Kisah ini menceritakan sayembara memperebutkan Dewi Drupadi, putri
sulung Prabu Drupada. Sayembara berupa adu keterampilan memanah, serta pertandingan
melawan Arya Gandamana. Dalam sayembara ini Arya Gandamana gugur dan sempat
mewariskan ilmunya kepada para Pandawa. Adapun Dewi Drupadi akhirnya menjadi
istri Raden Puntadewa.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta)
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan kitab Mahabharata
karya Resi Wyasa, serta rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdo
dan Ki Manteb Soedharsono, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 16 September 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Dewi Drupadi |
PARA RAJA DAN PANGERAN BERKUMPUL MELAMAR DEWI DRUPADI
Prabu Drupada di Kerajaan
Cempalareja (Pancala Selatan) sedang memimpin pertemuan, dihadap Arya Gandamana
(adik ipar), Raden Drestajumena (putra mahkota), dan Patih Drestaketu (menteri
utama). Hari itu mereka membahas tentang para raja dan pangeran dari berbagai
negeri yang berkumpul di luar istana dengan maksud dan tujuan sama, yaitu
melamar Dewi Drupadi, putri sulung Prabu Drupada yang terkenal kecantikannya.
Prabu Drupada merasa bingung
menentukan pilihan. Apabila ia menerima pinangan salah satu dari mereka, maka yang
lainnya pasti akan tersinggung dan tidak terima. Dikhawatirkan mereka akan
bersatu menggempur Kerajaan Cempalareja untuk melampiaskan kekesalan.
Raden Drestajumena mengusulkan
kepada sang ayah agar mengadakan sayembara untuk menentukan siapa yang berhak
menjadi suami kakaknya. Adapun bentuk sayembara itu adalah perlombaan adu keterampilan
memanah. Selama berguru kepada Resi Druna di Padepokan Sokalima, ilmu memanah
adalah pelajaran yang paling ia sukai, sehingga ketika membicarakan bentuk
sayembara, maka yang pertama muncul dalam pikirannya adalah sayembara memanah.
Raden Drestajumena mengusulkan
agar dalam sayembara memanah nanti, busur yang digunakan adalah Busur Gandiwa,
warisan turun-temurun Kerajaan Duhyapura. Busur pusaka ini sangat berat dan seolah
bisa memilih siapa orang yang boleh mengangkatnya. Dulu ketika Kerajaan
Duhyapura hancur diserang Prabu Bahlika dari Siwandapura, Busur Gandiwa
berhasil diselamatkan oleh Patih Suganda (yang kemudian bergelar Prabu
Gandabayu, raja Pancala pertama). Konon saat itu Patih Suganda membutuhkan seratus
orang prajurit untuk mengangkut busur pusaka tersebut.
Mengenai sasaran yang harus
dipanah dalam sayembara tersebut adalah sehelai rambut milik Dewi Drupadi yang diikat
tinggi di atas tiang. Si pemanah juga tidak boleh melihat langsung kepada
sasaran, tetapi harus melalui cermin. Prabu Drupada merasa persyaratan
sayembara yang diusulkan putranya ini terlalu sulit. Jangankan membidik sasaran
yang sangat kecil tersebut melalui cermin, sedangkan mengangkat Busur Gandiwa
saja belum tentu ada raja dan pangeran yang mampu melakukannya.
Arya Gandamana tidak setuju
dengan ucapan Prabu Drupada. Menurutnya, ada seorang kesatria yang mampu
membidik sasaran sulit tersebut, yaitu Raden Arjuna (Permadi), putra Prabu
Pandu. Menurut berita yang beredar, Raden Arjuna telah tewas dalam peristiwa
kebakaran di Waranawata. Namun demikian, Arya Gandamana tetap yakin
keponakannya itu pasti masih hidup sampai sekarang.
Prabu Drupada sendiri tidak
yakin apa mungkin para Pandawa bisa selamat dari peristiwa kebakaran tersebut.
Namun, ia mengembalikan semuanya kepada Sang Pencipta. Jika memang para Pandawa
masih hidup, semoga salah satu dari mereka bisa menjadi suami dari putrinya.
Setelah berpikir demikian,
Prabu Drupada pun membubarkan pertemuan dan ia memerintahkan Raden Drestajumena
dan Patih Drestaketu untuk mempersiapkan sayembara.
SAYEMBARA MEMANAH UNTUK DEWI DRUPADI DIMULAI
Raden Drestajumena dibantu
Patih Drestaketu telah mendirikan tiang setinggi tujuh puluh depa, yang di
puncaknya terikat sehelai rambut milik Dewi Drupadi. Para raja dan pangeran
dari berbagai negara berkumpul di dekat tempat itu, sedangkan Prabu Drupada,
Dewi Gandawati, Arya Gandamana, Dewi Drupadi, dan Dewi Srikandi menonton dari
kejauhan.
