Kisah ini menceritakan
kematian Prabu Wasupati dan terciptanya Telaga Watari, serta pelantikan Raden
Durgandana menjadi raja Wirata yang bergelar Prabu Matsyapati. Kisah
dilanjutkan dengan pelantikan Prabu Citranggada sebagai raja Hastina untuk
menggantikan Prabu Santanu yang menjadi bagawan. Kisah ditutup dengan kematian
Prabu Citranggada di tangan seorang gandarwa yang bernama sama.
Kisah ini saya olah dan saya
kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita. Khusus untuk cerita kematian Prabu Citranggada saya olah dari
sumber Mahabharata karya Resi Wyasa.
Kediri, 18 Maret 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Prabu Matsyapati |
PRABU WASUPATI JATUH HATI
KEPADA DEWI WATARI
Prabu Wasupati di Kerajaan
Wirata sedang dilanda asmara karena jatuh cinta kepada Dewi Watari, mantan
istri mendiang Resi Parasara. Sejak Raden Kincaka, Raden Rupakinca, dan Raden
Rajamala diangkat sebagai punggawa, Dewi Watari pun ikut serta menetap di
istana Wirata. Karena sering berjumpa, lama-lama dalam hati Prabu Wasupati
tumbuh rasa cinta kepada Dewi Watari.
Dengan segala cara, Prabu
Wasupati berusaha menarik perhatian Dewi Watari. Berbagai hadiah pun dikirimkan
ke rumah wanita itu namun semuanya ditolak dengan halus. Dewi Watari adalah
istri Resi Parasara, sedangkan Resi Parasara pernah berhubungan dengan Dewi
Durgandini, putri Prabu Wasupati. Itu artinya, Prabu Wasupati adalah ayah
mertua Resi Parasara, sehingga tidak pantas apabila menyatakan cinta kepada
Dewi Watari. Namun, Prabu Wasupati membantah alasan itu karena Resi Parasara tidak
pernah menikahi putrinya secara sah, sehingga tidak pernah ia anggap sebagai
menantu.
Dewi Watari tetap merasa keberatan
karena putrinya, yaitu Dewi Sudaksina telah menikah dengan Raden Durgandana,
putra Prabu Wasupati. Itu artinya, hubungannya dengan Prabu Wasupati adalah
besan, sehingga tidak pantas apabila sesama besan menjadi suami-istri. Namun,
Prabu Wasupati membantah alasan tersebut karena Dewi Sudaksina bukan anak
kandung Dewi Watari.
Karena terus-menerus ditolak,
Prabu Wasupati akhirnya hilang kesabaran. Ia pun berusaha memaksa Dewi Watari
menerima cintanya dan mengancam wanita itu dengan kekerasan. Dewi Watari merasa
ketakutan dan melarikan diri. Karena sudah dikuasai nafsu birahi, Prabu
Wasupati pun mengejar ke mana janda Resi Parasara itu pergi.
KEMATIAN DEWI WATARI DAN PRABU
WASUPATI
Dewi Watari berlari
sekencang-kencangnya menuju ke arah Gunung Reksasrengga, tempat tinggalnya yang
semula. Namun, pelariannya terhalang sebuah telaga di luar Kota Wirata. Tidak
lama kemudian Prabu Wasupati datang menyusul dan memintanya supaya menurut saja
karena percuma apabila tetap melarikan diri. Akan tetapi, Dewi Watari sangat teguh
pada pendiriannya. Ia pernah bersumpah seumur hidup hanya menikah satu kali
saja, meskipun sang suami (Resi Parasara) tidak pernah mencintainya dengan
sungguh-sungguh.
Karena Prabu Wasupati sudah
gelap mata dan berniat memerkosa dirinya, Dewi Watari akhirnya memilih bunuh
diri dengan cara terjun ke dalam telaga di depannya. Prabu Wasupati yang juga
berjuluk Prabu Dirgabahu segera mengulurkan kedua lengannya yang seketika
berubah menjadi sangat panjang untuk menarik keluar Dewi Watari. Akan tetapi,
sekian lama ia mengaduk-aduk air telaga tetap saja tidak mampu menemukan tubuh
wanita itu. Entah mengapa jasad Dewi Watari seolah-olah lenyap dan bersatu
dengan air telaga tersebut.
Prabu Wasupati yang sangat
kecewa akhirnya pulang ke istana Wirata. Ia menyesal telah menggunakan
kekuasaannya untuk menindas seorang wanita demi menuruti hawa nafsu, apalagi
wanita itu akhirnya memilih mati bunuh diri. Karena merasa sangat bersalah,
akhirnya Prabu Wasupati pun jatuh sakit.
Setelah dirawat beberapa hari,
sakit Prabu Wasupati justru bertambah parah dan tak tertolong lagi. Sebelum
meninggal dunia, Prabu Wasupati sempat meminta maaf kepada sang permaisuri Dewi
Swargandini atas perbuatannya terhadap Dewi Watari. Begitu mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi, Dewi Swargandini merasa sangat kecewa dan ikut sakit pula.
Beberapa hari kemudian, sang permaisuri yang memiliki nama asli Endang Adrika
itu pun meninggal dunia menyusul suaminya.
RADEN DURGANDANA DILANTIK
MENJADI PRABU MATSYAPATI
Setelah masa berkabung usai,
Raden Durgandana sang pangeran mahkota dilantik menjadi raja Wirata yang baru,
bergelar Prabu Matsyapati. Matsya artinya “ikan”, sedangkan Pati artinya “pemimpin”.
Ia sengaja memakai gelar tersebut sebagai pengingat bahwa semasa kecil dulu
pernah tinggal di Desa Matsya karena menderita penyakit bau amis bersama
kakaknya, yaitu Dewi Durgandini yang kini telah menjadi permaisuri di Kerajaan
Hastina.
Prabu Matsyapati lalu mengangkat
adik iparnya, yaitu Arya Kincaka sebagai patih. Sementara itu, Arya Rupakinca
dan Arya Rajamala sebagai senapati kerajaan. Namun demikian, Arya Rajamala
tidak hadir dalam acara pelantikan tersebut.
ARYA RAJAMALA MEMBANGUN TELAGA
WATARI
Arya Rajamala yang tidak
menghadiri upacara pelantikan ternyata sedang berada di tepi telaga tempat Dewi
Watari meninggal. Di antara semua anak Resi Parasara, memang dialah yang
menjadi kesayangan Dewi Watari. Maka, sejak Dewi Watari tewas menceburkan diri
ke dalam telaga dan jasadnya musnah, Arya Rajamala pun setiap hari tinggal di tempat
itu. Di sekitar telaga ia menanam pohon penghias dan menata bebatuan agar lingkungan
menjadi lebih indah. Ia berharap roh Dewi Watari yang bersemayam di dalam
telaga merasa bahagia menikmati keindahan telaga yang ia bangun tersebut.
Telaga tempat Dewi Watari
meninggal kini berubah menjadi sangat indah dan tidak lagi gersang seperti sebelumnya.
Untuk mengenang ibunya, Arya Rajamala pun memberinya nama Telaga Watari. Kini ia
merasa betah tinggal di situ dan tidak ingin lagi pulang ke istana Wirata
maupun ke Kincapura.
Pada suatu malam, roh Dewi Watari
muncul menampakkan diri. Arya Rajamala sangat gembira dan segera menyembah
memberi hormat kepadanya. Dewi Watari berterima kasih atas segala usaha Arya
Rajamala menyenangkan dirinya dengan membangun telaga tempatnya bersemayam menjadi
lebih indah. Namun, ia tidak setuju apabila Arya Rajamala tetap tinggal di tepi
telaga ini dan melupakan kewajibannya sebagai senapati Kerajaan Wirata.
Arya Rajamala tidak sudi
kembali ke istana. Ia masih marah kepada keluarga Prabu Wasupati yang telah
mencelakai Dewi Watari. Ia juga kesal kepada kedua kakaknya, yaitu Patih
Kincaka dan Arya Rupakinca yang tidak peduli kepada ibu mereka, dan lebih
memilih menerima jabatan yang diberikan oleh Prabu Matsyapati.
Roh Dewi Watari pun menasihati
Arya Rajamala agar tidak menyimpan dendam karena hanya akan merusak jiwa. Meskipun
Prabu Wasupati berusaha memaksanya, namun dia sendiri yang memilih bunuh diri
mencebur ke dalam telaga. Lagipula Prabu Wasupati telah menyesali perbuatannya
hingga jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Kini yang menjadi raja adalah
Prabu Matsyapati yang tidak ada sangkut-pautnya dengan peristiwa ini. Untuk
itu, Dewi Watari menasihati Arya Rajamala agar tetap mengabdi kepada raja yang
baru tersebut dan melupakan segala kekesalannya.
Arya Rajamala kini telah
terbuka hatinya dan membenarkan nasihat Dewi Watari. Ia pun mohon restu kepada
sang ibu agar dapat mengemban jabatan sebagai senapati Kerajaan Wirata dengan
sebaik-baiknya.
Dewi Watari merestui putra
kesayangannya itu. Ia pun memberkati Arya Rajamala berumur panjang dan sulit
dibunuh. Apabila kelak Arya Rajamala berperang melawan musuh sakti dan
menderita luka parah atau bahkan kehilangan nyawa, maka tubuhnya harus segera
diceburkan ke dalam Telaga Watari. Dewi Watari memberikan anugerah bahwa dengan
cara demikian maka Arya Rajamala akan segera pulih kembali seperti sedia kala.
Arya Rajamala menerima nasihat
tersebut dengan senang hati dan sangat berterima kasih. Roh Dewi Watari lalu
lenyap dari pandangan. Arya Rajamala pun undur diri kembali ke istana Wirata
dengan penuh semangat baru.
PRABU SANTANU TURUN TAKHTA DAN
MENJADI PENDETA
Sementara itu, Prabu Santanu dan
Dewi Durgandini telah kembali ke Kerajaan Hastina setelah melayat Prabu
Wasupati dan menyaksikan pelantikan Prabu Matsyapati di Kerajaan Wirata.
Setelah menyaksikan peristiwa tersebut, Prabu Santanu kini terbuka pandangannya
bahwa seorang raja besar yang paling dihormati di Tanah Jawa, yaitu mertuanya
sendiri, telah meninggal dunia karena sulit mengendalikan nafsu birahi. Ia pun
merasa dirinya sudah tua dan sebaiknya lebih mendekatkan diri kepada Yang
Mahakuasa. Kini keempat anaknya pun sudah tumbuh dewasa semua. Yang tertua
adalah Raden Bisma yang lahir dari Dewi Ganggawati, sedangkan yang tiga lainnya
adalah Raden Citranggada, Raden Citrawirya, dan Dewi Bandondari yang lahir dari
Dewi Durgandini.
Maka pada hari yang ditentukan,
Prabu Santanu pun mengumumkan pengunduran dirinya sebagai raja Hastina. Mulai hari
itu, Prabu Santanu menjadi pendeta bergelar Bagawan Santanu yang tinggal sebuah
padepokan bernama Talkanda. Di sana ia ingin hidup menyepi agar bisa lebih
mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Sesuai perjanjian antara Raden
Bisma dengan Dewi Durgandini dulu, maka yang diangkat sebagai raja baru di
Hastina adalah Raden Citranggada, bergelar Prabu Citranggada. Adapun jabatan menteri
utama tetap dipegang oleh Patih Basusara.
PRABU CITRANGGADA TEWAS
DIBUNUH GANDARWA
Pada suatu hari Prabu
Citranggada pergi berburu ke dalam hutan. Karena terlalu asyik mengejar seekor kijang,
ia pun terpisah dari rombongan. Tiba-tiba di hadapannya muncul sesosok makhluk
halus tinggi besar yang menyeramkan, dan mengaku bernama Gandarwa Citranggada.
