Kisah ini menceritakan upaya licik Arya Suman dalam menyingkirkan Patih
Gandamana dan merebut kedudukannya sebagai menteri utama Kerajaan Hastina. Arya
Suman memang berhasil mewujudkan keinginannya namun ia harus menderita cacat
buruk rupa dan namanya pun diganti menjadi Patih Sangkuni.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pentas Ki Anom Suroto yang saya
padukan dengan rekaman pentas Ki Manteb Soedharsono, dengan sedikit
pengembangan seperlunya.
Kediri, 12 Juli 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Arya Suman menjadi Patih Sangkuni |
PRABU PANDU MENERIMA SURAT DARI PRABU TREMBOKO
Prabu Pandu Dewanata di
Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri oleh Adipati Dretarastra,
Dewi Gandari, Raden Yamawidura, Patih Gandamana, Resi Krepa, dan Arya Suman.
Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang Kerajaan Pringgadani yang telah
menjalin persahabatan dengan Kerajaan Hastina, serta Prabu Tremboko secara
pribadi telah menjadi murid sekaligus adik angkat Prabu Pandu.
Arya Suman pun menyela bicara,
bahwa putra sulung Prabu Tremboko yang bernama Raden Arimba baru saja datang ke
Kerajaan Hastina untuk menyampaikan surat dari ayahnya. Akan tetapi, raksasa
muda tersebut tidak berani masuk istana untuk menghadap Prabu Pandu dan memilih
berhenti di luar. Kebetulan waktu itu Arya Suman lewat dan menanyakan ada
keperluan apa. Raden Arimba segera menyerahkan surat yang ia bawa dan buru-buru
pulang ke Kerajaan Pringgadani.
Arya Suman lalu menyampaikan
surat tersebut kepada Prabu Pandu. Prabu Pandu menerima dan membacanya dengan
seksama. Betapa terkejut Prabu Pandu karena surat itu berisi pernyataan sikap
dari Prabu Tremboko yang ingin memutuskan persahabatan dengan Kerajaan Hastina.
Bahkan, raja raksasa itu juga menyatakan siap untuk berperang dengan Kerajaan
Hastina kapan saja.
Prabu Pandu heran mengapa
Prabu Tremboko tiba-tiba berubah sikap seperti itu. Adipati Dretarastra dan
Dewi Gendari berkata bahwa bagaimanapun juga Prabu Tremboko adalah kaum raksasa
yang suka berbuat kejam. Prabu Pandu sendiri yang salah karena terlalu mudah
percaya, padahal jelas-jelas Prabu Tremboko adalah keturunan Prabu Kuramba,
yaitu pendiri Kerajaan Pringgadani yang dulu tewas di tangan Resi Manumanasa.
Kini Prabu Tremboko telah mempelajari ilmu kesaktian Prabu Pandu, dan ternyata
itu justru digunakan untuk melawan Kerajaan Hastina sendiri.
Sementara itu, Raden
Yamawidura meminta agar Prabu Pandu jangan terlalu gegabah memercayai isi surat
dari Prabu Tremboko tersebut. Alangkah baiknya Prabu Pandu mengirimkan duta
untuk menyelidiki apakah benar Prabu Tremboko berniat memberontak atau tidak.
Prabu Pandu menyetujui usulan adiknya tersebut. Ia pun memerintahkan Patih
Gandamana untuk pergi ke Kerajaan Pringgadani dan bertanya langsung atas hal
ini kepada Prabu Tremboko.
DEWI MADRIM MENGUNDANG BATARA ASWAN DAN BATARA ASWIN
Prabu Pandu membubarkan
pertemuan dan masuk ke dalam kedaton, di mana kedua istrinya, yaitu Dewi Kunti
dan Dewi Madrim telah menunggu. Dalam kesempatan itu Prabu Pandu meminta kepada
Dewi Madrim untuk mematangkan benih yang ada dalam kandungannya, dengan
mengundang dewa dari kahyangan.
Belasan tahun yang lalu Prabu
Pandu mendapat kutukan dari Resi Kindama bahwa ia akan mendapat celaka apabila
bersetubuh dengan istrinya. Kutukan tersebut membuat Prabu Pandu sangat
prihatin, karena itu berarti seumur hidup ia tidak akan memiliki keturunan.
Untungnya, Resi Druwasa datang membawa sarana berupa Mangga Pertanggajiwa yang
dagingnya dipotong menjadi lima bagian. Resi Druwasa lalu menanam saripati
benih Prabu Pandu dalam potongan daging mangga itu dan menyerahkannya kepada
Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Dewi Kunti menelan tiga potong, sedangkan Dewi
Madrim menelan dua potong.
Dewi Kunti kemudian
mengerahkan Aji Kunta Wekasing Rahsa Cipta Tunggal Tanpa Lawan untuk mengundang
Batara Darma. Kepada dewa keadilan tersebut, Dewi Kunti meminta agar benih
Prabu Pandu di dalam perutnya disatukan dengan benih miliknya di dalam rahim.
Batara Darma pun mengabulkan permintaan tersebut. Dengan kuasanya, ia mampu menyatukan
benih Prabu Pandu dengan Dewi Kunti menjadi bayi bernama Raden Puntadewa.
Dengan demikian, Prabu Pandu berhasil memiliki putra tanpa harus menyentuh
istrinya.
Dua tahun kemudian, Dewi Kunti
mengundang Batara Bayu untuk menyatukan benih kedua di dalam perutnya. Benih
kedua itu pun disatukan dengan benih di dalam rahimnya menjadi bayi perkasa
bernama Raden Bima yang lahir dalam keadaan terbungkus. Setahun berikutnya,
Dewi Kunti mengundang Batara Indra untuk mematangkan benih ketiga. Benih Prabu
Pandu yang ketiga tersebut disatukan dengan benih dalam rahim Dewi Kunti
sehingga lahirlah Raden Arjuna. Setelah Raden Arjuna berusia dua belas tahun,
barulah Raden Bima keluar dari bungkusnya, berkat bantuan Gajah Sena dari
kahyangan.
Kini tiba saatnya Prabu Pandu
meminta Dewi Madrim untuk mematangkan dua benih di dalam rahimnya. Selama ini
Dewi Madrim selalu menunda-nunda karena ia sudah terlanjur sayang kepada Raden
Puntadewa yang dianggapnya sebagai anak sendiri. Ia takut jika memiliki anak kandung,
maka rasa kasihnya kepada Raden Puntadewa akan berkurang.
Prabu Pandu pun menjelaskan
bahwa Raden Puntadewa kini telah berusia tujuh belas tahun, maka sudah saatnya
bagi dia untuk belajar dewasa. Jika terus-menerus dalam asuhan Dewi Madrim,
tentu hal ini kurang bagus bagi perkembangan jiwanya. Dewi Kunti pun ikut
bicara. Ia berterima kasih atas segala perhatian Dewi Madrim kepada Raden
Puntadewa selama ini. Ia pun berjanji apabila Dewi Madrim memiliki putra, maka
Dewi Kunti akan menyayangi mereka melebihi anak kandung sendiri.
Dewi Madrim akhirnya setuju
untuk mematangkan kedua benih di dalam perutnya. Meskipun dua potong daging Mangga
Pertangga Jiwa sudah tujuh belas tahun tertanam di dalam perutnya namun sama
sekali tidak rusak ataupun ikut keluar bersama kotoran. Setelah mempelajari
mantra Aji Kunta Wekasing Rahsa dari Dewi Kunti, ia pun segera bersamadi
mengundang dua orang dewa sekaligus, yaitu dewa kembar tabib kahyangan, bernama
Batara Aswan dan Batara Aswin.
Sepasang dewa kembar itu pun
turun menemui Dewi Madrim. Dewi Madrim meminta kepada mereka agar kedua benih
Prabu Pandu yang tertanam dalam perutnya bisa disatukan dengan benih miliknya
di dalam rahim sehingga menjadi janin kembar. Namun, ia meminta agar janin
kembar tersebut dibiarkan matang secara wajar selama sembilan bulan, bukan
matang secara singkat dalam waktu sekejap. Batara Aswan dan Batara Aswin
mengabulkan permintaan itu. Dengan kekuasaan mereka, seketika Dewi Madrim pun
mengandung anak kembar. Setelah dirasa cukup, kedua dewa itu lalu undur diri kembali
ke kahyangan.
ARYA SUMAN MENDAHULUI PATIH GANDAMANA
Sementara itu, Arya Suman yang
tadi menyerahkan surat dari Prabu Tremboko kepada Prabu Pandu tampak keluar
dari istana dalam keadaan kecewa karena rencananya gagal. Ia pun memanggil dua
keponakan tersayangnya, yaitu Raden Suyudana dan Raden Dursasana (Kurawa nomor
satu dan dua). Kepada mereka, Arya Suman bercerita bahwa surat dari Prabu
Tremboko tadi sebenarnya adalah surat palsu. Surat yang asli berisi permintaan
maaf Prabu Tremboko yang sudah beberapa bulan tidak bisa menghadap ke Kerajaan
Hastina, karena istrinya baru saja melahirkan seorang putra bernama Raden
Kalabendana. Namun, Arya Suman menakut-nakuti Raden Arimba si pembawa surat,
bahwa hari ini Prabu Pandu sedang marah-marah kepada para menteri dan punggawa.
Karena Raden Arimba percaya dan merasa gentar, ia pun menitipkan surat dari
ayahnya itu kepada Arya Suman. Demikianlah, Arya Suman diam-diam mengubah isi
surat tersebut seolah-olah Prabu Tremboko hendak menantang perang Kerajaan
Hastina.
Raden Suyudana dan Raden
Dursasana ngeri mengetahui perbuatan paman mereka yang berani mengubah surat
dari raja Pringgadani. Arya Suman berkata bahwa ini semua ia lakukan adalah
demi untuk membuka jalan bagi Raden Suyudana agar bisa mewarisi takhta Kerajaan
Hastina. Meskipun rencananya mengadu domba Prabu Pandu dan Prabu Tremboko
gagal, namun kini ia mendapat peluang untuk menyingkirkan Patih Gandamana.
Dalam sekejap otaknya melahirkan rencana kedua, yaitu pergi ke Kerajaan
Pringgadani mendahului Patih Gandamana untuk menghasut Prabu Tremboko. Raden
Suyudana dan Raden Dursasana diajak serta, sekaligus untuk mengajari mereka
ilmu tipu muslihat demi mencapai tujuan.
ARYA SUMAN MENGHASUT PRABU TREMBOKO
Prabu Tremboko di Kerajaan
Pringgadani dihadap putra-putrinya, yaitu Dewi Arimbi, Raden Brajadenta, Raden
Brajamusti, Raden Brajalamatan, dan Raden Brajawikalpa. Mereka sedang
membicarakan Raden Kalabendana yang kini telah berusia dua bulan, serta Raden
Arimba yang diutus pergi ke Kerajaan Hastina untuk menyampaikan surat berisi
permintaan maaf Prabu Tremboko kepada Prabu Pandu.
Tidak lama kemudian Raden
Arimba datang dan melaporkan bahwa surat tersebut telah dititipkan kepada Arya
Suman yang mengaku sebagai adik Prabu Pandu. Ini karena Arya Suman bercerita
bahwa Prabu Pandu sedang marah-marah kepada para menteri, sehingga Raden Arimba
merasa takut jika langsung menghadap kepadanya.
Baru saja Raden Arimba selesai
bercerita, tiba-tiba Arya Suman datang bersama Raden Suyudana dan Raden
Dursasana. Arya Suman memperkenalkan dirinya kepada Prabu Tremboko sebagai adik
Prabu Pandu. Ia lalu mengabarkan bahwa Prabu Pandu bertambah marah setelah
membaca surat tadi, bahkan merobek-robek surat tersebut. Prabu Pandu telah
menuduh Prabu Tremboko bersikap kekanak-kanakan, karena tidak mau menghadap
hanya demi untuk merayakan kelahiran anaknya. Kini, Prabu Pandu memerintahkan
Patih Gandamana untuk menjemput paksa Prabu Tremboko yang dianggap telah
membangkang.
Prabu Tremboko merasa heran
mengapa Prabu Pandu marah dan merobek-robek suratnya yang berisi permintaan
maaf tersebut. Arya Suman pun menjelaskan bahwa akhir-akhir ini sikap Prabu
Pandu berubah menjadi pemarah karena sering mendapat hasutan dari Patih
Gandamana. Arya Suman mengaku telah berusaha membela Prabu Tremboko di hadapan
Prabu Pandu, namun Patih Gandamana terlalu pandai bicara dan berhasil meyakinkan
Prabu Pandu bahwa Prabu Tremboko berniat memberontak.
Mendengar itu, Prabu Tremboko
sangat marah. Ia berterima kasih kepada Arya Suman yang peduli kepada dirinya. Raden
Arimba lalu diperintahkan untuk memimpin pasukan raksasa menghadang Patih
Gandamana.
PATIH GANDAMANA TERJEBAK DI DALAM SUMUR UPAS
Raden Arimba beserta pasukan
raksasa Pringgadani berangkat menghadang Patih Gandamana yang berjalan seorang
diri tanpa pengawal. Tanpa banyak bicara, para raksasa itu langsung menyerang
Patih Gandamana. Karena diserang tiba-tiba, Patih Gandamana pun berusaha
membela diri. Tadinya ia hanya bertahan tanpa membalas. Namun, karena dikeroyok
terus-menerus, akhirnya kesabaran Patih Gandamana habis juga. Ia pun mengerahkan
ilmu kesaktian untuk melawan para raksasa itu, membuat mereka kewalahan dan
mundur.
Raden Arimba ditemui Arya
Suman yang mengatakan bahwa untuk mengalahkan Patih Gandamana harus menggunakan
tipu muslihat. Ia pun menjelaskan bahwa di perbatasan Kerajaan Pringgadani
terdapat sebuah sumur beracun yang dikenal dengan nama Sumur Upas. Arya Suman
lalu mengajarkan bagaimana caranya menjebak Patih Gandamana agar masuk ke dalam
sumur tersebut.
Setelah mendapat petunjuk dari
Arya Suman, Raden Arimba segera maju kembali. Ia berteriak-teriak menantang dan
mengejek Patih Gandamana. Pada dasarnya Patih Gandamana memang pemarah. Begitu
mendengar ejekan tersebut, ia langsung mengerahkan Aji Blabak Pengantol-antol
untuk menerjang Raden Arimba. Sesuai rencana, Raden Arimba pun berlari ke arah
Sumur Upas. Patih Gandamana melompat sambil mengerahkan ilmu kesaktiannya.
Dalam beberapa lompatan ia sudah mendekati Raden Arimba. Namun, begitu melompat
untuk yang terakhir, Raden Arimba berhasil menghindar, dan Patih Gandamana pun
tercebur masuk ke dalam Sumur Upas.
Begitu melihat Patih Gandamana
sudah masuk ke dalam perangkap, Arya Suman segera memerintahkan Raden Suyudana
dan Raden Dursasana untuk menceburkan batu-batu besar ke dalam sumur. Raden
Arimba dan adik-adiknya ikut membantu. Dalam waktu sekejap Sumur Upas pun
berubah menjadi semacam bukit yang kokoh karena tertimbun oleh bebatuan. Arya
Suman yakin Patih Gandamana pasti tewas terkena gas beracun di dalam sumur
tersebut. Andaikan Patih Gandamana selamat dari gas beracun, tetap saja ia mati
tertimpa bebatuan yang ditimbunkan ke dalam sumur tadi.
Raden Arimba berterima kasih
atas bantuan Arya Suman. Ia pun menawarkan jamuan makan kepada satria dari
Plasajenar tersebut. Namun, Arya Suman menolak. Ia mohon pamit hendak pulang ke
Kerajaan Hastina untuk merebut kedudukan patih. Ia berjanji apabila menjadi
patih maka hubungan Kerajaan Hastina dan Pringgadani akan pulih kembali seperti
sediakala. Setelah berkata demikian, Arya Suman dan dua keponakannya pun
berangkat meninggalkan tempat itu.
RADEN YAMAWIDURA BERUSAHA MENOLONG PATIH GANDAMANA
Tanpa sepengetahuan Arya
Suman, ternyata diam-diam Raden Yamawidura bersama dua keponakannya, yaitu
Raden Bratasena dan Raden Permadi, serta para panakawan mengintai apa yang baru
saja terjadi. Raden Bratasena sangat marah melihat perbuatan Arya Suman dan berniat
ingin mengejarnya. Namun, Raden Yamawidura melarang karena saat ini yang paling
penting adalah bagaimana menolong Patih Gandamana keluar dari dalam Sumur Upas.
Raden Yamawidura sejak awal
memang sudah curiga Arya Suman pasti mengubah surat dari Prabu Tremboko. Namun,
karena belum memiliki bukti, ia tidak dapat membongkar kejahatan Arya Suman.
Selain itu, Arya Suman juga selalu dibela oleh Adipati Dretarastra dan Dewi
Gendari, membuat Raden Yamawidura harus mencari cara yang lain. Maka, diam-diam
Raden Yamawidura pun pergi ke Kerajaan Pringgadani untuk memperingatkan Patih
Gandamana agar berhati-hati. Namun, kedatangannya terlambat karena ia melihat
Patih Gandamana sudah tercebur ke dalam Sumur Upas dan ditimbun bebatuan oleh
para raksasa dan para Kurawa.
PATIH GANDAMANA DITOLONG RESI GUNABANTALA
Raden Yamawidura berjalan
mendekati Sumur Upas yang kini telah sepi. Ia memerintahkan Raden Bratasena
yang perkasa untuk membongkar bebatuan yang menutup mulut sumur tersebut. Namun
tiba-tiba, muncul seorang pendeta tua melarang Raden Bratasena untuk turun
tangan karena itu sangat berbahaya.
Pendeta tua itu memperkenalkan
dirinya bernama Resi Gunabantala dari Padepokan Arga Kumelun. Ia menjelaskan
bahwa Sumur Upas sangat beracun. Apabila Raden Bratasena membongkar bebatuan untuk
menolong Patih Gandamana, maka bisa-bisa dirinya akan ikut menjadi korban
karena menghirup gas beracun di dalam sumur. Resi Gunabantala pun menawarkan
diri untuk membantu mengeluarkan Patih Gandamana, tetapi ia ingin Raden
Yamawidura berjanji memenuhi permintaannya.
Raden Yamawidura menyanggupi
permintaan Resi Gunabantala apabila benar-benar mampu menyelamatkan sahabatnya.
Resi Gunabantala merasa senang lalu ia pun mengubah wujudnya menjadi seekor
landak berwarna putih. Dengan cekatan landak putih tersebut menggali tanah dan menerobos
masuk ke dalam sumur, tanpa harus membongkar tumpukan batu di atasnya. Beberapa
saat kemudian, si landak putih sudah keluar lagi ke permukaan sambil menyeret
tubuh Patih Gandamana.
Landak putih lalu kembali ke
wujud Resi Gunabantala. Pendeta tua itu membaca mantra sambil menekan dada
Patih Gandamana yang pingsan karena menghirup gas beracun, serta terluka oleh
tumpukan batu. Perlahan-lahan Patih Gandamana pun bangun seperti sediakala. Ia sangat
berterima kasih atas pertolongan Resi Gunabantala dan Raden Yamawidura.
Raden Yamawidura terharu
melihat sahabatnya selamat dari malapetaka. Ia pun menceritakan bahwa ini semua
adalah ulah Arya Suman yang telah menghasut Kerajaan Pringgadani untuk
memerangi Patih Gandamana. Mendengar itu, Patih Gandamana sangat marah dan
ingin membalas perbuatan Arya Suman. Raden Yamawidura pun bersedia mendampinginya
pulang ke Hastina untuk melapor kepada Prabu Pandu.
Akan tetapi, Resi Gunabantala menagih
janji Raden Yamawidura di awal tadi. Raden Yamawidura pun bertanya apa yang
menjadi permintaan sang pendeta tua dan ia siap mengabulkannya. Resi
Gunabantala menjelaskan bahwa ia memiliki seorang putri bernama Endang
Sinduwati yang bermimpi menikah dengan Raden Yamawidura. Resi Gunabantala sangat
ingin mewujudkan mimpi putrinya tersebut bagaimanapun caranya.
Raden Yamawidura menjelaskan
bahwa dirinya sudah mempunyai istri bernama Dewi Padmarini, putri Adipati
Dipacandra dari Pagombakan. Dari perkawinan itu pun telah lahir seorang putra
bernama Raden Sanjaya yang saat ini masih kecil. Resi Gunabantala menjawab
tidak masalah jika Raden Yamawidura memiliki istri lebih dari satu. Ia rela
jika putrinya dimadu asalkan impian tersebut dapat terwujudkan.
Raden Yamawidura lalu meminta
pendapat Kyai Semar tentang masalah ini. Kyai Semar pun menyarankan agar Raden
Yamawidura sebagai kesatria hendaknya menepati janji yang telah diucapkannya
tadi. Raden Yamawidura akhirnya menurut. Ia pun bersedia menikahi Endang
Sinduwati, putri Resi Gunabantala.
Maka, rombongan lalu dibagi
menjadi dua. Patih Gandamana bersama Raden Bratasena pulang ke Kerajaan
Hastina, sedangkan Raden Yamawidura, Raden Permadi, dan para panakawan mengikuti
Resi Gunabantala menuju Padepokan Arga Kumelun, di mana Endang Sinduwati telah
menunggu.
ARYA SUMAN MENJADI PATIH KERAJAAN HASTINA
Sementara itu, Arya Suman
bersama Raden Suyudana dan Raden Dursasana telah sampai di hadapan Prabu Pandu
Dewanata. Hadir pula Adipati Dretarastra dan Dewi Gendari dalam pertemuan itu.
Arya Suman pun bercerita bahwa ia baru saja pergi ke Kerajaan Pringgadani karena
hatinya tidak tega melihat Patih Gandamana berangkat seorang diri tanpa pengawal.
Dalam hal ini Arya Suman meminta maaf kepada Prabu Pandu karena bersikap
lancang menyusul Patih Gandamana tanpa perintah.
Arya Suman lalu menjelaskan
bahwa saat ia datang ke Pringgadani ternyata Patih Gandamana sedang berselisih
dengan Prabu Tremboko dan anak-anaknya. Arya Suman berniat membantu, tetapi
Patih Gandamana justru memaki dirinya dengan kata-kata pedas, bahwa ia datang
hanya untuk mencari muka dan ingin kelihatan berjasa di hadapan Prabu Pandu.
Arya Suman merasa prihatin atas tuduhan Patih Gandamana tersebut sehingga ia
tidak berani lagi menawarkan bantuan.
Maka, Arya Suman pun hanya
bisa menonton saat Patih Gandamana bertempur seorang diri melawan para raksasa
Pringgadani. Hingga akhirnya Patih Gandamana terperosok masuk ke dalam Sumur
Upas dan ditimbun secara keji oleh Raden Arimba dan adik-adiknya. Kini Patih
Gandamana telah tewas. Arya Suman berusaha mengeluarkan jasadnya tetapi jumlah
musuh terlalu banyak sehingga ia terpaksa pulang untuk melapor kepada Prabu
Pandu.
Prabu Pandu sangat prihatin
mengetahui nasib buruk yang menimpa Patih Gandamana. Adipati Dretarastra juga
mengaku prihatin tetapi bagaimanapun juga ini adalah karma yang diterima Patih
Gandamana karena dia telah memaki Arya Suman sebagai tukang cari muka, padahal
Arya Suman tulus ingin membantunya. Dewi Gendari menambahkan bahwa Prabu Pandu harus
segera menunjuk orang lain untuk menggantikan kedudukan Patih Gandamana sebagai
menteri utama Kerajaan Hastina.
Prabu Pandu menjawab bahwa
untuk mengangkat patih yang baru, ia ingin berunding lebih dulu dengan Resiwara
Bisma yang kini jarang datang ke istana. Adipati Dretarastra menjawab itu
terlalu lama karena Resiwara Bisma saat ini sedang bertapa di Padepokan
Talkanda. Lagipula keadaan Hastina sedang genting karena setiap saat Prabu
Tremboko bisa datang menyerang. Bagaimanapun juga, Prabu Pandu harus segera
mengangkat patih yang baru.
Prabu Pandu mengikuti saran
sang kakak. Ia pun meminta pertimbangan siapa punggawa yang bisa dilantik
sebagai patih, apakah Arya Banduwangka, Arya Bargawa, ataukah Arya Bilawa.
Adipati Dretarastra menolak nama-nama itu karena mereka semua adalah punggawa
tua. Saat ini Kerajaan Hastina membutuhkan seorang tokoh muda yang pandai dan
cekatan karena keadaan sedang darurat. Maka, calon yang paling tepat hanyalah Arya
Suman.
Arya Suman mengaku keberatan
karena Arya Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya Bilawa sudah lama mengabdi di
Kerajaan Hastina sehingga mereka lebih pantas menjadi patih dibanding dirinya.
Meskipun mulutnya berkata demikian, namun dalam hati ia membaca mantra sihir
untuk memengaruhi pikiran Prabu Pandu agar mengabulkan usulan Adipati
Dretarastra. Pengaruh mantra sihir tersebut membuat Prabu Pandu terlena dan
akhirnya ia pun menyetujui pengangkatan Arya Suman sebagai patih. Ia lalu
menerbitkan surat keputusan dan memerintahkan Arya Suman untuk mengumumkannya
kepada seluruh menteri dan punggawa.
PATIH GANDAMANA KEMBALI KE KERAJAAN HASTINA
Setelah Arya Suman pergi
sambil membawa surat keputusan pengangkatannya, tiba-tiba Patih Gandamana
datang bersama Raden Bratasena. Prabu Pandu, Adipati Dretarastra, dan Dewi
Gendari terkejut mengetahui ternyata Patih Gandamana masih hidup, padahal Arya
Suman sudah terlanjur diangkat sebagai patih.
Patih Gandamana bercerita
bahwa dirinya telah dijebak Arya Suman sehingga masuk ke dalam perangkap.
Untungnya Raden Yamawidura datang menolong dirinya. Adipati Dretarastra dan
Dewi Gendari tidak percaya hal itu dan menuduh Patih Gandamana pasti memfitnah
adik mereka. Raden Bratasena pun bersaksi bahwa ucapan Patih Gandamana benar
adanya. Namun, Adipati Dretarastra menolak karena Raden Bratasena masih di
bawah umur, sehingga kesaksiannya tidak berlaku menurut ketentuan hukum negara.
Prabu Pandu memutuskan untuk
mengadakan persidangan antara Patih Gandamana dan Arya Suman, dengan
menghadirkan Raden Yamawidura sebagai saksi. Karena Raden Yamawidura masih belum
datang, maka Patih Gandamana dipersilakan untuk menunggu di rumah terlebih
dulu. Patih Gandamana menurut dan ia pun mohon pamit kembali ke kepatihan.
PATIH GANDAMANA MENGHAJAR ARYA SUMAN
Sementara itu, Arya Suman
telah berada di kepatihan tempat tinggal Patih Gandamana. Di sana ia bertemu
istri Patih Gandamana yang bernama Dewi Setyarini. Ia menjelaskan bahwa Patih
Gandamana telah tewas di Kerajaan Pringgadani dan dirinya baru saja diangkat oleh
Prabu Pandu sebagai patih yang baru. Maka, kepatihan pun resmi menjadi tempat
tinggalnya. Dewi Setyarini tidak perlu keluar dari kepatihan karena Arya Suman
berniat ingin menjadikannya sebagai istri.
Dewi Setyarini menangis sedih.
Ia menolak menjadi istri Arya Suman dan memilih lebih baik tinggal di dekat kuburan
suaminya. Arya Suman tersinggung dan berniat memerkosa Dewi Setyarini untuk
melampiaskan nafsunya. Dewi Setyarini ketakutan. Ia pun memilih bunuh diri
menyusul suami daripada dinodai oleh Arya Suman yang culas dan licik itu.
Tiba-tiba Patih Gandamana
datang. Betapa hatinya berduka melihat istrinya telah tewas bunuh diri.
Sebaliknya, Arya Suman juga sangat terkejut dan ketakutan karena saingannya ternyata
masih hidup. Ketika ia hendak kabur, Patih Gandamana lebih dulu meringkusnya.
Kedua tangan Patih Gandamana langsung bekerja menghajar tubuh Arya Suman tanpa
ampun.
Arya Suman berusaha melawan,
tetapi Patih Gandamana terlalu kuat untuknya. Ia berniat membaca mantra sihir
namun pikirannya tidak tenang sehingga hafalannya kacau balau. Akibat pukulan
dan tendangan Patih Gandamana, wujud Arya Suman kini berubah. Ia tidak lagi
tampan seperti semula, tetapi berubah menjadi buruk rupa, yaitu mulutnya robek,
matanya agak melotot, dan punggungnya menjadi bongkok.
Raden Suyudana dan Raden
Dursasana yang menunggu di luar mendengar suara jeritan paman mereka. Keduanya
segera masuk dan menyambar tubuh Arya Suman lalu menggotongnya menuju tempat
Prabu Pandu.
PRABU PANDU MENGHUKUM BUANG PATIH GANDAMANA
Prabu Pandu, Adipati
Dretarastra, dan Dewi Gendari terkejut saat Raden Suyudana dan Raden Dursasana
datang menggotong Arya Suman yang sudah berubah wujud menjadi jelek. Tidak lama
kemudian Patih Gandamana datang pula sambil menggendong jasad istrinya.
Arya Suman merintih-rintih
memohon keadilan Prabu Pandu agar Patih Gandamana dihukum berat karena telah
menganiaya dirinya. Patih Gandamana mengakui kesalahannya dan ia siap menerima
segala hukuman. Adipati Dretarastra dan Dewi Gendari pun mengusulkan agar Patih
Gandamana dijatuhi hukuman mati.
Prabu Pandu menimbang-nimbang
masalah ini. Ia menyatakan Patih Gandamana bersalah karena berani main hakim
sendiri, yaitu menganiaya Arya Suman hingga berubah wujud. Namun, melihat jasad
Dewi Setyarini, Prabu Pandu merasa maklum. Maka, ia tidak menjatuhkan hukuman
mati kepada Patih Gandamana, tetapi mencopot jabatannya sebagai patih dan menetapkan
hukuman buang kepadanya. Mulai saat ini dan untuk selamanya, Raden Gandamana tidak
boleh lagi menginjakkan kaki di wilayah Kerajaan Hastina.
Raden Gandamana menerima
keputusan tersebut. Ia pun mohon pamit kepada Prabu Pandu dan yang lainnya.
Tidak lupa ia berdoa semoga Prabu Pandu tetap dalam lindungan Yang Mahakuasa
dari segala pengaruh buruk manusia berhati serigala namun bermulut manis. Usai
berkata demikian, ia lalu pergi sambil menggendong jasad istrinya keluar dari
istana.
Raden Bratasena muncul dan
berusaha mencegah Raden Gandamana pergi. Raden Gandamana memeluk Pandawa nomor
dua itu kemudian berpamitan, bahwa ia berniat pulang ke negeri asalnya, yaitu
Kerajaan Pancala. Ia berharap semoga kelak bisa bertemu lagi dengan Raden
Bratasena di lain waktu.
ARYA SUMAN MENJADI PATIH SANGKUNI
Setelah Raden Gandamana pergi,
Prabu Pandu pun memeriksa keadaan Arya Suman. Dengan merintih-rintih, Arya
Suman mengaku salah telah menyebabkan Dewi Setyarini bunuh diri. Padahal,
niatnya baik yaitu ingin merawat janda Raden Gandamana. Namun, Dewi Setyarini
ternyata bersikap angkuh, yaitu lebih baik mati menyusul suaminya daripada
menikah lagi.
Karena Prabu Pandu masih
berada dalam pengaruh mantra sihir Arya Suman, ia pun percaya pada keterangan
palsu tersebut. Ia memerintahkan Raden Suyudana dan Raden Dursasana untuk
memanggil tabib agar segera mengobati luka-luka Arya Suman. Mungkin luka-luka
itu bisa sembuh, tetapi wujud Arya Suman tidak akan kembali tampan seperti dulu
lagi. Maka, sebagai peringatan atas peristiwa ini, Prabu Pandu pun mengganti
nama Arya Suman menjadi Patih Sangkuni. Adapun nama Sangkuni berasal dari kata
“saka” dan “uni”, artinya “dari ucapan”. Maksudnya ialah, Patih Sangkuni
berubah wujud menjadi buruk rupa adalah karena ucapannya sendiri, yang
melaporkan kematian Patih Gandamana padahal orangnya masih hidup.
Patih Sangkuni pun menerima
keputusan tersebut. Ia pura-pura bertobat di hadapan Prabu Pandu dan berjanji
akan menjadi patih yang baik dan membawa kemajuan bagi Kerajaan Hastina.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
CATATAN : Kisah Gandamana Luweng ini tidak terdapat dalam Serat
Pustakaraja Purwa versi Surakarta, sehingga Raden Ngabehi Ranggawarsita pun
tidak membuat perkiraan angka tahun kejadiannya.
sip mas matur nuwun infonya
BalasHapusKesatria memang harus memegang teguh sumpah janjinya meski pahit terasa
BalasHapusSampai perang baratayuda Sangkuni menerima karmanya dibunuh oleh Pandowo
BalasHapusMtr nuwun dados referensi sanggit lakon menawi nglampahaken lakon meniko.
BalasHapus