Kisah ini menceritakan Adipati Kangsa merebut takhta Kerajaan Mandura
dan mengadakan pertandingan Adu Jago manusia, yang berakhir dengan kematiannya
di tangan Kakrasana dan Narayana. Juga diceritakan awal mula Kakrasana dan
Narayana mendapatkan senjata pusaka dari kahyangan, antara lain Nanggala dan
Cakra.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta)
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan kitab Mahabharata
karya Resi Wyasa, serta rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Hari
Bawono, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 11 September 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Prabu Kangsadewa |
ADIPATI KANGSA MEMBERONTAK KEPADA PRABU BASUDEWA
Prabu Basudewa di Kerajaan
Mandura memimpin pertemuan yang dihadiri kedua adiknya, yaitu Aryaprabu Rukma
dari Kumbina dan Arya Ugrasena dari Lesanpura, serta para menteri dan punggawa
yang dikepalai Patih Saragupita. Mereka membahas tindak-tanduk Adipati Kangsa
yang makin hari makin mencurigakan, seolah hendak menciptakan permusuhan. Aryaprabu
Rukma mengingatkan bahwa bagaimanapun juga Adipati Kangsa bukanlah putra
kandung Prabu Basudewa, melainkan putra hasil perselingkuhan Dewi Mahera dengan
Prabu Gorawangsa raja Guagra, sehingga sangat mungkin apabila ia melakukan
pemberontakan demi membalas kematian ayah dan ibunya.
Tiba-tiba orang yang sedang mereka
bicarakan, yaitu Adipati Kangsa, hadir dalam pertemuan itu. Ia datang untuk meminta
izin kepada Prabu Basudewa agar diperbolehkan menyerang Desa Widarakandang.
Menurut laporan para teliksandi, di desa tersebut ada seorang pemuda berkulit
bule bernama Kakrasana anak Buyut Antyagopa, yang berani menanam pohon beringin
kurung kembar di halaman rumah orang tuanya dan membangun tembok menyerupai
benteng. Selain itu, dia juga memelihara gajah seperti layaknya seorang raja. Adipati
Kangsa menyebut ini adalah tindakan makar dan harus mendapat hukuman berat.
Prabu Basudewa tidak setuju
apabila Adipati Kangsa menyerang Desa Widarakandang. Untuk mengatasi hal ini
cukup dengan mengirim Patih Saragupita ke sana supaya memberikan teguran kepada
pemuda bernama Kakrasana itu. Adipati Kangsa menjawab bahwa ia sebenarnya sudah
tahu kalau Kakrasana adalah putra kandung Prabu Basudewa yang disembunyikan di
Desa Widarakandang. Selain Kakrasana si bule, masih ada adik-adiknya yang
bernama Narayana dan Rara Ireng pula. Itulah sebabnya Prabu Basudewa menolak
memberikan izin untuk menyerang Desa Widarakandang.
Adipati Kangsa lalu berkata, jika
dirinya tidak diizinkan menyerang Desa Widarakandang, maka lebih baik menyerang
Kerajaan Mandura saja. Prabu Basudewa terkejut mendengar tantangan tersebut.
Sementara itu, Arya Ugrasena yang sudah memuncak amarahnya segera melabrak
Adipati Kangsa keluar istana.
ADIPATI KANGSA MEMENJARAKAN PRABU BASUDEWA DAN ARYA UGRASENA
Sesampainya di luar istana,
Arya Ugrasena melihat Adipati Kangsa dan Patih Suratimantra telah bersiaga
dengan membawa pasukan yang sangat besar. Ia heran mengapa Kadipaten Sengkapura
memiliki prajurit sedemikian banyaknya. Andaikan digabung dengan prajurit
Guagra pun jumlahnya tetap tidak mungkin sebanyak itu.
Tidak lama kemudian terdengar
suara Adipati Kangsa memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyerang. Arya
Ugrasena dan Patih Saragupita mengerahkan pasukan untuk menghadapinya. Pertempuran
pun meletus di antara kedua pihak. Prabu Basudewa dan Aryaprabu Rukma ikut
terjun pula ke medan tempur. Mereka sama sekali tidak siap menghadapi
pemberontakan Adipati Kangsa yang serbamendadak ini.
Adipati Kangsa bersenjatakan
sebuah gada besar pemberian gurunya, yaitu Resi Anggawangsa. Gada besar
tersebut bernama Lohitamuka yang diayun-ayunkan ke sana kemari, menewaskan
banyak punggawa Mandura. Adipati Kangsa lalu memukulkan gada besar tersebut
kepada Arya Ugrasena dan Prabu Basudewa. Namun, pukulan ini tidaklah keras,
sehingga mereka berdua tidak tewas, melainkan hanya jatuh terguling di atas tanah.
Sementara itu, Patih
Suratimantra juga berhasil menangkap Aryaprabu Rukma dan Patih Saragupita.
Melihat para pemimpin mereka tertawan, pasukan Mandura menjadi kocar-kacir dan
banyak yang menyerah takluk kepada pihak Sengkapura.
ADIPATI KANGSA MEMASUKKAN PRABU BASUDEWA DAN ARYA UGRASENA KE DALAM
PENJARA
Adipati Kangsa kini berkuasa
atas Kerajaan Mandura, dan mengganti gelarnya menjadi Prabu Kangsadewa. Ia mengumumkan
bahwa tujuh hari lagi akan menggelar pertunjukan adu jago di alun-alun ibu kota.
Namun, jago yang bertanding bukan berwujud ayam, melainkan berwujud manusia.