Prabu Citranggada heran
melihat ada gandarwa yang menyamai namanya. Ia pun meminta gandarwa tersebut
mengganti nama. Sebaliknya, justru Gandarwa Citranggada yang meminta Prabu
Citranggada supaya berganti nama. Keduanya lalu bertengkar tidak ada yang mau
mengalah. Pertengkaran itu pun akhirnya berubah menjadi pertarungan sengit di
antara mereka.
Demikianlah, setelah bertarung
cukup lama, Prabu Citranggada akhirnya tewas di tangan Gandarwa Citranggada. Pada
saat itulah tiba-tiba Resi Abyasa datang bersama panakawan Kyai Semar, Nala
Gareng, Petruk, dan Bagong. Melihat ada seorang raja muda yang tewas dibunuh
secara keji oleh seorang gandarwa, ia langsung turun tangan. Dengan mengerahkan
Aji Pengabaran yang pernah dipelajarinya dari Gandarwaraja Swala dulu, Resi
Abyasa pun berhasil menewaskan Gandarwa Citranggada.
RESI ABYASA BERTEMU DEWI
DURGANDINI
Tidak lama kemudian muncul Raden
Bisma bersama para prajurit yang datang untuk mencari hilangnya Prabu
Citranggada. Orang-orang Hastina itu sangat terkejut melihat raja mereka telah tewas,
dan sempat menaruh curiga jangan-jangan Resi Abyasa yang telah membunuh Prabu
Citranggada.
Pada saat itulah Batara Narada
turun dari kahyangan melerai Raden Bisma dan Resi Abyasa yang hendak bertarung.
Batara Narada menjelaskan bahwa Prabu Citranggada sudah ditakdirkan mati muda dibunuh
Gandarwa Citranggada. Ia juga menjelaskan bahwa Gandarwa Citranggada telah
tewas pula di tangan Resi Abyasa yang merupakan putra sulung Dewi Durgandini
dari hubungannya dengan Resi Parasara dua puluh lima tahun silam. Setelah
memberikan penjelasan demikian, Batara Narada lalu kembali ke kahyangan.
Menyadari kekeliruannya, Raden
Bisma meminta maaf dan merangkul Resi Abyasa bagaikan adiknya sendiri. Mereka
lalu bersama-sama membawa jasad Prabu Citranggada kembali ke Kerajaan Hastina.
Dewi Durgandini dan Raden Citrawirya
di istana sangat terkejut dan berduka melihat Prabu Citranggada telah kembali
dalam keadaan tak bernyawa. Rasa sedih Dewi Durgandini bercampur gembira karena
berjumpa dengan putra sulungnya yang kini telah dewasa, yaitu Resi Abyasa.
RADEN CITRAWIRYA MENJADI RAJA
HASTINA YANG BARU
Bagawan Santanu telah
mendengar berita kematian Prabu Citranggada dan ia pun bergegas datang ke Kerajaan
Hastina untuk memakamkan putranya itu. Suasana haru mewarnai upacara tersebut.
Setelah masa berkabung usai, Bagawan
Santanu melantik Raden Citrawirya menjadi raja Hastina yang baru, bergelar
Prabu Citrawirya menggantikan kakaknya. Resi Abyasa ikut menyaksikan pelantikan
tersebut. Setelah usai, ia lalu mohon pamit kembali ke Gunung Saptaarga. Ia
berjanji kepada Bagawan Santanu dan Dewi Durgandini bahwa dirinya akan selalu
siap membantu Kerajaan Hastina apabila dilanda kerepotan. Dewi Durgandini pun
melepas kepergian putra sulungnya itu dengan perasaan haru.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
dengan begini kisah wayang akan selalu ada dan menjadi khasanah kekayaan bangsa
BalasHapusTerima kasih sudah singgah, semoga tulisan ini bermanfaat.
BalasHapusKalau ada versi buku nya akan sangat bermanfaat min
BalasHapus