Kisah ini menceritakan tentang peperangan antara Prabu Kresna melawan Prabu
Boma Narakasura akibat ulah Raden Samba yang berselingkuh dengan Dewi
Agnyanawati.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pergelaran wayang kulit dengan
dalang Ki Nartosabdo, serta rekaman pentas Ki Manteb Soedharsono, dengan beberapa
perubahan seperlunya.
Kediri, 19 April 2019
Heri Purwanto
Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, silakan klik di sini
Perang antara Prabu Boma dan PrabuKresna, |
------------------------------
ooo ------------------------------
PRABU KRESNA MENGUTUS ARYA SETYAKI MENJEMPUT RADEN SAMBA
Di Kerajaan Dwarawati, Prabu
Kresna Wasudewa dihadap para putra, yaitu Raden Partajumena dan Raden Setyaka,
serta senapati Arya Setyaki dan juga Patih Udawa. Mereka membahas tentang putra
mahkota Raden Samba Wisnubrata yang sudah satu bulan ini menghilang dari
Kesatrian Paranggaruda. Padahal, istri Raden Samba, yaitu Dewi Sugatawati
sedang hamil tua dan mungkin sebentar lagi akan melahirkan.
Menurut perkiraan Prabu
Kresna, kemungkinan besar Raden Samba menginap di tempat kakak kandungnya,
yaitu Resi Gunadewa di Astana Gandamadana. Maka, Prabu Kresna memerintahkan
Arya Setyaki untuk menjemput pulang Raden Samba agar menunggui Dewi Sugatawati
yang hendak melahirkan.
Putra bungsu Prabu Kresna,
yaitu Raden Setyaka berkata bahwa dirinya tadi malam bermimpi melihat Raden
Samba naik perahu berdua dengan Dewi Agnyanawati, istri Prabu Boma Narakasura.
Mereka berdua dalam satu perahu yang dihempas badai dan tenggelam ditelan
lautan. Raden Setyaka sangat takut membayangkan mimpinya itu dan kini
memberanikan diri untuk bercerita kepada sang ayah.
Prabu Kresna termenung
sejenak. Ia teringat saat upacara pernikahan Prabu Boma dengan Dewi Agnyanawati
telah terjadi kesalahan, yaitu si pengantin wanita justru menyembah kepada
Raden Samba. Apakah peristiwa itu akan berlanjut sebagaimana mimpi Raden
Setyaka? Berpikir demikian, Prabu Kresna pun memerintahkan Arya Setyaki agar segera
berangkat melaksanakan tugas. Arya Setyaki mohon pamit, dan Prabu Kresna lalu membubarkan
pertemuan.
RADEN SAMBA NEKAT PERGI MENEMUI DEWI AGNYANAWATI
Sesuai dugaan Prabu Kresna,
ternyata Raden Samba memang berada di Astana Gandamadana menghadap Resi
Gunadewa. Sejak peristiwa perkawinan Prabu Boma dan Dewi Agnyanawati, Raden
Samba selalu terbayang-bayang wajah kakak iparnya itu. Apalagi waktu upacara
pengantin, Dewi Agnayanwati salah menyembah kepada dirinya, bukan menyembah
Prabu Boma. Peristiwa itu membuat Raden Samba terkenang setiap hari dan merasa
menyesal, mengapa bukan dirinya yang menikah dengan Dewi Agnyanawati.
Resi Gunadewa menasihati
adiknya itu agar melupakan Dewi Agnyanawati karena sekarang sudah menjadi kakak
ipar mereka. Apalagi Raden Samba sudah memiliki istri, yaitu Dewi Sugatawati
yang sekarang ini sedang mengandung, siap untuk melahirkan sebentar lagi. Raden
Samba menjawab, apa salahnya laki-laki memiliki istri lebih dari satu? Bukankah
ayah mereka, yaitu Prabu Kresna juga memiliki banyak istri? Resi Gunadewa
menjawab, memang benar ayah mereka memiliki banyak istri, namun tidak pernah
merebut istri orang lain.
Raden Samba tersinggung
mendengar nasihat Resi Gunadewa. Selama ini ia merasa nyaman bersama kakak
kandungnya tersebut yang dianggap sebagai satu-satunya tempat untuk mencurahkan
isi hati. Namun, ternyata Resi Gunadewa tidak mendukung keinginannya. Raden
Samba merasa tidak ada gunanya lagi berlama-lama di Astana Gandamadana. Ia pun
mohon pamit menuju Kerajaan Trajutresna untuk menemui pujaan hatinya, Dewi Agnayanawati.
DITYA YAYAHGRIWA DITUGASI MENGGUSUR ASTANA GANDAMADANA
Di Kerajaan Trajutresna, Patih
Pancadnyana dihadap para punggawa raksasa, yaitu Ditya Yayahgriwa, Ditya
Ancakogra, Ditya Mahodara, dan Ditya Amisunda. Mereka membicarakan tentang
masalah rumah tangga sang raja, yaitu Prabu Boma Narakasura. Sejak menikah
beberapa bulan yang lalu, Dewi Agnyanawati tidak pernah bersedia melayani Prabu
Boma. Pernah sekali Dewi Agnyanawati meminta syarat untuk dimadu dengan Dewi
Mustikawati dari Gunung Cakrawala. Prabu Boma Narakasura pun berangkat untuk
meminang putri tersebut, namun kalah bersaing melawan Bambang Wisanggeni putra
Raden Arjuna.
Prabu Boma kemudian meminta
Dewi Agnyanawati agar mengajukan syarat yang lain saja. Ia tidak bersedia jika harus
menikah dengan wanita lain karena yang ia cintai hanyalah Dewi Agnyanawati
seorang. Dewi Agnyanawati akhirnya mengajukan syarat bahwa ia bersedia melayani
Prabu Boma apabila dibuatkan jalan lurus tanpa belok yang menghubungkan
Kerajaan Trajutresna dengan tanah airnya, yaitu Kerajaan Giyantipura. Dewi
Agnyanawati sebagai anak tunggal Prabu Krentagnyana mengaku ingin setiap saat
bisa mengunjungi ayah dan ibunya secara cepat dan lancar, melalui jalan yang
lurus tanpa belok sama sekali.
