Kisah ini menceritakan petualangan Raden Narayana sebagai berandal
budiman yang merampok harta para pejabat korup untuk dibagi-bagikan kepada
rakyat miskin. Kisah saya sambung dengan kelahiran Raden Supala yang kelak memusuhi
Prabu Kresna, serta perkawinan Raden Narayana dengan Endang Jembawati.
Kisah ini saya olah dari sumber Mahabharata, Serat Pustakaraja Purwa, serta
blog lakon Wayang Jombor, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 05 November 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Raden Narayana |
PRABU BALADEWA MEMARAHI RADEN NARAYANA YANG SUKA MERAMPOK
Prabu Baladewa di Kerajaan Mandura
dihadap kedua adiknya, yaitu Raden Narayana dan Dewi Sumbadra, serta para
menteri dan punggawa, antara lain Patih Pragota, Arya Prabawa, dan Arya Udawa. Dalam
pertemuan itu Prabu Baladewa membicarakan tentang kekecewaannya terhadap Raden
Narayana. Akhir-akhir ini sering terdengar laporan tentang adanya begal bernama
Brandal Guwenda yang suka merampok para pejabat penarik pajak. Entah sudah
berapa banyak uang setoran untuk kas negara Mandura yang hilang direbut begal
tersebut. Namun, sungguh mengejutkan ketika Brandal Guwenda berhasil ditangkap,
ternyata ia tidak lain adalah Raden Narayana sendiri.
Prabu Baladewa marah-marah
menuduh Raden Narayana telah mengacaukan pemerintahannya dengan bertindak
sebagai begal. Raden Narayana dituduh telah merugikan negara dan pantas mendapatkan
pidana. Seorang pangeran adik raja yang seharusnya menjadi pengayom rakyat
justru menjadi pencuri dan pembuat kekacauan yang meresahkan masyarakat. Dana
pajak yang seharusnya digunakan untuk pembangunan telah direbutnya untuk
berfoya-foya sendiri.
Raden Narayana menjawab bahwa
dirinya memang telah menjadi begal, tapi sama sekali bukan untuk tujuan
berfoya-foya. Tadi ketika para prajurit Mandura datang menangkapnya, ia
pura-pura mengalah. Memang ia sengaja membiarkan dirinya tertangkap agar Prabu
Baladewa bisa bertanya langsung apa yang menjadi tujuannya dalam merampok setoran
pajak. Yang jelas ia tidak pernah merampok untuk mencari keuntungan pribadi.
Prabu Baladewa mempersilakan
adiknya itu untuk melanjutkan bicara. Raden Narayana pun berkata bahwa selama
ini ia hanya merampok para pejabat korup yang gemar menindas rakyat. Masyarakat
sama sekali tidak resah, tapi justru berterima kasih atas perbuatannya. Raden
Narayana ganti menasihati kakaknya agar menjadi raja yang bijaksana, yang mau turun
langsung ke tengah-tengah masyarakat demi mendengar keluh kesah mereka.
Alangkah baiknya Prabu Baladewa tidak hanya mengandalkan laporan dari bawahan saja.
Menurut penilaiannya, sang kakak terlalu percaya pada laporan para pejabat di
daerah tanpa pernah melihat langsung bagaimana kinerja mereka. Lain halnya
dengan Raden Narayana yang sering berkelana menyamar dan menyusup ke lapisan
bawah, sehingga telah melihat sendiri bagaimana para pejabat di daerah menarik
pajak melebihi ketentuan.
Raden Narayana berkata bahwa
yang ia rampok bukan pajak negara, tetapi harta milik rakyat jelata yang
dirampas para pejabat busuk. Para pejabat di daerah menarik pajak melebihi
ketentuan yang ditetapkan Prabu Baladewa. Sebagian harta tersebut masuk kantong
pribadi, sedangkan sebagian lagi disetorkan ke kas negara. Raden Narayana muak melihat
ulah para pejabat korup tersebut. Ia mengaku telah merampok mereka dan membagi-bagikan
harta yang mereka bawa kepada rakyat miskin. Raden Narayana merasa tidak pernah
merugikan rakyat jelata, tetapi justru melindungi mereka dari para pejabat
rakus dan kaum lintah darat.
Prabu Baladewa terkejut dan
segera bertanya kepada Patih Pragota mengapa di daerah masih banyak pejabat yang
tidak jujur dan berhati busuk. Atau jangan-jangan di pusat justru pejabat yang seperti
itu jumlahnya jauh lebih banyak lagi? Patih Pragota menjawab bahwa mereka itu adalah
para pejabat yang dulu diangkat oleh mendiang Adipati Kangsa. Saat itu pengaruh
dan kekuasaan Adipati Kangsa jauh lebih besar daripada Prabu Basudewa. Banyak
pejabat yang diangkat olehnya dan ditempatkan di lahan-lahan basah. Para
pejabat itu rata-rata bersikap rakus dan gemar menindas rakyat. Mereka juga
pandai menjilat dan mencari muka di hadapan Adipati Kangsa dengan memberikan
berbagai hadiah sogokan kepadanya.
Prabu Baladewa marah-marah
menuduh Patih Pragota tidak becus bekerja. Patih Pragota diberi waktu sepuluh
hari untuk merombak susunan kementerian dan memecat para pejabat yang korup.
Jika tidak selesai, maka Patih Pragota sendiri yang akan mendapat hukuman berat.
