Kisah ini menceritakan tentang para Pandawa yang mulai tinggal di hutan, sedangkan para Kurawa mengambil alih Kerajaan Amarta.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabhrata jilid Wanaparwa, dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 11 Desember 2019
Heri Purwanto
Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, silakan klik di sini
------------------------------ ooo ------------------------------
PRABU DURYUDANA BERNIAT MENGAMBIL ALIH KERAJAAN AMARTA
Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana memimpin pertemuan dihadap Danghyang Druna, Patih Sangkuni, Adipati Karna, dan Raden Kartawarma. Selama beberapa hari ini para Kurawa selalu merayakan kemenangan mereka atas para Pandawa melalui permainan dadu. Setiap hari mereka berpesta pora, mabuk-mabukan, dan juga menari gembira dengan para wanita penghibur. Danghyang Druna prihatin atas ulah mereka. Ia menyarankan kepada Prabu Duryudana agar jangan terlalu larut dalam kemenangan ini. Kemenangan terhadap para Pandawa melalui perjudian sesungguhnya adalah kemenangan yang memalukan. Masih terngiang bagaimana Dewi Drupadi dijambak, diseret, dan dilecehkan di depan para hadirin. Bagaimanapun juga Dewi Drupadi adalah putri Prabu Drupada, sahabat karib Danghyang Druna. Memang benar, dulu mereka pernah bermusuhan. Namun, setelah Danghyang Druna berhasil merebut setengah wilayah Kerajaan Pancala, hubungan mereka kembali menjadi sahabat. Dewi Drupadi adalah anak dari sahabat Danghyang Druna, berarti sudah seperti anaknya sendiri.
Patih Sangkuni menjawab keluh kesah Danghyang Druna. Peristiwa ini ibarat nasi sudah menjadi bubur. Danghyang Druna ikut hadir menyaksikan Dewi Drupadi dilecehkan namun tidak dapat berbuat apa-apa. Prabu Drupada tentu sangat marah dan menyimpan dendam kepada Danghyang Druna. Persahabatan antara mereka tentu akan kembali menjadi permusuhan lagi. Tidak ada pilihan lain bagi Danghyang Druna selain berada di pihak Kurawa. Jika Prabu Drupada datang menyerang melampiaskan kemarahannya, maka segenap kekuatan Kerajaan Hastina akan siap melindungi Danghyang Druna.
Danghyang Druna merasa dirinya memang ikut berdosa atas kejahatan ini. Terlanjur basah maka sekalian mandi pula. Lagipula ia tidak akan lupa bahwa dirinya pernah terlunta-lunta menjadi orang miskin, sekarang bisa menjadi pendeta kaya raya dan memiliki perguruan besar, itu semua berkat Prabusepuh Dretarastra yang memberinya pekerjaan. Dulu ia pernah bersumpah akan selalu setia mengabdi kepada Kerajaan Hastina. Kini, yang menjadi raja Hastina adalah Prabu Duryudana, maka mau tidak mau ia pun harus setia kepada muridnya tersebut.
Prabu Duryudana gembira mendengar ikrar setia Danghyang Druna. Kini ia berencana untuk mengambil alih wilayah Kerajaan Amarta untuk menjadi bagian Kerajaan Hastina. Sesuai perjanjian, karena para Pandawa kalah bermain dadu, maka mereka harus menjalani hukuman buang tiga belas tahun lamanya. Selama mereka pergi, maka Kerajaan Amarta harus dititipkan kepada para Kurawa. Oleh sebab itu, Prabu Duryudana berniat mengirim Adipati Jayadrata agar menduduki Kerajaan Amarta sebagai wakil para Kurawa di sana.
PRABU KIRMIRA MENAWARKAN PERSAHABATAN
Prabu Duryudana memanggil Adipati Jayadrata untuk menghadap. Adipati Jayadrata datang menerima perintah. Prabu Duryudana pun menyerahkan surat tugas kepadanya agar mulai hari ini menduduki Kerajaan Amarta sebagai wakil para Kurawa di sana. Adipati Jayadrata menerima tugas tersebut, namun merasa ragu-ragu untuk berangkat. Prabu Duryudana bertanya mengapa demikian. Adipati Jayadrata menjawab, dirinya agak gentar jika sampai berhadapan dengan para putra Pandawa, yaitu Raden Antareja, Arya Gatutkaca, Raden Antasena, Raden Abimanyu, dan sebagainya, yang konon menduduki Kerajaan Amarta.
