Selasa, 27 Maret 2018

Samba Rabi



Kisah ini menceritakan tentang perkawinan antara Raden Samba putra Prabu Kresna dengan Dewi Sugatawati putri Raden Arjuna. Perkawinan ini kelak melahirkan Patih Dwara yang menjadi patih pada era pemerintahan Prabu Parikesit.

Kisah ini saya olah dari sumber Ensiklopedia Wayang Purwa karya Rio Sudibyoprono, dengan sedikit pengembangan seperlunya.

Kediri, 27 Maret 2018

Heri Purwanto

Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, klik di sini

Raden Samba Wisnubrata.

------------------------------ ooo ------------------------------

PRABU KRESNA HENDAK MENIKAHKAN RADEN SAMBA DENGAN DEWI SUGATAWATI

Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa dihadap putra mahkota Raden Samba Wisnubrata, Arya Setyaki, dan Patih Udawa. Hadir pula sang kakak dari Kerajaan Mandura, yaitu Prabu Baladewa yang datang berkunjung. Dalam pertemuan itu, Prabu Kresna berniat menikahkan Raden Samba dengan putri Raden Arjuna di Kesatrian Madukara yang bernama Dewi Sugatawati.

Di antara para putra Prabu Kresna, yang paling disayang dan dimanjakan adalah Raden Samba tersebut. Karena terlalu dimanjakan itulah, Raden Samba tumbuh menjadi pemuda yang suka bertindak sesuka hati. Umurnya sudah matang tetapi belum ingin menikah. Sehari-hari ia lebih suka bermain-main dengan para gundik di Kesatrian Paranggaruda. Padahal, para sepupunya seperti Raden Pancawala, Raden Abimanyu, Raden Antareja, Raden Gatutkaca, Raden Sumitra, sudah menikah semua. Namun demikian, sejak berkenalan dengan Dewi Sugatawati beberapa waktu yang lalu, sikap Raden Samba berubah menjadi lebih dewasa dan menyatakan siap berumah tangga.

Prabu Baladewa juga ikut menasihati keponakannya itu, bahwa rumah tangga bukan sekadar ajang melampiaskan nafsu. Istri bukan sekadar teman tidur, tetapi merupakan teman hidup untuk dimintai pertimbangan dalam menyelesaikan masalah. Rumah tangga adalah ujian bagi Raden Samba untuk menjadi calon pemimpin. Kelak, Raden Samba adalah calon raja Dwarawati apabila ayahnya sudah turun takhta. Sebagai pemimpin negara, maka terlebih dahulu harus bisa membuktikan diri dengan cara memimpin rumah tangga.

Raden Samba mematuhi nasihat kedua orang tuanya itu tanpa berani membantah. Prabu Baladewa lalu berkata kepada Prabu Kresna bahwa urusan melamar Dewi Sugatawati ke Madukara biarlah dirinya saja yang berangkat. Prabu Kresna berterima kasih dan menawari Prabu Baladewa untuk makan terlebih dulu. Namun, Prabu Baladewa menolak. Ia berkata urusan makan bisa dilakukan nanti saja. Yang penting saat ini adalah pergi meminang Dewi Sugatawati sebelum keduluan orang lain.

Prabu Kresna pun mengantar kepergian Prabu Baladewa hingga ke halaman istana. Ia juga memerintahkan Arya Setyaki agar ikut menemani keberangkatan kakaknya itu menuju Kesatrian Madukara.

PRABU KALADURGANGSA INGIN MENIKAHI DEWI SUGATAWATI

Tersebutlah seorang raja raksasa bernama Prabu Kaladurgangsa dari Kerajaan Garbapura. Pada suatu malam ia mimpi bertemu seorang putri cantik bernama Dewi Sugatawati. Setelah bangun dari tidurnya, ia pun memanggil panakawan Kyai Togog dan Bilung Sarahita untuk meminta keterangan pada mereka.

Kyai Togog yang berwawasan luas menceritakan bahwa Dewi Sugatawati adalah putri Raden Arjuna, kesatria Panengah Pandawa yang tinggal di Kesatrian Madukara, masuk wilayah Kerajaan Amarta. Raden Arjuna ini adalah sosok pria sempurna di masa kini. Kaum laki-laki membicarakan kesaktian dan kepandaiannya, sedangkan kaum perempuan membicarakan ketampanannya.