Dalam acara tersebut, kedua pemuda dari Desa Widarakandang, yaitu Kakrasana dan
Narayana harus bertanding melawan jago-jago raksasa dari Kadipaten Sengkapura.
Prabu Basudewa mau tidak mau harus tega menyaksikan anak-anaknya itu mati
mengenaskan di atas panggung. Apabila kedua pemuda tersebut tidak hadir, maka
Prabu Basudewa yang harus disembelih di hadapan rakyatnya sendiri.
Prabu Basudewa sangat marah
dan meminta Prabu Kangsadewa agar menyembelih dirinya saat ini juga. Namun, Prabu
Kangsadewa menolak karena itu terlalu enak untuk Prabu Basudewa. Bagaimanapun
juga Prabu Basudewa telah membuang ibunya, yaitu Dewi Mahera di tengah hutan. Oleh
sebab itu, Prabu Basudewa harus merasakan sakitnya hidup dalam penjara selama tujuh
hari tujuh malam sebagai balasan. Tentunya ini lebih menyiksa daripada langsung
dibunuh sekarang. Prabu Kangsadewa juga mengikat tangan Prabu Basudewa dengan
rantai untuk mencegahnya agar tidak bunuh diri di dalam penjara.
Mendengar niat jahat tersebut,
Arya Ugrasena memaki Prabu Kangsadewa sebagai anak kurang ajar dan tidak tahu
diri. Ia juga menyesal telah menjadikan Prabu Kangsadewa sebagai anak angkat.
Mulai saat ini ia tidak rela lagi jika Adipati Kangsa memanggilnya sebagai
ayah.
Prabu Kangsadewa menjawab bahwa
dirinya memang sudah tidak sudi lagi memanggil “ayah” kepada Prabu Basudewa dan
“ayah angkat” kepada Arya Ugrasena, karena sudah sejak lama ia tahu bahwa ayah
kandungnya yang asli bernama Prabu Gorawangsa dari Kerajaan Guagra. Namun,
karena Arya Ugrasena selama ini telah bersikap baik kepadanya, maka Prabu
Kangsadewa mengizinkan kesatria dari Lesanpura itu untuk menemani Prabu
Basudewa tinggal di dalam penjara. Selain itu, kedua tangan Arya Ugrasena juga
harus diikat dengan rantai seperti Prabu Basudewa.
Mengenai Aryaprabu Rukma yang
dulu telah membunuh Prabu Gorawangsa, seharusnya mendapat hukuman paling berat
dari Prabu Kangsadewa. Namun demikian, Prabu Kangsadewa tetap berterima kasih
kepadanya karena dulu tidak membunuh Dewi Mahera. Saat itu Prabu Basudewa memerintahkan
Aryaprabu Rukma agar membunuh Dewi Mahera yang baru saja disetubuhi Prabu
Gorawangsa. Akan tetapi, Aryaprabu Rukma tidak tega dan hanya meninggalkan Dewi
Mahera di tengah hutan. Andai saja dulu Aryaprabu Rukma bersedia membunuh Dewi
Mahera, sudah pasti Prabu Kangsadewa tidak akan pernah lahir ke dunia.
Mengingat jasa Aryaprabu Rukma
tersebut, Prabu Kangsadewa tidak memenjarakannya, tetapi memerintahkan ia untuk
pergi ke Desa Widarakandang menjemput Kakrasana dan Narayana, agar tujuh hari
lagi bisa bertanding di alun-alun ibu kota Mandura. Aryaprabu Rukma menerima
tugas tersebut sambil pikirannya mencari akal agar bisa lolos. Bagaimanapun
juga ia yakin Prabu Kangsadewa cepat atau lambat pasti akan membunuhnya demi membalaskan
kematian Prabu Gorawangsa. Aryaprabu Rukma lalu berangkat ke Widarakandang
dengan dikawal pasukan raksasa yang dipimpin Ditya Kalanasura. Selain itu,
Ditya Kalanasura juga diperintahkan untuk membawa Rara Ireng ke istana agar
bisa dikawini Prabu Kangsadewa. Mendengar itu, Prabu Basudewa semakin marah dan
mengutuk Prabu Kangsadewa agar segera mendapat hukuman dari Yang Mahakuasa.
PRABU KANGSADEWA BERTERIMA KASIH KEPADA PRABU JARASANDA
Setelah memasukkan Prabu
Basudewa dan Arya Ugrasena ke dalam penjara, Prabu Kangsadewa pergi ke
pinggiran ibu kota Mandura untuk menemui sahabatnya, yaitu Prabu Jarasanda raja
Magada yang menunggu di perkemahan. Dalam pertemuan itu, Prabu Kangsadewa
berterima kasih atas segala bantuan Prabu Jarasanda sehingga dirinya berhasil
menaklukkan Kerajaan Mandura.
Demikianlah, orang yang telah
menyusun dan mengatur pemberontakan Prabu Kangsadewa ini tidak lain adalah
Prabu Jarasanda tersebut. Namun demikian, Prabu Jarasanda tidak bersedia ikut
berperang karena dirinya dulu pernah dikalahkan Prabu Pandu dan dipaksa
bersumpah untuk tidak akan mengganggu Kerajaan Hastina. Bagaimanapun juga
Kerajaan Mandura adalah sekutu Kerajaan Hastina, sehingga Prabu Jarasanda tidak
berani menampakkan dirinya bersama Prabu Kangsadewa, melainkan hanya bermain di
balik layar. Tidak hanya itu, ia juga meminjamkan pasukan Magada untuk membantu
pemberontakan Prabu Kangsadewa, tetapi mengenakan seragam prajurit Sengkapura.