Pada saat itulah datang seorang raja raksasa menghadap Prabu Duryudana. Ia memperkenalkan dirinya bernama Prabu Kirmira dari Kerajaan Ekacakra. Ia adalah putra dari raja Ekacakra terdahulu yang bernama Prabu Baka. Pada saat ayahnya tewas dibunuh Arya Wrekodara, saat itu Prabu Kirmira masih bayi. Para pelayan ayahnya berhasil membawa kabur Prabu Kirmira untuk mengungsi dari balas dendam rakyat Ekacakra yang sanak keluarganya dimakan oleh Prabu Baka.
Kini Prabu Kirmira telah dewasa. Ia mendatangi Kerajaan Ekacakra dan berhasil merebut kembali negeri peninggalan ayahnya tersebut. Tidak ada seorang pun rakyat yang berani melawan dirinya. Prabu Kirmira kemudian mendengar kabar bahwa pembunuh ayahnya yang bernama Arya Wrekodara memiliki musuh bebuyutan yang bernama Prabu Duryudana raja Hastina. Pepatah mengatakan, musuh dari musuh adalah teman. Untuk itulah, Prabu Kirmira pun datang ke Kerajaan Hastina untuk menawarkan persahabatan dengan Prabu Duryudana.
Prabu Duryudana menyambut baik tawaran persahabatan tersebut. Ia berkata bahwa para Pandawa telah kalah dalam permainan dadu dan harus menjalani hukuman buang selama tiga belas tahun. Selama mereka pergi, Kerajaan Amarta harus diserahkan kepada para Kurawa. Namun, anak-anak Pandawa menduduki negeri tersebut. Meskipun rata-rata masih muda, namun mereka memiliki kesaktian tidak kalah dengan para Pandawa.
Prabu Kirmira berkata, ini saatnya ia menunjukkan ketulusan dalam pertemanan ini. Ia menyatakan bersedia untuk membabat habis anak-anak Pandawa sebagai balas dendam atas kematian ayahnya terdahulu. Prabu Duryudana berterima kasih, dan ia pun mempersilakan Prabu Kirmira untuk berangkat menuju Kerajaan Amarta bersama Adipati Jayadrata.
Prabu Kirmira menerima tugas dengan senang hati. Ia lalu mohon pamit berangkat bersama Adipati Jayadrata menuju Kerajaan Amarta.
PRABUSEPUH DRETARASTRA MENGUSIR ADIPATI YAMAWIDURA
Di Keraton Gajahoya, Prabusepuh Dretarastra dan Dewi Gandari dihadap Adipati Yamawidura. Hari itu Adipati Yamawidura datang untuk memohon kebijaksanaan Prabusepuh Dretarastra agar membatalkan hukuman buang yang dijalani para Pandawa dan Dewi Drupadi. Peristiwa yang terjadi di Kerajaan Hastina tempo hari sungguh biadab, di mana Dewi Drupadi dilecehkan dan direndahkan oleh Arya Dursasana dengan disaksikan para hadirin, termasuk para sesepuh negara. Adipati Yamawidura merasa sangat malu tidak dapat berbuat apa-apa. Prabusepuh Dretarastra pun saat itu hanya diam saja tidak mencegah anak-anaknya.
Dewi Gandari menyela pembicaraan. Ia berkata bahwa dirinya telah menghentikan permainan itu. Pelecehan Dewi Drupadi sangat memalukan dan menjadi aib Kerajaan Hastina. Namun, itu semua telah dihentikan oleh Dewi Gandari. Lalu, mengapa Adipati Yamawidura masih saja mengungkit-ungkit soal itu?
Adipati Yamawidura menjawab, yang namanya aib selamanya tetap saja menjadi aib. Meskipun Dewi Gandari telah menghentikan permainan, namun permainan tetap saja dilanjutkan dengan bentuk taruhan yang berbeda. Akibatnya, para Pandawa pun kalah dan dibuang selama tiga belas tahun. Dewi Gandari menjawab, taruhan bentuk baru itu sudah disepakati bersama. Barangsiapa yang kalah harus menjalani hukum buang selama tiga belas tahun. Tidak ada lagi perbudakan dan pelecehan, yang ada hanyalah hukuman buang.
Adipati Yamawidura berkata hukuman tersebut harus dibatalkan, karena para Kurawa diwakili Patih Sangkuni yang telah berbuat curang. Pihak Kurawa bisa menang karena Patih Sangkuni bermain sihir dalam melempar dadu. Oleh sebab itu, Adipati Yamawidura menyarankan agar hukuman dibatalkan saja, dan para Pandawa harus dijemput pulang kembali ke negara mereka. Prabusepuh Dretarastra yang tempo hari diam saja tidak bertindak, maka kini saatnya melakukan sesuatu untuk menghapus aib yang melanda Kerajaan Hastina.
Dewi Gandari tersinggung mendengar Patih Sangkuni dituduh berbuat curang dan bermain sihir. Ia pun mengadukan hal itu kepada Prabusepuh Dretarastra, dan ia meminta izin agar diperbolehkan pulang bersama Patih Sangkuni ke Kerajaan Gandaradesa daripada dihina seperti ini. Adipati Yamawidura menuduh tanpa bukti, itu namanya fitnah belaka.
Prabusepuh Dretarastra termakan ucapan istrinya. Ia pun memarahi Adipati Yamawidura, menuduhnya sebagai paman yang pilih kasih. Selama ini Adipati Yamawidura selalu berat sebelah, yaitu lebih membela para Pandawa daripada para Kurawa, padahal mereka sesama keponakan. Apapun yang dilakukan anak-anaknya selalu salah di mata Adipati Yamawidura, sedangkan apapun yang dilakukan anak-anak Prabu Pandu selalu terlihat benar. Jika memang Adipati Yamawidura lebih sayang kepada para Pandawa daripada para Kurawa, mengapa tidak pergi saja menyusul mereka?
Adipati Yamawidura terkejut mendengar ucapan kakaknya. Ia pun mohon pamit untuk pergi bergabung dengan para Pandawa di Hutan Kamyaka.
PRABU KIRMIRA MENGUSIR PARA PUTRA PANDAWA
Sementara itu di Kerajaan Amarta, para putra Pandawa antara lain Raden Pancawala, Arya Antareja, Arya Gatutkaca, Raden Abimanyu, Bambang Irawan, Raden Sumitra, dan Raden Bratalaras, sedang berunding bersama Patih Tambakganggeng dan para punggawa mengenai kemungkinan para Kurawa datang untuk mengambil alih negara. Para putra Pandawa siap mengukuhi kerajaan karena menurut mereka Kurawa memenangkan permainan dadu melalui cara yang licik.
Tidak lama kemudian datanglah Adipati Jayadrata dan Prabu Kirmira di tempat itu. Mereka meminta para putra Pandawa menyerahkan Kerajaan Amarta kepada para Kurawa karena Pandawa sudah kalah bermain dadu. Sebagai kesepakatan, para Pandawa harus pergi ke hutan selama dua belas tahun dan menyamar di suatu negara selama setahun, sedangkan Kerajaan Amarta harus dititipkan kepada Kurawa.
Arya Antareja sebagai juru bicara menolak keputusan itu. Menurutnya, para Kurawa tidak berhak mengambil alih Kerajaan Amarta karena mereka menang secara curang. Adipati Jayadrata bertanya apakah para putra Pandawa bisa membuktikan kecurangan itu. Arya Antareja tidak bisa menjawab. Ia hanya meyakini bahwa Patih Sangkuni bermain sihir saat melemparkan dadu.
Adipati Jayadrata marah karena para putra Pandawa menuduh tanpa bukti. Ia berkata bahwa Kerajaan Amarta akan diambil alih hari ini juga, tidak peduli para putra Pandawa bersedia atau tidak. Arya Antareja dan saudara-saudaranya bertekad akan mengukuhi setiap jengkal Kerajaan Amarta. Tiba-tiba Prabu Kirmira maju menerjang mereka. Maka, terjadilah pertempuran. Para putra Pandawa dan pasukan Amarta bertempur menghadapi Prabu Kirmira dan pasukan raksasa Ekacakra.
Setelah bertempur cukup lama, para putra Pandawa merasa terdesak. Mereka tidak mampu lagi mempertahankan Kerajaan Amarta dan terpaksa pergi menyusul orang tua mereka di Hutan Kamyaka. Prabu Kirmira tidak mau mengampuni. Ia tetap mengejar mereka dan menyerahkan Kerajaan Amarta kepada Adipati Jayadrata.
PARA PANDAWA BERUNDING SOAL KELANJUTAN PEMBUANGAN MEREKA
Sementara itu di Hutan Kamyaka, Prabu Puntadewa dihadap para adik dan Dewi Drupadi. Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa memakai pakaian kenegaraan lengkap. Mereka mengajak Prabu Puntadewa kembali ke Kerajaan Amarta karena waktu tiga belas hari sudah terlewati. Menurut pepatah lama, waktu sehari bagaikan setahun. Karena tiga belas hari sudah terlewati, maka itu sama dengan tiga belas tahun.
Prabu Puntadewa tidak membenarkan pendapat seperti itu. Itu hanyalah pepatah di dunia majas, sedangkan kekalahan dadu ada di dunia nyata. Hukuman tiga belas tahun adalah nyata, dan harus dijalani secara nyata. Ia bersumpah akan menjalani hukuman ini. Terserah keempat Pandawa jika ingin kembali ke Kerajaan Amarta, dirinya tidak akan melarang. Dewi Drupadi juga dipersilakan kembali ke Amarta bersama keempat Pandawa.
Dewi Drupadi berkata dirinya sudah bersumpah akan menjalani hukum buang sampai selesai, dan ia anggap ini sebagai pembuang sial. Setelah tiga belas tahun terlewati, maka urusan dendam kepada Arya Dursasana barulah bisa diselesaikan. Ia ingin membuktikan kepada dunia bahwa dirinya adalah wanita tangguh yang tidak takut menjalani masa hukuman.
Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa tertunduk malu. Mereka lalu menyatakan tetap ikut menyertai Prabu Puntadewa menjalani masa hukuman sampai habis.
ADIPATI YAMAWIDURA DATANG DI HUTAN KAMYAKA
Setelah para Pandawa satu pemahaman dan satu tujuan, tiba-tiba Adipati Yamawidura datang menemui mereka. Mereka heran melihat sang paman hadir di Hutan Kamyaka. Adipati Yamawidura berkata bahwa dirinya telah diusir Prabusepuh Dretarastra karena memperjuangkan para Pandawa yang dicurangi Patih Sangkuni.
Prabu Puntadewa berkata bahwa tidak ada yang curang dalam permainan tersebut. Patih Sangkuni bisa menang karena ia memang pandai dalam melempar dadu. Sebaliknya, ia kalah karena memang tidak terampil. Kini para Pandawa harus menjalani hukuman, dan itu adalah bagian dari perjanjian. Untuk itu, sebaiknya Adipati Yamawidura kembali ke Kerajaan Hastina.
Adipati Yamawidura menggeleng. Ia masih belum bisa kembali ke sana. Tiba-tiba datang Srati Sanjaya di tempat itu. Ia adalah juru penuntun sekaligus kusir kereta Prabusepuh Dretarastra. Ia ditugasi menjemput pulang Adipati Yamawidura karena Prabusepuh Dretarastra merasa kehilangan dan menyesali ucapannya.
Adipati Yamawidura berkata dirinya tidak mau pulang apabila tidak bersama para Pandawa. Namun, Prabu Puntadewa tidak setuju. Ia telah berjanji untuk menghormati keputusan yang telah disepakati bersama, yaitu harus menjalani hukuman sampai selesai. Untuk itu, Adipati Yamawidura diminta untuk pulang saja bersama Srati Sanjaya.
Adipati Yamawidura merasa tidak ada gunanya berdebat dengan Prabu Puntadewa. Ia hanya bisa mendoakan semoga para Pandawa dan Dewi Drupadi baik-baik saja selama menjalani masa pembuangan. Adipati Yamawidura lalu kembali ke Kerajaan Hastina bersama Srati Sanjaya.
PRABU KIRMIRA MENYERANG HUTAN KAMYAKA
Sepeninggal Adipati Yamawidura dan Srati Sanjaya, para Pandawa didatangi putra-putra mereka yang mengaku dikejar-kejar raja raksasa bernama Prabu Kirmira. Raden Pancawala bercerita bahwa ia dan para sepupu berniat mempertahankan Kerajaan Amarta saat hendak diambil alih para Kurawa melalui Adipati Jayadrata. Ternyata Adipati Jayadrata datang bersama raja raksasa bernama Prabu Kirmira yang berilmu tinggi. Para putra Pandawa terdesak menghadapi kekuatannya dan terpaksa kabur menuju Hutan Kamyaka.
Prabu Puntadewa berkata bahwa Kerajaan Amarta tidak perlu dipertahankan karena sudah menjadi bagian dari perjanjian. Selama tiga belas tahun ke depan Kerajaan Amarta dititipkan kepada para Kurawa dan itu harus ditepati.
Tidak lama kemudian datanglah Prabu Kirmira di tempat itu. Ia mengejek anak-anak Pandawa yang tidak mampu mengalahkan dirinya, lantas meminta bantuan ayah mereka. Ia lalu bertanya siapa yang bernama Arya Wrekodara. Arya Wrekodara pun maju menunjukkan diri. Prabu Kirmira berkata, dirinya ingin membalaskan kematian ayahnya belasan tahun lalu, yaitu Prabu Baka.
Prabu Puntadewa melarang Arya Wrekodara melayani tantangan Prabu Kirmira karena para Pandawa sudah kalah bermain dadu, maka harus menepati perjanjian yang ditentukan. Prabu Kirmira menyahut, ini adalah masalah dendam atas kematian ayahnya, tidak ada hubungan dengan masalah dadu.
Prabu Puntadewa pun mempersilakan Arya Wrekodara mengambil keputusan sendiri. Arya Wrekodara segera maju melayani tantangan raja raksasa itu. Perang tanding pun terjadi. Setelah bertarung lama, Prabu Kirmira akhirnya tewas dengan tubuh lumat dihantamkan pada batang pohon beringin.
PRABU KRESNA DAN RADEN DRESTADYUMNA MENGUNJUNGI PARA PANDAWA
Tidak lama kemudian datanglah Prabu Kresna dan Arya Setyaki dari Kerajaan Dwarawati, serta Raden Drestadyumna dari Kerajaan Pancala. Mereka datang untuk menjenguk para Pandawa. Raden Drestadyumna sangat marah mendengar berita bahwa Dewi Drupadi dilecehkan di istana Kerajaan Hastina. Apabila para Pandawa sepakat, maka Prabu Drupada dan pasukan Pancala akan menggempur Kerajaan Hastina.
Prabu Puntadewa tidak setuju. Ia telah bersumpah akan menjalani masa hukuman tiga belas tahun tanpa membantah. Ia berharap setelah masa hukuman terlewati, Prabu Duryudana bersedia mengembalikan Kerajaan Amarta kepada dirinya. Raden Drestadyumna tidak percaya pada hal itu. Namun, Prabu Puntadewa melarangnya untuk berprasangka buruk terlebih dulu, karena belum tentu Prabu Duryudana mengingkari janji.
Raden Drestadyumna lalu menyampaikan pesan dari Prabu Drupada bahwa Dewi Drupadi diajak pulang ke Kerajaan Pancala. Kelak apabila para Pandawa sudah menyelesaikan masa hukuman, maka ia boleh bergabung lagi dengan Prabu Puntadewa. Dewi Drupadi menolak hal itu. Ia sudah bersumpah akan mengikuti Prabu Puntadewa menjalani hukuman, maka hal itu akan dilaksanakan tanpa membantah. Dewi Drupadi lalu memerintahkan Raden Pancawala untuk ikut pulang ke Kerajaan Pancala bersama Raden Drestadyumna, tidak perlu lagi mempertahankan Kerajaan Amarta. Raden Pancawala menolak dan ingin ikut tinggal di hutan. Dewi Drupadi memaksanya menurut, membuat Raden Pancawala tidak berani membantah lagi.
Raden Arjuna lalu berkata kepada Prabu Kresna agar bersedia menjaga Dewi Sumbadra dan Raden Abimanyu selama dirinya menjalani masa hukuman. Prabu Kresna mengabulkan keinginan tersebut. Sementara itu, Arya Setyaki bersumpah, kelak apabila para Kurawa mengingkari janji, maka dirinya bersedia menyerahkan jiwa raga kepada para Pandawa untuk melawan mereka.
Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna dan Arya Setyaki kembali ke Kerajaan Dwarawati bersama Raden Abimanyu, Raden Sumitra, dan Raden Bratalaras, sedangkan Raden Drestadyumna kembali ke Kerajaan Pancala bersama Raden Pancawala. Adapun Arya Antareja kembali ke Jangkarbumi, Arya Gatutkaca kembali ke Kerajaan Pringgadani, sedangkan Bambang Irawan kembali ke Padepokan Yaksarata.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
kisah sebelumnya ; daftar isi ; kisah selanjutnya
Untuk kisah Arya Wrekodara membunuh Prabu Baka bisa dibaca di sini