Sabtu, 01 Oktober 2016

Babad Wanamarta


Kisah ini menceritakan Resiwara Bisma mengizinkan Prabu Dretarastra membagi Kerajaan Hastina menjadi dua. Para Pandawa mendapat bagian Hutan Wanamarta yang kemudian dibuka menjadi negara baru, bernama Kerajaan Amarta, yang beribukota di Indraprasta.

Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari rekaman pertunjukan wayang kulit dengan dalang Ki Manteb Soedharsono, yang saya padukan dengan kitab Mahabharata, dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 01 Oktober 2016

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------


PRABU DRETARASTRA MEMBAGI KERAJAAN HASTINA MENJADI DUA

Prabu Dretarastra di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri Adipati Yamawidura, Patih Sangkuni, Resi Druna, dan Resi Krepa. Dalam pertemuan itu Prabu Dretarastra membicarakan hasil kunjungannya ke Padepokan Talkanda untuk meminta petunjuk Resiwara Bisma mengenai perselisihan para Pandawa dan Kurawa atas takhta Hastina.

Awal mula perselisihan ini adalah karena para Pandawa dan Dewi Kunti dilaporkan tewas dalam kebakaran di istana Waranawata. Prabu Dretarastra pun melantik Raden Suyudana sebagai putra mahkota yang baru, bergelar Raden Kurupati, yaitu untuk menggantikan Raden Puntadewa. Tak disangka, ternyata para Pandawa masih hidup dan pulang ke Kerajaan Hastina setelah memenangkan sayembara Dewi Drupadi. Karena Raden Puntadewa masih hidup, maka Raden Kurupati harus rela mengembalikan jabatannya. Namun, Raden Kurupati menolak. Akhirnya diadakanlah sayembara untuk menentukan siapa yang lebih berhak menjadi putra mahkota di antara mereka. Sayembara ini dipimpin oleh Resi Druna, meliputi lomba mengunduh jambu lima warna, lomba menimbang pihak mana yang lebih berat, serta lomba menggali sungai yang menghubungkan Pegunungan Dihyang dengan Laut Selatan. Sungai yang digali para Pandawa bernama Kali Sarayu sesuai dengan permintaan Resi Druna, sedangkan sungai yang digali para Kurawa bernama Cingcing Guling gagal mencapai Laut Selatan.

Resi Druna mengumumkan bahwa para Pandawa telah memenangkan semua sayembara yang ia adakan. Dengan demikian, Raden Puntadewa lebih berhak menjadi putra mahkota daripada Raden Kurupati. Keputusan Resi Druna ini membuat Raden Kurupati pingsan dan jatuh sakit. Jika beberapa hari yang lalu ia hanya pura-pura sakit saat para Pandawa kembali ke Hastina membawa Dewi Drupadi, maka kali ini ia benar-benar sakit. Sakitnya semakin hari semakin bertambah parah, dan ia tidak mau meminum obat yang diberikan para dukun istana.

Prabu Dretarastra pun pergi ke Padepokan Talkanda untuk menghadap Resiwara Bisma dan menyampaikan hal itu. Ia menceritakan tentang sakit putranya yang semakin hari semakin parah. Raden Kurupati adalah putra kesayangan Prabu Dretarastra. Jika sampai ia meninggal karena penyakitnya, maka Prabu Dretarastra merasa tidak punya semangat hidup lagi. Ia memilih lebih baik mati daripada kehilangan Raden Kurupati.

Resiwara Bisma sudah bosan mendengar berita perselisihan antara para Pandawa dan Kurawa. Sejak dulu ia memang sudah mendengar ramalan dari Bagawan Abyasa, bahwa suatu hari nanti akan meletus perang besar bernama Bratayuda antara para Pandawa melawan Kurawa. Membayangkan hal itu, Resiwara Bisma merasa ngeri. Ia tidak ingin negeri Hastina menjadi ajang pertempuran cucu-cucunya. Maka, dengan berat hati dan sangat terpaksa, ia pun mengizinkan Prabu Dretarastra membagi dua wilayah Kerajaan Hastina. Mungkin ini adalah jalan yang paling baik untuk mencegah Perang Bratayuda agar jangan sampai meletus.

Demikianlah, Prabu Dretarastra menceritakan hasil pertemuannya dengan Resiwara Bisma di Padepokan Talkanda. Adipati Yamawidura merasa sayang jika Kerajaan Hastina dibagi dua. Namun, jika Resiwara Bisma sudah memutuskan demikian tentunya ini disertai dengan pertimbangan masak. Kini yang menjadi permasalahan ialah wilayah mana yang diserahkan untuk para Kurawa, dan wilayah mana yang diserahkan kepada para Pandawa.

Patih Sangkuni mengusulkan bahwa di bagian timur wilayah Kerajaan Hastina terdapat hutan belantara yang sangat luas, bernama Hutan Wanamarta. Jika memang Resiwara Bisma mengizinkan Kerajaan Hastina dibagi dua, maka tinggal serahkan saja Hutan Wanamarta kepada para Pandawa. Biarlah mereka membuka hutan tersebut menjadi permukiman dan membangun istana baru di sana sebagai tempat tinggal mereka.

Adipati Yamawidura tidak terima atas usulan Patih Sangkuni. Hutan Wanamarta luasnya hanya seperempat dari seluruh wilayah Hastina. Lagipula Raden Puntadewa lebih dulu dilantik sebagai putra mahkota daripada Raden Kurupati. Seharusnya para Kurawa yang mendapat bagian Hutan Wanamarta, bukan para Pandawa.

Patih Sangkuni menjawab bahwa Resiwara Bisma hanya menyarankan agar wilayah Kerajaan Hastina dibagi menjadi dua, tetapi tidak mengatakan apakah pembagian itu sama besar atau tidak. Jadi, tidak ada keharusan bahwa para Pandawa harus mendapat setengah Kerajaan Hastina. Pembagian yang adil itu bukan sama rata sama rasa, tetapi disesuaikan dengan kadar dan ukurannya. Kurawa berjumlah seratus orang, sedangkan Pandawa hanya lima orang. Jika para Pandawa mendapat Hutan Wanamarta yang luasnya hanya seperempat dari seluruh wilayah Kerajaan Hastina, maka itu sudah lebih dari cukup untuk mereka.

Adipati Yamawidura tetap merasa curiga jangan-jangan Patih Sangkuni merencanakan pembunuhan para Pandawa dengan cara mengirim mereka untuk membabat Hutan Wanamarta. Sampai saat ini tidak ada seorang pun yang berani memasuki hutan tersebut karena terkenal angker dan gawat. Konon kabarnya di sana terdapat bangsa jin yang tidak segan-segan membunuh siapa saja yang berani memasuki Hutan Wanamarta.

Patih Sangkuni menyebut Adipati Yamawidura terlalu percaya pada cerita “gugon tuhon” yang belum tentu benar. Sama sekali dirinya tidak ada maksud ingin mencelakakan para Pandawa. Mengenai hal ini biarlah Raden Puntadewa saja yang memilih, apakah bersedia membuka Hutan Wanamarta ataukah bersikukuh ingin menduduki takhta Kerajaan Hastina.

RADEN PUNTADEWA MEMILIH HUTAN WANAMARTA

Prabu Dretrastra lagi-lagi termakan mulut manis Patih Sangkuni. Ia pun memanggil Raden Puntadewa untuk menghadap. Sengaja Prabu Dretarastra memanggil Raden Puntadewa seorang diri tanpa disertai adik-adiknya. Ia tahu bahwa keponakannya ini berhati lembut dan berpikiran polos, sehingga tidak mungkin menolak jika diperintahkan untuk membuka Hutan Wanamarta. Lain halnya dengan Raden Bratasena dan Raden Arjuna yang mudah merasa curiga.

Raden Puntadewa kini telah datang menghadap Prabu Dretarastra tanpa disertai adik-adiknya. Prabu Dretarastra lalu bercerita tentang sakitnya Raden Kurupati yang semakin hari semakin parah karena takut kehilangan jabatannya sebagai putra mahkota. Prabu Dretarastra juga telah meminta petunjuk kepada Resiwara Bisma di Padepokan Talkanda mengenai perselisiahan antara para Pandawa dan Kurawa. Akhirnya, Resiwara Bisma pun mengizinkan Kerajaan Hastina dibagi menjadi dua.

Raden Puntadewa merasa sayang jika negeri kelahirannya dibagi menjadi dua. Jika memang menjadi calon raja bisa membuat Raden Kurupati sehat kembali, maka biarlah dirinya saja yang mengalah. Raden Puntadewa bersedia melepaskan jabatannya sebagai putra mahkota dan siap mengabdi sebagai bawahan Raden Kurupati.

Prabu Dretarastra terharu mendengar kebaikan hati keponakannya itu. Ia melarang Raden Puntadewa mengalah karena dirinya tidak ingin dicatat sejarah sebagai seorang raja yang tidak adil, yang lebih mementingkan putra daripada keponakan. Bagaimanapun juga Resiwara Bisma sudah menyarankan agar Kerajaan Hastina dibagi menjadi dua, maka saran tersebut harus dilaksanakan. Tentunya ini semua demi perdamaian antara para Kurawa dan Pandawa.

Prabu Dretarastra lalu berkata bahwa salah satu pihak akan mendapat Hutan Wanamarta, sedangkan pihak yang satunya akan mendapat sisanya, termasuk ibukota Hastina. Jika Raden Puntadewa memilih Hutan Wanamarta, maka para Pandawa dipersilakan untuk membangun istana baru di sana. Tetapi jika Raden Puntadewa memilih menduduki takhta Hastina, maka Prabu Dretarastra dan para Kurawa yang akan pindah ke Hutan Wanamarta.

Raden Puntadewa dengan tegas memilih Hutan Wanamarta. Ia tidak tega kalau sampai Prabu Dretarastra yang pindah ke Hutan Wanamarta bersama para Kurawa, apalagi Raden Kurupati sedang sakit keras. Jelas-jelas sepupunya itu sakit karena takut kehilangan takhta Hastina, maka biarlah ia tetap tinggal di Hastina. Raden Puntadewa tidak terlalu memikirkan soal takhta. Jika memang kepergiannya ke Hutan Wanamarta bisa membuat Raden Kurupati sehat kembali, maka ia akan sangat bersyukur.

Adipati Yamawidura menyarankan agar Raden Puntadewa berpikir kembali. Hutan Wanamarta sangat angker dan gawat. Banyak orang hilang tidak kembali lagi karena berani masuk ke dalamnya. Konon di sana terdapat kerajaan jin yang mana penduduknya tidak segan-segan membunuh bangsa manusia.

Raden Puntadewa menjawab bahwa hidup dan mati sudah bagian dari suratan takdir. Jika memang para Pandawa sampai mati saat membuka Hutan Wanamarta, biarlah mereka tercatat mati dalam menjalankan tugas mulia. Mengapa dikatakan tugas mulia? Karena para Pandawa membuka Hutan Wanamarta untuk tujuan perdamaian, yaitu menghindari perang saudara melawan Kurawa. Mati mulia di Hutan Wanamarta akan jauh lebih baik daripada hidup nista membiarkan saudaranya meninggal dalam kesedihan.

Karena Raden Puntadewa sudah memutuskan demikian, maka Prabu Dretarastra pun mengeluarkan surat ketetapan bahwa mulai hari ini Hutan Wanamarta resmi menjadi milik para Pandawa, dan bukan lagi bagian dari Kerajaan Hastina. Setelah dirasa cukup, Prabu Dretarastra lalu membubarkan pertemuan.

PARA PANDAWA BERUNDING SEBELUM MEMBUKA HUTAN WANAMARTA

Adipati Yamawidura keluar istana bersama Raden Puntadewa menemui para Pandawa lainnya yang menunggu beserta Dewi Kunti dan Dewi Drupadi. Kepada mereka, Adipati Yamawidura menceritakan tentang keputusan Prabu Dretarastra yang membagi dua Kerajaan Hastina, di mana Raden Puntadewa memilih Hutan Wanamarta sebagai tempat para Pandawa membangun istana baru.

Raden Bratasena kecewa pada pilihan kakaknya. Seharusnya bukan para Pandawa yang membuka Hutan Wanamarta, tetapi biarlah para Kurawa saja. Mereka telah merencanakan pembunuhan para Pandawa melalui Balai Sigala-gala, dan kini mereka berniat jahat lagi melalui Hutan Wanamarta. Para Pandawa sudah terlalu banyak mengalah. Jika diberi izin, maka Raden Bratasena berniat mengangkat senjata untuk menggempur para Kurawa dan mengusir mereka dari Kerajaan Hastina yang merupakan warisan Prabu Pandu, ayah para Pandawa.

Raden Puntadewa menolak rencana Raden Bratasena. Kerajaan Hastina bukan milik Prabu Pandu saja, tetapi milik banyak orang. Jika adiknya itu ingin memberontak, maka harus siap berhadapan dengan Resiwara Bisma, Resi Druna, Adipati Yamawidura, Resi Krepa, dan penduduk satu negara. Namun, sebelum menghadapi mereka, Raden Bratasena harus menghadapi Raden Puntadewa terlebih dulu. Raden Puntadewa tidak ingin meletus perang saudara antara para Pandawa dan Kurawa. Ia juga tidak ingin melihat Raden Kurupati meninggal karena sakit yang tak kunjung sembuh. Soal Balai Sigala-gala tidak usah diungkit-ungkit lagi. Bagaimanapun juga para Kurawa adalah saudara. Mereka berbuat khilaf seperti itu adalah karena hasutan Patih Sangkuni.

Raden Bratasena tetap tidak bisa menerima. Jika memang Kerajaan Hastina boleh dibagi dua, maka ukurannya harus sama besar, sama luas. Hutan Wanamarta hanya seperempat dari luas seluruh Kerajaan Hastina. Ini namanya tidak adil. Untuk itu, Raden Bratasena berniat menuntut keadilan kepada Prabu Dretarastra.

Raden Puntadewa balik bertanya apa makna keadilan. Apakah adil itu sama rata, sama rasa? Itu hanyalah keadilan semu. Adil itu hendaknya ditentukan dari kadar dan ukuran. Para Kurawa berjumlah seratus orang, belum ditambah Prabu Dretarastra dan Dewi Gandari, serta Adipati Yamawidura, Patih Sangkuni, Resi Druna, dan Resi Krepa. Belum lagi ditambah dengan Resiwara Bisma yang pernah bersumpah seumur hidup akan selalu setia melindungi Kerajaan Hastina. Sebaliknya, para Pandawa hanya lima orang ditambah Dewi Kunti, mengapa meminta wilayah yang sama luasnya dengan para Kurawa? Besar atau kecil semuanya harus disyukuri, karena rasa syukur akan berbuah pada kebahagiaan. Meskipun wilayah Hutan Wanamarta lebih kecil, tetapi jika para Pandawa pandai bersyukur tentu Yang Mahakuasa akan memberikan anugerah lebih besar daripada Kerajaan Hastina.

Raden Bratasena terdiam tidak membantah lagi. Adipati Yamawidura berkata bahwa tadi di dalam istana Patih Sangkuni juga berkata demikian. Bedanya, Patih Sangkuni berkata dengan mulut manis yang disertai niat jahat ingin menyingkirkan para Pandawa, sedangkan Raden Puntadewa berkata dengan hati tulus penuh kebaikan. Kini Adipati Yamawidura dapat menerima alasan mengapa Raden Puntadewa lebih memilih Hutan Wanamarta daripada mempertahankan Kerajaan Hastina.

Raden Puntadewa lalu bertanya kepada Raden Permadi dan si kembar apakah mereka juga menolak Hutan Wanamarta. Raden Permadi menjawab bahwa tadinya ia sependapat dengan Raden Bratasena. Tetapi, kini hatinya telah terbuka dan dapat menerima penjelasan sang kakak sulung. Sementara itu, Raden Nakula dan Raden Sadewa menjawab sejak kecil mereka sudah menganggap Raden Puntadewa sebagai pengganti ayah. Apa pun yang diputuskan sang kakak sulung, mereka siap mematuhi dan melaksanakan. Dewi Kunti sebagai ibu pun hanya bisa merestui dan berdoa semoga perjuangan para Pandawa dalam membuka Hutan Wanamarta mendapat perlindungan Yang Mahakuasa. Ia yakin putra sulungnya telah menentukan pilihan yang tepat.

Kini para Pandawa sudah sepakat. Adipati Yamawidura menawarkan bantuan, yaitu Patih Jayasemedi dan para prajurit Pagombakan akan ikut membantu membuka Hutan Wanamarta dan membangun istana untuk para Pandawa. Raden Bratasena menolak. Untuk membuka hutan tersebut cukup para Pandawa saja yang berangkat. Biarlah ini menjadi bagian dari perjuangan di masa muda, yang berbuah keberkahan di hari tua.

Setelah berkata demikian, Raden Bratasena mengangkat tubuh ibunya di atas kepala untuk memohon restu. Dewi Kunti merestui putra keduanya itu. Setelah mendapat restu, Raden Bratasena pun menurunkan Dewi Kunti secara perlahan lalu mohon pamit berangkat lebih dulu ke Hutan Wanamarta.

Adipati Yamawidura memuji watak kesatria Raden Bratasena. Meskipun tadi membantah kakaknya dengan gencar, tetapi kini justru berangkat paling dulu untuk bekerja. Sungguh ia berbeda dengan kebanyakan orang yang ogah-ogahan apabila hal itu bukan menjadi pilihannya. Raden Puntadewa menjawab demikianlah watak para Pandawa. Berdebat dan saling bantah di antara saudara sudah menjadi hal wajar di antara mereka. Akan tetapi, jika keputusan sudah diambil maka mereka berlima pun bersatu padu bahu-membahu untuk mewujudkannya.

Raden Puntadewa lalu bertanya kepada Dewi Drupadi apakah bersedia dipulangkan ke Kerajaan Cempalareja (Pancala Selatan) selama para Pandawa bekerja membuka hutan. Hutan Wanamarta terkenal sangat angker dan berbahaya, sehingga Raden Puntadewa tidak tega bila istrinya itu mendapat celaka di sana. Dewi Drupadi menjawab jangankan memasuki Hutan Wanamarta, bahkan memasuki neraka paling dasar pun ia tidak takut asalkan bisa selalu melayani sang suami. Raden Puntadewa menjawab tempat seorang istri setia bukanlah neraka, tetapi surga yang penuh kemuliaan. Ia pun berterima kasih atas keikhlasan istrinya itu yang rela hidup bersusah payah bersama dirinya dan meninggalkan segala kemewahan di istana Cempalareja.

Demikianlah, para Pandawa empat dan Dewi Kunti, serta Dewi Drupadi lalu berpamitan kepada Adipati Yamawidura. Mereka pun berangkat menuju Hutan Wanamarta menyusul Raden Bratasena yang sudah berangkat lebih dulu.

RADEN BRATASENA MEMBABAT HUTAN WANAMARTA

Raden Bratasena telah memasuki Hutan Wanamarta. Dengan tangan kosong ia menjebol pepohonan. Dengan Kuku Pancanaka ia membabat semak belukar. Entah sudah berapa banyak pohon yang tumbang oleh kekuatannya. Seperti tidak kenal lelah ia menumbangkan semua pohon yang ditemui di hadapannya.

Hewan-hewan penghuni hutan pun berhamburan karena takut. Sebagian ada yang nekat menyerang Raden Bratasena, antara lain macan, gajah, banteng, naga, serta serigala. Raden Bratasena mengamuk menghadapi hewan-hewan liar tersebut. Tiba-tiba terdengar suara Raden Puntadewa memanggil dan ia pun segera pergi meninggalkan hewan-hewan liar itu.

Raden Puntadewa saat itu telah mendirikan perkemahan di pinggiran hutan untuk Dewi Kunti dan Dewi Drupadi. Mereka menunggu di sana dengan dijaga si kembar, sedangkan Raden Puntadewa dan Raden Permadi masuk ke dalam hutan bersama para panakawan. Mereka sempat melihat Raden Bratasena bertarung melawan hewan-hewan liar. Raden Puntadewa pun memanggil adiknya itu agar menghentikan perkelahian, dan Raden Bratasena menurut.

Raden Puntadewa bertanya mengapa Raden Bratasena berkelahi dengan kawanan binatang hutan. Raden Bratasena menjawab bahwa hewan-hewan itu telah mengganggu pekerjaannya. Raden Puntadewa berkata justru Raden Bratasena yang telah mengganggu ketentraman mereka. Ia lalu menasihati adiknya agar jangan membabi buta dalam menebang hutan. Jangan sampai seluruh Hutan Wanamarta dibabat habis, tetapi secukupnya saja. Hutan sangat berguna bagi kelangsungan hidup manusia. Pepohonan dapat menjadi daerah resapan air hujan sehingga kelak kerajaan yang dibangun para Pandawa akan bebas dari banjir. Hutan juga menyediakan sumber air bagi manusia. Selain itu, Raden Bratasena juga tidak boleh sembarangan membunuh hewan. Mereka adalah penduduk asli Hutan Wanamarta. Jika seluruh Hutan Wanamarta dibuka menjadi permukiman, maka hewan-hewan itu akan kehilangan tempat tinggal dan akhirnya menyerang perkampungan penduduk.

Raden Puntadewa lalu membagi tugas. Raden Bratasena bertugas membuka hutan sebelah kiri, sedangkan Raden Permadi membuka hutan sebelah kanan. Mengenai hewan-hewan liar akan ditangani sendiri oleh Raden Puntadewa. Raden Bratasena dan Raden Permadi menyanggupi lalu mereka pun berangkat melaksanakan tugas.

Setelah kedua adiknya pergi, Raden Puntadewa lalu bersamadi mengheningkan cipta. Hewan-hewan liar berdatangan hendak menyerangnya. Namun, begitu mendekati Raden Puntadewa, seketika hewan-hewan itu berubah menjadi jinak dan duduk manis mengelilinginya. Raden Puntadewa lalu bangun dan menggiring hewan-hewan liar itu untuk pindah ke wilayah hutan yang tidak dibabat, agar kelak mereka tidak sampai mengganggu permukiman penduduk.

RADEN BRATASENA MENGHADAPI KAUM JIN

Di dalam Hutan Wanamarta memang terdapat sebuah kerajaan tak kasat mata yang dihuni kaum jin dan gandarwa, bernama Kerajaan Mertani. Pemimpin kerajaan tersebut bernama Prabu Jin Yudistira yang memiliki empat orang adik, bernama Jin Dandunwacana, Jin Dananjaya, Jin Tripala, dan Jin Grantika. Pujangga kerajaan ini bernama Gandarwa Anggaraparna, sedangkan menteri utamanya bernama Patih Jin Damdarat.

Mendengar adanya berita bahwa para Pandawa membuka Hutan Wanamarta, Prabu Jin Yudistira segera mengirim pasukan untuk menggagalkan mereka. Jin Dandunwacana dan Jin Dananjaya berangkat untuk menaklukkan Raden Bratasena, sedangkan Gandarwa Anggaraparna dan Patih Jin Damdarat menghadapi Raden Permadi.

Raden Bratasena terkejut tiba-tiba dirinya diserang kawanan makhluk halus. Namun, sejak awal ia sudah bersiap karena memang demikian berita yang beredar di masyarakat tentang keangkeran Hutan Wanamarta. Pertempuran pun terjadi. Satu persatu para prajurit jin dan gandarwa Mertani dapat dipukul mundur olehnya, meskipun mereka kadang terlihat, kadang menghilang.

Jin Dandunwacana lalu maju menyerang Raden Bratasena. Keduanya tampak seimbang karena sama-sama bertubuh tinggi besar. Hingga pada akhirnya, Jin Dandunwacana lengah dan tubuhnya diinjak oleh Raden Bratasena. Namun kemudian tubuh Jin Dandunwacana menghilang dari pandangan. Ketika Raden Bratasena menggeram menantang lawannya agar muncul kembali, tiba-tiba Jin Dananjaya melepaskan panah sakti dari belakang. Panah sakti itu mampu meledak dan melepaskan asap beracun yang menyelubungi tubuh Raden Bratasena, membuatnya menjadi lemas tidak berdaya.

Setelah mengalahkan musuhnya, Jin Dandunwacana dan Jin Dananjaya lalu melanjutkan perjalanan untuk meringkus Pandawa lainnya.

GANDARWA ANGGARAPARNA TAKLUK KEPADA KYAI SEMAR

Sementara itu, Gandarwa Anggaraparna dan Patih Jin Damdarat menyerang Raden Permadi yang membuka hutan di sisi lain. Jin Damdarat berhasil dipukul mundur oleh Pandawa nomor tiga tersebut. Melihat rekannya kalah, Gandarwa Anggaraparna segera melepaskan pusaka Jalasutra, yang langsung memerangkap tubuh Raden Permadi. Ketika hendak meringkus lawannya itu, tiba-tiba Gandarwa Anggaraparna dihadang panakawan Kyai Semar.

Gandarwa Anggaraparna marah dan hendak menyerang Kyai Semar. Namun, Kyai Semar memanggilnya dengan nama Batara Citrarata. Gandarwa Anggaraparna terkejut mendengar Kyai Semar menyebut nama aslinya, karena ia sebenarnya memang penjelmaan Batara Citrarata, salah satu putra Batara Indra. Seketika Gandarwa Anggaraparna merasa lemas tak berdaya begitu berhadapan dengan wibawa Kyai Semar.

Gandarwa Anggaraparna lalu kembali ke wujud aslinya, yaitu Batara Citrarata tersebut. Ia bercerita dirinya memang ditugasi sang ayah untuk menunggu Hutan Wanamarta. Beberapa waktu yang lalu Batara Indra pernah iri hati terhadap Prabu Pandu yang memiliki nama besar di dunia. Batara Indra pun membujuk Batara Guru agar mencabut nyawa Prabu Pandu dan memasukkannya ke dalam Kawah Candradimuka atas dosa-dosanya berani meminjam Lembu Andini. Namun, setelah Prabu Pandu benar-benar diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka bersama Dewi Madrim, Batara Indra merasa sangat menyesal. Sebagai penebus kesalahannya, ia pun berniat membangun sebuah istana untuk para Pandawa. Tentunya istana ini bukan istana palsu semacam Balai Sigala-gala, tetapi istana yang sangat indah bagaikan kahyangan.

Batara Indra membangun istana indah bernama Indraprasta di dalam Hutan Wanamarta, karena ia mendapat ramalan bahwa kelak para Pandawa akan berjodoh dengan hutan tersebut. Nama Indraprasta sendiri berasal dari kata Inda Para Asta, yang bermakna seperdelapan keindahan kahyangan Batara Indra. Istana tersebut lalu dijaga oleh lima jin bersaudara yang merupakan abdi Batara Indra, bernama Jin Yudistira, Jin Dandunwacana, Jin Dananjaya, Jin Tripala, dan Jin Grantika. Kelak mereka harus menyerahkan istana Indraprasta kepada para Pandawa.

Namun demikian, Batara Indra merasa kurang percaya dan khawatir jangan-jangan kelima jin itu melanggar perintah. Maka, ia pun mengirim putranya, yaitu Batara Citrarata agar menyamar sebagai Gandarwa Anggaraparna dan bekerja sebagai penasihat kelima jin tersebut. Kini, Kyai Semar telah membongkar penyamaran Gandarwa Anggaraparna sehingga tidak ada gunanya lagi kembali ke tempat para jin itu.

Batara Citrarata lalu membebaskan Raden Permadi dari jerat pusakanya. Setelah Raden Permadi menyembah memberi hormat, Batara Citrarata pun menghadiahkan beberapa pusaka untuk menghadapi kaum jin dan gandarwa, yaitu Lisah Pranawa, Sela Timpuru, dan Oyod Bayura. Lisah Pranawa adalah minyak untuk diusapkan ke mata agar bisa melihat bangsa jin dan gandarwa dengan jelas. Sela Timpuru berwujud batu, untuk diusapkan ke tubuh agar sembuh dari pengaruh sihir bangsa jin. Adapun Oyod Bayura berwujud akar yang lurus seperti lidi, untuk melumpuhkan kaum jin dan gandarwa.

Raden Permadi berterima kasih menerima ketiga pusaka tersebut. Batara Citrarata pun undur diri kembali ke kahyangan.

Sementara itu, Patih Jin Damdarat terkejut mengetahui jati diri Gandarwa Anggaraparna yang sebenarnya. Ia pun kembali ke tempat Prabu Jin Yudistira untuk melaporkan hal itu.

DEWI ARIMBI MENJALANI TAPA RAME

Prabu Tremboko raja Pringgadani terdahulu, yang tewas melawan Prabu Pandu dalam Perang Pamuksa, memiliki tujuh orang anak yang semua berwujud raksasa seperti dirinya. Putra yang paling tua bernama Raden Arimba, menggantikannya sebagai raja Pringgadani. Anak nomor dua bernama Dewi Arimbi, kemudian Raden Brajadenta, Raden Brajamusti, Raden Brajalamatan, Raden Brajawikalpa, dan Raden Kalabendana.

Pada suatu hari Dewi Arimbi mengeluh kepada kakaknya, mengapa kaum raksasa selalu dianggap sebagai sampah dunia, musuh manusia. Ia heran melihat persahabatan sang ayah dengan Prabu Pandu mengapa berakhir dengan peperangan, sehingga sejarah pun mencatat Prabu Tremboko sebagai seorang pemberontak terhadap guru dan pengkhianat terhadap sahabat. Prabu Arimba menjawab bahwa peperangan itu terjadi karena fitnah dan hasutan Arya Suman yang sekarang bergelar Patih Sangkuni. Tokoh itulah yang mengadu domba ayah mereka dengan Prabu Pandu.

Dewi Arimbi berkata meskipun Perang Pamuksa terjadi akibat hasutan pihak lain, tetap saja ini menjadi catatan hitam bagi sejarah Kerajaan Pringgadani. Untuk itu, Dewi Arimbi berniat menebus kesalahan ayahnya dengan cara berbuat baik. Ia ingin menjalani tapa rame, membantu siapa saja yang kesusahan tanpa pandang bulu. Ia berharap semoga hasil tapanya ini menjadi sarana kemuliaan bagi Kerajaan Pringgadani seisinya.

Prabu Arimba melarang adiknya memiliki niat demikian. Jika hanya ingin memuliakan Kerajaan Pringgadani, cukup dengan berperang menaklukkan banyak negara, maka nama baik Prabu Tremboko akan pulih. Dewi Arimbi tidak setuju karena hal itu akan semakin merusak citra kaum raksasa. Ia tetap akan melakukan tapa rame, berbuat baik menolong siapa saja yang kesusahan. Karena perdebatan mereka tidak mencapai kesepakatan, Dewi Arimbi akhirnya memilih pergi tanpa pamit dari istana untuk mewujudkan niatnya.

RADEN BRATASENA DIBEBASKAN DEWI ARIMBI

Demikianlah kisah Dewi Arimbi yang berkelana melakukan tapa rame, membantu siapa saja yang kesusahan. Ada banyak orang yang berterima kasih kepadanya, namun tidak sedikit pula yang lari ketakutan melihat wujudnya. Ketika melewati Hutan Wanamarta, ia mendengar suara ribut-ribut pohon ditebang. Raksasi itu pun penasaran dan masuk ke dalam hutan tersebut.

Sesampainya di dalam hutan, Dewi Arimbi melihat asap tebal menyelubungi seseorang yang menggeram kesakitan. Dewi Arimbi bertanya siapa orang yang terjebak di dalam asap tersebut. Orang itu menjawab dirinya adalah Raden Bratasena dari Kerajaan Hastina yang terjebak oleh asap beracun yang dilepaskan para jin. Kini ia menjadi buta dan tidak berdaya. Mungkin ajalnya tidak akan lama lagi. Ia pun meminta tolong agar dibebaskan dari asap beracun tersebut.

Dewi Arimbi teringat bahwa ayahnya gugur di tangan raja Hastina. Namun, karena sudah bertekad menjalani tapa rame, maka ia tidak peduli orang yang berada di dalam asap tersebut berasal dari Kerajaan Hastina atau bukan. Raksasa wanita itu lalu mengheningkan cipta mengerahkan kesaktian. Dari tubuhnya muncul angin besar yang berhembus membuyarkan asap yang menyelubungi badan Raden Bratasena.

Raden Bratasena kini dapat melihat lagi. Tiba-tiba ia terkejut mengetahui wujud Dewi Arimbi yang menyeramkan. Ia pun merasa jijik dan lari meninggalkan raksasi itu begitu saja. Dewi Arimbi tersinggung melihat sikap Raden Bratasena yang tidak sopan, dan ia pun mengejar pemuda gagah tersebut.

DEWI ARIMBI BERUBAH MENJADI PEREMPUAN CANTIK

Dewi Arimbi yang berlari mengejar Raden Bratasena akhirnya bertemu Dewi Kunti yang ditemani Raden Puntadewa meninjau pembukaan Hutan Wanamarta. Dewi Arimbi bertanya dengan sopan kepada mereka apakah mengetahui ada seorang pemuda tinggi besar lewat di tempat itu. Dewi Kunti terkesan melihat ada seorang raksasi tetapi memiliki sopan santun seperti itu. Dewi Kunti pun menjawab bahwa pemuda tinggi besar itu adalah putranya yang nomor dua, sedangkan dirinya adalah janda mendiang Prabu Pandu raja Hastina terdahulu.

Dewi Arimbi pun menyembah hormat kepada Dewi Kunti dan memperkenalkan dirinya sebagai anak nomor dua mendiang Prabu Tremboko raja Pringgadani. Dewi Kunti terharu dan memeluk Dewi Arimbi bagaikan anak sendiri, mengingat Prabu Tremboko adalah murid sekaligus sahabat suaminya. Ia lalu bertanya mengapa Dewi Arimbi mengejar-ngejar Raden Bratasena, putranya.

Dewi Arimbi bercerita bahwa dirinya sedang menjalani tapa rame, membantu siapa saja yang kesusahan. Ketika melewati Hutan Wanamarta, ia heran mendengar suara pepohonan dirobohkan. Ia pun masuk ke dalam hutan dan menjumpai Raden Bratasena sedang lumpuh tak berdaya karena terkena serangan asap beracun pihak musuh. Dewi Arimbi pun membebaskannya dari asap beracun tersebut. Tapi, Raden Bratasena terkejut dan langsung kabur begitu saja. Dewi Arimbi mengejar untuk menanyai apa maksud Raden Bratasena bersikap demikian. Padahal, ia sama sekali tidak memiliki pamrih kepada Raden Bratasena.

Dewi Kunti terkesan mendengar cerita Dewi Arimbi. Meskipun wujudnya menyeramkan, namun di mata Dewi Kunti sosok Dewi Arimbi adalah gadis yang cantik hatinya dan semoga cantik pula wajahnya. Demikianlah ucapan Dewi Kunti mendapat izin Yang Mahakuasa. Seketika wujud Dewi Arimbi pun berubah menjadi seorang gadis yang cantik jelita.

Tidak lama kemudian Raden Bratasena muncul dan bercerita bahwa dirinya dikejar-kejar raksasi menyeramkan yang suka kepadanya. Dewi Kunti berkata bahwa raksasi itu kini ada di dekatnya. Raden Bratasena tidak percaya karena yang ada di situ adalah gadis cantik yang mengaku bernama Dewi Arimbi. Dewi Kunti menjelaskan bahwa Dewi Arimbi inilah raksasi yang tadi menolong dirinya dari asap beracun yang dilepaskan para jin.

Raden Bratasena terkesan melihat Dewi Arimbi. Ia pun berterima kasih dan meminta maaf karena tadi telah bersikap kurang sopan kepadanya. Raden Puntadewa lalu berkata bahwa dulu Prabu Pandu dan Prabu Tremboko adalah sahabat baik, namun persahabatan mereka akhirnya putus akibat Perang Pamuksa. Kini alangkah baiknya kalau persahabatan dua negara itu disambung kembali melalui perkawinan antara Raden Bratasena dengan Dewi Arimbi. Demikian usulan Raden Puntadewa.

Raden Bratasena merasa tidak keberatan jika dirinya menikah dengan Dewi Arimbi. Sebaliknya, Dewi Arimbi juga tidak keberatan. Akan tetapi, sungguh nista apabila seorang kesatria tidak menuntaskan pekerjaannya dan lebih mendahulukan urusan perkawinan. Raden Bratasena tersinggung mendengar ucapan Dewi Arimbi itu dan segera melesat pergi entah ke mana.

RADEN BRATASENA DIOBATI RADEN PERMADI

Di tengah jalan Raden Bratasena bertemu Raden Permadi bersama para panakawan. Kyai Semar bertanya mengapa Raden Bratasena tampak gelisah dan berjalan tak tentu arah. Raden Bratasena lalu menceritakan semua pengalamannya dari awal hingga akhir, yaitu saat Dewi Arimbi menghina dirinya. Kyai Semar berkata bahwa itu bukan penghinaan, melainkan justru Dewi Arimbi ingin menyemangati dan menjaga nama baik Raden Bratasena.

Berkat penjelasan Kyai Semar, Raden Bratasena kini memahami apa maksud perkataan Dewi Arimbi tadi. Ia pun bersemangat ingin melanjutkan pembukaan Hutan Wanamarta, tetapi tubuhnya masih lemas akibat pengaruh asap beracun yang dilepaskan Jin Dananjaya tadi. Raden Permadi pun berkata bahwa dirinya baru saja mendapatkan tiga jenis pusaka dari Batara Citrarata, salah satunya adalah Sela Timpuru.

Raden Permadi lalu mengusapkan batu ajaib Sela Timpuru ke sekujur tubuh kakaknya itu. Seketika Raden Bratasena merasa segar kembali. Ia pun berteriak menantang Jin Dandunwacana dan Jin Dananjaya untuk melanjutkan pertempuran tadi.

RADEN BRATASENA DAN RADEN PERMADI MENGALAHKAN PARA JIN

Jin Dandunwacana dan Jin Dananjaya pun muncul begitu mendengar tantangan Raden Bratasena. Kini Raden Bratasena dan Raden Permadi dapat melihat wujud mereka dengan jelas berkat khasiat Lisah Pranawa. Tanpa banyak bicara lagi, Raden Bratasena langsung menyerang Jin Dandunwacana, sedangkan Raden Permadi menghadapi Jin Dananjaya.

Dengan berbekal senjata Oyod Bayura, Raden Permadi berhasil melumpuhkan Jin Dananjaya. Melihat itu, Jin Dandunwacana merasa ngeri dan segera menyambar tubuh adiknya, kemudian pergi meninggalkan pertarungan melawan Raden Bratasena.

Di tengah jalan, Jin Dandunwacana dan Jin Dananjaya bertemu Prabu Jin Yudistira, Jin Tripala, dan Jin Grantika. Jin Dandunwacana mengajak kakak sulungnya untuk melabrak dan membunuh para Pandawa. Prabu Jin Yudistira menjawab itu tidak perlu karena para Pandawa memang ditakdirkan untuk memiliki Hutan Wanamarta beserta isinya, yaitu Kerajaan Indraprasta.

Beberapa waktu yang lalu Batara Indra telah membangun Istana Indraprasta untuk menebus kesalahannya terhadap Prabu Pandu. Istana Indraprasta ini dititipkan kepada Jin Yudistira bersaudara agar kelak diserahkan kepada para Pandawa. Memang tadi Prabu Jin Yudistira mengutus Jin Dandunwacana dan Jin Dananjaya untuk menggagalkan usaha para Pandawa membuka hutan. Padahal, itu ia lakukan hanya untuk menguji apakah mereka benar-benar putra Prabu Pandu seperti yang diceritakan Batara Indra atau bukan.

Kini semuanya telah terbukti. Prabu Jin Yudistira merasa pertempuran tidak perlu lagi untuk diteruskan. Ia pun mengajak keempat adiknya untuk menemui para Pandawa.

PARA JIN MENYERAHKAN KERAJAAN MERTANI KEPADA PARA PANDAWA

Kelima jin itu akhirnya bertemu dengan para Pandawa. Setelah saling memperkenalkan diri, Prabu Jin Yudistira menyatakan niatnya ingin menyerahkan Kerajaan Mertani kepada Raden Puntadewa bersaudara. Prabu Jin Yudistira bercerita bahwa dulu Batara Indra telah membangun istana Indraprasta di dalam Hutan Wanamarta sebagai hadiah untuk para Pandawa. Istana tersebut untuk sementara dijaga oleh kelima jin, di mana Jin Yudistira boleh menjadi raja memimpin istana tersebut, dan menyamarkan namanya menjadi Kerajaan Mertani.

Prabu Jin Yudistira meminta maaf telah mengirim kedua adiknya, yaitu Jin Dandunwacana dan Jin Dananjaya untuk menyerang Raden Bratasena dan Raden Permadi, padahal itu semua hanyalah ujian darinya untuk membuktikan apakah mereka benar-benar para Pandawa atau bukan.

Kini semuanya telah jelas. Prabu Jin Yudistira dan keempat adiknya pun mohon pamit kembali ke alam halus. Para Pandawa terharu melepas kepergian mereka. Sebagai kenang-kenangan, Raden Puntadewa meminta izin memakai nama Yudistira sebagai nama lain dirinya. Prabu Jin Yudistira pun mengizinkan dengan senang hati.

Setelah kelima jin itu kembali ke alam gaib, tiba-tiba muncul sebuah istana indah di hadapan mereka. Istana tersebut adalah Indraprasta yang selama ini tertutup dan disembunyikan di alam gaib oleh Prabu Jin Yudistira. Tidak hanya itu, orang-orang yang dulu hilang saat memasuki Hutan Wanamarta juga dimunculkan kembali. Rupanya mereka tidak dibunuh oleh para jin tetapi dijadikan sebagai warga penghuni Kerajaan Mertani.

Demikianlah, Para Pandawa pun memasuki istana Indraprasta bersama Dewi Kunti, Dewi Drupadi, Dewi Arimbi, dan para panakawan. Mereka kagum melihat keindahan istana tersebut.

PRABU ARIMBA MENYERANG INDRAPRASTA

Ketika para Pandawa melihat-lihat isi istana Indraprasta, tiba-tiba terdengar suara raksasa memanggil-manggil Dewi Arimbi di luar. Raden Bratasena segera keluar menemui raksasa itu yang ternyata adalah Prabu Arimba, raja Pringgadani.

Prabu Arimba meminta supaya Dewi Arimbi diserahkan kepadanya. Raden Bratasena menolak menyerahkan calon istrinya itu. Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka. Pertarungan itu sangat dahsyat di mana Raden Bratasena agak kewalahan menghadapi kekuatan Prabu Arimba.

Dewi Arimbi maju melerai pertarungan tersebut. Ia lalu berbicara empat mata dengan Prabu Arimba. Meskipun adiknya telah berubah wujud menjadi cantik jelita, namun ikatan batin di antara mereka membuat Prabu Arimba masih dapat mengenali Dewi Arimbi.

Dewi Arimbi mengaku dirinya kini telah jatuh cinta kepada Raden Bratasena. Jika memang ini dianggap sebagai dosa oleh Prabu Arimba, maka ia rela untuk dihukum mati. Karena bagaimanapun juga Raden Bratasena adalah putra Prabu Pandu, yaitu orang yang telah membunuh Prabu Tremboko, ayah mereka. Namun, Dewi Arimbi melarang Prabu Arimba menyakiti Raden Bratasena.

Prabu Arimba terharu mendengar penuturan adiknya. Ia berkata bahwa dirinya tidak akan menghalangi hubungan asmara antara Dewi Arimbi dengan Raden Bratasena. Justru sebaliknya, ia ingin mengadakan sayembara tanding untuk memuliakan nama Raden Bratasena. Soal Perang Pamuksa sama sekali Prabu Arimba tidak ingin mengungkitnya lagi. Ia sudah ikhlas ayah mereka gugur dalam perang itu dan tidak mau melampiaskan dendam kepada putra-putra Prabu Pandu.

Dewi Arimbi terharu memeluk Prabu Arimba, kemudian mundur dan mempersilakan Raden Bratasena kembali bertarung melawan kakaknya itu. Prabu Arimba pun menjelaskan bahwa dirinya ingin mengadakan sayembara tanding, yaitu Raden Bratasena harus bisa mengalahkan dirinya terlebih dulu jika ingin menikah dengan Dewi Arimbi. Raden Bratasena menyanggupi. Keduanya pun kembali bertarung satu lawan satu.

KEMATIAN PRABU ARIMBA

Dewi Arimbi gugup menyaksikan pertarungan tersebut. Ia melihat kakaknya lebih kuat dan lebih perkasa daripada Raden Bratasena. Prabu Arimba paham bahwa Raden Bratasena bertarung tidak sepenuh hati karena ada perasaan segan kepadanya. Maka, ia pun meringkus tubuh lawannya itu dan memeluknya erat-erat hingga Raden Bratasena merasa sesak napas.

Sambil tetap memeluk tubuh lawannya, Prabu Arimba berkata bahwa dirinya tidak bisa mati jika tubuhnya tidak dibenturkan batang pohon aren. Sekarang pilihannya tinggal dua, dibunuh atau membunuh. Jika Raden Bratasena tetap merasa segan dan tidak mau melawan, maka ia akan mati kehabisan napas.

Raden Bratasena merasa sesak dan tidak tahan lagi. Ia pun mengerahkan Aji Bandung Bandawasa sehingga kekuatannya meningkat pesat. Begitu meronta ia berhasil membebaskan diri dari pelukan Prabu Arimba dan berbalik menangkap tubuh raja raksasa itu. Begitu melihat ada sebatang pohon aren berdiri di dekat istana Indraprasta, Prabu Arimba pun dibawa ke sana. Dengan sekuat tenaga, Raden Bratasena lalu membenturkan tubuh Prabu Arimba pada batang pohon aren tersebut. Seketika Prabu Arimba pun lemas tak berdaya kehilangan tenaga.

Raden Bratasena meminta maaf kepada Prabu Arimba karena terpaksa berbuat demikian. Prabu Arimba menjawab ia tidak perlu meminta maaf karena ini semua sudah diniatkan. Prabu Arimba ingin memuliakan nama Raden Bratasena yang berhasil menikahi adiknya melalui sayembara tanding, bukan karena dijodohkan begitu saja. Ia rela berkorban nyawa demi kebahagiaan dan kemuliaan Dewi Arimbi, adiknya yang paling disayang, yang lahir pada hari yang sama dengannya.

Dewi Arimbi datang sambil menangis memeluk Prabu Arimba. Datang pula adik-adik mereka yang lain, yaitu Raden Brajadenta, Raden Brajamusti, Raden Brajalamatan, Raden Brajawikalpa, dan Raden Kalabendana, yang sejak tadi menonton dari kejauhan. Mereka menyatakan ikhlas atas kekalahan Prabu Arimba dan berjanji tidak akan menyimpan dendam kepada Raden Bratasena.

Prabu Arimba sendiri merasa ajalnya sudah dekat. Ia meminta Raden Bratasena sudi menggantikannya sebagai raja Pringgadani. Raden Bratasena menolak karena adik-adik Prabu Arimba jauh lebih berhak. Prabu Arimba berkata untuk sementara Kerajaan Pringgadani biarlah dipimpin Dewi Arimbi. Kelak jika sudah lahir putra hasil perkawinan adiknya itu dengan Raden Bratasena, maka biarlah dia yang menjadi raja Pringgadani. Raden Brajadenta dan yang lain menyatakan setuju pada keputusan Prabu Arimba tersebut.

Demikianlah, Prabu Arimba pun meninggal dunia. Sebelum nyawanya putus, ia sempat memberikan kenang-kenangan berupa nama julukan untuk Raden Bratasena, yaitu Wrekodara. Itu karena Raden Bratasena bertarung dengan buas bagaikan seekor serigala. Raden Bratasena berterima kasih dan berjanji akan memakai nama Wrekodara kelak setelah memiliki putra dari Dewi Arimbi.

RADEN PUNTADEWA DIPAKSA ADIK-ADIKNYA MENJADI RAJA

Hutan Wanamarta kini telah dibuka menjadi sebuah negara baru, dan sebagian lagi masih tetap tertutup pepohonan untuk kelangsungan hidup penduduknya. Raden Puntadewa mengganti nama Kerajaan Mertani menjadi Amarta, dan menetapkan Indraprasta sebagai ibukotanya. Adipati Yamawidura datang pula untuk meninjau dan memberi selamat atas keberhasilan para Pandawa tersebut.

Raden Puntadewa lalu meminta Raden Bratasena menjadi raja Amarta karena selama ini adiknya itu yang lebih banyak bekerja keras membabat Hutan Wanamarta dan mengubahnya menjadi permukiman. Raden Bratasena menolak karena ia bekerja keras bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kejayaan para Pandawa. Ia sama sekali tidak memiliki pamrih untuk menduduki takhta dan menjadi raja.

Raden Bratasena menambahkan bahwa selama ini Raden Puntadewa sudah menjadi kakak yang baik, sudah bertindak sebagai pengganti ayah. Selama ini Raden Puntadewa sudah terbukti cakap dalam memimpin adik-adiknya, maka kini saatnya ia menjadi pemimpin negara, memimpin seluruh rakyat. Raden Permadi, Raden Nakula, dan Raden Sadewa juga ikut memohon agar Raden Puntadewa sudi menjadi raja. Karena Raden Puntadewa tetap menolak, maka Raden Permadi dan si kembar pun berlutut dan mereka tidak mau bangun jika Raden Puntadewa tidak menerima takhta. Hanya Raden Bratasena seorang yang tidak bisa berlutut, tetapi wajahnya tampak tulus memohon kakaknya itu agar sudi duduk di atas takhta.

Adipati Yamawidura heran melihat sikap Raden Puntadewa yang tidak tertarik pada kedudukan, sungguh berbeda dengan kebanyakan orang. Dewi Kunti pun ikut bicara dan meminta putra sulungnya itu mengabulkan permohonan adik-adiknya. Raden Puntadewa terharu dan kemudian memeluk keempat adiknya sambil berkata dirinya bersedia menjadi raja Amarta.

Semua orang kini merasa lega. Adipati Yamawidura lalu meminta Raden Puntadewa agar mempersiapkan diri. Kelak jika sudah menadapat hari yang baik maka keponakannya itu bisa dilantik sebagai raja negeri Amarta, yang bukan lagi menjadi bagian Kerajaan Hastina.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------




CATATAN : Kisah para Pandawa mendapat Hutan Wanamarta (dari Prabu Matsyapati, bukan Prabu Dretarastra) menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun Suryasengakala 693 yang ditandai dengan sengkalan “Rudra hangebahaken wiyat”, atau tahun Candrasengkala 714 yang ditandai dengan sengkalan “Janma kaswareng barakan”. Sedangkan kematian Prabu Irimba menurut versi itu terjadi pada tahun Suryasengkala 692 yang ditandai dengan sengkalan “Sikaraning Rudra angrasa barakan”, atau tahun Candrasengkala 713 yang ditandai dengan sengkalan “Geni sawukir sirna”.










4 komentar:

  1. Nuwun sewu menapa versi Pustakaraja Purwa ugi nyebataken menawi Wanamarta menika peparing saking Destrarastra. Kula nate mireng menawi Pak Manteb nyanggit Wanamarta peparing saking Wirata menika ugi wonten bukunipun. mtr nuwun

    BalasHapus
  2. Pak Chedo, menawi versi Pustakaraja Purwa punika lakon Bale Sigala-gala disambung Pandawa nyamar ten Wirata, disambung Adon Adon Rajamala, Bratasena dipun paringi Wanamarta dening Matsyapati. Lajeng nembe Kangsa Adu Jago.

    Lha menawi pakem Mahabharata, lakon Wirataparwa niku mangke, menawi sampun wonten lakon Pandawa Dadu & Pandawa Buang... Mila postingan kula niki jejer pertama Dretarastra, kula niru sanggitipun Ki Nartosabdo. Lajeng lampahan Pandawa mbabat alas, nembe kula niru sanggit Ki Manteb. Dados niki kombinasi manut pemahaman kula. Mekaten Pak.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. nuhu sewu,pusakanipun yudistira niku nopo mawon nggeh?

    BalasHapus