Sabtu, 27 Agustus 2016

Bima Bothok



Kisah ini menceritakan pelantikan Raden Suyudana sebagai pangeran mahkota Kerajaan Hastina, bergelar Raden Kurupati. Juga dikisahkan awal mula Raden Yamawidura menjadi adipati di Pagombakan. Kisah pun ditutup dengan pertarungan antara Raden Bratasena dengan raja raksasa pemakan daging manusia, yaitu Prabu Baka raja Ekacakra.

Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, dengan sedikit pengembangan seperlunya.

Kediri, 27 Agustus 2016

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Raden Bratasena menyamar sebagai Wasi Balawa

RADEN SUYUDANA DILANTIK SEBAGAI PANGERAN MAHKOTA

Adipati Dretarastra di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri Raden Yamawidura, Resi Druna, Resi Krepa, Patih Sangkuni, Dewi Gandari, dan juga Raden Suyudana. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang para Pandawa dan Dewi Kunti yang dinyatakan meninggal dalam kebakaran di istana Waranawata. Adipati Dretarastra dalam hati merasa sedih bercampur senang. Ia sedih karena kehilangan lima keponakan dan adik ipar, namun juga senang karena anaknya memiliki peluang untuk menjadi raja di Hastina.

Satu-satunya orang yang mengetahui bahwa para Pandawa dan Dewi Kunti masih hidup hanyalah Raden Yamawidura. Namun, ia terlanjur berjanji akan menyimpan rahasia ini karena Dewi Kunti sudah tidak ingin kembali ke Kerajaan Hastina. Itulah sebabnya ia tidak memberi tahu siapa pun, termasuk kepada Resiwara Bisma. Sejak peristiwa kematian para Pandawa dan Dewi Kunti diumumkan, Resiwara Bisma sangat berduka dan mengurung diri dalam Padepokan Talkanda. Ia pun bersamadi dalam kamar gelap tanpa penerangan sama sekali, seolah tiada semangat untuk melihat matahari lagi.

Dalam pertemuan di istana Hastina tersebut, Patih Sangkuni mengusulkan agar Adipati Dretarastra segera mengangkat pangeran mahkota yang baru untuk menggantikan Raden Puntadewa yang telah meninggal. Bagaimanapun juga Adipati Dretarastra hanyalah raja wakil yang menggantikan mendiang Prabu Pandu untuk sementara. Sesuai perjanjian, Adipati Dretarastra harus menyerahkan takhta Kerajaan Hastina kepada putra Prabu Pandu apabila sudah dianggap mampu. Namun sayang sekali, putra kandung Prabu Pandu telah meninggal semuanya. Mengingat dulu Prabu Pandu pernah mengakui Raden Suyudana sebagai putra angkat, maka tiada salahnya kalau Raden Suyudana yang dilantik sebagai putra mahkota Kerajaan Hastina.

Raden Yamawidura sudah menduga bahwa Patih Sangkuni pasti mengajukan usul demikian. Hampir saja ia mengatakan bahwa para Pandawa masih hidup, namun segera diurungkannya. Ia lalu mengalihkan pembicaraan dan membahas soal kebakaran istana di Waranawata. Ia bertanya mengapa yang meninggal di istana itu hanya tujuh orang saja, yaitu Dewi Kunti, para Pandawa, dan Tumenggung Purocana. Mengapa para pelayan dan prajurit penjaga sama sekali tidak ada yang menjadi korban? Mengapa Patih Sangkuni, Raden Suyudana, dan Raden Dursasana yang juga berada di sana bisa selamat dan tidak berusaha menyelamatkan para Pandawa dan Dewi Kunti? Apakah mungkin kebakaran ini sudah direncanakan dan jumlah korbannya pun sudah ditentukan?

Raden Suyudana gemetar karena Raden Yamawidura mencurigai perbuatannya. Namun, Patih Sangkuni segera menanggapi dengan tenang. Pertama, mengapa yang meninggal hanya Dewi Kunti dan para Pandawa? Itu karena mereka terlalu letih dan kenyang setelah berpesta pora merayakan kemenangan melawan Prabu Jalasengara dari Pringgala. Mereka pun tertidur pulas di kamar masing-masing. Api yang membakar istana berasal dari kamar tidur Raden Bratasena. Patih Sangkuni menduga Raden Bratasena tidak sengaja menyenggol lampu minyak sehingga tumpah dan apinya membakar kamar. Karena kamar tidur Dewi Kunti dan para Pandawa lainnya saling bersebelahan, maka dalam sekejap saja mereka berenam pun menjadi korban tanpa sempat menyelamatkan diri.

Mengenai pertanyaan Raden Yamawidura mengapa para pelayan yang tewas hanya Tumenggung Purocana saja, Patih Sangkuni menjawab bahwa saat itu semua pelayan belum ada yang tidur. Mereka sibuk membersihkan segala macam peralatan pesta. Ketika kebakaran terjadi, para pelayan itu berhamburan keluar untuk menyelamatkan diri masing-masing. Hanya Tumenggung Purocana seorang yang berjiwa kesatria, dengan gagah berani berusaha membangunkan para Pandawa dan Dewi Kunti. Sayang sekali, ia jatuh tertimpa puing-puing bangunan sehingga ikut meninggal menjadi korban.

Mengenai Patih Sangkuni, Raden Suyudana, dan Raden Dursasana yang selamat dari kebakaran itu adalah karena kamar mereka berada di pinggir istana. Bagaimanapun juga pesta kemarin adalah untuk menjamu para Pandawa yang baru saja menang perang. Itu sebabnya, para Pandawa mendapat kamar mewah di tengah istana, sedangkan mereka bertiga menempati kamar di pinggiran. Dalam kebakaran kemarin, Patih Sangkuni dan dua keponakannya juga mengalami luka-luka. Patih Sangkuni lalu menunjukkan lengannya yang melepuh karena terjilat api.

Raden Yamawidura meragukan isi cerita Patih Sangkuni. Ia menduga bahwa kebakaran kemarin telah direncanakan untuk membunuh para Pandawa dan Dewi Kunti. Para pelayan di sana semuanya selamat karena mereka adalah orang-orang Gandaradesa yang menyamar sebagai pelayan Hastina. Tumenggung Purocana ikut tewas bukan karena ia bertindak kesatria ingin menolong para Pandawa dan Dewi Kunti, melainkan karena memang sengaja dibunuh oleh Patih Sangkuni demi untuk melenyapkan saksi mata. Tumenggung Purocana adalah bekas pengikut Prabu Jalasengara yang memiliki keahlian membangun istana dari bahan apa saja. Ia ditangkap Patih Sangkuni dan diperintahkan untuk membangun istana dari bahan-bahan yang mudah terbakar. Setelah tugasnya selesai, ia pun dibunuh pula seolah ikut menjadi korban kebakaran. Adapun soal kulit Patih Sangkuni, Raden Suyudana, dan Raden Dursasana yang melepuh, itu bukan karena mereka ikut terjilat api, tetapi karena mereka sengaja menyulut diri sendiri.

Dewi Gandari marah mendengar Raden Yamawidura menuduh adik dan anak-anaknya telah merencanakan kematian para Pandawa dan Dewi Kunti. Ia menuduh Raden Yamawidura hanya mengarang cerita tanpa bukti. Ia tidak terima jika Patih Sangkuni, Raden Suyudana, dan Raden Dursasana dituduh telah membunuh saudara-saudara mereka. Ini sama saja dengan penghinaan terhadap keluarga Adipati Dretarastra.

Raden Yamawidura menjawab bahwa dirinya hanya ingin mengutarakan kebenaran, sedangkan Dewi Gandari membabi buta membela adik dan kedua putranya karena didorong rasa kekeluargaan. Ia menyebut Dewi Gandari terlalu banyak tinggal di dalam istana, sehingga tidak tahu bagaimana cara Patih Sangkuni mendidik para Kurawa.