Kini, Prabu Kangsadewa telah
menduduki takhta Kerajaan Mandura. Prabu Jarasanda mengucapkan selamat kepada
sahabatnya itu, lalu ia pun mohon pamit pulang ke Giribajra, ibu kota Kerajaan
Magada.
ARYAPRABU RUKMA MENEMUI BUYUT ANTYAGOPA DAN NYAI SAGOPI
Sementera itu di Desa
Widarakandang, Buyut Antyagopa bersama Nyai Sagopi sedang membahas kelima anak
mereka, yaitu Udawa, Kakrasana, Narayana, Rara Ireng, dan Rara Sati. Kelima
anak tersebut memiliki perilaku yang berbeda-beda. Narayana gemar berkelana
dengan ditemani Udawa. Setiap kali pulang ke rumah selalu saja ia berceramah
menasihati ayahnya sendiri seperti layaknya orang tua. Adapun anak nomor dua,
yaitu Kakrasana rajin bekerja di sawah, berangkat pagi pulang petang. Ia
seorang pemuda yang rajin bekerja tetapi mudah marah. Yang paling aneh adalah
Kakrasana menanam pohon beringin kurung kembar di halaman rumah seperti
layaknya alun-alun, membangun tembok seperti benteng, serta memelihara gajah. Jika
hal ini sampai terdengar oleh Prabu Basudewa, tentu Buyut Antyagopa akan
mendapat peringatan keras. Sementara itu, Rara Ireng menjadi kembang desa,
sering menyebabkan para pemuda saling berkelahi memperebutkan dirinya. Adapun
si bungsu Rara Sati gemar menunggang kuda seperti laki-laki, tidak peduli jadi
bahan pembicaraan tetangga.
Tidak lama kemudian datanglah
Aryaprabu Rukma yang dikawal Ditya Kalanasura dan pasukannya. Buyut Antyagopa
dan Nyai Sagopi menyambut kedatangan mereka dengan penuh hormat. Aryaprabu
Rukma menyampaikan undangan Prabu Kangsadewa kepada Kakrasana dan Narayana agar
hadir ke istana Mandura untuk mengikuti pertandingan Adu Jago yang akan digelar
tujuh hari lagi. Ia juga menyampaikan niat Prabu Kangsadewa yang ingin
mengambil Rara Ireng sebagai istri.
Aryaprabu Rukma kemudian bertanya
di manakah Kakrasana dan Narayana saat ini berada. Buyut Antyagopa menjawab
bahwa Narayana masih berkelana, sedangkan Kakrasana ada di sawah. Jika ingin
Kakrasana datang, maka Aryaprabu Rukma hendaknya pura-pura memukuli Buyut
Antyagopa.
Aryaprabu Rukma menuruti saran
tersebut. Ia pun pura-pura marah menuduh Buyut Antyagopa berbuat makar karena
berani menanam pohon beringin kurung kembar, membangun benteng, dan memelihara
gajah, sehingga meniru istana Mandura. Ia lalu memukuli orang tua itu sambil
memaki-maki. Tiba-tiba saja muncul seorang pemuda bule melabrak Aryaprabu
Rukma. Pemuda bule itu tidak lain adalah Kakrasana yang marah-marah karena
ayahnya dipukuli.
Ditya Kalanasura segera
memerintahkan pasukannya untuk menangkap Kakrasana. Pertempuran pun terjadi.
Meskipun seorang pemuda desa, namun Kakrasana memiliki bakat kesaktian sejak
lahir. Dengan cekatan ia mampu menghadapi para prajurit raksasa tersebut.
Suasana yang berubah kacau ini dimanfaatkan oleh Aryaprabu Rukma untuk
meloloskan diri. Sementara itu, Buyut Antyagopa sempat menyuruh Nyai Sagopi agar
pergi menyelamatkan Rara Ireng dan Rara Sati.
Ditya Kalanasura ngeri melihat
ketangkasan Kakrasana dalam menghadapi pasukannya. Ia pun menangkap Buyut
Anytagopa sebagai sandera untuk memaksa Kakrasana agar menyerah dan menurut
dibawa ke istana Mandura. Namun, Buyut Antyagopa tidak takut mati. Ia justru
menusuk dadanya sendiri menggunakan keris.
Kakrasana sangat terkejut
melihat ayahnya roboh berlumur darah. Hatinya marah bercampur sedih. Buyut
Antyagopa dengan sisa-sisa tenaga memintanya pergi mencari pusaka kahyangan untuk
melawan Prabu Kangsadewa tujuh hari lagi. Meskipun Kakrasana memiliki bakat
kesaktian sejak lahir, namun itu tidak cukup untuk mengalahkan Prabu Kangsadewa
beserta seluruh pasukannya. Setelah berkata demikian, Buyut Antyagopa pun
meninggal dunia. Kakrasana segera melesat pergi memenuhi wasiat terakhir
ayahnya itu.
Ditya Kalanasura memerintahkan
sebagian prajurit raksasa untuk mengejar Kakrasana dan sebagian lagi untuk
mencari Aryaprabu Rukma. Ia sendiri mencari Rara Ireng yang telah kabur bersama
Nyai Sagopi dan Rara Sati.
