Kisah ini menceritakan tentang Prabu Puntadewa yang berubah wujud
menjadi raksasa untuk menyelamatkan adik-adiknya di Kawah Candradimuka.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber rekaman wayang
kulit dengan dalang Ki Nartosabdo, dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 08 Desember 2018
Heri Purwanto
Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, silakan klik di sini
Brahala putih Dewa Amral. |
------------------------------
ooo ------------------------------
PRABU BALADEWA BERMIMPI BURUK TENTANG PRABU PUNTADEWA
Di Kerajaan Dwarawati, Prabu
Kresna Wasudewa memimpin pertemuan yang dihadiri Raden Samba Wisnubrata dari
Paranggaruda, Arya Setyaki dari Swalabumi, dan Patih Udawa dari Widarakandang.
Hadir pula sang kakak dari Kerajaan Mandura, yaitu Prabu Baladewa yang hanya
didampingi Patih Pragota. Dalam kunjungannya itu, Prabu Baladewa berkata bahwa
dirinya baru saja mimpi buruk tentang Prabu Puntadewa, pemimpin para Pandawa.
Dalam mimpinya tersebut, Prabu
Baladewa melihat Prabu Puntadewa berjalan kaki mengenakan pakaian serbaputih. Kemudian
datang angin kencang yang menerbangkan tubuhnya. Prabu Baladewa lalu terbangun
dari tidur dan tidak mengetahui bagaimana nasib Prabu Puntadewa selanjutnya.
Mengingat adiknya sangat cerdas dan mampu menafsir mimpi, Prabu Baladewa pun
datang ke Kerajaan Dwarawati untuk menanyakan arti mimpinya itu kepada Prabu
Kresna.
Prabu Kresna termenung
sejenak, kemudian ia berkata bahwa dirinya harus segera berangkat ke Kerajaan
Amarta karena ada hal buruk yang akan menimpa Prabu Puntadewa dan para Pandawa
lainnya. Prabu Baladewa tidak ingin ketinggalan. Mereka pun bersama-sama
berangkat dengan disertai Arya Setyaki dan Patih Pragota.
PRABU DEWASRANI IRI HATI KEPADA PRABU PUNTADEWA
Sementara itu di Kahyangan
Dandangmangore, Batari Durga menerima kedatangan putranya, yaitu Prabu
Dewasrani dari Kerajaan Nusarukmi. Dalam kunjungannya itu, Prabu Dewasrani
bertanya kepada ibunya mengapa dirinya diberi nama dengan unsur kata “dewa”.
Batari Durga menjawab, itu karena Prabu Dewasrani adalah putra dewa, yaitu
Batara Guru, sehingga boleh memakai nama dengan unsur kata “dewa”.
Prabu Dewasrani lalu bertanya
mengapa Prabu Puntadewa memakai nama yang mengandung unsur “dewa”, apakah ia
memang putra salah satu dewa? Batari Durga menjawab, Prabu Puntadewa adalah
putra Prabu Pandu Dewanata yang mendapat nama dengan unsur kata “dewa” dari
ayahnya itu. Adapun Prabu Pandu boleh menyandang gelar Dewanata adalah karena
pernah berjasa membunuh musuh kahyangan yang bernama Prabu Nagapaya.
Prabu Dewasrani berterus
terang bahwa dirinya kesal mendengar ada orang lain yang memiliki nama dengan
unsur kata “dewa” seperti dirinya, dan orang itu menjadi raja pula. Apalagi,
ayah Prabu Puntadewa bahkan bernama Prabu Pandu Dewanata, yang artinya “raja
dewa”. Nama ini jelas menyamai Batara Guru yang memiliki gelar Sanghyang
Jagadnata, ataupun menyamai Batara Indra yang memiliki gelar Sanghyang
Suranata.
Batari Durga berkata bahwa roh
Prabu Pandu Dewanata sudah mendapat hukuman dari Batara Guru, yaitu dikurung
dalam Kawah Candradimuka bersama Dewi Madrim, istri keduanya. Prabu Dewasrani
tidak puas karena Prabu Puntadewa harusnya juga dihukum karena memakai nama
dengan unsur kata “dewa” padahal bukan anak dewa. Apabila Prabu Puntadewa tidak
dicopot dari kedudukannya sebagai raja dan juga tidak dihukum, maka Prabu
Dewasrani memilih lebih baik bunuh diri saja.