Prabu Kaladurgangsa tertarik mendengarnya. Dewi Sugatawati yang ia temui dalam mimpi berwajah cantik jelita, tentunya wajar karena ayahnya juga tampan rupawan. Karena tekadnya sudah bulat, Prabu Kaladurgangsa pun memerintahkan Patih Kalagora untuk pergi melamar Dewi Sugatawati kepada Raden Arjuna. Apabila Raden Arjuna tidak mengizinkan, maka Patih Kalagora boleh menggunakan kekerasan. Patih Kalagora mematuhi dan segera mohon pamit melaksanakan perintah.

PASUKAN DWARAWATI BENTROK DENGAN PASUKAN GARBAPURA

Pasukan Garbapura yang dipimpin Patih Kalagora pun berangkat menuju Kesatrian Madukara. Di tengah jalan mereka bertemu rombongan dari Kerajaan Dwarawati. Ketika mengetahui bahwa tujuan kedua pihak tersebut adalah sama-sama hendak melamar Dewi Sugatawati, maka mereka pun saling menyerang dan terjadilah bentrokan.

Patih Kalagora maju mengamuk membuat Arya Setyaki terdesak. Melihat itu, Prabu Baladewa turun dari Gajah Puspadenta dan ikut bertempur. Patih Kalagora pun terdesak kalah dan terpaksa mundur kembali ke Kerajaan .

Setelah pihak musuh tercerai berai, Prabu Baladewa dan rombongan pun melanjutkan perjalanan menuju Kesatrian Madukara.

PRABU BALADEWA DAN DANGHYANG DRUNA MELAMAR DEWI SUGATAWATI

Di Kesatrian Madukara, Raden Arjuna menerima kunjungan Danghyang Druna dan Patih Sangkuni yang keduanya mengemban amanat dari Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina untuk melamar Dewi Sugatawati sebagai calon istri Raden Lesmana Mandrakumara. Raden Arjuna merasa bimbang handak menjawab karena ia tahu Dewi Sugatawati sudah diinginkan Prabu Kresna untuk menjadi calon istri Raden Samba. Namun, apabila menolak juga Raden Arjuna merasa segan karena yang mengajukan lamaran adalah gurunya sendiri, yaitu Danghyang Druna.

Raden Arjuna semakin bertambah bingung ketika Prabu Baladewa datang pula untuk melamar Dewi Sugatawati sebagai istri Raden Samba. Patih Sangkuni menyarankan agar Raden Arjuna tidak perlu bingung, karena rombongan dari Kerajaan Hastina yang datang lebih dulu, sehingga lebih berhak jika lamaran mereka yang diterima. Lagipula Prabu Baladewa juga biasanya melamar gadis untuk calon istri Raden Lesmana Mandrakumara. Maka, apabila Raden Arjuna menerima lamaran pihak Hastina, maka Prabu Baladewa pasti tidak akan keberatan.

Prabu Baladewa marah mendengar ucapan Patih Sangkuni. Memang benar biasanya ia melamar gadis untuk calon istri Raden Lesmana Mandrakumara. Akan tetapi, kali ini yang memberikan mandat kepadanya bukan Prabu Duryudana, melainkan Prabu Kresna. Maka, pertanggungjawabannya kali ini adalah kepada Kerajaan Dwarawati, bukan kepada Kerajaan Hastina. Bagaimanapun juga tugas harus dilaksanakan dengan baik. Memang benar Raden Lesmana ataupun Raden Samba, kedua-duanya adalah keponakan. Namun, Prabu Baladewa saat ini bertindak sebagai wakil Prabu Kresna, bukan sebagai wakil Prabu Duryudana.

Raden Arjuna melerai perdebatan Prabu Baladewa dan Patih Sangkuni. Ia lalu memanggil Dewi Sugatawati agar menentukan pilihan. Dewi Sugatawati pun datang menghadap. Ia menyembah hormat kepada semua yang hadir. Raden Arjuna lalu menceritakan semua kepada putrinya itu, bahwa telah datang dua lamaran dari Kerajaan Hastina. Dewi Sugatawati menjawab, meskipun dirinya sudah saling kenal dengan Raden Samba, namun ia tidak tahu apakah sepupunya itu benar-benar mencintainya atau tidak. Patih Sangkuni menyela, kalau begitu dengan Raden Lesmana saja. Dewi Sugatawati menjawab, apalagi dengan Raden Lesmana, ia sama sekali belum tahu orangnya.

Dewi Sugatawati lalu berkata, bahwa ia ingin menguji lebih dulu sedalam apa kesungguhan mereka berdua. Maka, ia pun mengadakan sayembara, yaitu Raden Samba dan Raden Lesmana harus pergi mencari dan menangkap kijang kencana berkaki merah untuk menjadi binatang peliharaannya. Kedua pangeran itu harus menangkap kijang tersebut dengan tangan mereka sendiri, tidak boleh diwakili orang lain.

Prabu Baladewa menyatakan sanggup memenuhi keinginan Dewi Sugatawati. Melihat pihak lawan sudah menyanggupi, mau tidak mau Danghyang Druna dan Patih Sangkuni pun demikian pula. Kedua rombongan itu lalu mohon pamit kembali ke negara masing-masing.

RADEN SAMBA MEMINTA PETUNJUK RESI JEMBAWAN

Prabu Baladewa telah kembali ke Kerajaan Dwarawati dan menyampaikan apa yang menjadi sayembara Dewi Sugatawati. Raden Samba termangu-mangu mendengarnya dan ia merasa persyaratan tersebut berat sekali. Di dunia ini mana ada hewan yang berwujud kijang kencana berkaki merah?

Prabu Kresna menasihati putranya itu agar menjadi kesatria yang tangguh, tidak mudah putus asa sebelum mencoba. Ia lalu menyarankan agar Raden Samba meminta petunjuk sang kakek, yaitu Resi Jembawan di Astana Gandamadana. Resi Jembawan seorang pendeta berwujud wanara, tentunya lebih mengetahui seluk beluk dunia hewan yang aneh-aneh sekalipun.

Raden Samba merasa mendapat pencerahan. Ia pun mengajak Arya Setyaki untuk menemaninya mencari kijang tersebut. Namun, Prabu Baladewa mengingatkan bahwa sayembara Dewi Sugatawati harus ditempuh sendiri, tidak boleh melibatkan orang lain. Raden Samba tidak berani membantah. Ia pun mohon restu kemudian berangkat menuju Astana Gandamadana.

Sesampainya di Astana Gandamadana, Raden Samba segera menghadap sang kakek, yaitu Resi Jembawan, beserta kakak kandungnya, yaitu Raden Gunadewa. Resi Jembawan yang sudah berusia ratusan tahun itu sedang mendidik Raden Gunadewa agar kelak bisa melanjutkan pekerjaannya sebagai juru kunci Astana Gandamadana, tempat pemakaman para leluhur Kerajaan Mandura dan Dwarawati.

Raden Samba pun menceritakan apa yang menjadi permintaan calon istrinya, yaitu ingin dibawakan seekor kijang kencana berkaki merah. Resi Jembawan berkata bahwa di dunia ini hanya ada satu hewan kijang kencana berkaki merah seperti itu, dan hewan tersebut berkeliaran di kaki Gunung Untarayana sebelah barat. Namun, kijang kencana ini tidak dapat ditangkap dengan cara kasar, melainkan harus dengan cara yang lembut.

Raden Samba berterima kasih kepada sang kakek, lalu mohon restu berangkat menuju ke gunung tersebut.

RADEN SAMBA MENANGKAP KIJANG KENCANA BERKAKI MERAH

Singkat cerita, Raden Samba telah tiba di kaki Gunung Untarayana sebelah barat. Setelah menyusuri jalur yang diceritakan Resi Jembawan, ia akhirnya melihat gerak-gerik seekor kijang berbulu emas, berkaki merah. Raden Samba sempat terpukau tak percaya menyaksikan di dunia ini ternyata ada binatang sejenis itu. Ia lalu melompat menyergap, namun si kijang ternyata lincah dan gesit, mampu menghindar dari tangkapannya.

Raden Samba lalu berlari mengejar kijang kencana berkaki merah itu. Namun, semakin dikejar, kijang kencana tersebut justru semakin kencang larinya. Raden Samba lalu teringat pada pesan kakeknya agar jangan menangkap kijang ini menggunakan kekerasan. Ia pun berhenti mengejar dan duduk di atas batuan gunung.

Raden Samba lalu bernyanyi, melagukan tembang-tembang indah dengan suaranya yang merdu. Sungguh ajaib, kijang kencana itu berhenti berlari. Ia lalu berjalan mendekat seolah tertarik pada lagu yang dinyanyikan Raden Samba.

Raden Samba memang putra Prabu Kresna yang paling dimanja, sehingga ia suka hidup santai dan bersenang-senang. Maka, Raden Samba pun pandai bernyanyi segala macam jenis lagu. Sedangkan putra-putra Prabu Kresna yang lain memiliki kegemaran masing-masing. Raden Gunadewa yang berbulu lebat seperti wanara lebih suka hidup menyepi di Gunung Gandamadana memperdalam ilmu agama kepada Resi Jembawan; Raden Partajumena lebih suka berkelana meninggalkan istana, mengasah ilmu kesaktian seperti Prabu Kresna di masa muda; sedangkan si bungsu Raden Setyaka lebih suka membaca kitab-kitab ilmu pengetahuan. Bisa dikatakan, Prabu Kresna yang memiliki kepandaian bermacam-macam ternyata tidak ada satu pun putranya yang mewarisi secara keseluruhan. Raden Gunadewa hanya mewarisi kebijaksanaannya, Raden Partajumena mewarisi kesaktiannya, Raden Setyaka mewarisi kecerdasannya, sedangkan Raden Samba mewarisi keluwesan dan pesonanya.

Kini kijang kencana berkaki merah telah semakin dekat dengan tempat Raden Samba duduk. Ia tampak begitu penasaran ingin mendengar setiap bait lagu yang dinyanyikan Raden Samba. Di lain pihak, Raden Samba terus menyanyi dengan penuh semangat, sambil dalam hati membaca mantra yang diajarkan Resi Jembawan. Tangannya lalu bergerak membelai kepala kijang tersebut. Seketika kijang itu pun tunduk dan berubah menjadi jinak, tidak liar lagi seperti sebelumnya.

Raden Samba tertawa senang, lalu merangkul leher kijang kencana tersebut dan mengajaknya pergi menuju Kerajaan Dwarawati.

PRABU BOMA NARAKASURA MERASA IRI PADA RADEN SAMBA

Sementara itu di Kerajaan Trajutresna, Prabu Boma Narakasura duduk di takhta dengan dihadap Patih Pancadnyana, Ditya Yayahgriwa, dan Ditya Ancakogra. Hari itu Prabu Boma baru saja mendengar kabar bahwa Prabu Kresna hendak menikahkan Raden Samba dengan Dewi Sugatawati putri Raden Arjuna. Terus terang Prabu Boma merasa iri kepada Raden Samba yang selalu diperhatikan sang ayah. Dulu ketika Prabu Boma masih bernama Raden Sitija dan datang pertama kali ke Kerajaan Dwarawati, saat itu Prabu Kresna dengan tegas mengatakan bahwa takhta Kerajaan Dwarawati sudah menjadi hak Raden Samba. Sehingga, apabila Raden Sitija hendak mencari kemuliaan, maka harus berusaha sendiri. Raden Sitija tidak masalah diperlakukan seperti itu, karena baginya yang terpenting adalah mendapat pengakuan sebagai anak Prabu Kresna, bukan mendapat warisan Kerajaan Dwarawati.

Kala itu Raden Sitija akhirnya mampu mengalahkan Prabu Bomantara raja Surateleng dan Prabu Narakasura raja Prajatisa. Ia lalu menggabungkan kedua negara mereka menjadi satu, yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Trajutresna. Ia pun menjadi raja di gabungan dua negara tersebut dengan gelar Prabu Boma Narakasura.

Patih Pancadnyana mendengar curahan hati rajanya dengan seksama. Prabu Boma melanjutkan ceritanya, bahwa ia tidak iri apabila Raden Samba kelak menjadi raja Dwarawati, karena ia sudah memiliki Kerajaan Trajutresna yang diperoleh dari hasil usahanya sendiri, bukan dari warisan orang tua. Namun, yang membuatnya iri adalah Prabu Kresna mencarikan jodoh untuk Raden Samba, sedangkan untuknya tidak sama sekali. Sebagai putra yang lebih tua, harusnya ia yang lebih dulu dinikahkan, bukannya Raden Samba.

Patih Pancadnyana berkata bahwa soal jodoh, Prabu Boma tidak perlu khawatir, juga tidak perlu iri pada Raden Samba. Ia memiliki keponakan yang cantik jelita, bernama Dewi Agnyanawati, putra kakaknya, yaitu Prabu Krentagnyana di Kerajaan Giyantipura. Prabu Boma keberatan, karena Patih Pancadnyana berwujud raksasa, pasti keponakannya juga berparas raksasi. Patih Pancadnyana berkata bahwa keponakannya yang bernama Dewi Agnyanawati itu sangat cantik, karena ibunya dari golongan manusia, bukan dari golongan raksasi. Begitu bersemangat Patih Pancadnyana menceritakan tentang kecantikan keponakannya yang bernama Dewi Agyanawati, membuat Prabu Boma merasa tertarik dan berniat kapan-kapan akan berkunjung ke Kerajaan Giyantipura.

Sekarang, Prabu Boma lebih dulu ingin pergi ke Kesatrian Madukara, menyaksikan perkawinan antara Raden Samba dengan Dewi Sugatawati. Patih Pancadnyana pun ikut menemani.

RADEN SAMBA DIKEROYOK PARA KURAWA

Sementara itu, Raden Samba dalam perjalanan kembali ke Kerajaan Dwarawati sambil menuntun kijang kencana berkaki merah yang sudah jinak kepadanya. Di tengah jalan, tiba-tiba ia dihadang Patih Sangkuni bersama para Kurawa. Mereka berniat merebut kijang kencana itu dari tangan Raden Samba untuk diserahkan kepada Raden Lesmana Mandrakumara.

Raden Samba menuduh para Kurawa berbuat curang, karena menurut ketentuan sayembara, antara dirinya dan Raden Lesmana harus berusaha sendiri menangkap kijang kencana berkaki merah, tanpa boleh dibantu orang lain. Patih Sangkuni menjawab persetan dengan peraturan itu. Raden Arjuna dan Dewi Sugatawati tidak akan tahu kijang kencana ditangkap oleh siapa. Yang paling penting saat pernikahan nanti adalah Raden Lesmana menuntun kijang kencana berkaki merah.

Patih Sangkuni lalu memerintahkan para Kurawa untuk maju merebut kijang kencana. Raden Samba berusaha mencegah, namun ia jelas bukan tandingan para Kurawa, apalagi dengan jumlah sebanyak itu. Kijang kencana pun melompat ke sana kemari berusaha menghindar. Para Kurawa berusaha menangkapnya tetapi tidak ada satu pun yang mampu menandingi kelincahan hewan itu.

Para Kurawa sebagian mengeroyok Raden Samba, dan sebagian lagi berusaha mengepung kijang kencana berkaki merah. Kijang tersebut berusaha melawan mati-matian, daripada ditangkap oleh mereka. Pada saat itulah tiba-tiba muncul Arya Setyaki dan Patih Udawa datang membantu. Mereka langsung terjun menghalau para Kurawa yang berani mengganggu Raden Samba dan kijang tersebut.

Para Kurawa tidak menyangka kalau Raden Samba memperoleh bala bantuan. Karena terdesak oleh kesaktian dua orang itu, Patih Sangkuni pun memerintahkan para keponakannya untuk mundur, kembali ke Kerajaan Hastina.

Raden Samba berterima kasih atas bantuan Arya Setyaki dan Patih Udawa yang datang tepat pada waktunya. Ia bertanya mengapa mereka menyusul, bukankah peraturan sayembara mengatakan, kijang kencana berkaki merah harus ditangkap olehnya sendiri, tidak boleh dibantu orang lain. Arya Setyaki menjawab memang benar demikian. Raden Samba memang harus menangkap kijang kencana sendiri. Namun, jika membantu mengusir para pengacau, bukan membantu menangkap kijang, jelas tidak melanggar peraturan. Prabu Kresna mendapat firasat pihak Hastina pasti berbuat curang, maka ia pun mengutus Arya Setyaki dan Patih Udawa untuk menyusul dan melindungi putra kesayangannya.

Raden Samba terkesan mendengar perhatian sang ayah kepadanya. Ia pun berterima kasih kepada Arya Setyaki dan Patih Udawa, lalu menuntun kijang kencana melanjutkan perjalanan pulang bersama mereka.

DEWI SUGATAWATI DICULIK PRABU KALADURGANGSA

Di Kesatrian Madukara, Raden Arjuna dan para Pandawa lainnya menerima kedatangan rombongan pengantin pria dari Kerajaan Dwarawati. Tampak Raden Samba menuntun kijang kencana berkaki merah, diiringi Prabu Kresna, Prabu Baladewa, Dewi Jembawati, Arya Setyaki, Patih Udawa, Patih Pragota, dan Arya Prabawa.

Tiba-tiba Dewi Sumbadra muncul dan melaporkan bahwa pengantin perempuan, Dewi Sugatawati hilang diculik orang. Menurut kesaksian para dayang, ada seorang raja raksasa menyusup ke dalam Taman Maduganda dan berhasil menculik Dewi Sugatawati.

Raden Samba terkejut bercampur marah. Ia pun mengajak Arya Setyaki mengejar penculik itu. Raden Gatutkaca juga ikut pergi membantu.

Raja raksasa yang menculik Dewi Sugatawati tidak lain adalah Prabu Kaladurgangsa. Setelah mendapat laporan tentang kekalahan Patih Kalagora, ia pun berangkat sendiri menculik Dewi Sugatawati di Kesatrian Madukara. Kini usahanya berhasil. Ia membawa Dewi Sugatawati yang meronta-ronta menuju Kerajaan Garbapura.

Namun, di tengah jalan ia bertemu Prabu Boma dan Patih Pancadnyana yang sedang dalam perjalanan menuju Kesatrian Madukara. Prabu Boma segera melesat menerjang Prabu Kaladurgangsa. Pertarungan sengit pun terjadi. Dewi Sugatawati diletakkan di tanah agar bisa lebih leluasa. Namun demikian, tetap saja Prabu Kaladurgangsa kalah dan akhirnya tewas di tangan Prabu Boma.

Raden Samba, Arya Setyaki, dan Raden Gatutkaca tiba di tempat itu. Mereka menuduh Prabu Boma sebagai penculik Dewi Sugatawati. Namun, Dewi Sugatawati menjelaskan bahwa Prabu Boma justru telah menolong dirinya terbebas dari penculik yang sebenarnya. Ia pun menunjukkan mayat Prabu Kaladurgangsa yang merupakan pelaku penculikan atas dirinya.

Raden Samba segera meminta maaf kepada Prabu Boma. Mereka lalu bersama-sama kembali menuju Kesatrian Madukara.

PERKAWINAN RADEN SAMBA DENGAN DEWI SUGATAWATI

Para Pandawa beserta Prabu Kresna dan Prabu Baladewa menyambut kembalinya Dewi Sugatawati bersama Raden Samba, Prabu Boma, dan juga yang lain. Dewi Sugatawati melihat persyaratan kijang kencana berkaki merah telah terpenuhi, dan ia juga dapat mengetahui bahwa hewan tersebut benar-benar ditangkap sendiri oleh Raden Samba.

Prabu Baladewa bertanya dari mana Dewi Sugatawati tahu kalau kijang tersebut ditangkap sendiri oleh Raden Samba, bukankah bisa saja memakai bantuan orang lain? Dewi Sugatawati menjawab, dirinya pertama kali tahu tentang kijang kencana berkaki merah adalah dari dongeng kakeknya. Kakeknya bercerita bahwa, kijang kencana berkaki merah ini adalah hewan liar yang sulit ditangkap. Namun, jika ada manusia yang bisa menangkapnya, maka ia akan selalu bersikap jinak kepada orang itu. Dewi Sugatawati kini melihat sendiri bahwa kijang kencana berkaki merah tampak selalu berada di dekat Raden Samba, pertanda Raden Samba adalah orang yang telah menangkapnya dengan tangan sendiri.

Prabu Baladewa memuji kepandaian gadis itu. Andai saja pihak Kurawa tadi berhasil merebut kijang kencana berkaki merah, tetap saja mereka tidak mampu membohongi Dewi Sugatawati. Kini segalanya telah terpenuhi. Raden Arjuna pun meresmikan pernikahan antara Raden Samba dengan Dewi Sugatawati. Semua orang ikut berbahagia merayakannya.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

 












Tidak ada komentar:

Posting Komentar