Patih Pragota pun menjelaskan bahwa jaringan para pejabat korup yang dulu menghamba
kepada Adipati Kangsa begitu luas. Namun, ia berjanji akan segera melakukan perombakan
dan siap untuk mempertaruhkan nyawa demi menghadapi jaringan tersebut.
Prabu Baladewa kini berterima
kasih kepada Raden Narayana yang telah mengingatkan dirinya. Mulai hari ini
Raden Narayana tidak perlu merampok lagi. Prabu Baladewa berjanji dirinya
sendiri yang akan turun ke bawah untuk mengetahui penderitaan rakyat. Berapa
besarnya pajak yang pantas ditarik akan ditinjau ulang. Tentunya, pajak yang
dibayarkan tersebut harus berdampak nyata pada pembangunan dan penciptaan rasa
aman di tengah masyarakat.
RADEN NARAYANA MENINGGALKAN ISTANA MANDURA
Prabu Baladewa kemudian
membahas tentang sang ayah, yaitu Bagawan Basudewa yang telah meninggal dunia
dan dimakamkan di Astana Gandamadana. Ia mengingatkan bahwa sebelum meninggal,
Bagawan Basudewa sempat berwasiat agar Raden Narayana segera menikah dan
berumah tangga secara baik-baik. Dengan menikah, maka akan ada wanita di sisi
Raden Narayana yang siap melayani dan mencegah dirinya berkelana tanpa tujuan.
Prabu Baladewa berkata bahwa
ia masih memiliki dua orang adik ipar, yaitu Dewi Srutikanti dan Dewi Banuwati
di Kerajaan Mandraka. Raden Narayana dipersilakan memilih salah satu dari
mereka sebagai istri, dan Prabu Baladewa siap untuk melamarkan. Raden Narayana menjawab
tidak bersedia karena kedua putri Prabu Salya tersebut bukanlah jodohnya. Ia
hanya mau menikah dengan perempuan yang benar-benar ditakdirkan menjadi
pendamping hidupnya.
Prabu Baladewa paham bahwa
Raden Narayana pasti telah jatuh cinta kepada Endang Jembawati, putri Resi
Jembawan. Dulu ketika Prabu Baladewa bertapa di Gunung Rewataka sebagai Wasi
Jaladara, Raden Narayana tinggal di Astana Gandamadana untuk berguru kepada Resi
Jembawan. Dalam kegiatan berguru tersebut, telah terjalin kisah cinta antara
Raden Narayana dengan anak perempuan gurunya. Prabu Baladewa pun mengingatkan
Raden Narayana agar mencari istri yang sederajat. Endang Jembawati hanyalah
gadis desa biasa, putri seorang juru kunci pemakaman. Akan lebih baik jika
Raden Narayana menuruti anjuran Prabu Baladewa, yaitu menikah dengan Dewi
Srutikanti atau Dewi Banuwati.
Raden Narayana tersinggung
mendengar kekasihnya dihina. Ia berkata bahwa Endang Jembawati bukanlah gadis
desa biasa, tetapi seorang wanita utama yang memiliki kepribadian luhur. Ia
juga menyebut Endang Jembawati adalah titisan Batari Srilaksmi yang lahir ke
dunia sebagai pendamping titisan Batara Wisnu. Prabu Baladewa sama sekali tidak
percaya hal itu. Mana mungkin gadis desa anak seorang pendeta wanara bisa menjadi
titisan bidadari? Ia menduga itu mungkin hanya alasan Raden Narayana saja.
Raden Narayana semakin tersinggung dan akhirnya pergi meninggalkan istana.
Dewi Sumbadra maju untuk menyabarkan
Prabu Baladewa. Ia berkata bahwa sikap kakaknya tersebut terlalu berlebihan.
Dalam urusan asmara tidak sepantasnya melihat perbedaan derajat. Lagipula Endang
Jembawati pernah berjasa menjadi pemegang Kayu Dewandaru saat pernikahan Prabu
Baladewa dengan Dewi Erawati dulu. Selain itu, Prabu Baladewa saat masih
menyamar sebagai Wasi Jaladara juga pernah diremehkan oleh Prabu Salya karena
dianggap tidak sederajat dengan Dewi Erawati. Anehnya, mengapa kini justru
Prabu Baladewa sendiri yang bersikap seperti Prabu Salya, yaitu memandang
Endang Jembawati tidak sederajat dengan Raden Narayana?
Mendengar penuturan adik
bungsunya, Prabu Baladewa pun tertegun merasa telah berbuat khilaf. Dewi
Sumbadra dan Arya Udawa segera diperintahkan untuk merayu dan mengajak pulang
Raden Narayana. Prabu Baladewa berjanji akan merestui pernikahan Raden Narayana
dengan Endang Jembawati. Dewi Sumbadra dan Arya Udawa pun mohon pamit melaksanakan
tugas.
Prabu Baladewa lalu
membubarkan pertemuan. Patih Pragota dan Arya Prabawa diperintahkan untuk
segera merombak dewan kementrian dan para pejabat Kerajaan Mandura dari sisa-sisa
pengikut Adpati Kangsa yang korup. Patih Pragota dan Arya Prabawa pun menjawab siap
melaksanakan tugas.
RADEN NARAYANA KEMBALI MENJADI BEGAL
Sementara itu, Raden Narayana
yang telah berjalan meninggalkan Kerajaan Mandura dapat disusul oleh Dewi
Sumbadra dan Arya Udawa. Mereka berdua mengabarkan bahwa Prabu Baladewa telah
luluh amarahnya dan kini meminta Raden Narayana untuk pulang ke istana. Prabu
Baladewa berjanji akan membantu menikahkan Raden Narayana dengan Endang
Jembawati. Namun, Raden Narayana menolak. Ia bersedia pulang ke Mandura apabila
sudah berhasil menikahi Endang Jembawati dengan usahanya sendiri.
Dewi Sumbadra dan Arya Udawa
yang ditugasi Prabu Baladewa untuk membawa pulang Raden Narayana akhirnya
memutuskan untuk menemani perjalanannya menuju Astana Gandamadana. Tiba-tiba di
tengah jalan mereka melihat rombongan laki-laki dan perempuan membawa perbekalan
seperti sedang mengungsi. Raden Narayana menanyai orang-orang itu yang ternyata
bukan penduduk Mandura, melainkan pengungsi dari Kerajaan Cedi.
Para pengungsi itu bercerita
bahwa raja mereka yang bernama Prabu Darmagosa telah bertindak sewenang-wenang,
yaitu menaikkan pajak yang mencekik. Jika rakyat tidak mampu membayar, maka
para prajurit istana boleh menyiksa mereka sampai mati. Merasa tidak tahan,
para penduduk itu pun mengungsi ke negara lain, yang salah satunya adalah
Kerajaan Mandura.
Raden Narayana berkata bahwa
apa yang terjadi di Kerajaan Cedi ternyata sama persis dengan di Kerajaan
Mandura. Bedanya, jika di Kerajaan Cedi, Prabu Darmagosa sendiri yang menindas
rakyatnya, maka di Kerajaan Mandura, Prabu Baladewa tidak tahu-menahu jika di
lapisan bawah terdapat banyak pejabat korup sisa-sisa pengikut Adipati Kangsa.
Raden Narayana memutuskan pergi
ke Kerajaan Cedi untuk memberi pelajaran kepada para penindas rakyat di sana.
Dewi Sumbadra dan Arya Udawa bertanya mengapa harus ikut campur urusan negara
lain. Raden Narayana menjawab bahwa ini bukan soal ikut campur, tapi ini soal
perlindungan terhadap rakyat Mandura. Jika penduduk Cedi semakin banyak yang
mengungsi ke Mandura maka akan timbul permasalahan baru. Adat budaya yang
berbeda serta ketersediaan bahan pangan bisa menjadi hal-hal yang merugikan
bagi rakyat Mandura asli. Sebaliknya, menolak para pengungsi yang memohon
perlindungan juga bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Oleh sebab itu, Raden
Narayana pun berniat pergi ke Kerajaan Cedi untuk memberikan pelajaran kepada
Prabu Darmagosa agar memperbaiki pemerintahannya.
Demikianlah, Raden Narayana,
Arya Udawa, dan Dewi Sumbadra bersama-sama pergi ke Kerajaan Cedi. Sesampainya
di sana mereka melihat rombongan tentara mengangkut bahan makanan dan harta
benda yang baru saja mereka rampas dari rakyat jelata. Rombongan tersebut
dipimpin langsung oleh Patih Kridajaya. Raden Narayana dan Arya Udawa segera
memakai cadar dan menghadang rombongan itu. Rombongan tersebut berhenti dan Patih
Kridajaya pun bertanya siapa mereka. Raden Narayana mengaku bernama Brandal Guwenda
yang ingin meminta harta benda yang diangkut oleh pasukan tersebut. Para
prajurit Cedi itu tertawa karena ada dua orang begal berani menantang satu
pasukan istana. Patih Kridajaya pun memerintahkan para prajuritnya untuk maju menghabisi
dua begal tersebut.
Pertempuran terjadi. Banyak
prajurit Cedi yang tewas di tangan Raden Narayana dan Arya Udawa. Hanya tinggal
Patih Kridajaya saja yang tersisa. Tiba-tiba ia melihat Dewi Sumbadra di
kejauhan dan segera melesat untuk menyambar gadis tersebut. Dewi Sumbadra pun
dibawa lari oleh Patih Kridajaya untuk dijadikan sebagai tawanan. Raden
Narayana segera mengejar dan meminta Arya Udawa tetap tinggal untuk
membagi-bagikan harta benda yang diangkut para prajurit tadi kepada rakyat yang
menderita.
RADEN NARAYANA MERUWAT BAYI SUPALA
Patih Kridajaya membawa Dewi
Sumbadra masuk ke dalam istana untuk dihadapkan kepada Prabu Darmagosa. Saat
itu Prabu Darmagosa sedang duduk bersama istrinya yang bernama Dewi Srutawati,
sambil memangku putra mereka yang masih bayi, bernama Raden Supala.
Patih Kridajaya melapor bahwa
para prajurit yang ditugasi menarik pajak dari rakyat telah ditumpas oleh
kawanan begal bercadar, yang pemimpinnya bernama Brandal Guwenda. Namun, Patih
Kridajaya berhasil menangkap dan membawa seorang gadis cantik yang diduga
sebagai anggota kawanan begal tersebut. Prabu Darmagosa bertanya berapa jumlah
begal yang telah menghabisi prajuritnya. Patih Kridajaya menjawab hanya dua
orang saja. Prabu Darmagosa pun marah-marah dan memaki Patih Kridajaya tidak
becus bekerja. Hanya melawan dua orang saja tidak mampu hingga kehilangan
banyak prajurit.
Pada saat itulah Raden
Narayana datang dan meminta Dewi Sumbadra dikembalikan. Seketika Prabu
Darmagosa terperanjat melihat wujud Raden Narayana yang hitam legam, atau istilahnya
hitam cemani. Sikap Prabu Darmagosa yang kasar pun berubah menjadi lunak dan penuh
sopan santun saat menghadapi pemuda tersebut.
Prabu Darmagosa memerintahkan
Patih Kridajaya untuk membebaskan Dewi Sumbadra. Setelah itu, ia meminta Raden
Narayana menggendong bayi Raden Supala. Raden Narayana pun menerima bayi
tersebut dan terkejut melihat wujudnya. Bayi Raden Supala ini memiliki mata
tiga, lengan tiga, dan kaki tiga. Prabu Darmagosa berkata bahwa putranya memang
terlahir cacat. Itulah sebabnya ia menjadi kalap dan menindas rakyat Cedi
sebagai pelampiasan. Namun, tadi malam ia bermimpi mendapat petunjuk dewa bahwa
akan datang seorang pemuda berkulit hitam cemani yang bisa meruwat Raden Supala
menjadi normal.
Raden Narayana prihatin
mendengar permasalahan Prabu Darmagosa yang memiliki putra cacat. Ia pun
mengheningkan cipta sambil memangku Raden Supala. Seketika mata ketiga, lengan
ketiga, dan kaki ketiga pada bayi itu lepas dan jatuh ke lantai. Tidak hanya
itu, si bayi tiba-tiba berubah menjadi dewasa dalam waktu singkat. Kini Raden
Supala telah menjadi seorang pemuda gagah perkasa dan berwujud normal.
Prabu Darmagosa dan Dewi
Srutawati terkesan dan sangat gembira. Namun, tiba-tiba Prabu Darmagosa
menghunus pedang hendak menebas leher Raden Narayana. Anehnya, ketika pedang
tersebut hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba tubuh Prabu Darmagosa gemetar dan
ia pun jatuh lemas di atas lantai. Melihat itu, Raden Supala dan Patih
Kridajaya segera ikut menyerang Raden Narayana. Namun, mereka berdua juga jatuh
lemas kehilangan daya menghadapi kesaktian Raden Narayana. Dewi Srutawati
buru-buru ikut berlutut memohon Raden Narayana agar mengampuni mereka bertiga.
Raden Narayana bertanya
mengapa Prabu Darmagosa ingin membunuhnya, padahal ia telah membantu meruwat
Raden Supala. Prabu Darmagosa menjawab bahwa tadi malam ia bermimpi mendapat
petunjuk dewa bahwa akan datang seorang pemuda berkulit hitam cemani yang mampu
meruwat putranya menjadi manusia normal. Akan tetapi, kelak putranya akan tewas
di tangan pemuda hitam ini. Itulah sebabnya, Prabu Darmagosa berniat membunuh
Raden Narayana, yaitu dengan maksud ingin menggagalkan ramalan dewata tersebut.
Raden Narayana berkata jika ia
mau, maka hari ini juga ia dapat menghabisi Prabu Darmagosa sekeluarga. Namun, jika
Prabu Darmagosa mati lantas siapa yang akan menebus dosa kepada rakyat Cedi?
Oleh sebab itu, Raden Narayana pun bersedia mengampuni Prabu Darmagosa.
Mengenai nasib Raden Supala, ia berjanji tidak akan membunuhnya tanpa sebab
yang jelas. Dewi Srutawati sebagai ibu pun memohon agar Raden Narayana bersedia
mengampuni putranya meskipun berbuat kesalahan besar. Raden Narayana mengabulkan
permohonan tersebut. Ia pun berjanji akan selalu memaafkan Raden Supala apabila
kelak berbuat salah kepadanya, tetapi hanya sampai batas seratus kali saja.
Jika Raden Supala berbuat salah melebihi seratus kali, maka Raden Narayana terpaksa
menghabisi nyawanya. Dewi Srutawati pun menerima syarat tersebut.
Raden Narayana kemudian
membebaskan Prabu Darmagosa, Raden Supala, dan Patih Kridajaya sehingga mereka
mampu berdiri kembali. Prabu Darmagosa berjanji akan menebus dosa-dosanya
kepada rakyat dan tidak akan menindas mereka lagi. Jika sampai ia melanggar
janji, maka Raden Narayana boleh mengambil nyawanya sewaktu-waktu. Selain itu,
ia juga memohon Raden Narayana agar sudi tinggal di istana Cedi untuk menjadi guru
pembimbing bagi Raden Supala. Ia ingin putranya itu menjadi manusia yang baik,
sehingga tidak mungkin berbuat salah kepada Raden Narayana.
Raden Narayana bersedia
menjadi pembimbing Raden Supala. Namun, ia masih ada urusan penting di Gunung
Gandamadana. Kelak setelah urusan tersebut selesai, maka ia akan kembali lagi
untuk membimbing Raden Supala barang satu atau dua bulan.
Setelah dirasa cukup, Raden
Narayana dan Dewi Sumbadra pun mohon pamit meninggalkan istana Cedi. Prabu
Darmagosa sekeluarga melepas kepergian mereka.
RADEN NARAYANA BERTEMU RADEN PERMADI DAN RADEN SETYAKI
Raden Narayana, Dewi Sumbadra,
dan Arya Udawa kembali melanjutkan perjalanan menuju Gunung Gandamadana. Di
tengah jalan mereka bertemu sang panengah Pandawa, yaitu Raden Permadi bersama
para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Ikut pula bersama
mereka Raden Setyaki, putra Prabu Setyajit dari Kerajaan Lesanpura.
Raden Narayana dan Raden
Permadi pun saling bertanya kabar. Raden Permadi sendiri sedang mendapat tugas untuk
membimbing Raden Setyaki yang baru lahir dan tiba-tiba langsung berubah dewasa sekitar
satu bulan yang lalu. Raden Setyaki ini memiliki bakat kesaktian alami,
mengingat dirinya adalah titisan Prabu Yuyudana, Prabu Tambakyuda, dan Patih
Singamulangjaya. Oleh sebab itu, Prabu Setyajit menugasi Raden Permadi untuk
membimbing putranya tersebut agar dapat mengendalikan kesaktiannya dengan baik,
sehingga tidak salah jalan. Selama satu bulan ini Raden Arjuna telah
mengajarkan cara samadi yang benar, cara mengendalikan kekuatan, ilmu keprajuritan,
dan ilmu mengatur siasat perang. Selain itu, Kyai Semar juga banyak memberikan
nasihat dan petuah luhur kepada Raden Setyaki. Setelah satu bulan berlalu, Raden
Permadi pun meminta izin kepada Prabu Setyajit untuk mengajak Raden Setyaki
berkelana, berguru pada pengalaman.
Raden Narayana memuji Raden
Permadi yang telah berhasil menjadi guru yang baik, meskipun usianya masih
muda. Ia bercerita bahwa dirinya juga memiliki calon murid bernama Raden Supala
di Kerajaan Cedi. Mendengar itu, Arya Udawa bergurau menanggapi kira-kira murid
siapa yang kelak menjadi manusia baik, apakah murid Raden Narayana, ataukah
murid Raden Permadi?
Raden Narayana tidak mau
berpanjang lebar. Ia berniat melanjutkan perjalanan ke Gunung Gandamadana untuk
melamar kekasihnya, yaitu Endang Jembawati putri Resi Jembawan. Raden Permadi
mohon izin ikut serta, sekaligus untuk mencarikan pengalaman bagi Raden
Setyaki. Raden Narayana mempersilakan dengan senang hati. Mereka lalu berangkat
bersama-sama.
ENDANG JEMBAWATI DICULIK ORANG
Rombongan Raden Narayana telah
sampai di Gunung Gandamadana. Mereka heran melihat Resi Jembawan dan Dewi
Trijata sedang bertangis-tangisan. Setelah ditanya, kedua suami-istri itu pun
menjawab bahwa putri mereka, yaitu Endang Jembawati telah hilang diculik orang.
Resi Jembawan bercerita
kemarin telah datang seorang raja bernama Prabu Wahudaya dari Kerajaan
Sriwedari yang ingin melamar Endang Jembawati sebagai istrinya. Resi Jembawan
yang mengetahui bahwa putrinya telah jatuh cinta kepada Raden Narayana segera
menolak lamaran tersebut. Prabu Wahudaya membujuk dengan memamerkan harta benda
dan emas permata, namun Resi Jembawan tetap teguh pendirian. Ia hanya ingin
menikahkan Endang Jembawati dengan kekasihnya seorang, yaitu Raden Narayana.
Prabu Wahudaya marah dan memukul Resi Jembawan secara tiba-tiba. Resi Jembawan
yang sudah sangat tua kurang waspada, sehingga ia jatuh pingsan oleh pukulan
tersebut.
Ketika Resi Jembawan siuman,
ia melihat istrinya menangis dan bercerita bahwa Prabu Wahudaya telah merebut
paksa Endang Jembawati dan membawanya kabur. Resi Jembawan berusaha mengejar
tetapi sia-sia. Prabu Wahudaya kini telah pergi jauh meninggalkan Gunung Gandamadana.
Raden Narayana terharu
mendengar penuturan Resi Jembawan yang berusaha mempertahankan Endang Jembawati
demi dirinya. Ia pun bersumpah akan merebut kembali Endang Jembawati dan
menjadikannya sebagai istri. Kyai Semar kebetulan pernah pergi ke Kerajaan
Sriwedari yang terletak di tanah seberang. Negeri tersebut dipimpin oleh
keturunan Prabu Arjuna Sasrabahu yang merupakan titisan Batara Wisnu di zaman
kuno.
Kyai Semar bercerita, Prabu
Arjuna Sasrabahu memiliki putra bernama Prabu Rurya. Prabu Rurya digantikan
putranya yang bernama Prabu Partawirya. Prabu Partawirya inilah yang
memindahkan Kerajaan Mahespati ke Sriwedari. Kemudian Prabu Partawirya
digantikan putranya yang bernama Prabu Partanadi. Prabu Partanadi digantikan
putranya yang bernama Prabu Sandela. Kemudian Prabu Sandela digantikan putranya
yang bernama Prabu Partawijaya. Prabu Partawijaya ini memindahkan Kerajaan Sriwedari
ke Gujulaha. Ia tidak lain adalah mertua Batara Sakri, yaitu leluhur para
Pandawa.
Prabu Partawijaya kemudian meninggal
dan digantikan putra bungsunya, yang bergelar Prabu Partana. Pusat kerajaan
kembali dipindah ke Sriwedari, karena istana Gujulaha hancur diserang Prabu
Bahlikasura dari Siwandapura. Prabu Partana kemudian digantikan putranya yang
bergelar Prabu Partayadnya. Kemudian Prabu Partayadnya digantikan putranya yang
bergelar Prabu Dasabahu. Pada zaman pemerintahan Prabu Dasabahu inilah Kyai
Semar pernah pergi ke Kerajaan Sriwedari untuk menemani ayah para Pandawa
semasa muda, yaitu Raden Pandu Dewayana. Saat itu Kerajaan Sriwedari diserang
wabah penyakit yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus. Prabu Dasabahu
mendapat wangsit bahwa wabah tersebut akan reda apabila dipasangi tumbal oleh
putra kedua raja Hastina yang kala itu masih dijabat Prabu Kresna Dwipayana.
Kyai Semar menduga Prabu
Wahudaya ini adalah putra Prabu Dasabahu. Saat Kyai Semar mengunjungi Kerajaan
Sriwedari kala itu, Prabu Dasabahu telah ditinggal mati istrinya yang bernama
Dewi Panitra. Justru Dewi Panitra itulah yang menjadi roh penasaran dan
mengganggu rakyat Sriwedari. Kyai Semar menduga Prabu Dasabahu pasti menikah
lagi setelah negerinya tenang, dan dari perkawinan kedua itulah lahir Prabu
Wahudaya.
Raden Narayana berterima kasih
atas petunjuk Kyai Semar. Ia lalu berkata pada Raden Permadi bahwa dirinya akan
berperang melawan Prabu Wahudaya yang terhitung masih kerabat keluarga
Saptaarga. Raden Permadi tidak keberatan, bahkan dirinya siap membantu untuk
menggempur Kerajaan Sriwedari. Raden Narayana gembira lalu ia pun mohon pamit
kepada Resi Jembawan dan Dewi Trijata, sambil menitipkan Dewi Sumbadra agar
tetap menunggu di Astana Gandamadana.
Setelah persiapan cukup, Raden
Narayana pun berangkat ditemani Raden Permadi, Raden Setyaki, dan Arya Udawa
dengan Kyai Semar sebagai penunjuk arah.
RADEN NARAYANA MENYAMAR SEBAGAI SINGA YANG BISA BERBICARA
Rombongan Raden Narayana telah
sampai di Kerajaan Sriwedari dan menyusup masuk ke dalam istana. Raden Narayana
berniat ingin menyelidiki isi hati Endang Jembawati terlebih dulu. Jika memang
Endang Jembawati telah mengkhianati cintanya, maka tiada guna ia bersusah payah
melabrak Prabu Wahudaya.
Demikianlah, Raden Narayana
lalu mengheningkan cipta dan seketika wujudnya berubah menjadi seekor singa
berambut lebat. Dengan cekatan ia melompat masuk melewati tembok dan seketika
telah masuk ke dalam sebuah taman yang sangat indah. Taman inilah yang terkenal
dengan sebutan Taman Sriwedari.
Dahulu kala Prabu Arjuna
Sasrabahu raja Mahespati menikah dengan Dewi Citrawati putri Kerajaan Manggada.
Sang permaisuri meminta agar Taman Sriwedari yang terletak di Gunung Utarayana
dipindahkan ke dekat istana Mahespati tanpa ada daun dan bunganya yang rontok.
Permintaan sulit itu akhirnya bisa diwujudkan oleh sepupu Prabu Arjuna
Sasrabahu yang bernama Bambang Sumantri, dengan bantuan adiknya yang buruk
rupa, bernama Bambang Sukasrana. Kisah tersebut telah menjadi legenda tentang
pengorbanan Bambang Sukasrana demi kakaknya meraih kejayaan.
Singa penjelmaan Raden
Narayana sempat terkesima menyaksikan keindahan Taman Sriwedari. Tiba-tiba
terdengar jeritan para dayang istana dan sesaat kemudian para prajurit berdatangan
menyerang dirinya. Sang singa pun mengamuk membunuh banyak prajurit. Sebagian dari
mereka kocar-kacir mencari selamat.
ENDANG JEMBAWATI MENGUTARAKAN ISI HATINYA
Di dalam taman itu sang singa
bertemu Endang Jembawati yang tidak takut sedikit pun, bahkan menghampirinya
dengan tenang. Sang singa mengaum dan mengeram menunjukkan taringnya yang
tajam, tapi Endang Jembawati tetap melangkah tanpa takut. Endang Jembawati
berkata dirinya justru ingin mati saat ini juga diterkam singa tersebut.
Singa itu pun bertanya mengapa
gadis cantik jelita calon istri Prabu Wahudaya ingin mati? Endang Jembawati
terkejut ada singa bisa berbicara. Ia pun menjawab bahwa dirinya lebih baik
mati daripada menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Sang singa pun
bertanya siapa laki-laki yang mengisi hati Endang Jembawati itu. Endang
Jembawati malu untuk berterus terang. Sang singa mendesaknya. Ia berkata lebih
baik Endang Jembawati mengutarakan isi hatinya agar lega sebelum mati menjadi
mangsanya.
Endang Jembawati menjawab bahwa
laki-laki yang ia cintai adalah Raden Narayana yang pernah berguru kepada
ayahnya di Gunung Gandamadana. Sang singa berkata bahwa dirinya pernah
mendengar sepak terjang Raden Narayana yang berandalan, suka merampok, mencuri,
berzinah, mabuk-mabukan, dan segala perbuatan jahat lainnya. Endang Jembawati
menjawab dirinya juga pernah mendengar hal itu. Namun, ia mengenal dengan baik
siapa itu Raden Narayana. Jika merampok dan mencuri, hasilnya diserahkan semua
kepada rakyat jelata tanpa kecuali. Raden Narayana sebenarnya tidak merampok,
tetapi merebut kembali harta milik rakyat yang dirampas para pejabat korup.
Apabila Raden Narayana berzinah dan mabuk-mabukan, itu pun bukan untuk menuruti
hawa nafsu, tetapi justru untuk mengendalikan hawa nafsu sampai pada titik
jenuh demi untuk mencapai pencerahan rohani. Mungkin hal ini terdengar aneh
bagi masyarakat umum, namun Endang Jembawati menghormati keyakinan yang dianut
Raden Narayana.
Sang singa berkata bahwa
Endang Jembawati memang lebih baik mati daripada menjadi istri Raden Narayana
yang suka mengumbar nafsu seperti itu. Raden Narayana adalah orang sesat yang
kelak pasti masuk neraka. Endang Jembawati tentu akan menderita apabila menjadi
istrinya kelak. Endang Jembawati menjawab dirinya tidak pernah meragukan Raden
Narayana. Baginya, Raden Narayana tidak pernah mengumbar nafsu, tetapi justru sedang
berusaha mencapai pencerahan. Endang Jembawati yakin tidak lama lagi Raden
Narayana pasti akan mencapai tingkatan itu dan menjadi manusia yang arif
bijaksana.
Endang Jembawati menjelaskan
bahwa jalan menuju pencerahan itu bermacam-macam. Siapa yang melakukan dengan
sungguh-sungguh dengan tujuan mendekatkan diri kepada Yang Mahakuasa, tentu
akan mendapatkan jalan kebenaran. Tidak sepantasnya manusia memaksakan satu
keyakinan sambil menghina keyakinan yang dianut manusia lainnya. Alangkah
baiknya setiap manusia saling menghormati antara jalan yang satu dengan yang
lainnya, dan tidak saling menuduh sesat. Apabila Raden Narayana dianggap
sebagai penjahat yang mengacaukan tatanan masyarakat, maka biarlah aparat
penegak hukum saja yang menjatuhkan pidana kepadanya. Masyarakat awam tidak
perlu ikut main hakim sendiri.
Endang Jembawati telah
mengutarakan isi hatinya. Sekarang ia pasrah jika sang singa hendak
memangsanya. Ia akan membawa cintanya kepada Raden Narayana menuju alam baka.
Sang singa gemetar meneteskan air mata. Seketika itu ia pun berubah wujud,
kembali menjadi Raden Narayana. Endang Jembawati langsung lemas dan hampir saja
jatuh pingsan karena sang kekasih tiba-tiba muncul di hadapannya. Raden
Narayana segera memeluknya sambil berkata bahwa ia kini mendapat pencerahan justru
berkat keikhlasan hati Endang Jembawati kepadanya. Raden Narayana pun bersumpah
setelah menikah dengan Endang Jembawati, ia akan berhenti melakukan segala bentuk
perbuatan ma lima, baik itu mencuri, merampok, berjudi, berzinah, atau mabuk-mabukan.
KEMATIAN PRABU WAHUDAYA
Tiba-tiba kebahagiaan pasangan
kekasih itu terganggu oleh munculnya Prabu Wahudaya. Dengan penuh amarah, Prabu
Wahudaya mengamuk menyerang Raden Narayana. Pertarungan pun terjadi di antara
mereka. Raden Narayana lari ke luar agar tidak merusak keindahan taman. Di luar
ternyata telah terjadi pertempuran pula antara Raden Permadi, Raden Setyaki,
dan Arya Udawa melawan para prajurit Sriwedari. Pertempuran itu akhirnya
berhenti ketika Raden Narayana berhasil membunuh Prabu Wahudaya.
Tidak lama kemudian muncul
seorang pendeta yang menggendong bayi kecil. Pendeta itu bernama Resi
Jayakusuma, yang langsung terkejut melihat Raden Permadi dan segera
memanggilnya sebagai Raden Pandu Dewayana. Kyai Semar segera menjelaskan bahwa
pemuda tampan yang ada di dekatnya ini bukan Raden Pandu Dewayana, melainkan putranya
yang bernama Raden Permadi. Adapun Raden Pandu telah meninggal dunia setelah
sempat menjadi raja Hastina. Resi Jayakusuma menangis mengetahui Prabu Pandu
telah wafat. Adapun Resi Jayakusuma ini dulunya menjabat sebagai patih pada
masa pemerintahan Prabu Dasabahu.
Resi Jayakusuma bercerita
bahwa Prabu Wahudaya sebenarnya tidak sungguh-sungguh ingin menikahi Endang
Jembawati. Beberapa waktu yang lalu, istri Prabu Wahudaya meninggal dunia
setelah melahirkan. Prabu Wahudaya sangat sedih dan kehilangan gairah hidup. Ia
ingin sekali mati menyusul istrinya, namun enggan memilih cara nista. Prabu
Wahudaya tiba-tiba teringat dirinya adalah keturunan Prabu Arjuna Sasrabahu
yang merupakan titisan Batara Wisnu di zaman kuno. Alangkah bahagia jika
ternyata ia bisa mati di tangan titisan Batara Wisnu di zaman sekarang. Dewata
pun memberikan petunjuk bahwa Batara Wisnu telah menitis kepada Raden Narayana
dari Kerajaan Mandura. Untuk itu, Prabu Wahudaya hendaknya menculik kekasih
Raden Narayana yang bernama Endang Jembawati di Gunung Gandamadana karena ini
bisa menjadi penyebab kematiannya.
Raden Narayana terharu
mendengar penuturan Resi Jayakusuma. Ia lalu bertanya siapakah bayi yang
digendong pendeta tersebut. Resi Jayakusuma menjawab bayi ini adalah putra
Prabu Wahudaya yang ditinggal mati ibunya saat melahirkan tersebut. Prabu
Wahudaya telah memberi nama putranya ini Raden Arjunapati, sesuai nama
leluhurnya, yaitu Prabu Arjuna Sasrabahu.
Kyai Semar berkata sungguh
kebetulan putra Prabu Wahudaya bernama Raden Arjunapati, karena Raden Permadi
putra Prabu Pandu yang hadir hari ini juga memiliki nama asli Raden Arjuna.
Resi Jayakusuma gembira mendengarnya. Melihat bayi itu, Raden Narayana terharu.
Ia pun meminta Resi Jayakusuma agar merawat bayi tersebut dengan baik. Kelak
setelah Raden Arjunapati dewasa, Raden Narayana bersedia menjadi gurunya. Resi
Jayakusuma bersyukur dan sangat bangga apabila anak asuhnya ini bisa menjadi
murid titisan Batara Wisnu.
PERNIKAHAN RADEN NARAYANA DAN ENDANG JEMBAWATI
Raden Narayana telah membawa
pulang Endang Jembawati ke Gunung Gandamadana. Resi Jembawan, Dewi Trijata, dan
Dewi Sumbadra menyambut mereka dengan perasaan haru bahagia.
Maka, pada hari yang dianggap
baik, dilaksanakanlah upacara pernikahan antara Raden Narayana dan Endang Jembawati.
Upacara ini sangat sederhana dan ala kadarnya. Tidak lupa Raden Narayana dan
Endang Jembawati pun berdoa di depan makam para leluhur yang berjajar di Astana
Gandamadana tersebut, yaitu Prabu Kuntiboja, Dewi Bandondari, Prabu Basudewa,
dan Dewi Dewaki. Mereka berdoa semoga kakek, nenek, ayah, dan ibu yang
dimakamkan di situ mendapat kebahagiaan di alam baka.
Tidak lama kemudian muncullah
Prabu Baladewa dan Patih Pragota. Prabu Baladewa gelisah menunggu Raden
Narayana tak kunjung pulang, serta Dewi Sumbadra dan Arya Udawa yang ditugasi
untuk menjemput pun tak kunjung kembali. Prabu Baladewa memutuskan untuk
menyusul dan hatinya bahagia melihat sang adik telah resmi menikah dengan
kekasih pilihan hatinya.
Raden Narayana dan Prabu
Baladewa pun saling berpelukan, bermaaf-maafan. Raden Narayana telah
mendapatkan pencerahan berkat penuturan Endang Jembawati saat disekap dalam
Taman Sriwedari. Kini ia berjanji tidak akan melakukan segala perbuatan keji lagi.
Prabu Baladewa terharu dan mengajaknya pulang ke istana Mandura. Namun, Raden
Narayana menolak. Ia meminta sang kakak harus tetap menegakkan hukum untuknya
yang telah melakukan perampokan terhadap pejabat negara.
Prabu Baladewa berkata Raden
Narayana tidak perlu dihukum karena perampokan tersebut bertujuan untuk
menghukum para pejabat korup. Para pejabat itu kini telah dipecat dan mendapat hukuman
setimpal berkat kerja cepat Patih Pragota. Raden Narayana senang mendengarnya.
Namun, Prabu Baladewa tidak boleh pilih kasih. Janganlah karena adik seorang
raja, dirinya lantas menjadi sosok yang kebal hukum.
Prabu Baladewa merasa bimbang.
Akhirnya dengan berat hati ia pun memutuskan untuk menghukum buang Raden Narayana
ke Hutan Banjarpatoman. Di hutan itu silakan Raden Narayana membangun tempat
tinggal untuk hidup berumah tangga dengan Endang Jembawati. Raden Narayana
menerima keputusan tersebut.
Maka, pada hari yang
ditentukan, Raden Narayana dan Endang Jembawati pun mohon pamit kepada Resi
Jembawan sekeluarga untuk mulai tinggal di Hutan Banjarpatoman. Meskipun ini
adalah hukuman buang, namun mereka menjalaninya dengan ikhlas dan penuh
kebahagiaan.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
CATATAN : Kisah perkawinan Raden Narayana dan Endang Jembawati menurut
Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Pustakaraja Purwa terjadi pada tahun
Suryasengakala 694 yang ditandai dengan sengkalan “Muka angraras wiyat”, atau
tahun Candrasengkala 715 yang ditandai dengan sengkalan “Janma kaswareng
barakan”. Sementara itu, kisah Raden Supala berguru kepada Raden Narayana,
serta Raden Setyaki berguru kepada Raden Arjuna saya ambil dari kitab
Mahabharata.
Untuk kisah Raden Pandu mengunjungi Kerajaan Sriwedari bisa klik di sini
Untuk kisah Endang Jembawati berperan dalam perkawinan Prabu Baladewa bisa klik di sini
Untuk kisah Raden Pandu mengunjungi Kerajaan Sriwedari bisa klik di sini
Untuk kisah Endang Jembawati berperan dalam perkawinan Prabu Baladewa bisa klik di sini
ikutan nyemak kang. kisah narayana.
BalasHapuskalok dalam pakelirane ki dalang manteb, dewi sumbadra rara item orangnya mbranyak sekali ya kang. kalo divisualisasikan kayaknya keren ini tokoh adine narayana
BalasHapusApa bisa di ganti pakai B.jawa
BalasHapusCeritanya bagus sekali, coba liat juga nih Apakah Mobil Terbakar Ditanggung Asuransi?
BalasHapus