Adipati Dretarastra yang pada dasarnya selalu memanjakan para Kurawa juga tidak terima jika Raden Yamawidura menuduh tanpa bukti. Hampir saja Raden Yamawidura mengatakan kalau para Pandawa dan Dewi Kunti masih hidup, namun segera ditahannya. Ia hanya diam dan tidak melanjutkan pembicaraan.

Adipati Dretarastra tidak mau membuang-buang waktu. Ia segera mengumumkan bahwa mulai hari ini Raden Suyudana dilantik menjadi pangeran mahkota Kerajaan Hastina, dengan gelar Raden Kurupati. Semua orang memberikan ucapan selamat, kecuali Raden Yamawidura.

Setelah upacara pelantikan selesai, Patih Sangkuni mengusulkan agar Adipati Dretarastra juga melantik Raden Yamawidura menjadi adipati Pagombakan yang baru. Tiga bulan yang lalu Adipati Dipacandra meninggal dunia, sehingga Kadipaten Pagombakan kosong tanpa pemimpin. Mengingat Raden Yamawidura adalah menantu Adipati Dipacandra, maka tiada salahnya jika ia menggantikan sang mertua sebagai adipati di Pagombakan.

Adipati Dretarastra menyetujui usulan Patih Sangkuni. Ia pun melantik Raden Yamawidura sebagai adipati Pagombakan. Ia memerintahkan adik bungsunya itu agar memimpin negeri Pagombakan dengan sebaik-baiknya, dan tidak perlu menghadap ke istana Hastina apabila tidak mendapat panggilan. Raden Yamawidura menerima keputusan ini dan ia memahami bahwa Patih Sangkuni telah menjalankan siasat untuk menyingkirkan dirinya dari lingkaran istana.

ADIPATI YAMAWIDURA MENGIRIM PATIH JAYASEMEDI UNTUK MENYELIDIKI PARA PANDAWA

Adipati Yamawidura memiliki dua orang istri, yaitu Dewi Padmarini putri Adipati Dipacandra, dan Dewi Sinduwati putri Resi Gunabantala (Landak Seta). Dari Dewi Padmarini lahir Raden Sanjaya yang sehari-hari bekerja sebagai pembantu pribadi Adipati Dretarastra, sedangkan dari Dewi Sinduwati lahir Raden Yuyutsu.

Kini Adipati Yamawidura telah resmi menjadi pemimpin Kadipaten Pagombakan menggantikan sang ayah mertua yang telah meninggal. Adapun yang mendampinginya sebagai patih kadipaten adalah Arya Jayasemedi, yaitu putra Patih Jayayatna (patih Kerajaan Hastina zaman Prabu Kresna Dwipayana).

Lewat satu bulan setelah pelantikan, Adipati Yamawidura memerintahkan Patih Jayasemedi untuk pergi mencari keberadaan para Pandawa dan Dewi Kunti. Patih Jayasemedi hanya ditugasi untuk mengamati mereka dari kejauhan saja, jangan sampai menampakkan diri. Patih Jayasemedi menyanggupi dan segera mohon pamit menjalankan tugas.

PATIH JAYASEMEDI BERTARUNG MELAWAN PARA RAKSASA DARI EKACAKRA

Patih Jayasemedi berjalan seorang diri menuju Kota Waranawata. Sesampainya di sana ia lantas bersamadi di puing-puing bekas istana Balai Sigala-gala. Setelah bersamadi agak lama, ia pun bermimpi melihat bayangan bahwa para Pandawa dan Dewi Kunti akan muncul di Kerajaan Ekacakra.

Patih Jayasemedi segera terbangun dan bergegas menuju ke negeri tersebut dengan menyamar sebagai pedagang keris. Di tengah jalan, ia melihat ada beberapa warga yang berlarian meminta tolong karena dikejar-kejar para raksasa. Patih Jayasemedi segera turun tangan membantu. Ia menghadang para raksasa itu dan bertempur melawan mereka. Setelah beberapa lama, akhirnya Patih Jayasemedi berhasil menumpas habis para raksasa tersebut yang berjumlah sepuluh orang.

Patih Jayasemedi lalu bertanya kepada warga yang dikejar-kejar raksasa tadi. Ternyata mereka adalah penduduk Ekacakra yang mengungsi ke Waranawata karena hendak dimangsa oleh raja mereka sendiri yang bernama Prabu Baka. Patih Jayasemedi pun teringat beberapa tahun yang lalu raja Ekacakra bernama Prabu Suksara pernah menyerang Kerajaan Hastina ketika Prabu Pandu sedang sakit keras menjelang ajal. Prabu Suksara akhirnya tewas di tangan para Pandawa, sedangkan patihnya yang bernama Patih Bakasura melarikan diri. Warga Ekacakra membenarkan berita itu, bahwa setelah Prabu Suksara tewas, Kerajaan Ekacakra pun dipimpin oleh Patih Bakasura yang bergelar Prabu Baka.

Patih Jayasemedi heran mengapa Prabu Baka berubah menjadi raja yang suka memakan daging rakyatnya sendiri. Ia pun mempersilakan warga Ekacakra itu mengungsi ke Kota Waranawata untuk sementara, sampai keadaan negeri mereka aman kembali. Setelah berkata demikian ia lantas pergi melanjutkan perjalanan.

PARA PANDAWA MENINGGALKAN KAHYANGAN SAPTAPRATALA

Sementara itu, para Pandawa, Dewi Kunti, dan empat panakawan telah tiga puluh lima hari tinggal di Kahyangan Saptapratala. Mereka berniat untuk pergi melanjutkan pengembaraan mencari pengalaman hidup. Dewi Nagagini keberatan karena dirinya masih ingin ditemani Raden Bratasena yang telah resmi menjadi suaminya. Namun, Batara Anantaboga menasihati putrinya itu bahwa kini sudah saatnya sang suami melanjutkan perjalanan bersama keluarganya. Perjalanan ini sangat berguna untuk membangun kepribadian para Pandawa.

Raden Bratasena berjanji kepada Dewi Nagagini bahwa kelak jika para Pandawa telah mendapatkan kejayaan, maka ia akan datang untuk mengunjungi istrinya itu. Lagipula Raden Bratasena belum mau menyentuh Dewi Nagagini sebelum kakak sulungnya, yaitu Raden Puntadewa menikah. Dewi Nagagini memegang janji suaminya itu dan berharap para Pandawa berhasil melalui masa pengembaraan mereka dengan selamat.

Batara Anantaboga kemudian mengajarkan beberapa macam ilmu kesaktian kepada para Pandawa, serta menasihati mereka agar menyamar sebagai kaum pendeta. Tujuannya ialah, agar mereka tidak sampai ketahuan oleh mata-mata para Kurawa. Dengan kesaktiannya, Batara Anantaboga pun menumbuhkan kumis dan jenggot pada wajah para Pandawa untuk keperluan menyamar, sehingga mereka kini terlihat lebih tua daripada sebelumnya.

Demikianlah, para Pandawa, Dewi Kunti, dan para panakawan telah meninggalkan Kahyangan Saptapratala. Dengan bantuan Batara Anantaboga, dalam sekejap mata tahu-tahu mereka sudah kembali ke permukaan tanah, di dekat Sumur Ganggadaka.

PARA PANDAWA MENYAMAR SEBAGAI PENDETA

Sesuai nasihat Batara Anantaboga, para Pandawa yang kini berwajah berewok mulai menyamar sebagai kaum pendeta. Raden Puntadewa memakai nama Wasi Kangka, Raden Bratasena memakai nama Wasi Balawa, Raden Permadi memakai nama Wasi Parta, Raden Nakula memakai nama Wasi Pinten, dan Raden Sadewa memakai nama Wasi Tangsen. Adapun Dewi Kunti memakai nama Endang Rini.

Dalam perjalanan keluar masuk hutan dan desa, Dewi Kunti melihat wajah si kembar pucat menahan lapar. Namun demikian, Raden Nakula dan Raden Sadewa berlagak tegar, tidak mau diajak beristirahat dan juga tidak mau mengakui bahwa perut mereka sedang lapar. Dewi Kunti khawatir kalau-kalau mereka jatuh pingsan di tengah jalan. Ia pun mengajak putra-putranya beristirahat di bawah pohon rindang.

Dewi Kunti sangat prihatin melihat si kembar yang gemetar karena lapar. Ia berniat memotong rambutnya yang panjang untuk ditukar dengan makanan. Mendengar itu, Raden Bratasena dan Raden Permadi segera mencegahnya. Mereka pun mohon pamit untuk berangkat mencari makanan.

RADEN PERMADI BERTEMU PASANGAN SUAMI ISTRI YANG TIDAK AKUR

Raden Bratasena dan Raden Permadi lalu berpencar. Raden Permadi berjalan ke arah utara dan bertemu seorang wanita cantik sedang mencuci baju di sungai seorang diri. Dasar sifat Raden Permadi yang sangat mengagumi kecantikan, ia pun mendekati wanita itu dan menepuk punggungnya. Si wanita terkejut dan menoleh. Seketika wanita itu ketakutan melihat ada laki-laki yang muncul secara tiba-tiba di belakangnya, dengan wajah tampan tetapi berewok. Wanita itu pun menjerit ketakutan sambil berlari meninggalkan sungai tersebut.

Si wanita berlari masuk rumah dan langsung memeluk suaminya. Si suami terheran-heran mengapa sang istri tiba-tiba pulang sambil menangis. Wanita itu mengaku dirinya baru saja ditepuk laki-laki tak dikenal di sungai. Sang suami marah-marah ada laki-laki yang berani menyentuh istrinya. Ia pun berniat melabrak laki-laki itu, tetapi minta bekal kepada sang istri berupa tumpeng nasi, lengkap dengan lauk pauk dan sayur mayur.

Laki-laki itu lalu membawa tumpeng buatan istrinya menuju sungai. Sungguh aneh, begitu bertemu dengan Raden Permadi ia tidak marah ataupun melabrak, tetapi justru berterima kasih dengan senyum ramah. Laki-laki itu mengaku bernama Buyut Sagotra, pemimpin Desa Medang Suruhan. Adapun wanita yang mencuci di sungai tadi adalah istrinya yang bernama Rara Winihan. Mereka berdua sudah tiga bulan menikah tetapi Rara Winihan sama sekali tidak mencintai Buyut Sagotra. Selama ini Rara Winihan tidak pernah mau disentuh oleh sang suami, juga tidak pernah mau tidur bersama. Akan tetapi, gara-gara Raden Permadi menepuk pundak Rara Winihan membuat wanita itu lari ketakutan dan pulang memeluk Buyut Sagotra. Demikianlah, Buyut Sagotra tadi hanya pura-pura marah dan ingin melabrak Raden Permadi, padahal sebenarnya ia sangat berterima kasih kepadanya.

Sebagai bentuk terima kasih, Buyut Sagotra pun menyerahkan tumpeng nasi yang ia bawa kepada Raden Permadi yang saat itu mengaku bernama Wasi Parta. Raden Permadi menerima tumpeng nasi tersebut dengan senang hati, lalu mohon pamit kembali ke tempat ibu dan saudara-saudaranya beristirahat.

RADEN BRATASENA BERTEMU RESI IJRAPA DI DESA MANAHILAN

Sementara itu, Raden Bratasena berjalan ke arah selatan dan memasuki Desa Manahilan. Kepala desa tersebut seorang pendeta tua, bernama Resi Ijrapa yang memiliki istri bernama Nyai Ruminta. Raden Bratasena heran melihat suami-istri tersebut sedang bertangis-tangisan. Ia pun bertanya ada masalah apa yang sedang menimpa mereka.

Resi Ijrapa terkejut melihat seorang pendeta bertubuh tinggi besar tiba-tiba hadir di rumahnya, dan mengaku bernama Wasi Balawa. Ia pun mengawali cerita, yaitu tentang Desa Manahilan yang merupakan bagian dari Kerajaan Ekacakra. Adapun raja Ekacakra bernama Prabu Baka, yang berwujud raksasa dan gemar makan daging manusia. Pada mulanya ada seorang juru masak istana Ekacakra yang tanpa sengaja memotong jarinya sendiri hingga jatuh tercebur ke dalam masakan. Ketika masakan tersebut dihidangkan kepada Prabu Baka, tanpa sengaja jari yang putus tadi termakan olehnya. Prabu Baka merasa senang dan sejak saat itu ia menjadi gemar memakan daging manusia.

Pada mulanya, Prabu Baka menyantap para penjahat yang berada di dalam penjara. Juga ditetapkan, barangsiapa melanggar hukum di wilayah Ekacakra, maka akan mendapat hukuman menjadi mangsa Prabu Baka. Lama-lama para penjahat di penjara habis, dan juga para penduduk tidak ada yang berani melanggar hukum karena takut dimangsa Prabu Baka. Padahal, Prabu Baka sendiri semakin ketagihan memakan daging manusia.

Akhirnya, Prabu Baka pun menetapkan peraturan aneh, yaitu para kepala desa harus bergiliran menyediakan penduduknya sebagai makanan tiap tiga hari sekali. Barangsiapa yang terpilih menjadi mangsa Prabu Baka harus melumuri tubuhnya dengan bumbu botok dan datang ke istana Ekacakra dengan mengendarai pedati berisi nasi dan sayur, yang ditarik oleh dua ekor kerbau. Semua itu akan dilahap habis oleh Prabu Baka, termasuk dua ekor kerbau dan penduduk yang bernasib malang tadi.

Hari ini Desa Manahilan mendapat giliran menyediakan makanan untuk Prabu Baka. Sayang sekali, penduduk Manahilan sudah banyak yang mengungsi ke negeri tetangga, dan yang tersisa hanya tinggal orang-orang tua dan anak kecil. Sudah pasti Prabu Baka akan marah besar jika Desa Manahilan mengirim makanan seperti mereka.

Karena tidak ada lagi penduduk yang bisa dijadikan korban, maka putra Resi Ijrapa yang bernama Bambang Rawan pun mengajukan diri menadi mangsa Prabu Baka. Pemuda itu telah berangkat dengan mengendarai pedati menuju istana Ekacakra. Inilah yang membuat Resi Ijrapa dan Nyai Ruminta bertangis-tangisan. Mendengar cerita tersebut, Raden Bratasena segera pergi menyusul Bambang Rawan.

RADEN BRATASENA MEMBUNUH PRABU BAKA

Raden Bratasena yang berlangkah lebar berhasil menyusul pedati yang dikendarai putra Resi Ijrapa. Bambang Rawan sangat heran tiba-tiba ada pendeta tinggi besar menghadang perjalanannya. Raden Bratasena pun bercerita bahwa dirinya baru saja bertemu Resi Ijrapa dan Nyai Ruminta, serta mendengar cerita tentang Prabu Baka dari mereka. Untuk itu, Raden Bratasena datang menghadang untuk menggantikan Bambang Rawan sebagai santapan Prabu Baka.

Bambang Rawan keberatan karena tidak sepantasnya merepotkan tamu. Namun, Raden Bratasena tetap memaksa. Ia mengambil bumbu botok di dalam pedati dan membalurkannya ke sekujur tubuh. Bambang Rawan tidak dapat membantah lagi. Ia pun penasaran dan ingin melihat seperti apa kehebatan Raden Bratasena yang berani merebut pedatinya.

Demikianlah, Raden Bratasena dan Bambang Rawan telah sampai di istana Ekacakra. Prabu Baka keluar untuk menyambut mangsanya. Namun, betapa ia marah melihat pedati tersebut telah kosong karena semua makanan dan minuman di dalamnya dihabiskan oleh Raden Bratasena.

Prabu Baka melihat Raden Bratasena bertubuh tinggi besar, pasti memiliki daging yang banyak. Sebaliknya, Raden Bratasena justru memaki Prabu Baka sebagai raja yang tidak tahu diri. Seorang raja seharusnya melindungi rakyatnya, bukan malah mengancam dan menyebarkan kengerian di hati rakyat.

Prabu Baka semakin marah dan ia pun menyerang Raden Bratasena. Tidak lama kemudian terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. Setelah beberapa lama, Prabu Baka akhirnya tewas terkena Kuku Pancanaka di tangan Raden Bratasena. Raja raksasa itu roboh dengan perut robek dan usus terburai keluar.

Bambang Rawan kagum melihat kehebatan Raden Bratasena. Mereka lalu bersama-sama pulang ke Desa Manahilan.

RESI IJRAPA BERSUMPAH UNTUK DEWI KUNTI DAN PARA PANDAWA

Resi Ijrapa dan Nyai Ruminta menyambut kedatangan Raden Bratasena dan Bambang Rawan dengan perasaan haru dan bahagia. Mereka mengaku tidak memiliki harta kekayaan untuk membalas kebaikan Raden Bratasena yang telah menyelamatkan seluruh penduduk Kerajaan Ekacakra. Raden Bratasena tidak meminta uang, tetapi meminta tumpeng nasi beserta lauk pauk dan sayur mayur untuk adik-adiknya yang sedang lapar. Mendengar itu, Resi Ijrapa, Nyai Ruminta, dan Bambang Rawan segera masuk ke dapur untuk menyiapkan permintaan tersebut.

Setelah tumpeng matang, Raden Bratasena segera membawanya kembali ke tempat sang ibu dan para saudara menunggu. Kedatangannya tepat bersamaan dengan datangnya Raden Permadi yang juga membawa tumpeng. Dewi Kunti mencium bau wangi pada tumpeng yang dibawa Raden Bratasena, sedangkan tumpeng yang dibawa Raden Permadi agak amis. Dewi Kunti dapat menebak bahwa tumpeng yang didapat Raden Bratasena berasal dari jasa baik mengadu nyawa menyelamatkan hidup banyak orang, sedangkan tumpeng yang dibawa Raden Permadi berasal dari hasil main-main dan bercanda.

Raden Permadi mengakui kebenaran ucapan sang ibu. Karena malu, ia berniat membuang tumpeng yang dibawanya itu. Namun, para panakawan segera meminta tumpeng tersebut untuk mereka makan, daripada dibuang-buang begitu saja. Demikianlah, Dewi Kunti dan para Pandawa lalu memakan tumpeng yang dibawa Raden Bratasena, sedangkan para panakawan memakan tumpeng yang dibawa Raden Permadi.

Tidak lama kemudian muncullah Resi Ijrapa, Nyai Ruminta, dan Bambang Rawan menyembah Dewi Kunti dan para Pandawa. Mereka memohon maaf karena telah menguping pembicaraan tadi sehingga kini mereka tahu bahwa Dewi Kunti dan para Pandawa adalah keluarga mendiang Prabu Pandu yang sedang menyamar sebagai para pendeta.

Dewi Kunti meminta Resi Ijrapa dan anak-istrinya agar tidak membocorkan keberadaan dirinya dan para Pandawa. Resi Ijrapa, Nyai Ruminta, dan Bambang Rawan menyanggupi. Tidak hanya itu, Resi Ijrapa juga bersumpah bahwa dirinya sekeluarga bersedia menjadi tumbal kemenangan para Pandawa jika kelak sampai berperang melawan para Kurawa. Dewi Kunti terharu mendengarnya dan berharap semoga tidak sampai terjadi perang antara para Pandawa dan Kurawa.

Demikianlah, Resi Ijrapa lalu memohon agar Dewi Kunti dan para Pandawa sudi beristirahat barang semalam di rumahnya. Dewi Kunti setuju. Mereka lalu bersama-sama berjalan menuju Desa Manahilan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------




CATATAN : Kisah Raden Bratasena mengalahkan Prabu Baka menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 692 yang ditandai dengan sengkalan “Sikaraning Rudra angrasa barakan”, atau tahun Candrasengkala 713 yang ditandai dengan sengkalan “Geni sawukir sirna”.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar