beristirahat di istana Waranawata. Jika
sampai Raden Puntadewa menolak pemberian ini maka itu akan sangat mengecewakan
Raden Suyudana yang sudah berniat tulus ingin memperbaiki hubungan.
Raden Puntadewa yang pada
dasarnya selalu berprasangka baik akhirnya menerima pemberian istana itu tanpa curiga
sedikit pun. Ia bersedia menempati istana di Waranawata tersebut dan balik
mengundang Raden Suyudana untuk ikut tamasya bersama. Raden Suyudana setuju dan
menentukan pada bulan purnama nanti dirinya akan menemani para Pandawa dan Dewi
Kunti pergi ke Waranawata.
RADEN PUNTADEWA MENANGKAP PESAN RAHASIA DARI RADEN YAMAWIDURA
Raden Yamawidura telah
mendengar berita bahwa Raden Suyudana tiba-tiba berubah baik kepada para
Pandawa dan mempersembahkan hadiah berupa istana di Waranawata. Karena curiga,
ia pun mengirimkan pembantunya yang bernama Arya Jayasemedi untuk tugas rahasia
menyelidiki istana tersebut. Setelah mengamati dengan seksama tanpa ketahuan,
Arya Jayasemedi segera mengirim laporan kepada Raden Yamawidura bahwa istana di
Waranawata itu terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar.
Raden Yamawidura menyimpulkan
bahwa Raden Suyudana berniat membakar para Pandawa dan Dewi Kunti. Sayang
sekali, Raden Puntadewa sudah terlanjur menerima hadiah tersebut, sehingga
Raden Yamawidura tidak dapat membatalkannya. Namun demikian, pada hari ketika
para Pandawa dan Dewi Kunti berpamitan kepada Adipati Dretarastra sekeluarga,
Raden Yamawidura sempat menyampaikan pesan rahasia, yaitu tentang hewan tikus yang
mampu menyelamatkan diri dengan memasuki lorong bawah tanah apabila terjadi
kebakaran rumah. Para Pandawa tidak memahami maksud perkataan Raden Yamawidura
itu, kecuali Raden Puntadewa. Diam-diam Raden Puntadewa dapat membaca pesan
dari sang paman, bahwa para Kurawa berniat membakar istana Waranawata.
RADEN YAMAWIDURA MEMINTA BANTUAN RESI GUNABANTALA
Setelah para Pandawa dan Dewi
Kunti berangkat menuju Kota Waranawata, diam-diam Raden Yamawidura pergi pula ditemani
para panakawan menuju tempat tinggal mertuanya, yaitu Resi Gunabantala di
Padepokan Argakumelun. Kepada sang mertua, Raden Yamawidura menceritakan
tentang rencana para Kurawa yang ingin membakar para Pandawa dan ibu mereka di
istana Waranawata. Untuk itu, ia pun memohon kepada Resi Gunabantala agar
menyelamatkan para Pandawa dan Dewi Kunti sebagaimana dulu mertuanya itu pernah
menyelamatkan Arya Gandamana saat dijebak Arya Suman (Patih Sangkuni) di dalam
sumur upas.
Resi Gunabantala menyanggupi
permintaan sang menantu. Ia pun mengheningkan cipta dan seketika wujudnya
berubah menjadi seekor landak putih. Dengan cekatan hewan landak tersebut
segera menggali terowongan bawah tanah menuju ke arah istana Waranawata berada.
TUMENGGUNG PUROCANA MENYEMBUNYIKAN JANDA BERANAK LIMA
Sementara itu di istana
Waranawata, Tumenggung Purocana didatangi janda miskin bernama Nyai Bilasa yang
meminta sedekah. Janda miskin tersebut memiliki lima anak laki-laki yang ikut
mengemis bersamanya. Meskipun seorang gelandangan, namun Nyai Bilasa memiliki
paras cantik dan berkulit hitam manis, membuat Tumenggung Purocana tertarik kepadanya.