Batari Durga sangat memanjakan
Prabu Dewasrani. Ia pun menuruti keinginan putranya itu dan segera berangkat
bersama menuju Kahyangan Jonggringsalaka untuk menghadap Batara Guru.
ROMBONGAN DARI KERAJAAN DWARAWATI TERHALANG PERJALANANNYA
Batari Durga dan Prabu
Dewasrani berangkat dikawal pasukan Nusarukmi yang terdiri atas para raksasa,
beserta para pengikut Kahyangan Dandangmangore yang berwujud kaum makhluk
halus. Di tengah jalan mereka berpapasan dengan rombongan dari Kerajaan
Dwarawati. Dasar watak para raksasa yang suka mencari keributan, mereka pun
mengganggu rombongan tersebut.
Arya Setyaki yang berada
paling depan segera menghadapi para raksasa itu. Pertempuran pun terjadi.
Batari Durga tidak mau melibatkan diri. Ia pun membawa Prabu Dewasrani terbang
secepat kilat menuju Kahyangan Jonggringsalaka, sedangkan pasukan mereka dipimpin
Jin Jaramaya sibuk bertempur melawan orang-orang Dwarawati.
BATARI DURGA MENGADU KEPADA BATARA GURU
Di Kahyangan Jonggringsalaka,
Batara Guru dihadap Batara Narada, Batara Indra, dan Batara Yamadipati. Tidak
lama kemudian datanglah Batari Durga dan Prabu Dewasrani. Batari Durga menangis
meminta Batara Guru mencegah putranya bunuh diri. Batara Guru bertanya mengapa
Prabu Dewasrani ingin bunuh diri. Batari Durga pun menjawab bahwa ini semua
karena Prabu Puntadewa memakai unsur nama “dewa”. Unsur nama “dewa” hanya boleh
dipakai oleh putra dewa saja, seperti Prabu Dewasrani. Namun, jika ada manusia
biasa, apalagi seorang raja seperti Prabu Puntadewa memakai nama “dewa”, maka
lebih baik Prabu Dewasrani bunuh diri saja.
Batara Guru tidak tahan menyaksikan
ratapan Batari Durga. Ia pun memutuskan bahwa Prabu Puntadewa harus melepas takhta
Kerajaan Amarta dan juga melepas nama “dewa”. Apabila menolak, maka ia harus
diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka. Tugas ini diserahkan kepada Batara
Narada untuk pergi ke Kerajaan Amarta.
Batara Narada heran mengapa
Batara Guru begitu mudah menuruti permintaan yang tidak masuk akal ini? Mengapa
hanya karena bernama “dewa” lantas Prabu Puntadewa harus dihukum mati
diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka segala? Bukankah ada orang lain yang juga
bernama “dewa”, misalnya Prabu Baladewa ataupun Raden Sadewa? Apakah mereka
semua juga harus dihukum mati?
Batara Guru tidak menjawab.
Keputusannya hanya berlaku untuk Prabu Puntadewa saja, tidak ada urusan dengan
yang lainnya. Sekarang yang jadi pertanyaan, apakah Batara Narada bersedia
menjalankan perintah atau tidak? Batara Narada menjawab, sebagai bawahan maka
dirinya tidak dapat menolak perintah ini. Ia hanya berusaha memberikan saran
yang baik, syukur-syukur apabila diterima. Namun demikian, semua keputusan
tetap berada di tangan Batara Guru sebagai pemimpin kahyangan. Usai berkata
demikian, Batara Narada pun pamit undur diri menuju Kerajaan Amarta.
BATARA NARADA MENJEMPUT PRABU PUNTADEWA
Di Kerajaan Amarta, Prabu
Puntadewa dihadap keempat adiknya, yaitu Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden
Nakula, dan Raden Sadewa. Ketika sedang membahas masalah negara, tiba-tiba
datang Batara Narada turun dari angkasa. Para Pandawa pun bergantian
menghaturkan sembah kepadanya.