Prabu Boma bimbang menghadapi
syarat ini karena jalan lurus tanpa belok yang menghubungkan Kerajaan
Trajutresna dengan Kerajaan Giyantipura akan menembus Astana Gandamadana,
tempat para leluhur Kerajaan Mandura, Dwarawati, Kumbina, dan Lesanpura dicandikan.
Prabu Boma pun pergi ke tempat ibunya, yaitu Batari Pretiwi untuk meminta saran
atas hal ini, dan menitipkan urusan Kerajaan Trajutresna kepada Patih
Pancadnyana.
Patih Pancadnyana yakin Batari
Pretiwi pasti merestui Prabu Boma menggusur Astana Gandamadana, dengan alasan lebih
baik mengorbankan yang sudah mati untuk kepentingan yang masih hidup. Maka, ia
pun memerintahkan para punggawa untuk memulai pembangunan jalan lurus tersebut.
Ditya Mahodara bertanya apakah tidak sebaiknya menunggu kepulangan Prabu Boma
terlebih dulu, dan apabila berangkat sekarang apakah tidak melangkahi keputusan
raja?
Patih Pancadnyana menjawab
dirinya sudah hafal watak Prabu Boma. Ia yakin Prabu Boma pasti bersedia
melakukan apa saja demi Dewi Agnyanawati, asalkan tidak disuruh menikah lagi
dengan wanita lain. Karena Patih Pancadnyana sudah mendapatkan mandat untuk menangani
urusan Kerajaan Trajutresna, maka ia pun memerintahkan Ditya Yayahgriwa untuk
pergi ke Astana Gandamadana, berunding dengan Resi Gunadewa agar memindahkan candi
para leluhur di sana. Ditya Yayahgriwa mohon pamit ditemani Ditya Amisunda dan
Ditya Mahodara. Patih Pancadnyana lalu mengajak Ditya Ancakogra untuk memulai
persiapan membangun jalan lurus dari Kerajaan Trajutresna menuju Kerajaan
Giyantipura.
Singkat cerita, Ditya
Yayahgriwa dan rombongan sudah sampai di Astana Gandamadana. Mereka disambut
Resi Gunadewa yang baru saja ditinggal pergi Raden Samba. Ditya Yayahgriwa lalu
menyampaikan maksud kedatangannya adalah untuk menggusur Astana Gandamadana
karena akan dibangun jalan lurus yang menghubungkan antara Kerajaan Trajutresna
dan Kerajaan Giyantipura. Resi Gunadewa tidak terima karena Astana Gandamadana
adalah tempat para leluhur dicandikan, antara lain Prabu Kuntiboja dan Prabu
Basudewa beserta para istri masing-masing. Lagipula Resi Gunadewa hanyalah juru
kunci astana. Ia tidak berani mengabulkan permintaan Ditya Yayahgriwa tanpa
seizin Prabu Baladewa, karena Astana Gandamadana masuk wilayah Kerajaan
Mandura.
Ditya Yayahgriwa tidak peduli.
Ia berkata dirinya tidak sudi pulang ke Kerajaan Trajutresna dengan tangan
hampa. Ia pun memaksa Resi Gunadewa menandatangani nota kesepakatan bahwa
Astana Gandamadana harus digusur demi pembangunan jalan lurus tersebut. Resi
Gunadewa menolak dan mengatakan dirinya lebih baik mati daripada dipaksa
mematuhi kesepakatan ini.
Ditya Yayahgriwa mengabulkan perkataan
Resi Gunadewa. Ia lantas menghantam kepala resi muda itu menggunakan gada di
tangannya. Resi Gunadewa pun tewas seketika dengan kepala remuk.
PASUKAN MANDURA BERTEMPUR MELAWAN PASUKAN TRAJUTRESNA
Raden Wisata putra mahkota
Kerajaan Mandura sedang meronda keamanan bersama Patih Pragota dan Arya
Prabawa. Mereka heran melihat ada banyak raksasa berkeliaran di dekat Astana
Gandamadana. Raden Wisata bertanya siapa pemimpin mereka. Ditya Yayahgriwa
berkata bahwa Astana Gandamadana akan digusur untuk kepentingan pembangunan jalan
lurus yang menghubungkan Kerajaan Trajutresna dengan Kerajaan Giyantipura.
Barangsiapa menghalangi akan dibunuh, termasuk Resi Gunadewa yang sudah mati
dengan kepala pecah.
Raden Wisata marah mendengar
sepupunya tewas. Ia pun mengerahkan pasukan Mandura untuk mengusir para raksasa
tersebut. Ditya Yayahgriwa dan pasukan Trajutresna menghadapi mereka.
Pertempuran terjadi. Ditya Yayahgriwa mengincar Raden Wisata selaku pemimpin
pasukan Mandura. Dalam pertarungan itu, Raden Wisata lengah dan lehernya putus
digigit Ditya Yayahgriwa. Melihat sang pangeran terbunuh, pasukan Mandura pun
kocar-kacir kehilangan mental.
Pada saat itulah Arya Setyaki
datang. Ia mengeluarkan Gada Wesikuning dan bergerak lincah menyerang Ditya
Yayahgriwa. Dalam pertempuran itu, Ditya Yayahgriwa tewas kepalanya remuk
terkena pukulan gada Arya Setyaki.
Arya Setyaki lalu menghentikan
pertempuran. Ia mengatakan urusan ini biar diselesaikan antara para raja tiga
negara, yaitu Prabu Kresna, Prabu Baladewa, dan Prabu Boma, karena sudah jatuh
korban jiwa dari masing-masing pihak. Semuanya pun setuju. Ditya Mahodara dan
Ditya Amisunda menggotong mayat Ditya Yayahgriwa dan membawa pasukannya kembali
ke Kerajaan Trajutresna; Arya Setyaki membawa jasad Resi Gunadewa ke Kerajaan
Dwarawati, sedangkan Patih Pragota dan Arya Prabawa membawa jasad Raden Wisata
ke Kerajaan Mandura.
RADEN SAMBA BERTEMU RADEN ARJUNA DAN ARYA GATUTKACA
Sementara itu, Raden Samba
sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Trajutresna. Di tengah jalan ia
berjumpa Raden Arjuna dan Arya Gatutkaca yang sedang dalam perjalanan ke
Kerajaan Dwarawati karena ada kabar bahwa Dewi Sugatawati hendak melahirkan. Raden
Arjuna bertanya ada keperluan apa Raden Samba hendak pergi ke Kerajaan
Trajutresna. Raden Samba dengan malu-malu menjawab bahwa ia hendak menemui Dewi
Agnyanawati karena jatuh cinta kepada kakak iparnya tersebut.
Raden Arjuna marah karena Dewi
Sugatawati hamil tua hendak melahirkan, tapi justru Raden Samba pergi menemui
wanita lain. Raden Samba menjawab, dirinya ingin menjemput Dewi Agnyanawati
untuk hidup berkumpul dengan Dewi Sugatawati. Raden Arjuna semakin marah tidak
rela putrinya dimadu dengan wanita lain, apalagi wanita ini sudah punya suami.
Raden Samba menjawab, cinta harus diperjuangkan apa pun rintangannya. Bukankah
dulu Raden Arjuna sudah menikah dengan Dewi Sumbadra, juga menikahi Dewi
Srikandi serta banyak wanita lainnya? Raden Samba pun bersumpah, apabila
berhasil menikahi Dewi Agnyanawati, maka ia tidak akan mengurangi kasih
sayangnya kepada Dewi Sugatawati. Untuk itu, ia memohon restu dan bantuan
kepada Raden Arjuna.
Raden Arjuna tersentuh
hatinya. Ia menyadari bahwa dirinya pun memiliki banyak istri, sehingga tidak
bisa menyalahkan Raden Samba apabila ingin menikah lagi. Ia pun berkata bahwa
dirinya tidak merestui perbuatan Raden Samba yang hendak merebut istri Prabu
Boma, namun ia bersedia membantu mencarikan jalan saja. Raden Arjuna lalu
membisikkan mantra Aji Panglimunan kepada Raden Samba agar dapat menyusup masuk
ke dalam istana Trajutresna tanpa ketahuan. Arya Gatutkaca juga diperintahkan
untuk mengantarkan Raden Samba agar perjalanannya lebih cepat.
Demikianlah, Raden Samba
berhasil menghafalkan mantra Aji Panglimunan, lalu ia digendong Arya Gatutkaca
terbang menuju Kerajaan Trajutresna. Adapun Raden Arjuna beserta para panakawan
melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Dwarawati untuk menjenguk putrinya,
yaitu Dewi Sugatawati.
RADEN SAMBA MENEMUI DEWI AGNYANAWATI
Arya Gatutkaca terbang secepat
kilat dan menurunkan Raden Samba di dekat Kerajaan Trajutresna. Raden Samba
berterima kasih, lalu membaca mantra Aji Panglimunan yang telah diajarkan Raden
Arjuna tadi. Seketika wujudnya menghilang dan ia pun leluasa masuk ke dalam
istana untuk menemui Dewi Agnyanawati.
Dewi Agnyanawati yang sedang
melamun sendiri di puri terkejut melihat Raden Samba tiba-tiba muncul di
hadapannya. Raden Samba yang sudah meluap rindunya segera merayu wanita
pujaannya itu dengan kata-kata manis. Dewi Agnyanawati sendiri pada dasarnya
juga jatuh cinta kepada adik iparnya itu sejak pandangan pertama. Mereka pun
saling melepas rindu yang terpendam di hati masing-masing. Raden Samba lalu
menggendong Dewi Agnyanawati yang meronta-ronta genit, dan keduanya pun
memuaskan hasrat birahi di dalam kamar tidur.
Perbuatan Dewi Agnyanawati dan
Raden Samba terdengar oleh para dayang. Mereka pun pergi melapor kepada Patih
Pancadnyana. Mendengar laporan ini, Patih Pancadnyana segera membawa pasukan
raksasa mengepung puri tempat tinggal Dewi Agnyanawati. Raden Samba gugup dan gemetar
sehingga lupa bacaan mantra Aji Panglimunan yang bisa membuatnya tidak terlihat.
Tidak lama kemudian, Patih Pancadnyana dan para prajurit sudah datang hendak
menangkap dirinya.
Patih Pancadnyana menyebut
Raden Samba pangeran tidak tahu diri, berani menggoda kakak iparnya sendiri.
Raden Samba berteriak minta tolong ketika hendak diseret oleh Patih Pancadnyana.
Suara teriakannya terdengar oleh Arya Gatutkaca yang masih menunggu di luar
istana. Arya Gatutkaca pun melesat terbang lalu menerjang turun untuk menolong
Raden Samba. Patih Pancadnyana ditendangnya hingga jatuh terjungkal. Sejumlah
prajurit raksasa pun tewas oleh amukan Arya Gatutkaca. Namun, Arya Gatutkaca
tidak mau memperpanjang masalah. Ia mengajak Raden Samba untuk segera pulang ke
Kerajaan Dwarawati. Dewi Agnyanawati ingin ikut serta karena ia merasa dirinya sudah
menjadi milik Raden Samba. Raden Samba juga tidak mau pulang apabila tidak
bersama kekasihnya tersebut. Arya Gatutkaca terpaksa menggendong mereka berdua
dan melesat terbang ke angkasa meninggalkan Patih Pancadnyana yang memanggil
bala bantuan.
PRABU BOMA MENDAPAT NASIHAT DARI IBUNYA
Sementara itu, Prabu Boma
Narakasura berada di Kahyangan Ekapratala menghadap ibu kandungnya, yaitu
Batari Pretiwi. Kedatangannya adalah untuk meminta petunjuk apakah dirinya
harus mengabulkan keinginan Dewi Agnyanawati atau tidak. Karena, apabila jalan
lurus benar-benar dibangun menghubungkan Kerajaan Trajutresna dengan Kerajaan Giyantipura,
maka akan menerobos Astana Gandamadana, tempat para leluhur dicandikan.
Batari Pretiwi mengheningkan
cipta sejenak, lalu berkata bahwa Prabu Boma tidak perlu memusingkan permintaan
Dewi Agnyanawati tersebut. Apa gunanya menikah dengan wanita yang tidak
mencintai suaminya dengan sepenuh hati? Permintaan Dewi Agnyanawati untuk
dibuatkan jalan lurus hanyalah mengada-ada karena sekarang ia justru memadu
kasih dengan Raden Samba.
Prabu Boma marah mendengarnya.
Ia mohon pamit untuk melabrak adiknya itu. Namun, Batari Pretiwi mencegah. Apa
gunanya menyalahkan Raden Samba apabila Dewi Agnyanawati ternyata bukan wanita
setia? Kecuali jika Raden Samba yang memaksa, boleh kiranya Prabu Boma membela
istrinya. Namun, Dewi Agnyanawati sendiri juga melayani Raden Samba tanpa
mengajukan syarat aneh-aneh segala.
Prabu Boma terdiam merenungi
ucapan ibunya. Ia lalu mohon pamit kembali ke Kerajaan Trajutresna untuk
menceraikan Dewi Agnyanawati dan menyerahkannya kepada Raden Samba.
PRABU BOMA MENGUTUS PATIH PANCADNYANA MENJEMPUT RADEN SAMBA
Prabu Boma telah sampai dan ia
heran melihat istana Trajutresna kacau balau. Patih Pancadnyana melaporkan
bahwa Dewi Agnyanawati telah berselingkuh dengan Raden Samba. Prabu Boma
menjawab dirinya sudah tahu dan merestui hubungan mereka. Istri yang mencintai
laki-laki lain, untuk apa dipertahankan?
Patih Pancadnyana berkata
bahwa Arya Gatutkaca juga datang mengacau Kerajaan Trajutresna dan melarikan
Raden Samba beserta Dewi Agnyanawati. Prabu Boma menjawab, Arya Gatutkaca
mungkin rindu kepadanya karena sudah lama tidak berlatih bersama. Ia justru
memarahi Patih Pancadnyana dan para prajurit raksasa yang tidak memperlakukan
Arya Gatutkaca dengan sopan.
Patih Pancadnyana heran,
mengapa watak rajanya yang biasanya pemarah kini berubah menjadi sabar seperti
ini. Prabu Boma tidak mau memperpanjang masalah. Ia memerintahkan Patih
Pancadnyana untuk menyusul Raden Samba dan Dewi Agnyanawati, karena mereka akan
dinikahkan di Kerajaan Trajutresna oleh Prabu Boma sendiri. Patih Pancadnyana
merasa heran, namun tidak berani membantah. Setelah menerima surat dari
rajanya, barulah ia berangkat menuju Kerajaan Dwarawati.
PRABU KRESNA MEMARAHI RADEN SAMBA DAN DEWI AGNYANAWATI
Raden Samba dan Dewi
Agnyanawati telah diturunkan oleh Arya Gatutkaca di Kerajaan Dwarawati dan
mereka langsung menghadap Prabu Kresna. Tampak Prabu Kresna sangat marah
melihat ulah Raden Samba. Mengenai kematian Resi Gunadewa tidak membuat marah
Prabu Kresna, karena Resi Gunadewa gugur secara kesatria mempertahankan Astana
Gandamadana yang hendak digusur Ditya Yayahgriwa. Sebaliknya, ulah Raden Samba
sama sekali bukan perbuatan kesatria, melainkan perbuatan seorang pengecut yang
memalukan.
Dewi Agnyanawati menyela ikut
bicara membela Raden Samba. Bukan Raden Samba yang membawa dirinya kabur,
tetapi ia sendiri yang ingin ikut dibawa ke Kerajaan Dwarawati. Prabu Kresna
semakin marah dan menyebut Dewi Agnyanawati perempuan tercela yang tidak bisa
menjaga kehormatan diri, kehormatan suami, serta kehormatan rumah tangga. Jika
memang Dewi Agnyanawati tidak mencintai Prabu Boma, mengapa tidak terus terang
saja minta diceraikan? Mengapa pula harus mempermainkan perasaan Prabu Boma
dengan mengajukan syarat aneh-aneh segala, yang kini bahkan menelan tiga nyawa,
yaitu Resi Gunadewa, Raden Wisata, dan Ditya Yayahgriwa.
Dewi Agnyanawati tertunduk
malu bercampur takut. Raden Samba yang seumur hidup selalu dimanja oleh Prabu
Kresna, baru kali ini ia melihat sang ayah marah besar kepadanya. Sebaliknya,
Prabu Kresna sendiri juga tidak tega melihat Raden Samba tertunduk ketakutan di
hadapannya. Ia menghela napas, lalu menyuruh Raden Samba dan Dewi Agnyanawati untuk
segera mandi air bunga, menghilangkan kotoran jiwa mereka, sambil menunggu
keputusan hukuman lebih lanjut.
PATIH PANCADNYANA MENJEMPUT RADEN SAMBA DAN DEWI AGNYANAWATI
Tidak lama kemudian, datanglah
Patih Pancadnyana menghadap Prabu Kresna. Setelah menghaturkan sembah, ia pun
menyerahkan surat dari rajanya kepada Prabu Kresna. Prabu Kresna membaca surat
itu dan ternyata benar tulisan tangan Prabu Boma. Isinya ialah permohonan maaf
karena Prabu Boma tidak bisa melanjutkan rumah tangga dengan Dewi Agnyanawati
karena istrinya itu lebih mencintai Raden Samba. Dalam hal ini Prabu Boma lebih
mementingkan persaudaraan daripada perkawinan yang tidak sepenuh hati. Maka,
Prabu Boma pun berniat menikahkan Raden Samba dan Dewi Agnyanawati di Kerajaan
Trajutresna, karena Dewi Agnyanawati sudah menjadi warga negara di sana.
Hendaknya mereka berdua diizinkan ikut pergi bersama Patih Pancadnyana yang
memang dikirim Prabu Boma untuk menjemput.
Prabu Kresna terharu membaca
isi surat Prabu Boma. Ia pun memanggil Raden Samba dan Dewi Agnyanawati untuk
menjelaskan kehendak Prabu Boma kepada mereka. Raden Samba dan Dewi Agnyanawati
merasa takut apabila kembali ke Kerajaan Trajutresna, namun Prabu Kresna
menjamin mereka akan baik-baik saja. Karena sang ayah sudah menjamin demikian,
maka Raden Samba dan Dewi Agnyanawati pun bersedia ikut bersama Patih
Pancadnyana.
Setelah ketiganya pergi, Raden
Arjuna muncul dan menanyakan ke mana perginya Raden Samba. Prabu Kresna menjawab
bahwa Raden Samba baru saja berangkat bersama Dewi Agnyanawati karena dijemput
Patih Pancadnyana. Rencananya, mereka berdua akan dinikahkan oleh Prabu Boma di
Kerajaan Trajutresna.
Raden Arjuna terkejut
mendengarnya. Ia heran mengapa Prabu Kresna begitu polos, membiarkan Raden Samba
pergi ke tempat Prabu Boma Narakasura. Ia yakin pasti Raden Samba akan menerima
hukuman mati di sana. Raden Arjuna tidak rela cucunya yang akan lahir menjadi
anak yatim. Ia pun bergegas menyusul kepergian Patih Pancadnyana dan rombongan.
Dengan mengandalkan Aji Saipi
Angin, Raden Arjuna berhasil menyusul Patih Pancadnyana. Tanpa banyak bicara ia
menendang patih raksasa tersebut, lalu membawa Raden Samba beserta Dewi
Agnyanawati kembali ke Kerajaan Dwarawati.
PRABU BOMA NARAKASURA MENYERANG KERAJAAN DWARAWATI
Patih Pancadnyana sangat kesal
dirinya terlibat dalam urusan rumah tangga yang tidak jelas ini. Ia merasa
dipermainkan oleh Prabu Boma dan Raden Arjuna. Maka, mereka berdua harus diadu
domba sebagai pembalasan. Patih Pancadnyana yang sudah dirasuki perasaan dendam
itu pun mengiris telinganya sendiri, lalu menulis surat yang ditempelkan pada
luka bekas irisan tersebut.
Sesampainya di Kerajaan
Trajutresna, Patih Pancadnyana meraung-raung di hadapan Prabu Boma. Prabu Boma lalu
mengambil surat yang menempel pada sisi kepala Patih Pancadnyana yang sudah
kehilangan sebelah telinga. Surat berlumuran darah itu seolah ditulis Raden
Arjuna yang berisi tantangan, bahwa Prabu Boma harus merebut Raden Samba dan
Dewi Agnyanawati melalui peperangan apabila memang benar-benar jantan. Raden
Arjuna tidak sudi ditipu dengan cara licik, seolah-olah mereka berdua hendak
dinikahkan di Kerajaan Trajutresna. Itu omong kosong belaka. Demikianlah isi
surat tersebut.
Prabu Boma marah dan
merobek-robek surat itu. Sejak tadi ia menahan marah karena istrinya
berselingkuh dengan adiknya sendiri. Meskipun ia mencoba ikhlas, namun isi
surat yang kabarnya ditulis Raden Arjuna telah menyakiti harga dirinya.
Kebaikannya dianggap palsu, dan ini sungguh suatu penghinaan baginya. Prabu Boma
pun memerintahkan Patih Pancadnyana untuk mempersiapkan semua pasukan
Trajutresna. Bersama-sama mereka berangkat menggempur Kerajaan Dwarawati. Prabu
Boma tampak gagah duduk di atas kendaraannya yang berwujud burung garuda
berkepala raksasa, bernama Paksi Wilmuna.
Dalam perjalanan itu, Prabu
Boma melihat Arya Wrekodara seorang diri. Ia pun mendarat menemui pamannya tersebut.
Rupanya Arya Wrekodara sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Dwarawati untuk
menyusul Raden Arjuna dan Arya Gatutkaca. Setelah mendengar cerita Prabu Boma
tentang perselingkuhan Raden Samba dengan Dewi Agnyanawati, juga tentang Raden
Arjuna yang menantang perang dirinya, Arya Wrekodara merasa sangat terkejut.
Dasar watak Arya Wrekodara yang selalu bersikap adil, ia pun ikut bergabung di
pihak Prabu Boma untuk menemani keponakannya itu menuntut keadilan.
PERTEMPURAN DI KERAJAAN DWARAWATI
Prabu Boma Narakasura dan
pasukannya telah sampai di wilayah Kerajaan Dwarawati. Kebetulan mereka bertemu
Prabu Baladewa yang memimpin pasukan Mandura untuk meminta pertanggungjawaban atas
kematian Raden Wisata. Tadinya Prabu Baladewa hendak membicarakan hal ini
dengan Prabu Kresna. Namun, karena bertemu dengan Prabu Boma, amarahnya pun
meluap seketika.
Prabu Baladewa memaki Prabu
Boma tidak tahu diri. Demi wanita rela membunuh saudara sendiri. Prabu Boma
memohon maaf atas kematian Raden Wisata. Namun, Prabu Baladewa tetap menuntut
nyawa dibayar nyawa. Arya Wrekodara menjawab, pembunuh Raden Wisata adalah
Ditya Yayahgriwa yang sudah mati dibunuh Arya Setyaki. Prabu Baladewa tidak
peduli dan menuduh Ditya Yayahgriwa tentu mendapat perintah dari rajanya.
Prabu Baladewa yang semakin
marah berniat hendak membunuh Prabu Boma. Arya Wrekodara maju menghadapinya.
Keduanya lalu bertarung seru, diikuti pasukan Mandura bertempur melawan pasukan
Trajutresna. Berita ini pun terdengar oleh Arya Setyaki dan Patih Udawa. Mereka
segera mengerahkan pasukan Dwarawati untuk membantu pihak Mandura melawan
pasukan Trajutresna, karena sakit hati atas kematian Resi Gunadewa dan Raden
Wisata.
PRABU BOMA MENYIKSA RADEN SAMBA
Dalam kekacauan itu, Prabu
Boma tidak ingin terlibat lebih jauh. Ia segera naik ke punggung Paksi Wilmuna
untuk kemudian terbang mencari Raden Samba dan Dewi Agnyanawati. Rupanya kedua
orang itu sedang berkasih-kasihan di dalam Taman Banoncinawi. Prabu Boma pun
turun mendarat di hadapan mereka.
Raden Samba yang sedang
memeluk Dewi Agnyanawati dari belakang merasa terkejut. Prabu Boma berusaha
ikhlas melihatnya, namun pikirannya terbayang betapa selama ini ia berusaha
untuk bisa mendapatkan perhatian Dewi Agnyanawati, ternyata semuanya sia-sia
belaka.
Paksi Wilmuna melihat rajanya
sedang bimbang. Ia pun berbisik agar Prabu Boma memantapkan hati. Bagaimanapun
juga Raden Samba adalah penjahat yang sudah merusak rumah tangga orang lain.
Hukum harus ditegakkan. Prabu Boma termakan ucapan Paksi Wilmuna. Ia lalu
menarik tangan Raden Samba yang masih memeluk Dewi Agnyanawati. Raden Samba pun
menjerit kesakitan. Rupanya kedua lengannya telah putus akibat tarikan Prabu
Boma yang terlalu keras.
Dewi Agnyanawati menjerit
ketakutan, sedangkan mata Raden Samba melotot menahan sakit, jangan sampai ia
menangis di hadapan sang kekasih. Paksi Wilmuna kembali berbisik kepada Prabu
Boma, bahwa mata Raden Samba yang melotot itu pernah melihat tubuh Dewi
Agnyanawati telanjang tanpa busana.
Prabu Boma sebenarnya menyesal
telah menarik putus lengan Raden Samba. Namun mendengar ucapan Paksi Wilmuna, ia
kembali terbakar amarah. Selama menikah dengan Dewi Agnyanawati, ia sama sekali
belum pernah melihat istrinya telanjang. Namun, Raden Samba yang tidak ikut memberi
nafkah justru pernah menyaksikan Dewi Agnyanawati tanpa busana dan menggaulinya.
Dalam amarahnya itu, jari tangan Prabu Boma bergerak kejam mencongkel kedua
bola mata Raden Samba hingga terjulur keluar, bergantung-gantung di pipi kiri
dan kanan.
Menyadari keadaannya sudah
cacat parah, Raden Samba tidak merintih, tetapi justru tertawa pahit karena
merasa umurnya tidak akan lama lagi. Sebaliknya, Prabu Boma justru menangis
tersedu-sedu karena telah berbuat sedemikian kejam kepada sang adik. Paksi
Wilmuna kembali berkata, bahwa mulut Raden Samba yang tertawa itu pernah digunakan
untuk mencium dan menggigit bibir Dewi Agnyanawati. Prabu Boma kembali terbakar
amarah dan tangannya pun merobek mulut Raden Samba hingga menganga lebar.
Prabu Boma tidak bisa
mengendalikan dirinya lagi. Seperti kesetanan, ia menarik kepala Raden Samba
hingga leher putus, serta mengeluarkan isi perut adiknya itu hingga berserakan
di tanah. Dewi Agnyanawati yang menyaksikan peristiwa itu tidak bisa menangis
lagi. Air matanya seolah kering dan mulutnya seolah bisu. Prabu Boma berdiri
menghampirinya dan mengajak Dewi Agnyanawati pulang ke Kerajaan Trajutresna.
Namun, Dewi Agnyanawati berlari mendekati mayat Raden Samba, mengambil keris
yang terselip di pinggang kekasihnya itu, lalu bunuh diri menusuk leher
sendiri.
PRABU BOMA BERPAMITAN KEPADA PRABU KRESNA
Prabu Boma terkesima
menyaksikan Raden Samba dan Dewi Agnyanawati telah mati bersama. Ia juga tidak
menyalahkan Paksi Wilmuna yang telah menghasut dirinya, karena yang salah
adalah ia sendiri yang tidak dapat mengendalikan diri.
Tiba-tiba datang Prabu Kresna
di tempat itu sambil menggendong seorang bayi. Ia terkejut melihat Prabu Boma
telah membunuh Raden Samba dengan kejam, serta Dewi Agnyanawati pun bunuh diri
menusuk leher sendiri. Prabu Kresna tidak menyalahkan Prabu Boma, tetapi justru
menyalahkan diri sendiri yang terlalu memanjakan Raden Samba sejak kecil,
sehingga kini mendatangkan aib bagi Kerajaan Dwarawati. Jika memang Raden Samba
harus mati seperti ini, mungkin memang ini sudah menjadi hukum karma baginya.
Prabu Boma tetap merasa
bersalah meskipun Prabu Kresna tidak menyalahkan dirinya. Ia pun mohon pamit
untuk terjun ke dalam peperangan yang sedang berkecamuk di luar supaya bisa
mati sebagai kesatria. Prabu Kresna berkata, silakan Prabu Boma bertarung melawan
siapa saja, asal jangan menyakiti Raden Arjuna.
Prabu Boma mematuhi pesan
tersebut. Ketika hendak berangkat, ia lebih dulu bertanya siapa bayi yang
sedang digendong Prabu Kresna. Prabu Kresna menjawab, bayi laki-laki dalam
gendongannya adalah putra Raden Samba yang lahir dari Dewi Sugatawati. Dengan
disaksikan Prabu Boma, Prabu Kresna pun memberinya nama Raden Dwara yang
bermakna “pintu”. Maksudnya ialah, semoga kelak Raden Dwara bisa menebus
dosa-dosa Raden Samba, dan menjadi pintu bagi ayahnya memasuki Swargaloka.
Prabu Boma ikut mendoakan nama
tersebut semoga bisa menjadi kenyataan. Ia lalu teringat pada putra angkatnya
yang bernama Raden Swarka, yaitu putra kandung Prabu Bomantara yang dulu mati
di tangannya. Prabu Boma berpesan apabila dirinya tewas, maka Raden Swarka
jangan disakiti, dan biarlah putra angkatnya itu mewarisi Kerajaan Trajutresna.
Prabu Kresna mengabulkan permintaan tersebut. Prabu Boma lalu naik ke atas
Paksi Wilmuna dan mereka pun terbang ke angkasa.
PRABU BOMA MENGAMUK DALAM PEPERANGAN
Pertempuran di luar istana Kerajaan
Dwarawati masih berlangsung sengit. Gabungan pasukan Dwarawati dan Mandura
tampak unggul mendesak pasukan Trajutresna. Ditya Amisunda sudah tewas di
tangan Arya Setyaki, Ditya Mahodara tewas di tangan Patih Udawa, sedangkan
Ditya Ancakogra tewas di tangan Arya Gatutkaca. Sementara itu, Prabu Baladewa
masih bertarung imbang melawan Arya Wrekodara, sedangkan Patih Pancadnyana
melawan Raden Arjuna.
Prabu Boma Narakasura terjun ke
tanah menghadapi Raden Partajumena. Kematian Resi Gunadewa dan Raden Wisata membuat
Raden Partajumena tidak lagi menganggap Prabu Boma sebagai saudara tua. Ia pun
menghujani Prabu Boma dengan ratusan anak panah. Prabu Boma tidak mampu
menghindar dan akhirnya tewas terkena panah-panah itu. Namun, Aji Pancasunya
yang dimiliki Prabu Boma membuatnya hidup kembali begitu jasadnya menyentuh
tanah.
Raden Partajumena kembali
menyerang Prabu Boma dengan panah-panahnya. Prabu Boma berkali-kali tewas,
namun selalu saja hidup kembali ketika menyentuh tanah. Pertarungan ini membuat
Raden Partajumena letih dan ganti dirinya yang terdesak oleh serangan Prabu
Boma. Namun, tiba-tiba Raden Setyaka muncul menyambar tubuh kakaknya itu dan
membawanya kabur. Raden Partajumena marah karena ia merasa lebih baik mati
daripada meninggalkan pertempuran seperti ini. Raden Setyaka menjawab dirinya sudah
kehilangan Resi Gunadewa, Raden Wisata, dan Raden Samba, maka tidak ingin
kehilangan satu orang saudara lagi. Raden Partajumena pun terkejut mendengar
Raden Samba sudah meninggal pula.
Prabu Boma kembali mengamuk,
kali ini ia bertarung menghadapi saingan lamanya, yaitu Arya Gatutkaca.
Keduanya pun bertarung di angkasa. Arya Gatutkaca yang bisa terbang mampu
mengimbangi Prabu Boma yang mengendarai Paksi Wilmuna. Mereka bertarung sengit
seperti yang sudah sering terjadi. Namun, tiba-tiba pandangan Prabu Boma beralih
melihat Patih Pancadnyana yang tewas terbunuh oleh Raden Arjuna. Amarahnya pun
meluap karena Patih Pancadnyana selama ini sudah dianggap bagaikan paman sendiri.
Prabu Boma pun melupakan pesan Prabu Kresna. Dengan sekuat tenaga, ia mengarahkan
Paksi Wilmuna menerjang Raden Arjuna, meninggalkan pertarungannya melawan Arya
Gatutkaca.
Raden Arjuna tidak menyangka dirinya
diterjang Prabu Boma dengan mengendarai Paksi Wilmuna. Kain yang dipakai Raden
Arjuna pun lepas terkena cakar Paksi Wilmuna sehingga pahanya terlihat jelas.
Raden Arjuna merasa malu tak terbayangkan. Ia lalu melesat pergi meninggalkan
peperangan.
AKHIR HAYAT PRABU BOMA NARAKASURA
Prabu Kresna menyaksikan Prabu
Boma telah melanggar pesannya untuk tidak menyerang Raden Arjuna. Ia lalu
memerintahkan Arya Gatutkaca untuk mengambil Anjang-Anjang Kencana yang
tersimpan di dalam gedung pusaka Kerajaan Dwarawati. Dahulu Arya Gatutkaca pernah
bertarung melawan Prabu Boma demi memperebutkan Wahyu Senapati. Topeng Waja yang
dikenakan Arya Gatutkaca hancur dihantam Gamparan Kencana milik Batara Ekawarna
yang dilemparkan Prabu Boma ke arahnya. Pecahan Topeng Waja dan Gamparan
Kencana lalu dibawa Batara Narada untuk dilebur Batara Ramayadi menjadi
Anjang-Anjang Kencana sebagai sarana kematian Prabu Boma kelak. Pusaka
Anjang-Anjang Kencana lalu diserahkan kepada Prabu Kresna untuk disimpan di
gedung pusaka Kerajaan Dwarawati.
Arya Gatutkaca memahami
perintah Prabu Kresna. Ia lalu masuk ke dalam gedung pusaka untuk mengambil
benda tersebut. Sementara itu, Prabu Kresna datang menemui Prabu Boma dan menegur
putranya itu yang telah menyakiti Raden Arjuna. Prabu Boma bertanya mengapa
Raden Arjuna diistimewakan, tidak boleh diserang olehnya. Prabu Kresna berkata
bahwa Prabu Boma sesungguhnya adalah putra Batara Wisnu yang lahir dari Batari
Pretiwi. Adapun Batara Wisnu telah membelah penitisannya, yang setengah menitis
kepada Prabu Kresna, sedangkan yang setengah menitis kepada Raden Arjuna.
Dengan demikian, apabila Prabu Boma menyerang Raden Arjuna itu sama saja
durhaka kepada ayah sendiri.
Prabu Boma kesal mengapa tidak
dijelaskan dari awal. Ia merasa ini semua sudah kepalang tanggung. Perang ini
telah merenggut banyak nyawa. Patih Pancadnyana dan semua punggawa raksasa
Trajutresna yang selama ini menemani dirinya berjuang telah tewas. Tidak ada
lagi gunanya hidup di dunia jika tanpa teman di sampingnya. Prabu Boma pun
berniat mencari mati di tangan Batara Wisnu, ayahnya sendiri. Ia lalu mengarahkan
Paksi Wilmuna terbang ke angkasa, kemudian meluncur turun menerjang Prabu
Kresna.
Prabu Kresna paham maksud
Prabu Boma. Ia pun melepaskan senjata Cakra untuk menjemput serangan Prabu
Boma. Senjata Cakra melesat memotong leher Paksi Wilmuna dan menembus dada
Prabu Boma. Tubuh Prabu Boma pun melayang jatuh ke tanah. Namun, Arya Gatutkaca
muncul mengusung Anjang-Anjang Kencana menjemputnya. Tubuh Prabu Boma tidak
sampai menyentuh tanah, tetapi tertahan di atas pusaka tersebut. Hal ini
membuat Aji Pancasunya tidak berfungsi, sehingga Prabu Boma tidak dapat hidup
kembali seperti tadi.
PERANG GOJALISUTA BERAKHIR
Melihat Prabu Boma telah
tewas, Arya Wrekodara dan Prabu Baladewa pun menghentikan pertarungan mereka.
Pada saat itulah datang ayah kandung Dewi Agnyanawati, yaitu Prabu Krentagnyana
raja Giyantipura yang hendak membantu Prabu Boma. Arya Wrekodara maju
menghalangi dan pukulannya pun menewaskan raja tersebut.
Tidak lama kemudian datang
pula Batari Pretiwi. Ia menemui Prabu Kresna untuk menjemput pulang roh Prabu
Boma Narakasura. Prabu Kresna mempersilakan. Perlahan-lahan roh Prabu Boma
keluar setelah terjebak di dalam Anjang-Anjang Kencana. Bersama Batari Pretiwi,
roh Prabu Boma yang kembali bernama Batara Sitija, mohon pamit kepada Prabu
Kresna untuk kemudian kembali ke kahyangan.
Setelah ditinggalkan rohnya,
jasad Prabu Boma yang masih terbaring di atas Anjang-Anjang Kencana pun musnah
menjadi tanah. Asalnya dari tanah kembali menjadi tanah. Perang Gojalisuta kini
berakhir, yaitu perang antara ayah dan anak yang menyebabkan banyak jatuh
korban jiwa.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
Catatan : Kemunculan Raden Partajumena dan kelahiran Raden Dwara adalah
tambahan dari saya untuk meramaikan jalannya cerita.
Untuk kisah perkawinan Raden Samba dan Dewi Sugatawati bisa dibaca di sini.
Untuk kisah perkawinan Prabu Boma dan Dewi Agnyanawati bisa dibaca di sini.
Untuk kisah hancurnya Topeng Waja dan Gamparan Kencana bisa dibaca di sini.
Kalau tidak salah ini bagian Bharatayuda Gojalisuta ya mas?
BalasHapusVersinya ada banyak.
HapusPundi terusane koq lami,
BalasHapusTerusane kok kami???
BalasHapusTidak kalah mengerikan dibanding ketika menyimak Gojalisuta-nya Ki Nartosabdo. Bedanya, endingnya ada keharuan yang masuk akal.
BalasHapusAsli sebuah cerita pewayangam yg paling menyedihkan, memilukan. Rasa ter iris2 kalau menyimak alur cerita ini. Top jos. Walau ada yg ditambah2kan. Intinya sama. Versi solo maupun versi jogja. Mantap admind. 👍👍👍
BalasHapusAsli sebuah cerita pewayangam yg paling menyedihkan, memilukan. Rasa ter iris2 kalau menyimak alur cerita ini. Top jos. Walau ada yg ditambah2kan. Intinya sama. Versi solo maupun versi jogja. Mantap admind. 👍👍👍
BalasHapusUntuk mempermudah kamu bermain guys www.fanspoker.com menghadirkan 6 permainan hanya dalam 1 ID 1 APLIKASI guys,,,
BalasHapusdimana lagi kalau bukan di www.fanspoker.com
WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||
Kesalahan sebesar apapun bisa termaafkan,kecuali melawan orang tua..
BalasHapusMsh nunggu lanjutannya kang admin..
Trimakasih banyak