Raden Drestajumena mengumumkan
tata cara sayembara. Barangsiapa mampu memanah sehelai rambut di atas tiang
tinggi tersebut sambil memandang cermin menggunakan Busur Gandiwa, maka ia
berhak memperistri Dewi Drupadi, kakak sulungnya. Busur Gandiwa pun telah
disiapkan di dekat tiang, yang mana untuk mengangkutnya tadi dibutuhkan seratus
orang prajurit.
Peserta yang pertama kali maju
adalah Adipati Jayadrata dari Banakeling. Ia berusaha mengangkat Busur Gandiwa
dengan sekuat tenaga tetapi gagal. Dengan perasaan malu, ia pun pulang
meninggalkan tempat itu, kembali ke negerinya.
Peserta yang kedua adalah
Prabu Jarasanda raja Magada. Dengan langkah sombong penuh percaya diri ia
berusaha mengangkat Busur Gandiwa. Akan tetapi, semakin ia mengerahkan tenaga,
busur itu terasa semakin berat. Dengan wajah merah menahan malu, ia pun undur
diri kembali ke negerinya.
Peserta yang ketiga adalah
Prabu Salya raja Mandraka. Ia berkata bahwa dirinya mengikuti sayembara bukan
untuk memperistri Dewi Drupadi, tetapi untuk menjadikannya sebagai menantu.
Prabu Drupada dari kejauhan mempersilakan sahabatnya itu untuk mencoba. Prabu
Salya pun mengerahkan Aji Candabirawa untuk mengerahkan para raksasa ganas dari
dalam dirinya agar turut membantu mengangkat Busur Gandiwa. Namun demikian,
semakin mereka berusaha, busur pusaka itu terasa semakin berat. Prabu Salya
akhirnya menyerah. Ia memasukkan kembali para raksasa Candabirawa ke dalam tubuhnya,
kemudian mohon pamit pulang ke Kerajaan Mandraka.
DEWI DRUPADI MENGHINA RADEN SURYAPUTRA
Setelah Adipati Jayadrata,
Prabu Jarasanda, dan Prabu Salya pulang meninggalkan tempat sayembara, para
raja dan pangeran lainnya merasa gentar untuk mencoba. Perwakilan dari Kerajaan
Hastina, yaitu Raden Kurupati (Suyudana) datang bersama adik-adiknya (para
Kurawa), serta Patih Sangkuni dan Raden Suryaputra. Raden Kurupati merasa
sayembara ini terlalu sulit untuknya dan ia tidak mau menjadi bahan tertawaan
para hadirin. Raden Suryaputra lalu berbisik kepada sahabatnya itu bahwa
dirinya yang akan maju mewakili untuk mendapatkan Dewi Drupadi. Raden Kurupati
merasa senang dan ia pun mempersilakan Raden Suryaputra untuk mencoba.
Raden Suryaputra melangkah
maju mendekati Busur Gandiwa. Meskipun biasanya ia bersikap angkuh dan sombong,
namun hari itu ia memandang Busur Gandiwa dengan penuh penghormatan. Setelah
menyembah tiga kali, ia lantas mengangkat busur pusaka tersebut. Sungguh ajaib,
Busur Gandiwa seolah merelakan dirinya diangkat oleh Raden Suryaputra. Jika
orang lain merasa Busur Gandiwa sangat berat, maka Raden Suryaputra merasa
busur pusaka ini sangat ringan dan juga lentur.
Para hadirin pun
bersorak-sorak memuji Raden Suryaputra anak Adipati Adirata sebagai calon
pemenang. Tiba-tiba Dewi Drupadi melangkah maju menghampiri Raden Suryaputra
yang sudah bersiap hendak membidik sasaran melalui cermin. Ia mendapat firasat
bahwa pemuda ini bukanlah jodohnya. Maka, dengan segala cara ia pun berusaha
menggagalkan Raden Suryaputra. Dengan suara lembut tetapi keras, Dewi Drupadi
berkata bahwa ia tidak mau menjadi istri dari putra seorang kusir kereta.
Raden Suryaputra sangat
tersinggung mendengarnya. Prabu Drupada menyusul putrinya dan mengatakan bahwa
Kyai Adirata ayah Raden Suryaputra bukan lagi seorang kusir kereta, tetapi sudah
diangkat menjadi adipati di Petapralaya. Namun, Dewi Drupadi tetap tidak bersedia
jika Raden Suryaputra melanjutkan sayembara. Ia menganggap Raden Suryaputra
hanyalah seorang “kere munggah bale”. Meskipun kini Raden Suryaputra menjadi
anak seorang adipati, namun itu adalah pemberian Raden Kurupati. Yang namanya
kaum sudra tetap berjiwa buruh, meskipun memakai baju bangsawan.