Batara Narada berkata bahwa
kedatangannya adalah untuk menyampaikan perintah Batara Guru. Perintah tersebut
ialah Prabu Puntadewa harus mengganti nama yang tidak boleh mengandung unsur
kata “dewa”, dan juga harus melepaskan takhta Kerajaan Amarta. Jika menolak,
maka ia akan dihukum mati dengan cara diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka.
Prabu Puntadewa menjawab, nama
yang ia pakai adalah pemberian orang tua, sehingga jika dilepas harus minta
izin dulu kepada mereka. Yang kedua, dirinya menjadi raja adalah karena dipaksa
keempat adiknya. Oleh sebab itu, jika diminta turun takhta, maka harus keempat
adiknya itu yang mengizinkan.
Arya Wrekodara pun maju
sebagai juru bicara keempat Pandawa. Dengan tegas ia menolak kakak sulungnya
turun takhta. Menurutnya, Prabu Puntadewa adalah raja yang adil dan bijaksana,
memakmurkan negara, dan memimpin rakyat Amarta bagaikan anak sendiri. Apabila Prabu
Puntadewa turun takhta mengikuti perintah Batara Guru, maka rakyat akan
kehilangan pemimpin sejati dan ini adalah bencana bagi Kerajaan Amarta. Untuk
urusan nama, yang memberikan nama “Puntadewa” adalah Prabu Pandu, ayah para
Pandawa. Dengan demikian, Prabu Puntadewa tidak akan bisa melepas namanya,
karena Prabu Pandu sudah lama meninggal dunia. Itu artinya tidak akan ada lagi
yang bisa memberikan izin penggantian nama tersebut.
Batara Narada merasa
serbasalah. Di satu sisi ia setuju dengan ucapan Arya Wrekodara, namun di sisi
lain ia harus menjalankan perintah atasan, yaitu menjemput Prabu Puntadewa dan
menceburkannya ke dalam Kawah Candradimuka. Arya Wrekodara menyadari
kegelisahan Batara Narada. Ia berkata bahwa nyawa Prabu Puntadewa terlalu
berharga untuk dikorbankan. Sebagai gantinya, ia dan para Pandawa yang lain
bersedia diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka. Raden Arjuna, Raden Nakula,
dan Raden Sadewa sepakat mendukung pernyataan Arya Wrekodara.
Batara Narada terharu melihat
semangat para Pandawa yang tidak takut mati demi rakyat Amarta. Arya Wrekodara
dan ketiga adiknya lalu mohon pamit kepada Prabu Puntadewa. Dengan berlinang
air mata, Prabu Puntadewa memeluk mereka satu persatu. Keempat adiknya itu lalu
pergi bersama Batara Narada. Prabu Puntadewa pun berjalan mengantarkan sampai
ke ambang pintu.
DEWI KUNTI MENEGUR PRABU PUNTADEWA
Tiba-tiba Dewi Kunti muncul
karena mendapat firasat buruk. Ia pun bertanya mengapa Prabu Puntadewa
sendirian saja. Prabu Puntadewa menceritakan dari awal hingga akhir mulai
kedatangan Batara Narada, hingga bagaimana keempat adiknya bersedia dibawa ke
kahyangan untuk menggantikan dirinya menjalani hukuman mati di Kawah
Candradimuka.
Dewi Kunti terkejut mendengar
cerita itu. Ia menegur Prabu Puntadewa sebagai kakak sulung tidak becus
melindungi saudara. Bahkan, Prabu Puntadewa bersenang hati tetap menjadi raja
dengan mengorbankan nyawa keempat adiknya. Dewi Kunti menyesal telah melahirkan
Prabu Puntadewa ke dunia. Ia pun menagih air susu yang telah ia berikan dulu, lebih
baik dikembalikan saja.
Prabu Puntadewa lemas gemetar
mendengar ucapan ibunya. Jantungnya berdebar kencang dan ia pun memijat dada
sendiri. Tanpa sengaja, tangan Prabu Puntadewa menyentuh pusaka Kalung Robyong
Mustikarawis warisan Arya Gandamana yang melekat di dadanya. Menyentuh kalung
itu dengan disertai perasaan hati yang terdesak membuat wujud Prabu Puntadewa
seketika berubah menjadi raksasa tinggi besar berkulit putih bersih.
Dewi Kunti semakin marah dan
menuduh Prabu Puntadewa hendak berbuat durhaka kepadanya. Prabu Puntadewa
menolak tuduhan itu. Dengan wujud raksasa ini ia akan mengacau Kahyangan
Jonggringsalaka agar keempat adiknya dibebaskan. Usai berpamitan kepada sang
ibu, ia pun berangkat meninggalkan istana.
PRABU KRESNA MENYUSUL KE KAHYANGAN
Sementara itu, perjalanan
Prabu Kresna dan Prabu Baladewa yang terhalang pertempuran melawan pasukan
Nusarukmi membuat kedatangan mereka menjadi terlambat. Mereka baru sampai di
Kerajaan Amarta ketika para Pandawa sudah pergi dan hanya bertemu Dewi Kunti menangis
sendirian. Mereka lalu bertanya ada kejadian apa yang menimpa Kerajaan Amarta.
Dewi Kunti semakin marah atas pertanyaan
dua keponakannya itu. Ia menuduh Prabu Kresna tidak menjalankan tugasnya
sebagai pamong para Pandawa dengan baik. Kini keempat Pandawa dibawa ke
kahyangan untuk dihukum mati, tetapi Prabu Kresna justru bertanya ada masalah
apa. Kalau tidak punya pengetahuan yang cukup, untuk apa menyombongkan diri
sebagai titisan Batara Wisnu segala?
Prabu Kresna tersenyum tidak
marah atas tuduhan sang bibi. Ia pun meraba rambutnya, menyentuh Panah Kesawa
sambil membaca mantra Balasrewu. Seketika tubuhnya pun berubah menjadi raksasa
berkulit hitam legam. Ia lalu mohon pamit kepada Dewi Kunti untuk menyusul para
Pandawa. Prabu Baladewa pun diminta agar tetap tinggal untuk menjaga Dewi Kunti
dan Kerajaan Amarta.
KEEMPAT PANDAWA DICEBURKAN KE DALAM KAWAH CANDRADIMUKA
Sementara itu, Batara Narada
dan keempat Pandawa telah sampai di Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru
bertanya mengapa bukan Prabu Puntadewa yang dibawa menghadap kepadanya. Arya
Wrekodara menjawab, nyawa kakak sulungnya terlalu berharga jika harus
dikorbankan demi suatu hal yang tidak masuk akal. Sebagai pengganti, ia dan
ketiga adiknya rela mengorbankan nyawa diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka.
Batara Guru lalu bertanya
kepada Batari Durga apakah nyawa keempat Pandawa bisa untuk menebus kesalahan
Prabu Puntadewa. Batari Durga berpikir bahwa ini adalah kesempatan untuk
menyingkirkan para Pandawa. Jika keempat adiknya sudah tewas, maka tidak sulit
untuk menyingkirkan Prabu Puntadewa. Berpikir demikian, Batari Durga pun
menyatakan setuju untuk menceburkan keempat Pandawa itu ke dalam Kawah
Candradimuka sebagai ganti Prabu Puntadewa. Dalam hati ia berpikir kelak akan
mencari cara lain untuk mencelakai sulung Pandawa tersebut.
Maka, Batara Guru pun
memerintahkan Batara Yamadipati untuk melaksanakan tugas. Batara Yamadipati
segera menggiring Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa
menuju ke Gunung Jamurdipa. Sesampainya di sana, ia menceburkan keempat Pandawa
tersebut ke dalam Kawah Candradimuka.
Arya Wrekodara dan ketiga
adiknya tidak takut mati. Mereka pun langsung tenggelam ke dasar kawah. Sungguh
ajaib, air kawah yang mendidih itu terasa sejuk oleh mereka. Tiba-tiba mereka
sudah tiba di hadapan dua orang yang duduk di dasar Kawah Candradimuka. Kedua
orang itu tidak lain adalah ayah para Pandawa, yaitu Prabu Pandu beserta ibu si
kembar, yaitu Dewi Madrim, yang masing-masing sudah berbadan rohani.
Arya Wrekodara terharu dan
segera memeluk roh Prabu Pandu, sedangkan Raden Arjuna bersimpuh memeluk kaki
ayahnya itu. Dewi Madrim juga tampak dipeluk kanan-kiri oleh Raden Nakula dan
Raden Sadewa. Selang agak lama, Prabu Pandu lalu bertanya tentang kabar
anak-anaknya itu. Arya Wrekodara menceritakan bahwa mereka lima bersaudara
sudah mendirikan Kerajaan Amarta. Sebaliknya, ia pun bertanya bagaimana kabar
Prabu Pandu dan Dewi Madrim selama bersemayam di Kawah Candradimuka.
Dahulu kala ketika Dewi Madrim
sedang mengandung Raden Nakula dan Raden Sadewa, tiba-tiba terbesit
keinginannya untuk bertamasya di atas kendaraan Batara Guru, yaitu Lembu Andini.
Prabu Pandu pun naik ke kahyangan meminjam lembu tersebut dengan disertai
sumpah bahwa kelak setelah meninggal ia rela tidak naik ke surga, tetapi rohnya
ditahan saja di dalam Kawah Candradimuka. Batara Guru mengizinkan Lembu Andini
dipinjam secara cuma-cuma, tetapi para dewa lainnya menganggap hal ini sebagai
kelancangan. Mereka pun menuntut agar Prabu Pandu benar-benar diceburkan ke
dalam Kawah Candradimuka sesuai keinginannya.
Beberapa bulan kemudian, Prabu
Pandu berperang melawan raja raksasa dari Kerajaan Pringgadani, yaitu Prabu
Tremboko. Dalam perang itu Prabu Tremboko tewas, tetapi ia sempat melukai paha
Prabu Pandu. Akibat luka tersebut, Prabu Pandu menderita sakit beberapa bulan
lamanya. Hingga akhirnya Batara Yamadipati datang untuk menjemput kematiannya.
Prabu Pandu meminta waktu kepada
Batara Yamadipati agar Dewi Madrim melahirkan lebih dulu. Ternyata Dewi Madrim
melahirkan sepasang bayi kembar. Sesuai janjinya, maka roh Prabu Pandu pun
dicabut dan dibawa Batara Yamadipati. Melihat itu, Dewi Madrim merasa bersalah
dan ikut meninggal pula. Rohnya kemudian ikut pergi menyertai sang suami.
Demikianlah, awal mula mengapa
roh Prabu Pandu dan Dewi Madrim bersemayam di dalam Kawah Candradimuka. Arya
Wrekodara merasa heran mengapa ia dan adik-adiknya tidak merasa panas saat
diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka. Prabu Pandu menjawab, Kawah Candradimuka
bukanlah kawah sembarangan. Barangsiapa memiliki hati yang baik dan tulus, maka
ia tidak akan mati apabila diceburkan ke dalam kawah tersebut. Arya Wrekodara
dan ketiga adiknya pun bersyukur karena mereka bukan termasuk golongan berhati jahat.
Keempat Pandawa itu kemudian merasa
prihatin melihat keadaan Prabu Pandu dan Dewi Madrim yang hidup menderita di
dalam Kawah Candradimuka. Prabu Pandu menjawab, ia dan Dewi Madrim sama sekali
tidak merasa menderita karena mereka sering mendengar nama baik para Pandawa
dalam membela kebenaran dan keadilan. Sebaliknya, meskipun Prabu Pandu dan Dewi
Madrim tinggal di Swargaloka, tetapi jika mendengar berita para Pandawa berbuat
kejahatan di dunia, maka itu rasanya seperti tinggal di neraka.
DEWA AMRAL MENGAMUK DI KAHYANGAN JONGGRINGSALAKA
Sementara itu, raksasa putih
penjelmaan Prabu Puntadewa telah sampai di Kahyangan Jonggringsalaka dan
membuat kekacauan di sana. Ia mengaku bernama Dewa Amral dan menantang para
dewa untuk menyerahkan takhta kahyangan kepada dirinya. Para dewa pun maju
menyerang namun tiada satu pun yang dapat mengalahkan raksasa putih tersebut.
Bahkan, mereka justru yang dibuat kalang kabut menghadapi amukan Dewa Amral.
Batara Narada segera melaporkan
kekacauan ini kepada Batara Guru. Batara Guru pun memerintahkan Batara Narada
untuk mencari jago yang bisa mengatasi Dewa Amral. Batara Narada mohon pamit berangkat
melaksanakan tugas. Di tengah jalan ia bertemu raksasa berkulit hitam legam,
yang mengaku bernama Ditya Kesawamanik. Batara Narada pun menjanjikan istri
bidadari apabila Ditya Kesawamanik mampu menumpas Dewa Amral. Ditya Kesawamanik
menjawab bersedia. Mereka lalu berangkat menuju tempat Dewa Amral mengamuk
merusak bangunan kahyangan.
Sesampainya di sana, Ditya Kesawamanik
segera maju mendekati Dewa Amral. Kedua raksasa itu berhadapan tetapi tidak
saling menyerang. Ada rasa segan di dalam hati masing-masing. Setelah saling
mengenal, Ditya Kesawamanik pun paham bahwa Dewa Amral adalah penjelmaan Prabu
Puntadewa, sedangkan Prabu Puntadewa paham bahwa Ditya Kesawamanik adalah
penjelmaan Prabu Kresna.
Ditya Kesawamanik lalu
berbisik kepada Dewa Amral tentang apa yang menjadi rencananya. Dewa Amral
setuju. Mereka lalu bersatu mengamuk di kahyangan. Mereka merusak bangunan dan
segala benda kedewaan yang mereka temui.
DEWA AMRAL MEMBEBASKAN PARA PANDAWA
Dewa Amral dan Ditya Kesawamanik
bergerak menuju ke Gunung Jamurdipa. Para dewa dan pasukan dorandara masih
mengejar mereka. Ditya Kesawamanik menghadang para dewa tersebut, sedangkan
Dewa Amral mencebur ke dalam Kawah Candradimuka.
Sesampainya di dasar kawah,
Dewa Amral melihat keempat adiknya sedang bersama sepasang pria dan wanita.
Dewa Amral pun terharu saat mengenali mereka adalah orang tuanya sendiri, yaitu
Prabu Pandu dan Dewi Madrim. Ia lalu bersimpuh menyembah mereka berdua.
Prabu Pandu memeluk Dewa Amral
dan memintanya untuk membawa keempat Pandawa pergi, karena tugas mereka di
dunia masih banyak. Dewa Amral segera menggendong Arya Wrekodara, Raden Arjuna,
Raden Nakula, dan Raden Sadewa, lalu berenang naik ke permukaan Kawah
Candradimuka. Sesampainya di atas, ia segera mengamuk membantu Ditya Kesawamanik
memukul mundur para dewa yang mengepung.
BATARA NARADA MENCARI JAGO
Kahyangan Jonggringsalaka
kembali kacau oleh amukan sepasang raksasa hitam-putih. Batara Guru memberi
tahu Batara Narada bahwa yang bisa mengalahkan Dewa Amral dan Ditya Kesawamanik
adalah permaisuri Keraajaan Amarta, yaitu Dewi Drupadi. Mendengar petunjuk
tersebut, Batara Narada segera mohon pamit berangkat ke sana.
Dewi Drupadi saat itu sedang
menerima kedatangan Raden Abimanyu dan Arya Gatutkaca disertai para panakawan.
Tidak lama kemudian datanglah Batara Narada turun dari angkasa. Batara Narada
bercerita bahwa Kahyangan Jonggringsalaka saat ini sedang dikacau oleh dua
raksasa berwarna hitam dan putih. Hanya Dewi Drupadi seorang yang bisa
mengalahkan mereka. Dewi Drupadi heran mengapa dirinya yang harus menjadi jago
kahyangan. Mengapa tidak para Pandawa saja? Batara Narada menjawab, para
Pandawa saat ini telah menjadi tawanan kedua raksasa itu. Mendengar berita
tersebut, Dewi Drupadi langsung bersemangat dan ia pun berangkat disertai
Batara Narada. Raden Abimanyu, Arya Gatutkaca, dan para panakawan ikut
menyertai di belakang.
Sesampainya di Kahyangan
Jonggringsalaka, Dewi Drupadi segera menantang Dewa Amral dan Ditya
Kesawamanik. Seumur hidup Dewi Drupadi tidak pernah bertarung. Namun, demi
untuk menyelamatkan para Pandawa, ia sama sekali tidak takut mati. Sebaliknya,
Dewa Amral dan Ditya Kesawamanik hanya saling pandang tidak tahu harus berbuat
apa. Mereka serbasalah karena tidak mungkin melayani tantangan Dewi Drupadi.
Merasa sudah saatnya untuk membuka samaran, kedua raksasa itu pun kembali ke
wujud semula, yaitu Prabu Puntadewa dan Prabu Kresna.
Arya Wrekodara, Raden Arjuna,
dan si kembar keluar dari persembunyian. Dewi Drupadi kini telah tahu duduk
permasalahannya. Ia bersyukur tidak terjadi hal buruk menimpa para Pandawa.
ARYA WREKODARA PERGI BERTAPA
Tiba-tiba muncul Prabu
Dewasrani dan Batari Durga yang merasa kecewa karena rencana mereka gagal.
Prabu Dewasrani marah dan mengerahkan pasukannya untuk mengeroyok para Pandawa.
Raden Arjuna bergerak cepat menghadapi raja Nusarukmi tersebut. Dalam
pertarungan itu, Prabu Dewasrani tewas terkena kerisnya sendiri.
Batari Durga marah melihat
putranya tewas. Ia pun mengamuk mengerahkan pasukan makhluk halus. Kyai Semar
yang tiba bersama Raden Abimanyu dan Arya Gatutkaca segera menghadapi mereka.
Dengan mengerahkan kentut saktinya, para makhluk halus itu berhamburan pergi.
Batari Durga pun dapat diringkus oleh Kyai Semar dengan cara ditindih tubuhnya.
Batari Durga menangis memohon
ampun. Kyai Semar bersedia melepaskannya, asalkan Batari Durga tidak lagi
mempermasalahkan soal nama Prabu Puntadewa. Batari Durga berjanji akan mematuhi
Kyai Semar, namun ia juga meminta supaya putranya dihidupkan kembali. Karena
Batari Durga sudah berjanji demikian, Prabu Kresna pun melangkah maju dan berhasil
menghidupkan kembali Prabu Dewasrani menggunakan Kembang Wijayakusuma.
Setelah Prabu Dewasrani hidup
kembali, Batari Durga pun mohon pamit membawa pulang putranya itu kembali ke
Kahyangan Dandangmangore.
Prabu Kresna lalu mengajak
para Pandawa dan Dewi Drupadi kembali ke Kerajaan Amarta. Namun, Arya Wrekodara
menolak. Ia merasa prihatin atas nasib Prabu Pandu dan Dewi Madrim yang masih
disekap di dalam Kawah Candradimuka. Sebagai anak yang pernah mendapatkan ilmu
sejati Sangkan Paraning Dumadi dari Dewa Ruci, ia merasa berkewajiban untuk
mengentas ayah dan ibunya itu dari Kawah Candradimuka dan memindahkannya ke tempat
yang lebih baik. Untuk itu, Arya Wrekodara mohon pamit melakukan tapa ngrame
dengan mendirikan tempat pengobatan di Gunung Argakelasa. Prabu Puntadewa
merestui. Mereka lalu berpisah. Arya Wrekodara berangkat ditemani Arya
Gatutkaca, sedangkan Prabu Puntadewa, Prabu Kresna dan yang lain kembali ke
Kerajaan Amarta.
Brahala hitam Ditya Kesawamanik. |
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
Catatan : Dalam rekaman pentas Ki Nartosabdo yang menjadi sumber
rujukan saya, tidak ada adegan para Pandawa bertemu Prabu Pandu dan Dewi Madrim.
Adegan tersebut sengaja saya tambahkan untuk dramatisasi cerita, sekaligus
untuk menjadi pembuka bagi lakon selanjutnya, yaitu Bagawan Bimasuci.
Untuk kisah Prabu Pandu meminjam Lembu Andini bisa dibaca di sini.
Untuk kisah Prabu Pandu dan Dewi Madrim diceburkan ke dalam Kawah
Candradimuka bisa dibaca di sini.
Wayang Buto
BalasHapus