Tumenggung Purocana pun berterus
terang ingin menikahi Nyai Bilasa setelah dirinya mendapat hadiah dari Patih
Sangkuni kelak. Ia lalu menyuruh janda miskin itu bersama kelima anaknya untuk bersembunyi
di dapur istana. Mereka boleh makan dan minum sepuasnya, tetapi jangan sampai
ketahuan para Kurawa dan Patih Sangkuni. Nyai Bilasa dengan senang hati
bersedia menjadi istri Tumenggung Purocana. Dalam hati ia membayangkan bahwa
sebentar lagi derajatnya akan meningkat luar biasa, dari seorang pengemis
menjadi istri pejabat.
PATIH SANGKUNI MENGAJAK PARA PANDAWA BERPESTA
Para Pandawa dan Dewi Kunti
ditemani Patih Sangkuni dan Raden Suyudana telah tiba di istana Waranawata. Mereka
disambut Raden Dursasana dan Tumenggung Purocana yang telah berada di situ
sejak awal pembangunan. Melihat keindahan istana yang dibangun Tumenggung Purocana
hanya dalam waktu satu bulan tersebut membuat mereka merasa sangat takjub.
Malam harinya, Patih Sangkuni
mengajak para Pandawa berpesta pora. Ia menghadirkan para penari serta berbagai
macam makanan dan minuman untuk menjamu para Pandawa, sebagai hadiah atas
kemenangan mereka menumpas Prabu Jalasengara. Dewi Kunti tidak menyukai acara
tersebut dan memilih masuk ke kamar dengan ditemani si kembar Raden Nakula dan
Raden Sadewa.
Patih Sangkuni lalu mengajak
Raden Puntadewa bermain dadu untuk menikmati indahnya malam. Raden Puntadewa
mengaku tidak bisa sama sekali. Patih Sangkuni sanggup mengajarinya. Pada
dasarnya Raden Puntadewa sangat cerdas, sehingga hanya belajar sebentar saja ia
langsung paham.
Patih Sangkuni memulai
permainan dadu sambil mengajak minum-minuman keras. Raden Puntadewa bersedia
bermain, namun memilih minuman jenis lain yang tidak memabukkan. Raden
Bratasena dan Raden Permadi juga demikian.
Demikianlah, Patih Sangkuni
didampingi Raden Suyudana dan Raden Dursasana bermain dadu melawan Raden
Puntadewa yang didampingi Raden Bratasena dan Raden Permadi. Mereka bermain
sampai beberapa putaran sambil menikmati makanan dan minuman. Setelah lewat
tengah malam, para Pandawa belum juga mengantuk, justru Raden Suyudana dan
Raden Dursasana yang mulai mabuk akibat pengaruh minuman keras.
Patih Sangkuni gelisah karena
rencana membakar istana Waranawata bisa gagal jika para Pandawa tidak segera
tidur. Raden Puntadewa menyadari kegelisahan Patih Sangkuni itu. Ia pun
pura-pura mengantuk. Merasa mendapat peluang, Patih Sangkuni segera menyudahi
permainan dan mempersilakan para Pandawa untuk beristirahat di kamar.
PEMBAKARAN BALAI SIGALA-GALA
Setelah ketiga Pandawa masuk
ke kamar, Patih Sangkuni dengan susah payah membangunkan Raden Suyudana dan
Raden Dursasana. Mereka bertiga lalu keluar istana dan memulai pembakaran. Pada
dasarnya istana Waranawata terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar,
sehingga dalam sekejap saja api sudah membumbung tinggi dan berkobar
menyala-nyala.
Tumenggung Purocana datang
menemui Patih Sangkuni untuk menagih bayaran. Patih Sangkuni menjawab bahwa
bayaran Tumenggung Purocana ada di dalam istana. Ia lalu memberi isyarat kepada
Raden Dursasana. Tanpa ampun, Raden Dursasana pun menangkap Tumenggung Purocana,
kemudian melemparkan tubuhnya ke dalam kobaran api.
Demikianlah, Patih Sangkuni
telah melenyapkan saksi mata pembakaran Balai Sigala-Gala seolah-olah dia ikut
mati terbakar bersama para Pandawa dan Dewi Kunti.
LANDAK PUTIH MENYELAMATKAN PARA PANDAWA DAN DEWI KUNTI
Ketika masuk ke dalam kamar
tadi, Raden Puntadewa segera membangunkan Dewi Kunti dan si kembar agar mereka bersiaga.
Begitu kebakaran terjadi, Raden Bratasena yang perkasa langsung menyambar ibu
dan saudara-saudaranya untuk menyelamatkan diri. Dewi Kunti dipangul di pundak,
Raden Puntadewa dan Raden Permadi digendong menggunakan lengan kanan, sedangkan
si kembar digendong menggunakan lengan kiri. Raden Bratasena lalu berlari ke
sana kemari dan sesekali melompat menghindari puing-puing bangunan yang berjatuhan
karena dimakan api.
Api berkobar semakin besar. Si
kembar mulai menangis ketakutan, sedangkan Raden Puntadewa tetap berdoa dengan
penuh keyakinan bahwa bantuan yang dikirim Raden Yamawidura pasti segera datang.
Benar juga, ketika jalan keluar sudah buntu dan hawa semakin panas, tiba-tiba
muncul seekor landak putih yang bisa berbicara dari dalam tanah. Raden
Bratasena teringat bahwa landak putih ini dulu pernah menolong Arya Gandamana
saat terkubur di dalam sumur upas. Tanpa pikir panjang ia pun mengikuti landak
putih tersebut terjun ke dalam terowongan bawah tanah sambil tetap menggendong
ibu dan keempat saudaranya.
Pagi harinya, Balai
Sigala-gala tinggal puing-puingnya saja. Patih Sangkuni, Raden Suyudana, dan
Raden Dursasana menemukan mayat Tumenggung Purocana telah hangus menjadi arang.
Mereka juga menemukan mayat seorang wanita dan lima laki-laki yang telah rusak
dan tidak dapat dikenali lagi, berserakan di ruang dapur. Raden Suyudana dan
Raden Dursasana pun bersorak-sorak karena yakin itu adalah mayat Dewi Kunti dan
para Pandawa. Namun demikian, Patih Sangkuni menyuruh mereka pura-pura bersedih
jika nanti melapor kepada Adipati Dretarastra di istana. Mereka harus mengarang
cerita bahwa kebakaran ini terjadi akibat Raden Bratasena ceroboh menyenggol
lampu minyak sehingga jatuh dan membakar dinding istana.
DEWI KUNTI DAN PARA PANDAWA MENOLAK PULANG KE HASTINA
Sementara itu, Raden Bratasena
(sambil menggendong ibu dan saudara-saudaranya) masih berlari menelusuri
terowongan bawah tanah mengikuti si landak putih. Setelah berlari lumayan jauh,
mereka akhirnya sampai di permukaan, di mana Raden Yamawidura dan para panakawan
telah menunggu.
Raden Yamawidura terharu dan
bersyukur melihat kakak ipar dan para keponakannya selamat dari kebakaran.
Namun demikian, Dewi Kunti menolak saat diajak kembali ke Kerajaan Hastina.
Dewi Kunti adalah janda Prabu Pandu tetapi hidupnya dianiaya oleh Adipati
Dretarastra sekeluarga. Meskipun Raden Yamawidura berniat menuntut keadilan
untuk menghukum para Kurawa, tetap saja Adipati Dretarastra akan membela
anak-anaknya itu. Maka, Dewi Kunti lebih baik mengajak para Pandawa hidup berkelana
daripada tinggal di istana dengan perasaan tersiksa. Para Pandawa pun
menyetujui keinginan sang ibu. Mereka menolak ikut sang paman pulang ke istana
Hastina.
Raden Yamawidura dapat
memahami perasaan kakak iparnya. Ia merasa ada baiknya para Pandawa pergi
berkelana karena ini akan menambah pengalaman hidup bagi mereka. Untuk
sementara ini, biarlah para Kurawa berpesta pora mengira para Pandawa dan Dewi
Kunti telah meninggal dunia.
Dewi Kunti dan para Pandawa
lalu berpamitan kepada Resi Gunabantala dan Raden Yamawidura. Tidak lupa mereka
berterima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan. Raden Yamawidura lalu
meminta Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong agar menemani kepergian
para Pandawa dan Dewi Kunti. Para panakawan itu mematuhi dan ikut pergi
berkelana bersama mereka.
PERKAWINAN RADEN BRATASENA DENGAN DEWI NAGAGINI
Dewi Kunti dan para Pandawa
kini memulai hidup sebagai pengembara. Di tengah jalan tiba-tiba mereka merasa dunia seperti berputar kencang dan tahu-tahu tubuh mereka sudah berada di dalam sebuah istana megah. Di dalam istana itu tampak seorang dewa yang menyambut kedatangan mereka dengan ramah.
Kyai Semar mengenali dewa tersebut tidak lain adalah
Batara Anantaboga, sedangkan istana megah yang menjadi tempat tinggalnya adalah
Kahyangan Saptapratala. Batara Anantaboga meminta maaf
telah membawa mereka semua masuk ke dalam istananya yang terletak di bawah tanah menggunakan Aji Pameling. Ini semua
karena permintaan putrinya yang bernama Dewi Nagagini. Tadi malam Dewi Nagagini
bermimpi menikah dengan Raden Bratasena dan ketika bangun, ia mohon pamit
kepada sang ayah untuk pergi mencari pangeran gagah tersebut. Namun, Batara
Anantaboga melarang putrinya itu pergi dan ia sanggup mendatangkan Raden Bratasena beserta seluruh keluarganya di Kahyangan Saptapratala.
Melihat Dewi Nagagini yang
cantik jelita ingin menjadi istrinya, Raden Bratasena merasa tidak keberatan.
Namun, ia segan kepada sang kakak sulung, yaitu Raden Puntadewa jika dirinya menikah
lebih dulu. Raden Puntadewa menjawab tidak masalah jika Raden Bratasena mendahului
dirinya berumah tangga. Kelahiran atau perjodohan sudah menjadi suratan takdir Sang
Pencipta. Seseorang yang lahir lebih dulu belum tentu bertemu jodohnya lebih
dulu. Jika ada seorang adik sudah dianggap mampu dan siap untuk berumah tangga,
maka sang kakak sebaiknya mendukung, bukannya menghalangi dengan berbagai macam
alasan.
Batara Anantaboga memuji sifat
luhur Raden Puntadewa. Ia lalu menikahkan Raden Bratasena dan Dewi Nagagini dengan
upacara sederhana di Kahyangan Saptapratala.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
CATATAN : Kisah Prabu Jalasengara menyerang Kerajaan Hastina,
pembakaran Balai Sigala-gala, serta perkawinan Raden Bratasena dengan Dewi Nagagini
menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada
tahun Suryasengakala 692 yang ditandai dengan sengkalan “Sikaraning Rudra
angrasa barakan”, atau tahun Candrasengkala 713 yang ditandai dengan sengkalan
“Geni sawukir sirna”.
trimakasih Bapak Empu Heri yang berhasil menyusun kisah wayang sedemikian lengkap. Mohon ijin untuk mengkopi kisahnya. untuk saya kompilasi. Untuk warisan kepada anak cucu. Saya penggemar cerita wayang jawa, dan pagelaran wayang kulit. Saya sangat suka wayang kulit gagrak jogjakarta.
BalasHapusMantap saya suka sekali membacanya, salam dari kediri
BalasHapussemok mantab
BalasHapusBagus
BalasHapusBagus
BalasHapusMantap,Terimakasih
BalasHapusBagus 🥰
BalasHapusjoss saya suka sekali
BalasHapus