Kisah ini menceritakan Wasi Jaladara alias Raden Kakrasana menjadi jago
dewa untuk menumpas Prabu Nagaprasanta dan pasukannya. Berkat kemenangan itu, ia
mendapat bantuan Batara Indra untuk memenuhi persyaratan yang diajukan Prabu
Salya demi memperistri Dewi Erawati. Kisah ditutup dengan pelantikan Raden
Kakrasana sebagai raja Mandura, bergelar Prabu Baladewa.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja
Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan
rekaman pergelaran wayang kulit dengan dalang Ki Anom Suroto, dengan sedikit
pengembangan.
Kediri, 21 Oktober 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Prabu Baladewa |
PRABU SALYA MENGAJUKAN SYARAT UNTUK PERNIKAHAN DEWI ERAWATI
Prabu Salya di Kerajaan
Mandraka memimpin pertemuan yang dihadiri putra bungsunya, yaitu Raden
Rukmarata, beserta para menteri dan punggawa yang dikepalai Patih Tuhayata.
Dalam pertemuan itu Prabu Salya membicarakan tentang kekecewaannya, yaitu bukan
para Kurawa yang berhasil menemukan hilangnya Dewi Erawati, melainkan Wasi
Jaladara dari Gunung Rewataka. Padahal, Prabu Salya berharap putri sulungnya
bisa menjadi istri Raden Kurupati, yang merupakan calon pemimpin Kerajaan
Hastina, bukannya menjadi istri seorang pendeta miskin semacam Wasi Jaladara.
Raden Rukmarata sependapat
dengan sang ayah. Ia juga merasa sayang jika kakak sulungnya sampai menikah
dengan seorang pendeta miskin. Ia tidak tega membayangkan Dewi Erawati hidup
kekurangan di puncak Gunung Rewataka bersama Wasi Jaladara.
Patih Tuhayata ikut
menyampaikan pendapat. Ia berkata bahwa Prabu Salya sudah terlanjur bersumpah,
barangsiapa bisa menemukan hilangnya Dewi Erawati, maka akan mendapat hadiah,
yaitu jika laki-laki akan dinikahkan dengan sang putri, dan jika perempuan akan
dipersaudarakan dengannya. Meskipun Prabu Salya mengharapkan Raden Kurupati
yang memenangkan sayembara, namun dewata berkehendak lain. Itu artinya Dewi
Erawati memang ditakdirkan berjodoh dengan Wasi Jaladara. Patih Tuhayata
menyarankan agar Prabu Salya tetap menepati sabda seorang raja. Soal nanti Dewi
Erawati hidup bahagia atau tidak, itu semua di luar kuasa manusia.
Prabu Salya tersinggung
mendengar ucapan Patih Tuhayata. Namun, jika dipikir-pikir memang ada benarnya
juga. Bagaimanapun sabda seorang raja harus dipenuhi meskipun bertentangan
dengan perasaan. Raden Rukmarata yang memahami isi hati sang ayah akhirnya
menemukan cara untuk menggagalkan pernikahan kakaknya. Ia pun mengusulkan agar
Wasi Jaladara diberi syarat yang berat, yang harus dipenuhi saat upacara
pernikahan nanti.
Raden Rukmarata berkata bahwa untuk
menikahi Dewi Erawati, Wasi Jaladara harus bisa menyediakan “patah manten sakembaran”,
yaitu dua orang gadis perawan yang berwajah mirip sebagai pendamping pengantin.
Syarat yang kedua adalah pasangan pengantin harus dipayungi “kembar mayang”
yang terbuat dari Kayu Dewandaru dan Kayu Jayandaru, berasal dari Kahyangan
Suralaya, dengan diiringi empat puluh bidadari. Syarat yang ketiga adalah Wasi
Jaladara harus bisa menyediakan “waranggana cantik”, yang pandai menyanyikan
segala jenis lagu.
Prabu Salya tertarik pada
usulan putranya tersebut dan menyetujuinya. Ia pun mengutus Raden Rukmarata dan
Patih Tuhayata untuk menyampaikan persyaratan ini kepada Wasi Jaladara di
Gunung Rewataka. Ia juga menentukan hari Buda Manis minggu depan adalah hari
pernikahan, di mana Wasi Jaladara harus sudah bisa memenuhi semua persyaratan
tersebut.
PRABU NAGAPRASANTA MENYERANG KAHYANGAN SURALAYA
Tersebutlah seorang raja
raksasa bernama Prabu Nagaprasanta dari Kerajaan Renggabumi. Suatu hari
terbesit niat di hatinya untuk menikah dengan salah satu bidadari kahyangan
bernama Batari Gagarmayang. Ia pun berangkat bersama Patih Yudakoti untuk
mewujudkan keinginannya.
Batara Indra selaku pemimpin
Kahyangan Suralaya dengan tegas menolak lamaran tersebut. Prabu Nagaprasanta
marah dan memerintahkan pasukannya untuk merebut Batari Gagarmayang dengan cara
paksa. Batara Indra pun mengerahkan pasukan dorandara untuk menghadapi serangan
ini. Pertempuran pun terjadi. Prabu Nagaprasanta mengubah wujudnya menjadi
seekor naga besar yang mengamuk menyembur-nyemburkan bisa panas, sedangkan
Patih Yudakoti dapat berubah wujud menjadi seekor gajah yang kebal segala jenis
senjata.
Batara Indra dan para jawata
terdesak menghadapi kesaktian Prabu Nagaprasanta dan Patih Yudakoti. Mereka pun
mundur ke dalam kahyangan dan menutup rapat-rapat gerbang Kori Selamatangkep.
Batara Indra lalu mengheningkan cipta memohon petunjuk Batara Guru di Kahyangan
Jonggringsalaka.
Tidak lama kemudian, Batara
Narada datang membawa pesan dari Batara Guru, bahwa yang bisa mengalahkan Prabu
Nagaprasanta dan Patih Yudakoti adalah Raden Kakrasana, putra mahkota Kerajaan
Mandura yang saat ini menjadi pendeta muda di Gunung Rewataka, bergelar Wasi
Jaladara. Setelah memberikan petunjuk demikian, Batara Narada lalu berangkat
untuk menjemput pemuda itu.
RADEN KURUPATI MENJADI MURID WASI JALADARA
Beberapa hari yang lalu para
Kurawa dan Patih Sangkuni pernah menyerang Gunung Rewataka karena menduga Wasi
Jaladara menculik Dewi Erawati. Dalam serangan itu mereka dapat dipukul mundur
oleh Wasi Jaladara dan Raden Bratasena. Kemudian terdengar pula kabar bahwa
Wasi Jaladara dibantu Raden Bratasena dan Raden Permadi berhasil membunuh Prabu
Kurandageni dan Raden Kartapiyoga, serta memulangkan Dewi Erawati yang disekap
oleh mereka. Hal ini membuat para Kurawa semakin kesal.
Raden Kurupati selaku pemimpin
para Kurawa berniat menyerang Gunung Rewataka sekali lagi, namun dicegah oleh
Patih Sangkuni. Dalam hal ini Patih Sangkuni meminta Raden Kurupati untuk
berpikir sebaliknya. Patih Sangkuni mengatakan bahwa Raden Kurupati adalah
calon raja Hastina, maka sebaiknya belajar bagaimana caranya mencari sekutu,
bukannya mencari musuh. Wasi Jaladara seorang sakti dan berilmu tinggi,
seharusnya dijadikan sebagai sekutu, bukannya dijadikan sebagai musuh. Saat ini
Raden Bratasena dari pihak Pandawa sudah lebih dulu berguru ilmu gada
kepadanya, maka Raden Kurupati jangan mau kalah. Patih Sangkuni menyarankan
agar keponakannya itu juga berguru ilmu gada kepada Wasi Jaladara, serta harus
bisa memikat hatinya agar mau menjadi sekutu para Kurawa.
Raden Kurupati sebenarnya
malas jika harus berguru kepada mantan musuhnya. Namun, membayangkan dirinya
kelak menjadi raja Hastina memiliki para pelindung yang sakti seperti Resiwara
Bisma, Resi Druna, Raden Suryaputra, dan ditambah dengan Wasi Jaladara, tentu para
Pandawa dapat dihancurkan dengan mudah. Maka, berangkatlah Raden Kurupati
melaksanakan nasihat sang paman menuju Gunung Rewataka.
Demikianlah, Raden Kurupati
kini telah menghadap Wasi Jaladara yang didampingi Raden Bratasena. Ia meminta
maaf karena beberapa hari yang lalu telah menyerang Gunung Rewataka bersama
adik-adiknya. Sekarang Raden Kurupati mengagumi kesaktian dan kekuatan Wasi
Jaladara dan ia memohon agar diterima sebagai murid.
Raden Bratasena yang sudah
hafal watak para Kurawa langsung menaruh curiga, jangan-jangan Raden Kurupati menyimpan
maksud lain. Namun, Wasi Jaladara melarang Raden Bratasena berburuk sangka.
Pada dasarnya Wasi Jaladara berhati lembut dan pemaaf, meskipun dari luar
terlihat galak dan mudah marah. Dengan senang hati ia pun menerima Raden
Kurupati sebagai murid, dan bisa belajar bersama-sama dengan Raden Bratasena.
RADEN RUKMARATA MENYAMPAIKAN PESAN KEPADA WASI JALADARA
Wasi Jaladara kemudian
menerima kedatangan Raden Rukmarata dan Patih Tuhayata dari Kerajaan Mandraka.
Raden Rukmarata menyampaikan pesan dari ayahnya bahwa hari pernikahan antara
Wasi Jaladara dengan Dewi Erawati sudah ditentukan, yaitu hari Buda Manis
minggu depan. Itu artinya ada waktu tujuh hari bagi Wasi Jaladara untuk
mempersiapkan diri. Dalam upacara pernikahan tersebut, Wasi Jaladara harus
sanggup untuk menyediakan:
1) Sepasang gadis perawan berwajah mirip sebagai “patah manten”.
2) Kayu Dewandaru dan Kayu Jayandaru sebagai “kembar mayang”, yang diiringkan oleh para bidadari berjumlah empat puluh.
3) Seorang “waranggana” cantik sebagai penyanyi yang harus bisa menembangkan berbagai jenis lagu.
1) Sepasang gadis perawan berwajah mirip sebagai “patah manten”.
2) Kayu Dewandaru dan Kayu Jayandaru sebagai “kembar mayang”, yang diiringkan oleh para bidadari berjumlah empat puluh.
3) Seorang “waranggana” cantik sebagai penyanyi yang harus bisa menembangkan berbagai jenis lagu.
Demikianlah syarat yang
diajukan oleh Prabu Salya. Setelah berkata demikian, Raden Rukmarata pun mohon
pamit dengan ditemani Patih Tuhayata.
Sepeninggal mereka berdua,
Wasi Jaladara termangu-mangu karena syarat tersebut terlalu berat baginya.
Tidak lama kemudian datanglah Batara Narada dari kahyangan. Batara Narada
menasihati Wasi Jaladara untuk tidak perlu memikirkan persyaratan yang diajukan
Prabu Salya. Orang baik yang suka menolong pasti mendapat jalan keluar bagi setiap
permasalahan. Hari ini Batara Indra meminta pertolongan Wasi Jaladara untuk
menjadi jago para dewa menumpas musuh bernama Prabu Nagaprasanta dari Kerajaan
Renggabumi. Wasi Jaladara menyatakan sanggup membantu. Batara Narada pun
mengajaknya pergi ke kahyangan. Raden Bratasena dan Raden Kurupati juga ikut
menyertai.
RADEN PERMADI DIUBAH MENJADI WARANGGANA CANTIK
Sementara itu, Raden Permadi
(Arjuna) sedang berjalan bersama para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng,
Petruk, dan Bagong. Pada awalnya ia ditugasi sang kakak sulung, yaitu Prabu
Puntadewa untuk mencari hilangnya Raden Bratasena. Raden Permadi lalu pergi ke
Kerajaan Mandraka di mana ia bertemu dan jatuh cinta kepada Dewi Banuwati.
Kemudian Raden Permadi pergi ke Gunung Rewataka di mana ia bertemu Endang Bratajaya
alias Dewi Sumbadra yang tidak kalah cantik dibanding Dewi Banuwati. Kali ini
Raden Permadi merasa bimbang. Dalam hati ia merindukan kedua-duanya, namun
tidak mungkin memilih mereka semua.
Tiba-tiba muncul seorang raja
raksasa bernama Prabu Rajasengkala dari Kerajaan Batarewata. Raksasa itu bertanya
kepada Raden Permadi di mana letak Gunung Rewataka. Raden Permadi bertanya
mengapa Prabu Rajasengakala ingin pergi ke sana. Prabu Rajasengkala menjawab bahwa
ia ingin membalas kematian adiknya, yang bernama Prabu Kurandageni, yang tewas
di tangan Wasi Jaladara. Raden Permadi berkata bahwa Wasi Jaladara adalah
sepupunya, dan dirinya juga ikut serta membantu mengalahkan Prabu Kurandageni.
Oleh sebab itu, sebelum Prabu Rajasengkala pergi membalas Wasi Jaladara, maka
harus bisa melangkahi mayatnya terlebih dulu.
Prabu Rajasengkala sangat
marah dan ia pun menyerang Raden Permadi. Terjadilah pertempuran di antara
mereka. Dalam pertarungan itu Raden Permadi unggul. Ketika ia hendak membunuh
Prabu Rajasengkala, tiba-tiba muncul Batari Durga menghalangi.
Batari Durga meminta Raden
Permadi untuk tidak membunuh Prabu Rajasengkala yang merupakan pengikutnya.
Sebagai tebusan, Batari Durga mempersilakan Raden Permadi untuk mengajukan
permintaan kepadanya. Raden Permadi berkata bahwa hari ini dirinya sedang
bimbang menentukan pilihan, karena jatuh cinta kepada dua perempuan sekaligus,
yaitu Dewi Banuwati dan Dewi Sumbadra. Ia merasa rindu ingin bertemu mereka,
tetapi tidak tahu harus berbuat apa.
Batari Durga memaklumi
permasalahan kaum muda tentu tidak jauh dari urusan asmara. Ia pun meramalkan
bahwa di antara dua wanita itu yang kelak berjodoh dengan Raden Permadi adalah
Dewi Sumbadra, bukan Dewi Banuwati. Maka, sebagai tebusan untuk nyawa Prabu
Rajasengkala, Batari Durga siap membantu Raden Permadi untuk bisa bertemu
dengan Dewi Sumbadra.
Raden Permadi berterima kasih
lalu melepaskan Prabu Rajasengkala. Batari Durga pun bercerita bahwa Prabu
Salya telah mengajukan syarat kepada Wasi Jaladara agar bisa dipenuhi saat hari
pernikahan nanti. Salah satu syaratnya adalah menyediakan seorang waranggana
cantik yang pandai menyanyikan berbagai jenis lagu. Batari Durga mengetahui bahwa
Raden Permadi sangat mencintai seni budaya dan pandai menyanyikan
bermacam-macam lagu. Maka, sekarang hanya tinggal merias wujudnya saja. Batari
Durga pun mengerahkan kekuasaannya dan seketika Raden Permadi berubah wujud
menjadi seorang wanita cantik.
Batari Durga lalu berkata
bahwa dengan wujud wanita, Raden Permadi bisa membantu Wasi Jaladara memenuhi
persyaratan yang diajukan Prabu Salya, sekaligus bisa mendekati Dewi Sumbadra
alias Endang Bratajaya. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Batari Durga juga
meminta para panakawan untuk berdandan seperti wanita. Kyai Semar setuju.
Setelah dirasa cukup, Batari Durga pun pergi bersama Prabu Rajasengkala.
WASI JALADARA MENUMPAS PRABU NAGAPRASANTA
Wasi Jaladara bersama Raden
Bratasena dan Raden Kurupati telah tiba di Kahyangan Suralaya. Mereka pun
berperang menghadapi Prabu Nagaprasanta bersama pasukannya yang mengepung di
luar Kori Selamatangkep. Pertempuran sengit terjadi. Banyak prajurit raksasa
tewas di tangan Raden Kurupati dan Raden Bratasena.
Wasi Jaladara sendiri
bertarung menghadapi naga penjelmaan Prabu Nagaprasanta. Dengan senjata
Nanggala ia memukul naga tersebut hingga pecah kepalanya. Melihat rajanya
tewas, Patih Yudakoti segera membaca mantra dan ia pun menjelma menjadi gajah yang
sangat ganas. Wasi Jaladara segera mengerahkan Aji Balarama untuk bisa
mengimbangi kekuatan Patih Yudakoti. Raden Bratasena dan Raden Kurupati hanya
bisa menonton dari jauh dan memuji kehebatan guru mereka dalam menghadapi
musuh.
Pertarungan berlangsung
semakin seru. Belalai gajah penjelmaan Patih Yudakoti membelit tubuh Wasi
Jaladara. Pendeta muda itu merasa sesak kehabisan napas. Namun, tangannya
sempat menarik lidah si gajah hingga putus. Patih Yudakoti pun jatuh terkulai
kehilangan daya. Karena lidahnya telah putus, ia tidak bisa lagi membaca mantra
untuk kembali ke wujud manusia.
Sejak kecil Wasi Jaladara
sangat menyukai hewan gajah dan ia pernah memelihara beberapa ekor ketika masih
tinggal di Desa Widarakandang. Melihat gajah penjelmaan Patih Yudakoti terkulai
tak berdaya dan berlinang air mata, ia menjadi tidak tega. Wasi Jaladara pun
memeluk gajah tersebut dan berbisik di telinganya. Wasi Jaladara mengatakan
bahwa Gajah Yudakoti tidak akan dibunuh seperti Prabu Nagaprasanta. Bahkan,
Wasi Jaladara berniat mengajak gajah itu ikut dengannya. Gajah Yudakoti
mengangguk-angguk senang dan bersikap jinak kepada Wasi Jaladara. Wasi Jaladara
pun segera naik ke punggungnya sebagai tanda kemenangan.
Batara Indra berterima kasih atas
bantuan Wasi Jaladara dan kedua muridnya dalam menumpas musuh kahyangan.
Sebagai hadiah, Batara Indra pun menyerahkan seperangkat busana raja serta kendaraan
berwujud seekor gajah putih, bernama Gajah Puspadenta. Gajah putih ini
merupakan anak Gajah Erawana, yaitu kendaraan Batara Indra. Gajah Puspadenta
hendaknya menjadi kendaraan Wasi Jaladara saat berwisata atau mengunjungi
seseorang, sedangkan Gajah Yudakoti hendaknya menjadi kendaraan saat pergi
berperang.
Wasi Jaladara berterima kasih
namun tidak berani menerima anugerah Batara Indra. Ia mengembalikan hadiah
tersebut dan meminta izin agar diperbolehkan meminjam Kayu Dewandaru dan Kayu
Jayandaru, serta empat puluh orang bidadari sebagai pengiring. Batara Indra
berkata bahwa Wasi Jaladara tidak perlu mengembalikan Gajah Puspadenta dan seperangkat
busana raja darinya. Mengenai Kayu Dewandaru dan Kayu Jayandaru, serta
pengiring bidadari akan dipinjamkan secara cuma-cuma kepada Wasi Jaladara.
Wasi Jaladara sangat berterima
kasih atas kebaikan Batara Indra kepadanya. Kini tinggal dua syarat lain, yaitu
menyediakan patah manten kembar dan waranggana cantik. Batara Indra berkata
Wasi Jaladara tidak perlu cemas. Orang yang berhati baik pasti akan mendapatkan
jalan. Kedua syarat tersebut pasti akan tersedia di Gunung Rewataka, demikian Batara
Indra meramalkan.
Wasi Jaladara pun bertukar
pakaian dengan busana raja pemberian Batara Indra. Kini ia terlihat gagah
perkasa dan penuh wibawa. Sebagai pengingat atas jasanya menumpas musuh dewa,
maka Batara Narada pun memberikan nama baru untuknya, yaitu Raden Baladewa.
Wasi Jaladara berterima kasih
sekali lagi. Ia lalu mohon pamit kembali ke Gunung Rewataka bersama Raden
Bratasena dan Raden Kurupati, dengan membawa serta Gajah Yudakoti, Gajah
Puspadenta, Kayu Dewandaru, Kayu Jayandaru, serta empat puluh bidadari
pengiring.
WASI JALADARA MEMENUHI SEMUA PERSYARATAN
Endang Bratajaya (Dewi
Sumbadra) di Gunung Rewataka menyambut kepulangan Wasi Jaladara dengan sukacita.
Di tempat itu sudah menunggu pula kakaknya yang lain, yaitu Raden Narayana beserta
Arya Udawa. Wasi Jaladara yang sudah lama tidak bertemu Raden Narayana segera
berpelukan dan saling bertanya kabar.
Raden Narayana sejak peristiwa
Sayembara Drupadi memilih pergi ke Gunung Gandamadana untuk berguru kepada Resi
Jembawan. Pada suatu malam ia bermimpi mendengar suara gaib agar mengajak putri
Resi Jembawan yang bernama Endang Jembawati untuk pergi ke Gunung Rewataka.
Raden Narayana pun melaksanakan perintah tersebut. Kini ia telah datang bersama
Endang Jembawati sekaligus bersama kedua orang tuanya, yaitu Resi Jembawan dan
Dewi Trijata.
Wasi Jaladara kagum melihat
wajah Endang Jembawati yang sangat mirip dengan Endang Bratajaya. Ia pun
berterima kasih kepada Raden Narayana karena ini berarti salah satu syarat yang
diajukan Prabu Salya dapat dipenuhi, yaitu menyediakan patah manten dua orang
gadis perawan yang berwajah kembar. Resi Jembawan berkata bahwa putrinya memang
mirip dengan Endang Bratajaya karena menurut petunjuk dewa, Endang Jembawati
adalah titisan Batari Sri Laksmi, sedangkan Endang Bratajaya adalah titisan Batari
Sri Wedawati. Keduanya adalah istri Batara Wisnu.
Kini tinggal syarat terakhir
yang belum terpenuhi, yaitu menyediakan seorang waranggana cantik yang pandai menyanyi
segala jenis lagu. Sungguh kebetulan, di luar padepokan tiba-tiba terdengar
suara wanita sedang mengamen. Wasi Jaladara segera keluar dan melihat ada
seorang waranggana cantik sedang bernyanyi diiringi empat orang wanita berwajah
jelek menabuh alat musik sederhana. Wasi Jaladara sangat senang dan bertanya
siapa nama waranggana itu. Si waranggana pun memperkenalkan dirinya bernama
Endang Werdiningsih, seorang pengamen keliling. Tanpa banyak bicara Wasi
Jaladara langsung mengajak pengamen cantik itu menjadi pengiringnya saat
upacara pernikahan nanti di Kerajaan Mandraka. Endang Werdiningsih yang tidak
lain adalah penjelmaan Raden Permadi segera menyanggupi, karena ini bisa
menjadi sarana baginya untuk mendekati Endang Bratajaya.
PERNIKAHAN WASI JALADARA DENGAN DEWI ERAWATI
Demikianlah, pada hari Buda
Manis seperti yang telah ditentukan, rombongan pengantin Wasi Jaladara pun tiba
di istana Mandraka. Prabu Salya sama sekali tidak menyangka bahwa pendeta
miskin yang diremehkannya itu ternyata mampu memenuhi persyaratan berat yang ia
ajukan. Sang permaisuri Dewi Setyawati meminta Prabu Salya untuk tunduk pada takdir
dewata. Jika memang Wasi Jaladara sudah ditakdirkan menjadi jodoh Dewi Erawati,
maka Prabu Salya selaku orang tua hanya bisa memberikan restu.
Rombongan dari Gunung Rewataka
itu tampak megah. Wasi Jaladara mengenakan busana raja pemberian Batara Indra,
duduk di atas punggung Gajah Puspadenta. Di belakangnya tampak Endang Jembawati
memegang Kayu Dewandaru, dan Endang Bratajaya memegang Kayu Jayandaru. Di
belakang mereka adalah empat puluh orang bidadari yang semuanya cantik jelita.
Kemudian menyusul Endang Werdiningsih menyanyi di sepanjang jalan diiringi empat
panakawan yang menyamar wanita. Rombongan paling belakang adalah Raden Narayana,
Raden Kurupati, Raden Bratasena, Resi Jembawan, Dewi Trijata, dan Arya Udawa.
Prabu Salya heran melihat
Raden Kurupati juga ikut serta mengiring Wasi Jaladara, padahal beberapa hari
yang lalu mereka bersaing memperebutkan Dewi Erawati. Raden Kurupati pun
menjawab bahwa dirinya telah menjadi murid Wasi Jaladara dalam bidang ilmu
gada. Raden Kurupati juga menjelaskan bahwa Wasi Jaladara sesungguhnya adalah
putra mahkota Kerajaan Mandura, yang memiliki nama asli Raden Kakrasana.
Prabu Salya terkejut dan
sangat malu karena selama ini ia memandang rendah terhadap Wasi Jaladara yang
dikiranya hanya seorang pendeta miskin biasa. Padahal, pemuda ini ternyata seorang
calon raja, putra sahabatnya yaitu Prabu Basudewa. Prabu Salya pun maju
menyambut calon menantunya itu dan memeluknya, untuk kemudian dinikahkan dengan
Dewi Erawati. Mulai hari ini Prabu Salya meminta Wasi Jaladara kembali memakai
nama Raden Kakrasana, tidak perlu lagi menyamar sebagai pendeta miskin berpakaian
compang-camping.
PENYAMARAN ENDANG WERDININGSIH TERBONGKAR
Malam itu, Endang Werdiningsih
menyusup ke dalam kamar tidur Endang Bratajaya. Mula-mula mereka hanya
bercakap-cakap, namun kemudian tangan Endang Werdiningsih berani menyentuh
kulit Endang Bratajaya. Merasa risih, Endang Bratajaya pun menghindar. Namun,
Endang Werdiningsih semakin mendekat dan mencoba memegang tubuh gadis itu.
Endang Bratajaya pun memaki dan mendorong Endang Werdiningsih ke belakang.
Endang Werdiningsih roboh dan seketika wujudnya kembali menjadi Raden Permadi.
Endang Bratajaya ketakutan ada
laki-laki menyusup ke dalam kamarnya. Ia pun menjerit minta tolong. Raden
Kakrasana segera datang dan meringkus Raden Permadi. Prabu Salya dan Raden
Narayana juga muncul. Endang Bratajaya menceritakan bahwa Endang Werdiningsih
ternyata bukan wanita asli, tetapi penjelmaan Raden Permadi yang ingin
menggodanya.
Raden Kakrasana meminta maaf
kepada Prabu Salya bahwa ia telah tertipu oleh penyamaran Raden Permadi. Ia mengaku
sama sekali tidak tahu kalau Endang Werdiningsih ternyata wanita jadi-jadian.
Itu artinya persyaratan nomor tiga tidak terpenuhi. Prabu Salya merasa bingung
memutuskan. Syarat nomor tiga yaitu menyediakan waranggana cantik ternyata
gagal dipenuhi, tetapi Raden Kakrasana sudah terlanjur menikah dengan putrinya.
Raden Narayana tersenyum
menengahi. Sejak awal ia sudah curiga bahwa Endang Werdiningsih bukan perempuan
asli, melainkan laki-laki yang sedang menyamar. Namun, syarat nomor tiga yang
diajukan Prabu Salya juga tidak jelas. Jika syarat menyediakan “patah manten”
berupa dua orang gadis perawan yang berwajah kembar jelas mudah dipahami. Akan
tetapi, syarat yang ketiga hanya menyebutkan “waranggana cantik” saja. Di situ
tidak dijelaskan apakah waranggana itu seroang wanita asli atau wanita jadi-jadian,
yang penting cantik. Itu saja.
Prabu Salya tertawa mendengar pembelaan
Raden Narayana. Endang Werdiningsih memang cantik dan pandai menyanyi, itu
sudah cukup untuk memenuhi persyaratan nomor tiga. Jika ternyata si waranggana
ini kembali ke wujud asli, apa boleh buat? Itu bukan bagian dari persyaratan.
Prabu Salya pun meminta Raden Kakrasana untuk memaafkan Pandawa nomor tiga
tersebut.
Raden Kakrasana mematuhi perintah
sang mertua. Raden Permadi dibebaskan dan pemuda itu pun meminta maaf kepada
semua orang yang ada di tempat itu.
ARYA PRAGOTA MENJEMPUT PULANG RADEN KAKRASANA
Lima hari kemudian, muncul
Arya Pragota, punggawa Kerajaan Mandura yang datang untuk menjemput pulang
Raden Kakrasana dan Raden Narayana. Arya Pragota ini adalah putra Patih
Saragupita, atau keponakan Nyai Sagopi. Ia menjelaskan bahwa Prabu Basudewa
berniat mengundurkan diri menjadi brahmana dan menyerahkan takhta Mandura
kepada Raden Kakrasana.
Prabu Salya bertanya mengapa
Raden Kakrasana menikah tapi tidak mengabari orang tua. Raden Kakrasana
menjelaskan bahwa dulu dirinya diutus Prabu Basudewa untuk mengikuti sayembara
di Kerajaan Pancala Selatan untuk memperebutkan Dewi Drupadi. Namun, dalam
sayembara itu Raden Kakrasana dikalahkan Arya Gandamana. Sejak kekalahan itu,
Raden Kakrasana bersumpah tidak akan pulang ke Mandura jika tidak bersama
dengan jodoh sejatinya. Kini ia telah menikah dengan Dewi Erawati, sehingga
sudah pantas baginya untuk pulang menghadap orang tua di istana Mandura.
Arya Pragota membenarkan hal
itu. Ia memang diutus Prabu Basudewa untuk mencari keberadaan Raden Kakrasana.
Namun, Arya Pragota tidak tahu harus mencari ke mana. Hingga akhirnya, ia pun
mendengar kabar bahwa sang pangeran mahkota telah menikah dengan putri sulung
Prabu Salya di Kerajaan Mandraka.
RADEN KAKRASANA MENJADI RAJA MANDURA
Singkat cerita, Raden
Kakrasana bersama Dewi Erawati telah tiba di istana Mandura, menghadap Prabu
Basudewa dan segenap anggota keluarga. Prabu Salya dan Dewi Setyawati ikut
mengantarkan, begitu pula Resi Jembawan, Dewi Trijata, dan yang lainnya.
Prabu Basudewa merasa bahagia
dan bangga melihat keberhasilan putranya dalam menemukan jodoh yang sejati,
serta menumpas musuh kahyangan bernama Prabu Nagaprasanta. Kini tiba baginya untuk
menyerahkan takhta kepada Raden Kakrasana. Pada hari yang dianggap baik, Raden
Kakrasana pun dilantik sebagai raja Mandura yang baru, bergelar Prabu Baladewa.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
CATATAN : Kisah perkawinan Wasi Jaladara dan Dewi Erawati ini menurut
Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun
Suryasengakala 694 yang ditandai dengan sengkalan “Muka angraras wiyat”, atau
tahun Candrasengkala 715 yang ditandai dengan sengkalan “Janma kaswareng
barakan”.
Mantuaaaaaap.......semoga...banyak teladan yg bisa kita tiru dan terapkan dlm keseharian kita.....
BalasHapusFilsafat yg mendidik
BalasHapusSekarang zaman sudah terbuka.. Informasi sudah sangat mudah di dapat.. Referensi cerita itu alangkah lebih baik lagi kalau di sandingkan dengan kitab2 mahabarata dari negri asal(india) agar ceritanya tdak saling menabrak...
BalasHapusKasihan para generasi muda yg mencintai budaya ini kebingungan menelaah mana yg di pilih cerita yg asli walau dari luar,, atau cerita yg hanya sanduran yg wktu itu informasinya terbatas tp budaya sendiri...