Raden Suryaputra semakin marah
mendengar penghinaan Dewi Drupadi. Ia meletakkan Busur Gandiwa, lalu berkata
semoga suatu hari nanti Dewi Drupadi mendapatkan pembalasan, yaitu dihina di
depan umum. Ia berharap semoga dirinya panjang umur dan bisa menyaksikan
penghinaan atas Dewi Drupadi tersebut. Setelah mengutuk demikian, Raden
Suryaputra lalu pergi meninggalkan Kerajaan Cempalareja, sedangkan Dewi Drupadi
mundur sambil menangis.
ARYA GANDAMANA MENGADAKAN SAYEMBARA TANDING
Raden Kurupati marah atas
penghinaan Dewi Drupadi terhadap sahabatnya. Kini Raden Suryaputra yang menjadi
andalannya telah pulang ke Petapralaya. Ia pun maju dan berbicara lantang di
hadapan para hadirin, bahwa sayembara ini adalah sayembara mustahil. Prabu
Drupada tidak berniat mencari menantu, tetapi berniat ingin mempermalukan para
raja dan pangeran dari berbagai negara.
Patih Sangkuni maju dan meminta
maaf kepada Prabu Drupada atas kelancangan Raden Kurupati. Ia mencoba
meluruskan maksud keponakannya itu dengan mengatakan bahwa Prabu Drupada sudah
berniat baik yaitu mencari calon suami untuk Dewi Drupadi melalui sayembara.
Akan tetapi, mengapa harus dibatasi yang pandai memanah saja? Sebenarnya Prabu
Drupada ingin mencari menantu ataukah ingin mencari pemanah jitu? Di dunia ini
hanya ada dua kesatria yang ahli panah, yaitu Raden Suryaputra dan Raden
Arjuna. Raden Suryaputra sudah terlanjur pulang karena dihina, sedangkan Raden
Arjuna sudah meninggal dunia. Apakah Prabu Drupada rela melihat Dewi Drupadi
menjadi perawan tua karena tidak ada lagi raja dan pangeran yang sanggup
menyelesaikan sayembara? Apa tidak sebaiknya sayembara ini diubah menjadi yang
lebih umum saja, misalnya melalui pertandingan adu kesaktian? Bukankah jenis
senjata para kesatria di dunia ini ada bermacam-macam, mengapa harus terbatas
pada panah saja?
Arya Gandamana yang sejak dulu
membenci Patih Sangkuni segera menanggapi, bahwa dirinya siap menjadi jago jika
memang sayembara panah diubah menjadi sayembara tanding. Ia pun memohon kepada
Prabu Drupada agar diizinkan untuk mewujudkan hal itu, sama seperti dulu ia pernah
mengadakan sayembara tanding untuk mencarikan suami kakaknya, yaitu Dewi
Gandawati. Prabu Drupada mengizinkan Arya Gandamana untuk menggelar sayembara
tanding tersebut, karena dalam hati ia juga merasa khawatir jika putrinya
menjadi perawan tua karena sayembara yang digelar Raden Drestajumena terlalu
sulit.
Arya Gandamana kemudian
berkata kepada para hadirin bahwa mulai saat ini sayembara panah diubah menjadi
sayembara tanding. Barangsiapa bisa mengalahkan dirinya, maka ia berhak memboyong
Dewi Drupadi, keponakannya. Terserah para pelamar boleh menggunakan senjata
jenis apa, Arya Gandamana siap menghadapi dengan tangan kosong.
Raden Kurupati yang sejak tadi
memendam kekesalan karena sahabatnya dihina, segera maju untuk menantang Arya
Gandamana. Mereka berdua pun bertanding satu lawan satu. Selang agak lama Raden
Kurupati terdesak dan segera mengambil senjata gada. Namun demikian, Arya
Gandamana tetap unggul. Sampai akhirnya tubuh Raden Kurupati berhasil dilemparkannya
dengan sekuat tenaga, hingga jatuh di hutan luar kota.
Patih Sangkuni segera
memerintahkan Raden Dursasana untuk maju melawan Arya Gandamana. Sama seperti
kakaknya, Raden Dursasana juga kalah dan tubuhnya dilempar ke luar kota. Merasa
tidak puas, Patih Sangkuni segera memerintahkan para Kurawa lainnya, seperti
Raden Kartawarma, Raden Surtayu, Raden Durmuka, Raden Durjaya, Raden Durmagati,
Raden Citraksa, dan Raden Citraksi untuk maju mengeroyok Arya Gandamana. Namun
sedikit pun Arya Gandamana tidak gentar. Dengan mengerahkan Aji Bandung
Bandawasa, ia melemparkan semua pangeran Hastina itu jauh-jauh meninggalkan
gelanggang sayembara.
Para raja dan pangeran
lainnya, termasuk Patih Sangkuni ngeri melihat kekuatan Arya Gandamana. Mereka
pun membubarkan diri, meninggalkan tempat tersebut dan menyusul ke mana
jatuhnya para Kurawa. Seketika suasana kini berubah menjadi sepi, sungguh
berbeda dengan sebelumnya.