NARAYANA MENDAPAT PUSAKA DARI RESI PADMANABA
Narayana, si pemuda berkulit
hitam saat itu sedang berguru kepada Resi Padmanaba di Padepokan Utarayana. Setelah
semua ilmu tuntas diberikan, Resi Padmanaba pun berniat memberikan tiga jenis pusaka
kepada muridnya itu. Pusaka yang pertama berwujud cakram, bernama Cakra
Sudarsana. Barangsiapa terkena senjata ini pasti akan tewas meskipun ia seorang
yang sangat sakti. Namun demikian, senjata ini hanya bisa digunakan untuk
membunuh manusia yang berdosa saja. Resi Padmanaba lalu menanam Cakra Sudarsana
di dada Narayana. Jika ingin menggunakannya, Narayana tinggal mengusap dadanya sambil
mengheningkan cipta, maka senjata tersebut akan keluar melalui tangan.
Senjata yang kedua berupa
bunga ajaib, bernama Kembang Wijayakusuma. Kegunaan bunga ini adalah untuk
menghidupkan orang yang sudah mati. Namun demikian, Narayana tidak boleh
sembarangan dalam menggunakannya. Jika orang yang mati itu dianggap belum
menyelesaikan tugas-tugasnya di dunia, maka dia boleh untuk dihidupkan kembali.
Tetapi, jika orang itu dirasa sudah layak untuk kembali ke alam baka, maka
Narayana sama sekali tidak boleh untuk menghidupkannya kembali. Narayana
mematuhi pesan tersebut. Resi Padmanaba lalu menanam bunga ajaib itu ke dalam
ubun-ubun muridnya. Jika Narayana ingin menggunakannya, maka tinggal mengusap
rambut sambil mengheningkan cipta, maka Kembang Wijayakusuma akan keluar
melalui mulut.
Senjata yang ketiga berupa panah
yang berukuran sangat kecil, setara dengan sehelai rambut. Senjata tersebut
bernama Panah Kesawa. Kegunaannya adalah untuk mengerahkan Aji Balasrewu. Resi
Padmanaba menanam Panah Kesawa itu di punggung Narayana. Dalam keadaan
terdesak, Narayana boleh meraba punggungnya sambil mengheningkan cipta, maka
dalam sekejap dirinya pasti akan berubah menjadi raksasa tinggi besar.
Demikianlah, Resi Padmanaba
telah memberikan tiga jenis senjata pusaka kepada Narayana. Ia lalu bercerita
bahwa sejatinya Narayana bukan anak kandung Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi,
melainkan putra Prabu Basudewa raja Mandura. Konon Prabu Basudewa memiliki
empat orang istri. Istri pertama bernama Dewi Mahera yang dibuang ke hutan
karena disetubuhi Prabu Gorawangsa raja Guagra, hingga melahirkan Adipati
Kangsa. Istri kedua bernama Dewi Rohini, melahirkan Kakrasana. Istri ketiga
bernama Dewi Dewaki, melahirkan Narayana. Adapun Dewi Dewaki meninggal setelah
melahirkan, sehingga Narayana sewaktu bayi disusui oleh Dewi Rohini. Sementara
itu, istri keempat Prabu Basudewa bernama Dewi Badraini, melahirkan Dewi Sumbadra,
alias Rara Ireng.
Narayana terkejut mengetahui
siapa ia yang sebenarnya. Resi Padmanaba kemudian bercerita tentang
asal-usulnya yang merupakan keturunan Batara Wisnu. Adapun Batara Wisnu kini telah
lahir ke dunia sebagai Narayana dan Raden Arjuna (Permadi). Sebelum menitis,
Batara Wisnu sempat menitipkan pusaka Cakra Sudarsana, Kembang Wijayakusuma,
dan Panah Kesawa kepada Resi Padmanaba agar kelak diberikan kepada Narayana
setelah dewasa. Kini tugas tersebut telah dilaksanakan. Resi Padmanaba pun
berniat meninggalkan dunia fana dan meminta agar Narayana yang mengantarkan
kepergian rohnya.
Narayana mematuhi wasiat sang
guru. Ia lalu bersamadi mengheningkan cipta. Dari dahinya memancar setitik api
yang kemudian membakar tubuh Resi Padmanaba menjadi abu. Roh Resi Padmanaba pun
melesat ke angkasa, kembali ke alam baka.
Narayana lalu mengajak Udawa
yang sejak tadi menunggu di luar untuk pergi meninggalkan padepokan.
Sepeninggal mereka berdua, Padepokan Utarayana menjadi sepi tidak berpenghuni. Warga
sekitar padepokan menduga-duga bahwa Resi Padmanaba telah meninggal dunia
karena dibunuh muridnya sendiri yang bernama Narayana.
KAKRASANA MENERIMA PUSAKA DARI BATARA BRAHMA
Sementara itu, Kakrasana si
pemuda berkulit bule telah berhasil menumpas habis para raksasa Sengkapura yang
mengejarnya. Sesuai wasiat Buyut Antyagopa sebelum meninggal, ia pun pergi
bertapa di puncak Gunung Rewataka. Setelah tujuh hari berlalu, tiba-tiba turun
seorang dewa dari angkasa, yaitu Batara Brahma yang membangunkan Kakrasana agar
mengakhiri pertapaannya. Kakrasana pun membuka mata dan menyembah penuh hormat
kepada dewa tersebut.
Batara Brahma menyampaikan
pesan dari Batara Guru bahwa dewata telah berkenan menerima pertapaan
Kakrasana. Sebagai anugerah, Kakrasana mendapat tiga jenis pusaka. Pusaka yang
pertama berwujud seperti bajak sawah, bernama Nanggala. Barang siapa terkena
senjata ini pasti akan terbakar tubuhnya menjadi arang. Batara Brahma lalu menanam
Senjata Nanggala tersebut di tangan kanan Kakrasana.
Pusaka yang kedua berwujud
seperti alu penumbuk padi, bernama Gada Alugora. Pusaka tersebut ditanam di ubun-ubun
Kakrasana. Sejak saat itu Kakrasana mendapat julukan baru, yaitu Halayuda, yang
artinya “berperang menggunakan alu”.
Pusaka yang ketiga berupa ilmu
kesaktian, bernama Aji Balarama. Dengan memiliki ajian ini, maka Kakrasana akan
memiliki daya tahan setara dengan para dewa. Ia menjadi orang yang tahan lapar,
tahan kantuk, dan tidak mudah letih. Meskipun bertempur melawan banyak orang,
ia tidak akan pernah kehabisan tenaga. Kakrasana kuat tidak makan selama
berhari-hari dan mampu menyerap panas matahari sebagai tenaga tubuhnya.
Setelah menyerahkan ketiga
pusaka tersebut, Batara Brahma pun menjelaskan asal-usul Kakrasana, yang
sebenarnya adalah putra Prabu Basudewa, sama seperti Narayana dan Rara Ireng. Adapun
Prabu Basudewa saat ini sedang disekap oleh Prabu Kangsadewa di dalam penjara. Maka,
Batara Brahma memerintahkan Kakrasana agar pergi ke ibu kota Mandura untuk
membebaskannya. Setelah berpesan demikian, Batara Brahma lalu terbang kembali
ke kahyangan.
RARA IRENG BERTEMU WASI PARTA
Sementara itu, Rara Ireng
berhasil menyelamatkan diri bersama Nyai Sagopi dan Rara Sati. Mereka bertiga
berboncengan naik kuda yang dikendalikan oleh Rara Sati. Ditya Kalanasura tidak
putus asa mengejar mereka bertiga. Ketika hampir tertangkap, Rara Ireng
berhasil merayu Ditya Kalanasura menggunakan ilmu gendam pengasihan seperti
yang pernah diajarkan Narayana kepadanya. Karena terkena pengaruh ilmu tersebut,
Ditya Kalanasura menjadi lupa diri dan ia pun jatuh cinta kepada Rara Ireng.
Melihat pohon seperti gadis itu dan ia pun merayunya seperti orang gila.
Kesempatan ini segera dimanfaatkan Rara Sati untuk memacu kembali kudanya,
membawa pergi Nyai Sagopi dan Rara Ireng.
Setelah Rara Ireng pergi,
pengaruh ilmu gendam menjadi luntur. Kesadaran Ditya Kalanasura kembali dan ia
pun bergegas mengejar. Demikianlah seterusnya, selalu terjadi kejar-kejaran
antara mereka hingga tujuh hari pun terlewati.
Pada hari ketujuh tersebut,
kuda yang dikendarai Rara Sati hampir saja menabrak seorang pendeta muda
berparas tampan dan berwajah berewok, yang diiringi empat orang panakawan.
Pendeta tampan tersebut tidak lain adalah Raden Permadi yang sedang dalam penyamaran
memakai nama Wasi Parta, sedangkan keempat panakawan adalah Kyai Semar, Nala
Gareng, Petruk, dan Bagong.
Tidak lama kemudian, Ditya
Kalanasura muncul mengejar Rara Ireng. Tanpa banyak bicara, Wasi Parta segera
maju menghadapi raksasa tersebut untuk melindungi ketiga perempuan yang sedang
dikejar-kejar itu. Maka, terjadilah pertarungan sengit di antara mereka.
Kesempatan ini segera dimanfaatkan Rara Sati untuk kembali memacu kuda
meloloskan diri dari Ditya Kalanasura.
WASI PARTA MATI DAN HIDUP KEMBALI
Belum jauh Rara Sati memacu
kudanya, tiba-tiba di tengah jalan tampak Kakrasana sedang berjalan kaki. Rara
Sati, Rara Ireng, dan Nyai Sagopi segera turun dari kuda dan menangis haru di
hadapan pemuda bule tersebut. Demikian pula dengan Kakrasana juga sangat
bersyukur bisa bertemu lagi dengan mereka. Rara Ireng lalu bercerita bahwa
selama tujuh hari ini dirinya dikejar-kejar oleh orang yang hendak
menangkapnya. Tidak lama kemudian, Wasi Parta muncul setelah dirinya berhasil
menewaskan Ditya Kalanasura. Tanpa pikir panjang, Kakrasana langsung memukulnya
menggunakan Gada Alugora. Karena dipukul secara mendadak, Wasi Parta tidak
sempat melawan sehingga ia pun jatuh tersungkur dan kehilangan nyawa.
Rara Ireng, Rara Sati, dan
Nyai Sagopi menjerit keras melihat Kakrasana membunuh pendeta muda itu. Rara
Ireng menjelaskan bahwa Wasi Parta bukan orang yang mengejar-ngejar dirinya,
melainkan justru telah menolongnya menghadapi si pengejar itu. Kakrasana menyesal
telah terburu nafsu. Ia merasa berdosa karena membunuh orang yang justru
berusaha melindungi adiknya.
Sungguh kebetulan, tiba-tiba
muncul pula Narayana dan Udawa. Nyai Sagopi dan yang lain terharu bahagia
karena kini mereka satu keluarga bisa berkumpul kembali, kecuali Buyut
Antyagopa. Narayana menjelaskan bahwa Buyut Antyagopa sudah meninggal dunia.
Setelah turun dari Gunung Utarayana, ia dan Udawa pulang ke Desa Widarakandang
dan mendapati Buyut Antyagopa sudah tidak bernyawa dan di sekitarnya banyak
dijumpai mayat para prajurit Sengkapura. Kakrasana menjelaskan bahwa dirinya
memang melihat sendiri Buyut Antyagopa memilih bunuh diri daripada menjadi
tawanan Ditya Kalanasura. Namun, ia tidak sempat menguburkan jasad ayah asuhnya
itu karena dikejar-kejar oleh para prajurit Sengkapura. Nyai Sagopi, Rara
Ireng, dan Rara Sati menangis mendengar nasib yang menimpa Buyut Antyagopa
tersebut.
Rara Ireng lalu bercerita
bahwa Kakrasana baru saja membunuh Wasi Parta, padahal Wasi Parta telah
menolongnya dari kejaran Ditya Kalanasura. Narayana segera mengheningkan cipta
dan mengeluarkan Kembang Wijayakusuma. Begitu bunga pusaka tersebut diletakkan
di atas kepala Wasi Parta, seketika pendeta muda itu pun hidup kembali seperti
bangun dari tidur. Luka di kepalanya akibat pukulan Gada Alugora seketika
tertutup dan tidak lagi mengeluarkan darah.
Kakrasana dan yang lain takjub
melihat keampuhan Kembang Wijayakusuma yang bisa menghidupkan orang mati.
Kakrasana lalu meminta maaf karena dirinya terburu nafsu mengira Wasi Parta
adalah orang yang telah mengejar-ngejar Rara Ireng. Narayana yang kini
menguasai ilmu kawaskitan pemberian Resi Padmanaba dapat mengetahui bahwa Wasi
Parta tidak lain adalah Raden Permadi, Pandawa nomor tiga, putra Dewi Kunti
yang sedang menyamar. Narayana menjelaskan pula bahwa Resi Padmanaba telah
bercerita bahwa dirinya bukan anak kandung Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi,
melainkan putra Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura. Kakrasana juga mengetahui
hal itu dari Batara Brahma. Karena Prabu Basudewa adalah kakak kandung Dewi
Kunti, itu berarti Raden Permadi adalah sepupu Kakrasana, Narayana, dan Rara
Ireng. Nyai Sagopi pun membenarkan hal itu.
Kakrasana bercerita pula bahwa
dirinya baru saja turun dari Gunung Rewataka dan kini hendak menuju Kerajaan Mandura
untuk membebaskan Prabu Basudewa dari cengkeraman Prabu Kangsadewa. Narayana
dan Udawa pun berniat demikian. Kabarnya hari ini Prabu Kangsadewa hendak
mengadakan pertunjukan Adu Jago di alun-alun ibu kota. Dalam pertunjukan itu,
Prabu Basudewa rencananya akan dibunuh di depan rakyatnya sendiri. Oleh sebab
itu, Kakrasana dan Narayana pun berangkat lebih dulu sebelum terlambat,
sedangkan Nyai Sagopi, Rara Ireng, dan Rara Sati berjalan di belakang bersama
Raden Permadi, Udawa, dan para panakawan.
ARYAPRABU RUKMA MENDAPAT BANTUAN RADEN BRATASENA
Sementara itu, Aryaprabu Rukma
yang berhasil meloloskan diri dari Desa Widarakandang selama tujuh hari ini
bersembunyi di Gunung Saptaarga, meminta perlindungan Bagawan Abyasa. Hari itu
datang pula Raden Bratasena (yang menyamar sebagai Wasi Balawa) mengunjungi
sang kakek dan bercerita tentang perbuatan para Kurawa dan Patih Sangkuni yang
telah membakar Balai Sigala-gala. Raden Bratasena mengabarkan bahwa ibu dan
saudara-saudaranya kini masih hidup dan sedang menyamar sebagai para pendeta.
Bagawan Abyasa bersyukur mendengar kelima cucu dan menantunya selamat dari
peristiwa kebakaran tersebut.
Raden Bratasena lalu bercerita
bahwa kedatangannya ke Gunung Saptaarga adalah untuk meminta petunjuk tentang
keberadaan adiknya, yaitu Raden Permadi yang pergi tanpa pamit. Awal mulanya,
Dewi Kunti memerintahkan Raden Bratasena dan Raden Permadi berpencar mencari
makanan untuk si kembar. Keduanya masing-masing kembali dengan membawa tumpeng
lengkap dengan lauknya. Namun, Dewi Kunti memilih tumpeng yang dibawa Raden
Bratasena karena diperoleh dari hasil mengadu nyawa, sedangkan tumpeng yang
dibawa Raden Permadi ditolak karena diperoleh dari hasil menggoda istri orang.
Sejak kejadian itu Raden Permadi menjadi murung dan akhirnya pergi berkelana
tanpa pamit bersama para panakawan.
Bagawan Abyasa memberikan
petunjuk bahwa Raden Bratasena bisa bertemu dengan adiknya itu apabila ia mau
membantu Aryaprabu Rukma menyelamatkan Prabu Basudewa. Raden Bratasena
menyatakan bersedia. Bagawan Abyasa pun memperkenalkannya dengan Aryaprabu
Rukma yang tidak lain adalah adik Dewi Kunti atau pamannya sendiri. Aryaprabu
Rukma sangat senang bisa berjumpa dengan keponakannya itu. Mereka lalu mohon
pamit berangkat bersama menuju Kerajaan Mandura.
WASI BALAWA MENANTANG PATIH SURATIMANTRA
Di alun-alun ibu kota Mandura
kini telah berdiri sebuah panggung besar. Segenap rakyat Mandura pun berkumpul
untuk menyaksikan pertunjukan Adu Jago yang akan digelar di hari itu. Prabu
Kangsadewa berdiri di atas panggung bersama Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena
yang masih terikat rantai. Prabu Kangsadewa mengumumkan bahwa hari ini Patih
Suratimantra akan bertindak sebagai jago menghadapi pemuda berkulit bule dan
hitam bernama Kakrasana dan Narayana dari Desa Widarakandang. Apabila kedua
pemuda itu tidak muncul, maka Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena akan disembelih
di hadapan banyak orang.
Tiba-tiba datanglah Aryaprabu
Rukma dan Wasi Balawa (nama samaran Raden Bratasena) yang langsung naik ke atas
panggung. Aryaprabu Rukma berkata bahwa dirinya gagal menemukan Kakrasana dan
Narayana. Sebagai gantinya, ia membawa seorang pendeta muda bertubuh tinggi
besar sebagai lawan Patih Suratimantra. Apabila jagonya ini kalah, maka
Aryaprabu Rukma bersedia ikut disembelih bersama Prabu Basudewa dan Arya
Ugrasena. Akan tetapi, jika jagonya menang, maka Prabu Kangsadewa harus dihukum
mati di hadapan segenap rakyat Mandura.
Prabu Kangsadewa menolak
tantangan tersebut. Dalam hal ini dirinya merasa lebih berkuasa dan lebih
berhak menentukan aturan, bukannya Aryaprabu Rukma. Wasi Balawa mengejek Prabu
Kangsadewa berjiwa pengecut, hanya berani berteriak-teriak menakuti rakyat,
padahal tidak punya nyali. Jangankan melawan Patih Suratimantra, bahkan Wasi
Balawa mengaku sanggup jika Prabu Kangsadewa ikut maju mengeroyoknya.
Prabu Kangsadewa termakan
ejekan Wasi Balawa. Ia marah-marah dan memerintahkan Patih Suratimantra untuk melayani
tantangan tersebut. Rakyat pun bersorak-sorai. Mereka berharap Wasi Balawa
mampu menyelamatkan nasib Kerajaan Mandura dari cengkeraman Prabu Kangsadewa.
KEMATIAN PATIH SURATIMANTRA DAN PRABU KANGSADEWA
Pertandingan Adu Jago pun
dimulai. Patih Suratimantra bertarung melawan Wasi Balawa di atas panggung.
Meskipun masih muda, namun Wasi Balawa memiliki pengalaman bertarung lumayan
banyak, antara lain pernah menghadapi Prabu Suksara, Arya Gandamana, Prabu
Jalasengara, dan Prabu Baka. Maka, ia pun mampu mengimbangi kesaktian dan
kekuatan Patih Suratimantra.
Sebaliknya, Patih Suratimantra
merasa heran melihat ada seorang pendeta muda yang ternyata sulit sekali
dikalahkan. Setelah bertarung cukup lama, Patih Suratimantra akhirnya terdesak
kalah. Wasi Balawa berhasil menangkap tubuhnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi
hendak dibanting ke lantai panggung.
Ketika tubuhnya diangkat
tinggi itulah, Patih Suratimantra sempat melihat dua pemuda berkulit bule dan
hitam baru saja datang dan menyelinap di antara para penonton. Patih
Suratimantra pun meronta sehingga dirinya berhasil bebas dari cengkeraman Wasi
Balawa. Patih raksasa itu lalu melompat ke arah Kakrasana dan Narayana, hendak
menangkap mereka berdua.
Kakrasana dengan cekatan
membaca mantra dan mengeluarkan Gada Alugora. Begitu Patih Suratimantra
mendekat, ia langsung menghantam kepalanya menggunakan gada berwujud alu tersebut.
Seketika Patih Suratimantra pun tewas dengan kepala pecah.
Prabu Kangsadewa terkejut
melihat pamannya tewas dibunuh pemuda bule. Ia pun menyerang Kakrasana dengan
membawa Gada Lohitamuka. Maka, terjadilah pertarungan adu gada antara Prabu
Kangsadewa dan Kakrasana. Ketika mereka saling tangkis, Gada Alugora dan Gada
Lohitamuka sama-sama terlepas dari tangan dan jatuh ke tanah. Prabu Kangsadewa
dan Kakrasana melanjutkan pertarungan dengan tangan kosong. Kali ini Prabu
Kangsadewa lebih unggul dan ia berhasil meringkus Kakrasana dan mencekik
lehernya menggunakan tangan kanan.
Narayana maju berusaha
menolong kakaknya. Namun, Prabu Kangsadewa dengan cekatan meringkusnya pula.
Kedua pemuda itu kini sama-sama berada dalam cengkeraman Prabu Kangsadewa.
Kakrasana dicekik menggunakan tangan kanan, sedangkan Narayana dicekik
menggunakan tangan kiri. Wasi Balawa dan Aryaprabu Rukma berusaha menolong
namun mereka dikeroyok para raksasa Sengkapura.
Pada saat itulah tiba-tiba
muncul Rara Ireng bersama Wasi Parta. Rara Ireng segera mengerahkan ilmu gendam
pengasihan, membuat Prabu Kangsadewa terlena dan kurang waspada. Karena lengah
melihat kecantikan gadis itu, Prabu Kangsadewa tidak menyadari kalau Wasi Parta
telah melepaskan panah yang meluncur dan menancap tepat di dadanya. Prabu
Kangsadewa pun kesakitan dan membuat cengkeramannya menjadi kendur.
Kakrasana dan Narayana berhasil
lolos dari cekikan lawan. Mereka pun segera mengeluarkan pusaka masing-masing.
Dari tangan Narayana muncul senjata Cakra Sudarsana yang melesat memenggal
kepala Prabu Kangsadewa. Pada saat yang sama, senjata Nanggala di tangan Kakrasana
juga menghantam perut Prabu Kangsadewa hingga terbakar menjadi arang.
Melihat sang raja telah
binasa, para prajurit Sengkapura pun berhamburan. Ada yang menyerah takluk dan
ada pula yang melarikan diri.
RADEN BRATAENA MENDAPATKAN GADA RUJAKPOLO
Aryaprabu Rukma dan Patih
Saragupita telah membuka rantai yang mengikat Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena.
Prabu Basudewa segera memeluk Kakrasana, Narayana, dan Rara Ireng, serta
mengumumkan kepada segenap rakyat yang menyaksikan bahwa mereka bertiga adalah
anak-anaknya yang sejak kecil dititipkan pada Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi
di Desa Widarakandang. Prabu Basudewa juga berterima kasih kepada Wasi Balawa
dan Wasi Parta yang tidak lain adalah keponakannya sendiri, putra-putra Dewi
Kunti.
Kakrasana lalu memungut Gada Alugora
miliknya yang masih tergeletak di tanah sejak pertarungan tadi. Adapun Gada
Lohitamuka milik Prabu Kangsadewa juga masih tergeletak karena tidak ada
seorang pun yang mampu memindahkannya. Prabu Basudewa lalu memerintahkan Wasi
Balawa untuk mengangkat gada besar tersebut. Wasi Balawa menyanggupi. Dengan
penuh hormat, ia pun memegang Gada Lohitamuka dan berhasil mengangkatnya. Prabu
Basudewa kagum dan mempersilakan Wasi Balawa untuk memiliki gada besar
tersebut. Wasi Balawa bersedia. Ia lalu mengganti nama Gada Lohitamuka menjadi
Gada Rujakpolo.
ARYAPRABU RUKMA DAN ARYA UGRASENA MENJADI RAJA
Keadaan kini telah aman
kembali. Prabu Basudewa kembali menduduki takhta Kerajaan Mandura. Ia
mengangkat Kakrasana sebagai pangeran mahkota, sedangkan Hutan Banjarpatoman
diserahkan kepada Narayana supaya dibuka menjadi puri kasatrian.
Prabu Basudewa juga menetapkan
kedua adiknya, yaitu Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena menjadi raja yang
merdeka, tidak lagi berada di bawah Kerajaan Mandura. Mulai hari ini, Aryaprabu
Rukma dilantik sebagai raja Kumbina, bergelar Prabu Bismaka, sedangkan Arya
Ugrasena dilantik sebagai raja Lesanpura, bergelar Prabu Satyajit.
Setelah upacara pelantikan
selesai, Wasi Balawa dan Wasi Parta beserta para panakawan mohon pamit kembali
ke tempat ibu dan saudara-saudara mereka yang saat ini masih tinggal di wilayah
Kerajaan Ekacakra.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
CATATAN : Kisah kematian Prabu Kangsa menurut Raden Ngabehi
Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala
692 yang ditandai dengan sengkalan “Sikaraning Rudra angrasa barakan”, atau
tahun Candrasengkala 713 yang ditandai dengan sengkalan “Geni sawukir sirna”.
Kakrasana |
Narayama |
Kangsa Adu Jago
BalasHapusMain sabung ayam cuma di BOLAVITA paling nyaman
judi sabung ayam dengan presentase kemenangan tertinggi
Untuk info lebih lanjut bisa melalui:
whatup : 08122222995
BBM: D8C363CA
Wechat : Bolavita.
Line : Cs_bolavita.
BBM: D8C363CA
WINNING303 SITUS JUDI ONLINE TERBESAR DAN TERBAIK
BalasHapusWinning303 adalah salah satu situs judi online yang sedang berkembang menuju yang terbaik diantara lainnya. Untuk itu kami memberikan bonus Spesial kepada seluruh member-member kami seperti :
- BONUS WELCOME 20%
- BONUS DEPOSIT 10%
- VONUS CASHBACK 5-10%
- BONUS 7x WIN SABUNG AYAM
- PROMO DISKON TOGEL SAMPAI 65%
- BONUS ROLINGAN 0.5%
- 1% ROLINGAN SLOT
>>>Daftar<<<
Yuk segera daftarkan diri anda bosku, untuk menikmati bonus-bonus diatas. Terima kasih.
Hubungi kami di :
WA : +6281717177303
atau langsung di Livechat kami di www(titik)winning303(titikk)net
Winning303
Yuk di add pin B -O-L- A- V- I- T- A
BalasHapusSabung ayam online dan semua jenis permainan judi online ..
Semua bonus menarik kami berikan setiap hari nya ... :)
www,bolavita,com sabung ayam bangkok
Sanggitnya Unik
BalasHapusLakon kongso adu jago kok komentare sabung ayam online wkwkwkk menungso menungso
BalasHapusAkhirnya nemu nemu cerita kangsa adujago, trimksh
BalasHapusWah kirain sama ceritanya dengan jagal abilowo
BalasHapusTerimakasih dgn referensi cerita wayang kongso adu jago.
BalasHapus