PARA PANDAWA DAN DEWI KUNTI BERTEMU RESI DOMYA
Sementara itu, para Pandawa
dan Dewi Kunti telah meninggalkan Kerajaan Ekacakra dan melanjutkan perjalanan
mereka mengembara. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan Resi Domya yang
merupakan sahabat sekaligus murid Bagawan Abyasa.
Meskipun kelima Pandawa dan
Dewi Kunti menyamar sebagai kaum brahmana, namun Resi Domya dapat mengenali
mereka. Resi Domya pun berkata bahwa dirinya baru saja pulang dari Padepokan
Saptaarga menemui Bagawan Abyasa. Dalam pertemuan itu, Bagawan Abyasa bercerita
bahwa semasa hidupnya, Prabu Pandu (ayah para Pandawa) pernah membantu Arya
Sucitra memenangkan sayembara tanding mengalahkan Arya Gandamana sehingga bisa
memperistri Dewi Gandawati. Kemudian Arya Sucitra mewarisi takhta Kerajaan
Pancala dan bergelar Prabu Drupada. Atas keberhasilannya itu, ia berniat semoga
kelak bisa berbesan dengan Prabu Pandu. Menurut ramalan Bagawan Abyasa, kini
sudah saatnya putri Prabu Drupada menjadi istri salah satu dari para Pandawa.
Sungguh kebetulan, Resi Domya
mendengar kabar bahwa Prabu Drupada mengadakan sayembara untuk mencari calon
suami Dewi Drupadi. Untuk itu, ia pun meminta izin kepada Dewi Kunti agar boleh
mengajak para Pandawa mengikuti sayembara tersebut.
Dewi Kunti mengaku dirinya
pernah mendengar cerita mendiang Prabu Pandu bahwa Prabu Drupada ingin berbesan
dengan mereka. Maka, Dewi Kunti pun mengizinkan Resi Domya berangkat lebih dulu
bersama Raden Puntadewa, Raden Bratasena (Bima), dan Raden Permadi (Arjuna).
Demikianlah, Resi Domya pun
mohon pamit dan segera berangkat menuju Kerajaan Cempalareja bersama tiga Pandawa
itu, dan juga panakawan Petruk dan Bagong. Adapun Dewi Kunti berjalan di
belakang bersama si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa, serta panakawan Kyai
Semar dan Nala Gareng.
ARYA GANDAMANA MENGHADAPI RADEN KAKRASANA
Pada saat yang sama, Prabu
Basudewa raja Mandura juga memerintahkan kedua putranya, yaitu Raden Kakrasana
dan Raden Narayana agar mengikuti sayembara di Cempalareja. Mereka pun
berangkat dengan disertai Dewi Bratajaya (Rara Ireng) dan juga Arya Udawa.
Dalam perjalanan menuju ke sana, Raden Narayana mengaku malas mengikuti
sayembara tersebut karena ia yakin Dewi Drupadi bukanlah jodohnya. Sebaliknya,
Raden Kakrasana tidak peduli perempuan itu menjadi jodohnya atau tidak, yang
penting perintah orang tua harus segera dilaksanakan.
Rombongan Raden Kakrasana itu
akhirnya tiba di Kerajaan Cempalareja. Mereka pun memperkenalkan diri sebagai
utusan Prabu Basudewa. Prabu Drupada menyambut mereka dengan ramah dan
mempersilakan untuk mengikuti sayembara tanding, melawan Arya Gandamana.
Raden Kakrasana maju ke
gelanggang, berhadapan dengan Arya Gandamana. Keduanya bertanding tangan kosong
saling mengadu kesaktian. Arya Gandamana merasa lawannya kali ini sungguh
perkasa, jelas berbeda dibanding para Kurawa tadi. Raden Kakrasana sendiri
mengerahkan Aji Balarama yang membuat tubuhnya lebih kuat dan tidak mudah
letih. Tenaganya seperti tidak pernah habis, membuat Arya Gandamana lama-lama
terdesak kewalahan.
Arya Gandamana segera
mengimbangi dengan mengerahkan Aji Bandung Bandawasa dan Aji Blabak
Pangantol-antol sekaligus. Raden Kakrasana yang merasa sudah menang menjadi
lengah. Tubuhnya pun terlempar jauh oleh kekuatan Arya Gandamana. Raden
Narayana, Dewi Bratajaya, dan Arya Udawa segera menyusul ke mana jatuhnya
saudara mereka itu.
Raden Narayana lalu menemukan
Raden Kakrasana terjepit di antara dua bongkah batu besar, di luar ibu kota
Cempalareja. Raden Kakrasana tampak merintih kesakitan minta ditolong. Raden
Narayana lalu meraba kedua batu besar itu menggunakan Aji Balasrewu. Sungguh
ajaib, hanya dengan diraba saja kedua batu besar itu langsung hancur menjadi
abu.
Raden Kakrasana berterima
kasih dan memuji kesaktian adiknya. Andai Raden Narayana bersedia mengikuti
sayembara, pasti ia mampu mengalahkan Arya Gandamana. Namun, Raden Narayana
tetap menolak karena ia yakin Dewi Drupadi bukan jodohnya. Raden Kakrasana
menjadi bimbang apakah dirinya perlu melanjutkan sayembara itu sesuai perintah
orang tua ataukah tidak. Raden Narayana menyarankan agar sang kakak memiliki
pendirian sendiri. Mematuhi perintah orang tua adalah kewajiban. Tetapi kalau
perintah itu tidak selaras dengan ketentuan Sang Pencipta apakah harus tetap
dijalankan?
Raden Narayana menyarankan
lebih baik Raden Kakrasana pergi bertapa ke Gunung Rewataka, menyempurnakan
ilmu dan menyerahkan diri kepada takdir Tuhan. Urusan jodoh dan rejeki kelak
pasti akan terbuka jalan apabila Raden Kakrasana mau berusaha memperbaiki dirinya.
Raden Kakrasana menerima saran
sang adik. Ia balik bertanya ke mana Raden Narayana akan pergi. Raden Narayana berkata
bahwa tadi malam ia mimpi mendapat perintah dewa agar berziarah ke makam kakek
dan neneknya, yaitu Prabu Kuntiboja dan Dewi Bandondari di Astana Gandamadana.
Setelah berziarah, hendaknya Raden Narayana juga berguru kepada juru kunci astana,
yaitu Kapi Jembawan. Raden Kakrasana heran mengapa Raden Narayana harus berguru
kepada kera tua macam dia. Raden Narayana menjawab bahwa Kapi Jembawan bukan
sekadar kera biasa, tetapi ia adalah mantan pengikut Prabu Sri Rama di zaman
dahulu, dan juga penasihat Prabu Sugriwa, raja bangsa Wanara. Raden Narayana
berpesan kepada Raden Kakrasana agar jangan mudah merendahkan orang lain hanya
karena melihat wujud luarnya saja.
Demikianlah, Raden Kakrasasana
dan Raden Narayana pun berpisah. Raden Kakrasana mengganti nama menjadi Wasi
Jaladara dan berangkat menuju Gunung Rewataka bersama Dewi Bratajaya, sedangkan
Raden Narayana berangkat menuju Astana Gandamadana bersama Arya Udawa.
ARYA GANDAMANA BERTANDING MELAWAN WASI BALAWA
Sementara itu, Arya Gandamana
masih berdiri di gelanggang menunggu Raden Kakrasana yang tak kunjung kembali untuk
melanjutkan pertandingan melawan dirinya. Bukannya pemuda bule yang muncul,
tetapi empat orang pendeta yang tampak berjalan memasuki alun-alun Cempalareja
menghadap Prabu Drupada.
Pendeta yang paling tua
bernama Resi Domya, sedangkan tiga yang muda bernama Dwija Kangka, Wasi Balawa,
dan Wasi Parta. Mereka memohon kepada Prabu Drupada agar diizinkan mengikuti
sayembara memperebutkan Dewi Drupadi. Prabu Drupada tersinggung melihat ada
kaum pendeta miskin berani melamar putrinya. Ia pun mengusir Resi Domya beserta
ketiga muridnya itu dengan kasar.
Arya Gandamana sekilas dapat
mengenali bahwa ketiga pendeta muda itu adalah para Pandawa yang sedang
menyamar. Ia pun meminta Prabu Drupada agar bersabar dan jangan terburu nafsu
menilai orang dari wujud luarnya. Siapa tahu ketiga pendeta ini memang dikirim
dewata untuk memenangkan Dewi Drupadi. Mendengar itu, amarah Prabu Drupada reda
dan ia pun mengizinkan mereka mengikuti sayembara. Namun demikian, dalam hati ia
berharap mereka segera kalah dalam waktu singkat.
Arya Gandamana kemudian
berkata kepada Wasi Balawa agar dia saja yang mengikuti sayembara tanding. Wasi
Balawa segera naik ke atas gelanggang. Arya Gandamana pun berbisik bahwa ia
sudah tahu kalau Wasi Balawa adalah penyamaran Raden Bratasena. Ia pun berkata
bahwa dirinya akan bertanding pura-pura kalah supaya Dewi Drupadi bisa menjadi
istri salah satu Pandawa. Wasi Balawa menolak dengan tegas. Ia tidak mau
diperlakukan istimewa. Pertandingan ini haruslah dilakukan dengan
sungguh-sungguh, bukan main-main.
Arya Gandamana bangga melihat
sikap tegas keponakannya itu. Ia pun memulai pertandingan. Keduanya segera
bertarung tanpa senjata. Prabu Drupada sekeluarga menonton dari jauh dan merasa
kagum melihat ada seorang pendeta muda yang sanggup mengimbangi kekuatan Arya
Gandamana.
Demikianlah, pertarungan
antara Arya Gandamana dan Wasi Balawa berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya
Arya Gandamana lengah dan tubuhnya jatuh terkena tendangan Wasi Balawa. Arya
Gandamana merasa malu dan segera mengerahkan Aji Bandung Bandawasa disertai Aji
Blabak Pangantol-antol. Ketika lengah, Wasi Balawa pun tertangkap dan diapit
menggunakan ketiak.
Wasi Balawa merasa sesak
kehabisan napas. Ia merintih menyebut nama keluarganya satu persatu, mulai dari
Ibu Kunti, kakak sulung, serta ketiga adiknya. Ia juga menyebut nama Bapak
Pandu dan Ibu Madrim yang sudah berada di alam baka. Mendengar nama Prabu Pandu
disebut, seketika perasaan Arya Gandamana menjadi sedih dan tubuhnya pun gemetar.
Merasa ada peluang, Wasi
Balawa segera meronta sekuat tenaga. Tanpa sadar, Kuku Pancanaka di ibu jarinya
pun memanjang dan menusuk dada Arya Gandamana hingga tembus ke punggung. Arya
Gandamana pun roboh bersimbah darah.
ARYA GANDAMANA MEWARISKAN ILMUNYA
Wasi Balawa menangis memeluk
Arya Gandamana sambil meminta maaf karena tidak sengaja telah melukai pamannya
itu. Dwija Kangka dan Wasi Parta ikut mendekat menghampiri mereka, begitu pula
dengan Prabu Drupada sekeluarga segera meninggalkan tempat duduk mereka
masing-masing untuk melihat keadaan Arya Gandamana.
Arya Gandamana sama sekali
tidak menyalahkan Wasi Balawa. Ia pun bercerita kepada Prabu Drupada bahwa dulu
dirinya pernah bertemu dengan pendeta tua sakti bernama Resi Druwasa. Dalam
pertemuan itu Resi Druwasa meramalkan bahwa suatu hari Arya Gandamana akan
meninggal di tangan putra Prabu Pandu. Namun demikian, ia akan terlahir kembali
sebagai putra dari putra Prabu Pandu tersebut. Hari ini ramalan itu menjadi
kenyataan. Arya Gandamana pun mengumumkan bahwa Wasi Balawa adalah penyamaran
Raden Bratasena, Dwija Kangka adalah penyamaran Raden Puntadewa, sedangkan Wasi
Parta adalah penyamaran Raden Permadi.
Prabu Drupada tergetar hatinya
melihat para Pandawa masih hidup dan selamat dari kebakaran di Kota Waranawata.
Perasaannya sedih bercampur gembira, yaitu sedih karena Arya Gandamana sebentar
lagi meninggal dunia dan gembira karena cita-citanya berbesan dengan mendiang
Prabu Pandu dapat terlaksana.
Arya Gandamana sendiri merasa
ajalnya sudah dekat. Ia lalu mengheningkan cipta dan memindahkan ilmu
kesaktiannya, yaitu Aji Bandung Bandawasa dan Aji Blabak Pangantol-antol kepada
Raden Bratasena. Setelah itu ia memindahkan kalung pusaka Robyong Mustikarawis
kepada Raden Puntadewa. Apabila Raden Puntadewa meraba kalung tersebut, maka
seketika ia akan berubah menjadi raksasa tinggi besar berwarna putih. Yang
terakhir, Arya Gandamana memindahkan Aji Saipi Angin kepada Raden Permadi. Daya
kekuatan ajian tersebut adalah membuat Raden Permadi bisa bergerak cepat
melebihi kecepatan angin.
Arya Gandamana lalu berpesan
bahwa kelak ia akan terlahir kembali ke dunia, menitis kepada putra Raden Bratasena. Setelah berkata demikian, ia pun meninggal dunia dengan senyum
bahagia. Tubuhnya kemudian musnah bagaikan asap.
RADEN PERMADI MENUNTASKAN SAYEMBARA PANAH
Setelah Arya Gandamana
meninggal, suasana menjadi hening. Tiba-tiba Raden Drestajumena berkata lantang
bahwa ia tidak percaya kalau ketiga pendeta muda miskin di hadapannya adalah
para Pandawa. Semasa hidupnya, Arya Gandamana selalu memuji-muji Prabu Pandu
dan kelima putranya. Selain itu, Resi Druna juga selalu memuji nama Raden
Arjuna Permadi sebagai pemanah terhebat di dunia. Raden Drestajumena risih
mendengar pujian-pujian tersebut. Baginya, Raden Arjuna adalah musuh besar,
karena pernah menangkap ayahnya dan menyebabkan Kerajaan Pancala terbelah
menjadi dua.
Prabu Drupada melarang Raden
Drestajumena membenci para Pandawa karena mereka hanya menjalankan tugas dari
Resi Druna, guru mereka. Lagipula soal Kerajaan Pancala terbelah menjadi dua
itu pun sudah suratan takdir karena ulah Prabu Drupada sendiri yang mengingkari
janji persahabatan dengan Resi Druna.
Raden Drestajumena tetap kukuh
pada pendiriannya. Ia masih belum percaya kalau ketiga pendeta muda itu adalah
para Pandawa dan ia merasa khawatir jangan-jangan pamannya mewariskan ilmu
kepada orang yang salah. Untuk membuktikannya, ia pun menantang Wasi Parta apakah
sanggup menuntaskan sayembara panah yang ia gelar. Jika Wasi Parta bisa
membuktikan bahwa dirinya adalah Raden Arjuna si pemanah jitu, barulah ia rela
kakaknya diboyong para Pandawa.
Wasi Parta maju menerima
tantangan Raden Drestajumena. Ia lalu menyembah hormat kepada Prabu Drupada dan
Dewi Gandawati, kemudian melangkah mendekati Busur Gandiwa. Dengan sikap santun
penuh hormat, Wasi Parta menyembah busur pusaka tersebut tiga kali kemudian
mengangkatnya. Raden Drestajumena heran melihat Wasi Parta sanggup mengangkat busur
berat tersebut dengan mudah, seolah terasa ringan.
Wasi Parta lalu membidik
sasaran berupa rambut yang diikat di ujung tiang dengan cara melihat cermin.
Setelah yakin, ia pun melepaskan panah dan secepat kilat panah itu melesat
mengenai sasaran. Panah itu kemudian jatuh di depan Raden Drestajumena, di mana
pada ujungnya telah tertancap sehelai rambut milik Dewi Drupadi.
Raden Drestajumena kagum bukan
kepalang. Ia menyaksikan sendiri bagaimana panah yang dilepaskan Wasi Parta
memotong rambut yang diikat di atas tiang dan membawanya turun ke tanah tanpa
terpisah. Dengan perasaan kagum ia pun menghormat kepada Wasi Parta dan
mengakuinya sebagai Raden Permadi.
RADEN PUNTADEWA MENJADI CALON SUAMI DEWI DRUPADI
Sayembara meminang Dewi
Drupadi dinyatakan usai. Prabu Drupada lalu bertanya siapa di antara Raden
Bratasena dan Raden Permadi yang akan menjadi suami putrinya. Raden Permadi
menjawab bahwa dirinya tidak akan menikah apabila kakak sulungnya belum
menikah. Raden Bratasena juga menjawab demikian, bahwa ia mengikuti sayembara
adalah untuk mencarikan istri Raden Puntadewa, kakak sulungnya. Mendengar itu,
Raden Puntadewa menolak. Ia merasa Raden Bratasena dan Raden Permadi lebih
berhak menikahi Dewi Drupadi karena merekalah yang telah memenangkan sayembara.
Pada saat itulah Dewi Kunti datang
bersama si kembar serta panakawan Kyai Semar dan Nala Gareng. Prabu Drupada dan
Dewi Gandawati segera memberi hormat kepada Dewi Kunti dan bersyukur karena
janda Prabu Pandu itu masih sehat dan selamat dari kebakaran Balai Sigala-gala.
Dewi Kunti menasihati Raden
Puntadewa agar menerima Dewi Drupadi sebagai istrinya. Dahulu ketika Prabu
Drupada naik takhta di Kerajaan Pancala pernah berniat ingin berbesan dengan
Prabu Pandu. Kini niat itu menjadi kenyataan. Dewi Drupadi adalah putri sulung
Prabu Drupada, tentunya tepat jika menikah dengan putra sulung Prabu Pandu,
yaitu Raden Puntadewa. Lagipula Raden Bratasena sudah menikah dengan Dewi
Nagagini namun ia bersumpah tidak akan menyentuh istrinya selama sang kakak
belum menikah. Jika Raden Puntadewa menolak menikah dengan Dewi Drupadi, maka Raden
Bratasena tidak akan memiliki anak. Raden Bratasena pun membenarkan hal itu.
Jika ia tidak memiliki anak, maka Paman Gandamana tidak akan lahir kembali ke
dunia.
Raden Puntadewa masih
keberatan. Ia menyarankan agar Raden Permadi saja yang menikahi Dewi Drupadi.
Namun, Raden Permadi menolak karena ia pernah berjanji tidak akan menikah jika
kedua kakaknya belum menikah. Raden Puntadewa tetap keberatan karena bukan
dirinya yang memenangkan sayembara, sehingga ia merasa tidak berhak mengambil
hadiahnya.
Dewi Kunti bercerita bahwa sayembara
diwakili orang lain itu adalah hal yang wajar dalam tradisi para kesatria.
Semasa muda Resiwara Bisma pernah memenangkan sayembara di Kerajaan Giyantipura
mewakili Prabu Citrawirya, adiknya. Prabu Arjuna Sasrabahu raja Mahespati di
zaman dulu juga pernah diwakili Bambang Sumantri saat memboyong Dewi Citrawati
putri Magada. Begitu pula dengan Arya Ugrasena juga pernah mewakili Prabu
Basudewa dalam memenangkan Dewi Dewaki.
Raden Puntadewa seorang yang berwatak
lembut tapi teguh pendirian. Dewi Kunti menyadari hal itu. Ia pun bertanya
apakah Raden Puntadewa sanggup menjadi anak yang berbakti kepada orang tua yang
tinggal satu-satunya ini? Raden Puntadewa menjawab sanggup. Dewi Kunti lalu
berkata bahwa seorang anak yang berbakti tentu menjalankan perintah orang
tuanya tanpa membantah. Untuk itu, Dewi Kunti pun memerintahkan Raden Puntadewa
agar menikah dengan Dewi Drupadi. Kali ini Raden Puntadewa tidak dapat
membantah lagi. Ia akhirnya menurut dan menyatakan bersedia memenuhi perintah tersebut.
Prabu Drupada lega
mendengarnya. Ia pun memerintahkan Dewi Drupadi untuk mengalungkan rangkaian
bunga ke leher Raden Puntadewa. Dewi Drupadi mematuhi. Tadi ketika menyaksikan Raden
Permadi berhasil menuntaskan sayembara panah, Dewi Drupadi hanya merasa kagum
tetapi dalam hati tidak yakin kalau pemuda itu yang akan menjadi jodohnya.
Entah mengapa hatinya justru lebih tertarik kepada Raden Puntadewa yang berdiri
tenang di pinggir gelanggang. Tak disangka, sulung para Pandawa itulah yang kini
menjadi calon suaminya.
PARA KURAWA HENDAK MEREBUT DEWI DRUPADI
Sementara itu, Raden Kurupati
dan para Kurawa lainnya belum pulang ke Hastina setelah tadi mereka kalah
melawan Arya Gandamana. Raden Kurupati merasa malu jika pulang dengan tangan
hampa. Ketika terdengar kabar bahwa Arya Gandamana telah meninggal dan kini
Dewi Drupadi menjadi istri seorang pendeta muda, hatinya bertambah kesal. Ia
pun mengajak adik-adiknya untuk menyerang Kerajaan Cempalareja dan merebut Dewi
Drupadi.
Raden Bratasena yang masih
menyamar sebagai Wasi Balawa segera menghadapi serangan para Kurawa itu. Ia
mencabut tiang bekas peralatan sayembara untuk digunakan sebagai senjata. Para
Kurawa kocar-kacir terkena pukulan tiang di tangan Wasi Balawa itu. Mereka pun
kabur melarikan diri, kembali ke Kerajaan Hastina.
DEWI KUNTI DAN PARA PANDAWA MEMBUKA PENYAMARAN
Pada hari yang ditentukan
diadakanlah upacara pernikahan antara Raden Puntadewa dan Dewi Drupadi. Pada
hari itu, Dewi Kunti tidak lagi menyamar sebagai pendeta wanita bernama Nyai
Rini, tetapi sudah memakai pakaian ratu janda. Begitu pula dengan para Pandawa juga
sudah mencukur kumis dan janggut mereka dan kini mengenakan busana pangeran.
Setelah upacara selesai, Prabu
Drupada meminta Dewi Kunti dan para Pandawa untuk tetap tinggal di Kerajaan
Cempalareja daripada pulang ke Hastina. Dewi Kunti bersedia namun untuk
sementara saja. Apabila waktunya tiba, mereka akan mohon diri memboyong Dewi
Drupadi ke Gunung Saptaarga, menghadap Bagawan Abyasa.
Prabu Drupada memaklumi hal
itu. Kelak jika Dewi Kunti dan para Pandawa berpamitan, ia berjanji akan
menyerahkan Busur Gandiwa sebagai kenang-kenangan. Busur Gandiwa ini tentunya
akan lebih berguna jika berada di tangan Raden Permadi, daripada disimpan
begitu saja dalam istana Cempalareja. Lagipula Raden Permadi telah memenangkan
sayembara memanah tetapi tidak mengambil hadiahnya. Maka, Busur Gandiwa boleh menjadi
hadiah pengganti sekaligus sebagai tanda persahabatan antara Prabu Drupada
dengan ahli waris Prabu Pandu. Raden Permadi berterima kasih atas kebaikan
Prabu Drupada. Ia pun berjanji akan menggunakan Busur Gandiwa dengan
sebaik-baiknya, jika kelak benar menjadi miliknya.
Arya Gandamana |
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
CATATAN : Kisah sayembara memanah dan gugurnya Arya Gandamana menurut
Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun
Suryasengakala 693 yang ditandai dengan sengkalan “Gunaning Rudra angebahaken
wiyat”, atau tahun Candrasengkala 714 yang ditandai dengan sengkalan “Janma
kaswareng barakan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar