Kisah ini menceritakan kelahiran Raden Lesmana Mandrakumara, yaitu
putra Prabu Duryudana yang diselundupkan Raden Arjuna ke dalam Kerajaan Hastina
kepada Dewi Banuwati. Adapun bayi yang dilahirkan Dewi Banuwati sebenarnya
berkelamin perempuan, dan oleh Raden Arjuna dititipkan kepada istrinya yang
bernama Endang Manuhara, untuk diasuh dan diberi nama Endang Pregiwati, serta
dipersaudarakan dengan Endang Pregiwa yang lebih dulu lahir.
Kelak Raden Lesmana Mandrakumara menjadi musuh para putra Pandawa,
terutama Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca.
Kisah ini saya olah dari hasil diskusi dengan Ki Rudy Wiratama, dengan
pengembangan seperlunya.
Kediri, 06 Februari 2017
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Wujud Raden Lesmana Mandrakumara setelah dewasa. |
PRABU DURYUDANA MENCURIGAI KEHAMILAN DEWI BANUWATI
Prabu Duryudana di Kerajaan
Hastina dihadap para menteri dan punggawa, sedang membicarakan kehamilan sang permaisuri
Dewi Banuwati, yang saat ini sudah mencapai usia sembilan bulan. Namun
sejujurnya, Prabu Duryudana merasa ada yang mengganjal dalam hati tentang
kehamilan istrinya itu.
Patih Sangkuni yakin arah pembicaraan
Prabu Duryudana pasti menjurus ke masalah pribadi. Ia merasa tidak pantas jika persoalan
aib rumah tangga sang raja sampai didengar oleh banyak orang. Untuk itu, Patih
Sangkuni segera membubarkan para menteri dan punggawa lainnya agar mereka segera
keluar meninggalkan balai penghadapan. Kini yang tertinggal hanyalah orang-orang
kepercayaan Prabu Duryudana saja yang masih menghadap, yaitu Resi Druna,
Adipati Karna, Patih Sangkuni, dan Raden Kartawarma.
Prabu Duryudana pun
melanjutkan pembicaraan. Sejak awal menikah ia sudah mendengar desas-desus
tentang hubungan asmara antara Dewi Banuwati dengan Raden Arjuna. Desas-desus
ini semakin diperkuat dengan permintaan aneh Dewi Banuwati, yaitu ingin
dicarikan juru rias pengantin yang tampan sempurna tanpa cacat. Siapa lagi yang
dimaksud kalau bukan Raden Arjuna si Panengah Pandawa itu?
Prabu Duryudana juga pernah
mendengar cerita bagaimana caranya membedakan wanita yang masih perawan atau
tidak. Wanita jika masih perawan pasti mengeluarkan darah saat bersetubuh pertama
kali. Padahal, saat malam pertama perkawinan mereka, ternyata darah tersebut
tidak keluar dari kemaluan Dewi Banuwati. Hal ini membuat Prabu Duryudana curiga
jangan-jangan istrinya itu memang pernah berbuat zina dengan Raden Arjuna
sebelum menikah dengannya. Itulah sebabnya, ia pun ragu apakah bayi yang
dikandung Dewi Banuwati kali ini benar-benar anaknya atau bukan.
Resi Druna menasihati Prabu
Duryudana agar jangan mudah menuduh istri berbuat zina jika tidak memiliki
bukti yang cukup. Tuduhan yang keliru hanya akan merusak keharmonisan rumah
tangga belaka. Tidak hanya itu, menuduh Dewi Banuwati tanpa bukti juga akan
merusak hubungan baik antara Kerajaan Hastina dengan Kerajaan Mandraka. Maka,
Prabu Duryudana sebaiknya tidak buru-buru mencurigai istri hanya karena tidak mengeluarkan
darah di malam pertama.
Adipati Karna membenarkan
ucapan Resi Druna. Soal mengeluarkan darah atau tidak itu tidak boleh digunakan
sebagai acuan. Setiap perempuan memiliki riwayat tubuh yang berbeda-beda. Ada perempuan
yang sewaktu muda pernah kecelakaan terjatuh dari kuda atau kereta, sehingga
bisa saja merusak bagian dalam kelaminnya. Atau ada juga perempuan yang bagian
dalam kelaminnya berukuran tebal, sehingga tidak mudah koyak dan mengeluarkan
darah saat berhubungan badan dengan suaminya pertama kali. Oleh sebab itu,
suami jangan mudah termakan mitos soal darah perawan, karena itu hanya akan
menjadi beban yang merugikan dalam mengarungi biduk rumah tangga. Suami dan
istri lebih baik saling percaya daripada saling menaruh curiga.
Patih Sangkuni berpendapat
lain. Prabu Duryudana bukan hanya seorang suami biasa, tetapi juga seorang raja
besar. Apa jadinya jika permaisuri seorang raja agung ternyata pernah berbuat
zina sebelum menikah? Soal dugaan Dewi Banuwati mengandung anak orang lain itu
perlu diselidiki lebih lanjut. Apalagi ini menyangkut soal penerus takhta
Kerajaan Hastina pula. Kalau benar bayi yang dikandung Dewi Banuwati adalah
putra Raden Arjuna, maka hal ini akan sangat berbahaya. Raden Arjuna adalah
anggota Pandawa. Apabila benar demikian, maka si bayi akan menjadi musuh dalam
selimut bagi para Kurawa.
Prabu Duryudana menjadi
bimbang. Di satu sisi ia menerima nasihat Resi Druna dan Adipati Karna, namun
di sisi lain ia juga percaya pada ucapan Patih Sangkuni. Setelah
ditimbang-timbang, akhirnya ia pun mengambil jalan tengah. Apabila bayi yang
dilahirkan Dewi Banuwati berkelamin laki-laki, maka Prabu Duryudana bersedia mengakuinya
sebagai putra. Namun, apabila bayi yang lahir berkelamin perempuan, maka ia
akan mengusir Dewi Banuwati beserta anaknya itu dari Kerajaan Hastina.
PRABU MANDRAJAYA HENDAK MEREBUT DEWI BANUWATI
Usai Prabu Duryudana
mengucapkan sumpah, tiba-tiba muncul seorang laki-laki datang menghadap.
Laki-laki itu bernama Patih Mandradenta dari Kerajaan Saroja. Kedatangannya
ialah untuk menyampaikan sepucuk surat dari rajanya yang bernama Prabu Mandrajaya.
Prabu Duryudana pun menerima surat itu dan membaca isinya.
Dalam surat tersebut Prabu Mandrajaya
menceritakan asal usulnya. Dahulu kala tersebutlah Kerajaan Mandrapura di tanah
seberang yang dipimpin oleh Prabu Barandana. Pada suatu hari Kerajaan
Mandrapura hancur diserang Prabu Bahlikasura dari Kerajaan Siwandapura. Prabu
Barandana pun tewas dalam serangan tersebut. Kedua putra Prabu Barandana yang
bernama Raden Kardana dan Raden Karjaya terpencar menyelamatkan diri
masing-masing. Raden Kardana lalu mengabdi kepada Prabu Basukiswara di Kerajaan
Wirata dan mendapatkan sebidang tanah di Hutan Keling. Raden Kardana lalu
membabat hutan tersebut menjadi negara baru, yang diberi nama Kerajaan
Mandraka. Ia pun menjadi raja pertama, bergelar Prabu Mandrakusuma. Adapun Prabu
Salya yang memerintah Kerajaan Mandraka saat ini adalah keturunan dari Prabu
Mandrakusuma tersebut.
Sementara itu, adik Raden
Kardana yang bernama Raden Karjaya juga berkelana tetapi tidak menjadi raja,
melainkan hidup berbaur dengan rakyat jelata. Setelah turun-temurun barulah ada
seorang keturunannya yang berhasil mendirikan sebuah negara baru bernama
Kerajaan Saroja. Keturunannya itu tidak lain adalah Prabu Mandrajaya yang kini
berkirim surat kepada Prabu Duryudana.
Prabu Mandrajaya berniat
mempersatukan dua cabang keturunan Prabu Barandana dengan cara melamar putri
Prabu Salya di Mandraka. Sayang sekali, ketiga putri Prabu Salya sudah menikah
semua. Prabu Mandrajaya tidak mau menyerah begitu saja. Di antara ketiga putri tersebut
yang paling menarik perhatiannya adalah Dewi Banuwati yang telah menikah dengan
Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina. Untuk itulah, Prabu Mandrajaya pun
berkirim surat agar Prabu Duryudana menceraikan Dewi Banuwati dan menyerahkan
jandanya itu sebagai permaisuri Kerajaan Saroja.
Prabu Duryudana tersinggung
membaca surat tersebut. Ia pun membanting dan memaki Patih Mandradenta bahwa
Dewi Banuwati tidak akan pernah diserahkan kepada siapa pun. Patih Mandradenta menjawab
dirinya sudah mendapat wewenang dari Prabu Mandrajaya, apabila Prabu Duryudana
menolak menyerahkan istrinya, maka harus direbut melalui peperangan. Mendengar ini,
Adipati Karna segera menanggapi bahwa dirinyalah yang akan melayani tantangan
pihak Kerajaan Saroja. Untuk itu, Patih Mandradenta diminta menunggu di luar dengan
mempersiapkan seluruh pasukannya. Patih Mandradenta setuju dan segera pamit
undur diri kembali ke induk pasukannya.
Setelah Patih Mandradenta
keluar, Resi Druna menggoda Prabu Duryudana dengan bertanya mengapa Dewi
Banuwati tidak diserahkan saja, bukankah tadi sang permaisuri sudah dicurigai
pernah berbuat serong? Prabu Duryudana menjawab bahwa Dewi Banuwati adalah
permaisurinya. Bagaimanapun juga ini menyangkut wibawanya sebagai raja. Jika
sampai istrinya direbut orang, maka wibawanya akan ikut jatuh pula di mata
rakyat. Resi Druna senang mendengar jawaban ini. Ia pun berdoa semoga pihak
Hastina mampu mengalahkan tantangan Kerajaan Saroja.
PRABU DURYUDANA MENEMUI DEWI BANUWATI
Prabu Duryudana telah
membubarkan pertemuan. Ia lalu masuk ke dalam kedaton menemui sang permaisuri
Dewi Banuwati yang hari ini telah memasuki usia kandungan sembilan bulan, dan mungkin
akan segera melahirkan. Tampak pula Dewi Srutikanti (istri Adipati Karna)
berjaga menemani di sisi Dewi Banuwati.
Melihat Prabu Duryudana
datang, Dewi Banuwati dan Dewi Srutikanti segera menyambut ramah. Prabu
Duryudana tampak bermuka masam. Ia pun bercerita bahwa dirinya baru saja
menerima surat dari seorang raja bernama Prabu Mandrajaya di Kerajaan Saroja.
Surat itu berisi permintaan Prabu Mandrajaya agar Prabu Duryudana menyerahkan
Dewi Banuwati kepadanya. Tujuan Prabu Mandrajaya ingin menikahi Dewi Banuwati
adalah untuk mempererat tali kekeluargaan antara sesama cabang keturunan mendiang
Prabu Barandana raja Mandrapura.
Dewi Banuwati sangat marah
mendengar berita itu. Ia merasa lebih baik mati daripada Prabu Duryudana
menyerahkan dirinya kepada laki-laki lain. Prabu Duryudana pun bertanya apakah
ucapan istrinya itu tulus dari hati ataukah hanya manis di bibir saja? Dewi
Banuwati pun ditanyai apabila dirinya diserahkan kepada laki-laki lain, dan
laki-laki itu adalah Raden Arjuna lantas bagaimana sikapnya, menolak atau
tidak?
Dewi Banuwati pucat pasi tidak
bisa menjawab. Dewi Srutikanti segera membela adiknya dengan menyebut pertanyaan
Prabu Duryudana sangatlah tidak pantas. Prabu Duryudana pun berterus terang
bahwa dirinya baru saja mengambil keputusan. Apabila bayi yang dilahirkan Dewi
Banuwati berkelamin laki-laki, maka ia bersedia menerimanya sebagai putra.
Sebaliknya, jika Dewi Banuwati melahirkan anak perempuan, maka itu pastilah
anak Raden Arjuna. Jika benar itu yang terjadi, maka Prabu Duryudana tidak
segan-segan mengusir Dewi Banuwati keluar dari Kerajaan Hastina beserta anaknya
sekaligus.
Dewi Banuwati tergetar
mendengar keputusan Prabu Duryudana tersebut. Ia pun jatuh lemas dan segera
dipapah Dewi Srutikanti masuk ke dalam. Dewi Srutikanti pun menyesali ucapan
Prabu Duryudana yang melampaui batas. Sebagai suami bukannya menenangkan
perasaan istri yang sedang hamil tua, tetapi justru bersikap kasar seperti itu.
Prabu Duryudana merasa serbasalah. Ia pun pamit keluar ingin menonton Adipati
Karna menghancurkan musuh dari Kerajaan Saroja. Soal bagaimana nanti Dewi
Banuwati melahirkan, biarlah Dewi Srutikanti saja yang mendampingi. Usai
berkata demikian, ia pun bergegas keluar meninggalkan kedaton.
DEWI BANUWATI MELAHIRKAN BAYI PEREMPUAN
Dewi Srutikanti lalu memapah
adiknya masuk ke dalam kamar. Dewi Banuwati merasa dirinya akan segera
melahirkan. Menyadari hal itu, Dewi Srutikanti khawatir ucapan Prabu Duryudana
menjadi kenyataan. Maka, ia pun seorang diri membantu Dewi Banuwati melahirkan
tanpa perlu memanggil bidan atau dayang istana. Ternyata benar, Dewi Banuwati
hari itu melahrkan seorang bayi perempuan.
Dewi Banuwati menangis sambil
bercerita kepada sang kakak bahwa dirinya memang pernah berselingkuh dengan
Raden Arjuna, yaitu ketika menjelang pernikahan dulu. Saat itu dirinya dirias
di dalam kamar oleh Raden Arjuna hanya berdua saja. Mereka sama-sama terlena
sehingga melakukan hubungan badan. Tak disangka, persetubuhan tersebut membuat
Dewi Banuwati mengandung hingga akhirnya kini melahirkan anak perempuan.
Dewi Srutikanti sangat kesal
mendengar ulah adiknya yang sangat memalukan. Namun, bagaimanapun juga ia tidak
rela jika Dewi Banuwati sampai diusir dari Kerajaan Hastina. Ini semua adalah
tanggung jawab Raden Arjuna. Oleh sebab itu, Dewi Srutikanti pun menggendong
bayi perempuan tersebut keluar melalui pintu belakang istana. Dewi Banuwati
menangis sedih karena harus berpisah dengan putrinya yang baru lahir, hingga
akhirnya ia pun jatuh pingsan.
ADIPATI KARNA MEMUKUL MUNDUR PASUKAN SAROJA
Sementara itu, Adipati Karna
bersama pasukan Hastina telah berhadap-hadapan dengan musuh dari Kerajaan
Saroja yang dipimpin Patih Mandradenta. Tidak lama kemudian, kedua pihak saling
menyerang. Pertempuran sengit pun terjadi. Adipati Karna dibantu Patih
Adimanggala, Arya Druwajaya, dan Arya Jayarata berhasil memukul mundur pasukan
musuh tersebut.
Prabu Duryudana sangat senang
melihat kemenangan kakak iparnya. Namun, ia tidak mau berhenti sampai di sini
saja. Ia ingin peperangan tetap dilanjutkan, yaitu Kerajaan Saroja harus
ditaklukkan menjadi jajahan Kerajaan Hastina. Prabu Duryudana ingin melihat
seperti apa wajah Prabu Mandrajaya yang berani lancang hendak merebut istrinya.
Usai berkata demikian, Prabu
Duryudana pun naik ke punggung Gajah Murdaningkung kemudian mengajak Adipati
Karna, Patih Sangkuni, dan segenap pasukan Hastina untuk berangkat menggempur
Kerajaan Saroja.
DEWI SRUTIKANTI BERTEMU RADEN ARJUNA
Karena Prabu Duryudana sudah
berangkat menyerang Kerajaan Saroja, Dewi Srutikanti pun dapat leluasa
menyelinap keluar meninggalkan istana Kerajaan Hastina sambil menggendong bayi
perempuan yang baru saja dilahirkan adiknya. Belum seberapa jauh kepergiannya,
tiba-tiba ia melihat Raden Arjuna bersama para panakawan sedang berjalan menuju
ibu kota Hastina.
Dewi Srutikanti pun bertanya
ada keperluan apa Raden Arjuna hendak berkunjung ke Kerajaan Hastina. Raden
Arjuna mengaku tadi malam ia bermimpi melihat Dewi Banuwati disiksa Prabu
Duryudana karena melahirkan bayi perempuan. Itulah sebabnya dirinya hendak
datang ke istana Hastina untuk menolong Dewi Banuwati.
Dewi Srutikanti membenarkan
mimpi tersebut bahwa Dewi Banuwati memang baru saja melahirkan seorang bayi
perempuan. Namun, alangkah baiknya untuk selanjutnya Raden Arjuna jangan lagi
mengganggu kehidupan rumah tangga adiknya dan Prabu Duryudana. Jika sampai
Raden Arjuna muncul di Kerajaan Hastina, maka rumah tangga mereka bisa hancur
berantakan. Dewi Srutikanti menasihati agar Raden Arjuna melupakan kisah
cintanya dengan Dewi Banuwati untuk selamanya, apalagi mereka masing-masing
sudah sama-sama menikah.
Kyai Semar membenarkan ucapan
Dewi Srutikanti. Di sepanjang jalan tadi dirinya sudah banyak menasihati Raden
Arjuna tetapi sama sekali tidak ditanggapi. Kini Dewi Srutikanti juga
menasihati demikian, alangkah baiknya Raden Arjuna mengurungkan niatnya ingin
menemui Dewi Banuwati.
Dewi Srutikanti lalu
menyerahkan bayi perempuan yang ada di gendongannya kepada Raden Arjuna. Ia
berkata bahwa bayi tersebut adalah putri hasil hubungan Dewi Banuwati dengan
Raden Arjuna sesaat sebelum adiknya itu menikah dengan Prabu Duryudana. Ia juga
menceritakan Prabu Duryudana baru saja bersumpah akan mengakui anak apabila
Dewi Banuwati melahirkan bayi laki-laki. Sebaliknya, jika yang lahir perempuan,
maka Dewi Banuwati akan diusir dari Kerajaan Hastina. Oleh sebab itu, Dewi
Srutikanti pun membawa lari bayi perempuan tersebut untuk meminta
pertanggungjawaban Raden Arjuna.
Raden Arjuna berkata dirinya
pasti akan bertanggung jawab, jangan sampai Dewi Banuwati menderita sebagaimana
yang ia lihat dalam mimpi. Ia pun menerima bayi perempuan tersebut dan meminta
Dewi Srutikanti agar segera pulang menjaga Dewi Banuwati. Ia berjanji akan mengamankan
bayi perempuan ini, serta mencarikan ganti seorang bayi laki-laki untuk
diselundupkan ke dalam Kerajaan Hastina.
Usai berkata demikian, Raden
Arjuna pun menyuruh para panakawan agar pulang saja ke Kerajaan Amarta,
sedangkan ia sendirian melesat pergi dengan mengerahkan Aji Seipi Angin, sambil
menggendong putrinya yang baru lahir tersebut.
RADEN ARJUNA MENYERAHKAN BAYINYA KEPADA ENDANG MANUHARA
Raden Arjuna teringat bahwa
dirinya memiliki seorang istri paminggir yang tinggal di Padepokan
Andongsumawi, yaitu Endang Manuhara putri Resi Sidiwacana. Mereka pertama kali
bertemu saat Raden Arjuna terlempar oleh kesaktian Patih Sekiputantra dalam
pertempuran di Kahyangan Suralaya dulu. Saat itu Raden Arjuna jatuh pingsan dan
dirawat sampai sembuh oleh Resi Sidiwacana dan Endang Manuhara. Kemudian Raden
Arjuna pun menikah dengan gadis itu dan untuk sementara waktu tinggal di
Padepokan Andongsumawi. Hingga pada suatu hari, Adipati Karna datang menjemput
Raden Arjuna untuk menjadi juru rias pengantin Dewi Banuwati di Kerajaan
Mandraka. Ketika Raden Arjuna pergi meninggalkan Padepokan Andongsumawi, saat
itu Endang Manuhara sedang mengandung usia tiga bulan.
Raden Arjuna yakin saat ini
istrinya tersebut pasti sudah melahirkan. Ia pun bergegas menuju Padepokan
Andongsumawi dan berhasil sampai di sana. Dilihatnya Endang Manuhara sedang berdiri
di depan bangunan padepokan sambil menggendong seorang bayi perempuan pula.
Raden Arjuna pun disambut
hangat oleh istrinya itu. Endang Manuhara segera memperkenalkan bayi yang ia
gendong merupakan putri hasil perkawinan mereka. Bayi perempuan tersebut telah
diberi nama Endang Pregiwa oleh kakeknya. Raden Arjuna sangat terharu memandang
anak pertamanya. Ia pun menggendong bayi tersebut sekaligus dengan bayi
perempuan yang ia bawa, masing-masing di lengan kanan dan kiri.
Endang Manuhara lalu bertanya siapa
bayi perempuan yang satunya lagi. Raden Arjuna menjawab malu-malu bahwa ini
adalah putrinya sendiri yang dilahirkan oleh Dewi Banuwati. Endang Manuhara
heran mendengarnya. Ia masih ingat dulu Adipati Karna datang menjemput suaminya
untuk menjadi juru rias Dewi Banuwati yang akan menikah dengan Prabu Duryudana.
Namun, mengapa sekarang justru Dewi Banuwati melahirkan anak perempuan Raden
Arjuna?
Raden Arjuna pun menjelaskan
bahwa sebelum dijodohkan dengan Prabu Duryudana, Dewi Banuwati pernah menjalin
hubungan asmara dengannya. Menjelang upacara pernikahannya, Dewi Banuwati
sengaja meminta disediakan seorang juru rias yang tampan tanpa cacat. Maksudnya
ialah, agar Prabu Duryudana menghadirkan Raden Arjuna kepadanya. Rupa-rupanya
Dewi Banuwati ingin berpamitan dengan kekasihnya tersebut.
Demikianlah, Raden Arjuna dan
Dewi Banuwati pun hanya berdua di dalam kamar. Dalam pertemuan itu Dewi
Banuwati mengutarakan isi hatinya hingga membuat Raden Arjuna terharu. Mereka
pun saling menangis sedih hingga akhirnya sama-sama terlena oleh nafsu.
Begitulah ceritanya, Dewi Banuwati akhirnya melakukan hubungan badan dengan
Raden Arjuna sesaat sebelum menikah dengan Prabu Duryudana.
Akibat hubungan tersebut, Dewi
Banuwati pun mengandung hingga akhirnya kini melahirkan. Rupa-rupanya Prabu
Duryudana merasa curiga apakah benar bayi tersebut adalah anaknya atau bukan.
Maka, ia pun mengambil jalan tengah. Apabila yang lahir bayi laki-laki, maka ia
bersedia menerimanya sebagai putra. Namun, jika yang lahir bayi perempuan, maka
ia akan mengusir Dewi Banuwati karena yakin pasti bayi tersebut adalah anak
hasil perselingkuhan istrinya dengan Raden Arjuna.
Sudah menjadi takdir dewata
ternyata bayi yang lahir memang perempuan. Dewi Srutikanti kakak kandung Dewi
Banuwati pun menyelamatkan bayi tersebut dan meminta Raden Arjuna agar bertanggung
jawab, jangan sampai adiknya diusir dari Kerajaan Hastina. Raden Arjuna
menerima bayi tersebut dan berniat menitipkannya kepada Endang Manuhara di
Padepokan Andongsumawi.
Mendengar itu, Endang Manuhara
sangat kesal karena dirinya dijadikan sebagai tempat penitipan belaka. Sang
suami berbuat selingkuh dengan wanita lain, namun ia yang harus ikut bertanggung
jawab pula. Endang Manuhara merasa berat jika harus mengasuh anak hasil
perselingkuhan mereka. Namun, tiba-tiba si bayi putri Dewi Banuwati menangis
karena lapar. Seketika sifat keibuan Endang Manuhara pun tergugah. Ia segera
mengambil bayi perempuan tersebut dari tangan Raden Arjuna dan menyusuinya.
Bayi perempuan tersebut
langsung diam dan meneguk air susu Endang Manuhara dengan lahap. Melihat wajah
si bayi yang polos dan cantik, Endang Manuhara yang tadinya kesal berubah
menjadi senang, seolah dirinya kini memiliki dua orang anak sekaligus. Ia pun
bersedia merawat bayi tersebut dan menjadikannya sebagai adik Endang Pregiwa.
Endang Manuhara lalu memberi nama putri barunya itu, Endang Pregiwati.
Raden Arjuna setuju dan juga sangat
bahagia atas ketulusan hati sang istri. Kini ia merasa lega karena masalah
pertama sudah teratasi. Sekarang tinggal masalah kedua, yaitu mencari bayi
laki-laki untuk diserahkan kepada Dewi Banuwati. Endang Manuhara seketika
teringat bahwa sang ayah, yaitu Resi Sidiwacana hari ini sedang mengunjungi
kawan lamanya, yaitu Nyai Clekutana di Hutan Pringgabaya. Konon kabarnya, putri
Nyai Clekutana yang bernama Mirahdinebak baru saja melahirkan bayi laki-laki
tanpa ayah. Mendengar itu, Raden Arjuna segera mohon pamit kepada sang istri
untuk kemudian bergegas menuju Hutan Pringgabaya.
RADEN ARJUNA MEMINTA ANAK MIRAHDINEBAK
Dengan mengerahkan Aji Seipi
Angin, Raden Arjuna pun sampai di tempat tinggal Nyai Clekutana dalam waktu
singkat. Bagaimanapun juga ia pernah datang ke tempat itu bersama Adipati Karna
untuk mencari seekor gajah putih sebagai syarat pernikahan Prabu Duryudana.
Itulah sebabnya, Raden Arjuna dapat langsung menemukan rumah Nyai Clekutana. Tampak
di sana Mirahdinebak sedang menggendong seorang bayi laki-laki. Resi Sidiwacana
juga masih berada di tempat itu untuk mengucapkan selamat atas kelahiran cucu
sahabatnya.
Resi Sidiwacana bertanya ada
keperluan apa menantunya datang menyusul. Raden Arjuna berterus terang
menceritakan Prabu Duryudana telah mencurigai istrinya, yaitu Dewi Banuwati berbuat
selingkuh. Prabu Duryudana pun bersumpah jika istrinya melahirkan bayi
perempuan maka akan diusir kedua-duanya dari Kerajaan Hastina, namun jika
melahirkan bayi laki-laki maka akan diakui sebagai anak. Sungguh kebetulan yang
lahir adalah perempuan. Maka, Raden Arjuna pun mengambil dan menitipkan bayi
itu agar diasuh oleh Endang Manuhara yang baru saja melahirkan Endang Pregiwa.
Bayi tersebut telah diterima oleh Endang Manuhara dan diberi nama Endang
Pregiwati.
Kini kedatangan Raden Arjuna
ke Hutan Pringgabaya adalah untuk meminta bayi laki-laki yang baru saja
dilahirkan oleh Mirahdinebak. Bayi tersebut rencananya akan diserahkan kepada
Dewi Banuwati agar diakui sebagai anak Prabu Duryudana. Nyai Clekutana merasa
permintaan ini sangat aneh dan ia tidak rela jika cucunya harus dibawa oleh Raden
Arjuna.
Mirahdinebak sendiri tergetar
mendengarnya. Selama ini ia menjaga rahasia siapa sebenarnya ayah dari bayi
yang ia lahirkan tersebut. Hari ini ia terpaksa bercerita kepada Nyai Clekutana
dan Resi Sidiwacana bahwa bayinya adalah putra Prabu Duryudana raja Hastina.
Awal mulanya ialah Prabu Duryudana handak meminjam gajah putih peliharaan
Mirahdinebak sebagai syarat pernikahannya dengan Dewi Banuwati. Mirahdinebak
bersedia menyerahkan Gajah Murdaningkung untuk menjadi milik Prabu Duryudana
selamanya, asalkan mereka bersetubuh terlebih dahulu. Prabu Duryudana menerima
syarat tersebut. Demikianlah awal mula mengapa Mirahdinebak dapat mengandung
anak Prabu Duryudana.
Raden Arjuna merasa kesal mendengarnya,
karena Prabu Duryudana menuduh Dewi Banuwati berselingkuh, padahal dirinya
sendiri juga berhubungan badan dengan Mirahdinebak. Raden Arjuna lalu memohon
agar Mirahdinebak bersedia menyerahkan bayi laki-laki itu kepadanya demi
menyelamatkan nasib Dewi Banuwati.
Sebagai seorang ibu,
Mirahdinebak sebenarnya sangat sayang kepada putranya. Namun, sebagai sesama
wanita, ia merasa kasihan pada nasib Dewi Banuwati. Setelah ditimbang-timbang,
ia akhirnya merelakan Raden Arjuna membawa putranya untuk diserahkan kepada Dewi
Banuwati. Lagipula putranya itu adalah anak kandung Prabu Duryudana, tentunya
lebih baik jika mendapat penghidupan yang layak di dalam istana bersama ayahnya.
Raden Arjuna sangat berterima
kasih dan menggendong bayi laki-laki tersebut. Ia lalu mohon pamit kepada Nyai
Clekutana dan Mirahdinebak, begitu pula Resi Sidiwacana juga berpamitan kepada
ibu dan anak tersebut. Mereka lalu pergi ke tujuan masing-masing. Raden Arjuna
menuju Kerajaan Hastina, sedangkan Resi Sidiwacana pulang ke Padepokan
Andongsumawi.
RESI DRUNA MEMINTA BANTUAN PARA PANDAWA
Sementara itu di Kerajaan
Amarta, Prabu Puntadewa sedang dihadap Arya Wrekodara, si kembar Raden Nakula
dan Raden Sadewa, serta Patih Tambakganggeng dan para panakawan. Tiba-tiba
datang Resi Druna menemui mereka. Prabu Puntadewa pun menyambut kedatangan sang
guru dan bertanya ada keperluan apa. Resi Druna berkata bahwa Prabu Duryudana,
Adipati Karna, Patih Sangkuni, dan segenap Kurawa telah pergi menyerang
Kerajaan Saroja menghadapi Prabu Mandrajaya yang berniat merebut Dewi Banuwati.
Namun, dalam peperangan itu mereka jatuh ke dalam perangkap musuh yang dipasang
secara licik. Kini, Prabu Duryudana, Adipati Karna, dan Patih Sangkuni menjadi
tawanan Prabu Mandrajaya.
Resi Druna yang mengawasi dari
kejauhan segera pergi untuk meminta bantuan. Untuk itulah ia sengaja datang ke
istana Indraprasta untuk meminta pertolongan Prabu Puntadewa dan
saudara-saudaranya agar bersedia membebaskan Prabu Duryudana dan yang lain.
Arya Wrekodara menanggapi
bahwa itu semua adalah akibat ulah Prabu Duryudana sendiri. Prabu Duryudana
terlalu sombong menyerang Kerajaan Saroja. Kesombongannya itulah yang membuat
dirinya celaka. Selain itu Prabu Duryudana juga sering berbuat licik kepada
para Pandawa, maka pantas jika hari ini mendapat balasan setimpal dari Prabu
Mandrajaya yang sama-sama licik. Oleh sebab itu, ia menyatakan tidak sudi pergi
membantu.
Prabu Puntadewa menasihati
Arya Wrekodara agar jangan bersikap demikian. Bagaimanapun juga Kerajaan
Hastina adalah tanah air dan kampung halaman para Pandawa. Saat ini raja
Hastina sedang kesusahan, sudah seharusnya para Pandawa turun tangan membantu.
Apabila Prabu Duryudana tidak dibebaskan, Kerajaan Hastina akan menjadi kacau
karena tidak memiliki pemimpin. Keributan bisa terjadi di mana-mana, dan yang
paling menderita sudah pasti rakyat jelata.
Arya Wrekodara
menimbang-nimbang dan akhirnya bersedia membantu membebaskan Prabu Duryudana
dan kawan-kawan. Ia kemudian mohon pamit kepada sang kakak sulung, lalu
berangkat bersama Resi Druna. Para panakawan yang tadi diperintahkan pulang
oleh Raden Arjuna, kini ikut berangkat pula menyertai Arya Wrekodara menuju
Kerajaan Saroja.
ARYA WREKODARA MENGALAHKAN PRABU MANDRAJAYA
Arya Wrekodara dan Resi Druna
telah sampai di Kerajaan Saroja. Prabu Mandrajaya pun keluar menghadapi mereka.
Resi Druna menantang raja tersebut untuk menghadapi muridnya yang baru datang
ini. Jika Prabu Mandrajaya kalah, maka Prabu Duryudana dan semua pengikutnya
harus dibebaskan. Namun, apabila Arya Wrekodara yang kalah, maka Prabu
Mandrajaya berhak mendapatkan Dewi Banuwati lengkap dengan seluruh Kerajaan Hastina.
Prabu Mandrajaya sepakat. Ia
lalu mengangkat gada untuk melayani tantangan Arya Wrekodara. Di lain pihak,
Arya Wrekodara juga sudah siap dengan senjata Gada Rujakpolo di tangan. Mereka
pun maju dan saling menyerang. Pertarungan sengit pun terjadi. Sungguh dahsyat
perkelahian mereka hingga banyak bangunan istana Saroja yang rusak terkena
pukulan gada.
Prabu Mandrajaya akhirnya
lengah karena melihat istanya rusak dihantam gada Arya Wrekodara. Akibatnya,
Gada Rujuakpolo pun mendarat di kepalanya. Prabu Mandrajaya roboh seketika. Ia
bersumpah sukmanya akan menyatu dengan putra Prabu Duryudana, agar selalu
menjadi musuh anak-anak para Pandawa. Usai berkata demikian, Prabu Mandrajaya
pun meninggal dunia. Rohnya keluar meninggalkan raga naik ke angkasa dalam
wujud seberkas sinar.
Resi Druna pun bergegas membebaskan
Prabu Duryudana, Adipati Karna, Patih Sangkuni, dan para Kurawa lainnya dari
dalam penjara. Prabu Duryudana sangat malu karena dirinya dibebaskan oleh Arya
Wrekodara yang selama ini dianggapnya sebagai musuh. Namun, Resi Druna
menasihati sang raja agar menenangkan diri. Yang terpenting saat ini Kerajaan
Saroja sudah menjadi taklukan Kerajaan Hastina dan itu berarti wilayah Kerajaan
Hastina menjadi jauh lebih luas lagi.
Prabu Duryudana merasa senang.
Ia lalu mengajak Arya Wrekodara ikut kembali ke Kerajaan Hastina di mana ia
berniat menjamu sepupunya itu sebagai ungkapan terima kasih. Resi Druna meminta
Arya Wrekodara memenuhi undangan tersebut dan tidak perlu khawatir karena
dirinya yang akan menjamin para Kurawa tidak akan berbuat jahat. Arya Wrekodara
menyatakan bersedia. Ia sama sekali tidak takut Prabu Duryudana meracuni
makanannya, karena sejak meminum air pusaka Tirtamanik Rasakunda pemberian
Batara Basuki, dirinya kini menjadi kebal terhadap segala jenis racun.
Demikianlah, Prabu Duryudana bersama
seluruh rombongan kemudian pulang ke Kerajaan Hastina dengan penuh kegembiraan.
RADEN ARJUNA MENYERAHKAN ANAK MIRAHDINEBAK KEPADA DEWI BANUWATI
Sementara itu, Raden Arjuna
telah menyusup masuk ke dalam istana Kerajaan Hastina dan menemui Dewi
Srutikanti. Saat itu Dewi Banuwati telah bangun dari pingsan dan bertanya
bagaimana keadaan putrinya. Raden Arjuna menjawab bahwa sang putri kecil
baik-baik saja, dan kini berada dalam asuhan istrinya yang bernama Endang
Manuhara. Dewi Banuwati sangat bersyukur dan berterima kasih atas segala
bantuan Raden Arjuna. Dewi Srutikanti berkata tidak perlu berterima kasih,
karena bagaimanapun juga Raden Arjuna adalah ayah kandung si bayi. Raden Arjuna
sudah berbuat, maka harus ikut bertanggung jawab. Demikianlah, sejak dulu Dewi
Srutikanti memang tidak pernah suka kepada Raden Arjuna, sungguh berbeda dengan
para wanita kebanyakan.
Dewi Srutikanti lalu bertanya,
siapa bayi laki-laki yang digendong Raden Arjuna sekarang. Raden Arjuna
menjawab, bayi laki-laki ini adalah putra kandung Prabu Duryudana sendiri.
Dahulu ketika hendak menikah, Dewi Banuwati mengajukan syarat agar Prabu Duryudana
menyediakan seekor gajah putih dengan pawang wanita sebagai kendaraan
pengantin. Prabu Duryudana berhasil mendapatkan Gajah Murdaningkung, tetapi syaratnya
harus mau berhubungan badan lebih dulu dengan si pawang yang bernama
Mirahdinebak. Demikianlah, bayi laki-laki ini adalah buah dari persetubuhan mereka.
Dewi Banuwati menerima bayi
laki-laki itu sambil menggerutu, bahwa Prabu Duryudana telah menuduhnya sudah
tidak perawan saat menikah, padahal suaminya itu ternyata juga tidak perjaka
saat menikah dengannya.
Tiba-tiba terdengar suara ramai-ramai
di luar. Ternyata rombongan Prabu Duryudana telah tiba di Kerajaan Hastina dan
mendapat sambutan meriah atas kemenangannya mengalahkan Prabu Mandrajaya.
Menyadari hal itu, Raden Arjuna segera mohon pamit untuk menghindar jangan
sampai dirinya ketahuan masuk ke dalam kedaton. Dewi Banuwati merasa berat
untuk melepas kepergian mantan kekasihnya itu. Namun, Dewi Srutikanti dengan
tegas mengatakan bahwa Raden Arjuna sudah berjanji untuk tidak lagi mengganggu
rumah tangga Dewi Banuwati dan Prabu Duryudana. Janji tersebut harus dipegang
teguh. Raden Arjuna menjawab dirinya tidak akan melanggar janji ini. Namun
kelak, jika Prabu Duryudana sudah meninggal, maka ia akan datang untuk menjemput
dan memboyong Dewi Banuwati.
Usai berkata demikian, Raden
Arjuna pun melesat pergi meninggalkan istana Kerajaan Hastina.
PRABU DURYUDANA MENGAKUI RADEN LESMANA SEBAGAI PUTRA
Prabu Duryudana dan rombongan
telah memasuki istana dan mereka pun disambut Dewi Banuwati dan Dewi Srutikanti.
Prabu Duryudana langsung bertanya apakah Dewi Banuwati melahirkan bayi
laki-laki atau perempuan. Dewi Banuwati menyerahkan bayi yang ia gendong untuk
diperiksa sendiri oleh Prabu Duryudana. Prabu Duryudana pun menerima bayi itu dan
alangkah bahagia dirinya setelah melihat kelamin si bayi ternyata laki-laki.
Patih Sangkuni menanggapi
dengan sinis agar Prabu Duryudana jangan buru-buru senang dulu. Bisa jadi Dewi
Banuwati melahirkan bayi perempuan namun kemudian ditukar dengan bayi laki-laki
anak orang lain. Mendengar itu, Dewi Banuwati segera mempersilakan Patih
Sangkuni untuk melihat langsung, wajah bayi tersebut mirip siapa, apakah mirip
Prabu Duryudana ataukah mirip orang lain?
Patih Sangkuni maju dan
memeriksa. Alangkah terkejut dirinya ternyata wajah si bayi memang sangat mirip
dengan Prabu Duryudana. Kini ia tidak ragu lagi dan menyarankan agar Prabu
Duryudana menerima bayi tersebut sebagai putra.
Prabu Duryudana sangat bahagia
setelah mendapat kepastian dari sang paman. Ia pun menggendong bayi tersebut dengan
penuh kegembiraan. Ia juga meminta maaf karena selama ini telah mencurigai Dewi
Banuwati. Mulai hari ini ia berjanji akan selalu sayang kepada istrinya itu dan
bersumpah tidak akan menikah lagi untuk selamanya, juga tidak akan mengambil
selir sama sekali. Dewi Banuwati merasa sangat bahagia mendengarnya, dan ia pun
menoleh kepada Dewi Srutikanti dengan pandangan penuh rasa terima kasih.
Arya Wrekodara yang ikut dalam
rombongan itu menyarankan agar Prabu Duryudana segera memberi nama putranya. Prabu
Duryudana merasa bingung tidak tahu harus memberi nama apa karena selama ini ia
yakin Dewi Banuwati pasti berselingkuh dan melahirkan anak perempuan. Untuk
itu, ia menyerahkan kepada sang istri, terserah putra mereka akan diberi nama
siapa.
Dewi Banuwati pun berkata
bahwa di zaman kuno ada seorang kesatria sakti bernama Raden Lesmana yang
selalu melindungi Prabu Sri Rama. Kesatria ini sangat hebat dan juga seorang pemanah
jitu. Bahkan, Prabu Sri Rama yang merupakan titisan Batara Wisnu pun merasa
banyak berhutang budi kepadanya. Oleh sebab itu, Dewi Banuwati mengusulkan agar
si bayi diberi nama Raden Lesmana saja. Prabu Duryudana merasa senang
mendengarnya dan menerima nama tersebut sebagai nama putranya.
Patih Sangkuni tiba-tiba
teringat sesuatu dan segera menyela. Ia mengatakan bahwa menurut dongeng yang pernah
ia dengar, Raden Lesmana berwajah sangat tampan dan juga pandai memanah.
Jangan-jangan Dewi Banuwati memilih nama itu karena terbayang-bayang Raden
Arjuna yang juga berwajah tampan dan mahir memanah. Mendengar hasutan sang
paman, Prabu Duryudana menjadi bimbang dan bertanya kepada Dewi Banuwati apa
benar memiliki niat demikian.
Dewi Banuwati merasa bingung
hendak menjawab apa. Dalam hati ia membenarkan, bahwa dirinya memilih nama
Raden Lesmana karena kesatria tersebut memang tokoh di zaman kuno yang kepandaian
dan wajahnya mengingatkan pada Raden Arjuna, mantan kekasihnya.
Kyai Semar yang ikut
mendampingi Arya Wrekodara segera menengahi. Ia berkata bahwa Raden Lesmana
memang mirip Raden Arjuna dalam hal ketampanan dan kepandaian memanah. Namun,
keduanya berbeda sifat. Raden Lesmana tidak menikah seumur hidup, sedangkan
Raden Arjuna sudah memiliki dua orang istri, yaitu istri paminggir bernama
Endang Manuhara, dan istri padmi bernama Dewi Sumbadra. Maka, tidak sepantasnya
Prabu Duryudana mencurigai Dewi Banuwati hanya karena masalah nama. Lagipula
Prabu Duryudana seorang raja besar. Apa yang sudah diputuskan olehnya tidak
baik jika dicabut kembali.
Mengingat usia Kyai Semar yang
sudah ratusan tahun dan juga memiliki wawasan luas, Prabu Duryudana pun
mererima saran darinya. Lagipula ia sudah terlanjur suka pada nama Raden
Lesmana yang dianggapnya sangat bagus, sehingga tidak perlu diganti lagi. Maka,
ia pun menetapkan putranya tetap memakai nama ini, dengan harapan kelak si bayi
akan tumbuh menjadi seorang kesatria hebat seperti adik Prabu Sri Rama
tersebut.
ROH PRABU MANDRAJAYA MENITIS KEPADA RADEN LESMANA
Ketika Prabu Duryudana sedang
bergembira menggendong putranya, tiba-tiba dari angkasa melayang turun seberkas
sinar yang langsung masuk dan bersatu pada diri Raden Lesmana. Seketika mata
Raden Lesmana menjadi lebih lebar dan melotot, serta raut wajahnya menjadi
tampak bodoh, kadang tertawa sendiri, kadang menangis sendiri.
Menyaksikan hal itu, Resi
Druna segera teringat sesuatu. Ia pun bercerita bahwa sebelum meninggal, Prabu
Mandrajaya bersumpah dirinya akan menitis kepada putra Prabu Duryudana. Maka,
seberkas sinar tadi pastilah roh Prabu Mandrajaya tersebut yang datang untuk
memenuhi ucapannya.
Prabu Duryudana merasa
gemetar. Itu berarti putranya adalah titisan musuh. Resi Druna menasihati sang
raja agar tidak perlu takut. Prabu Mandrajaya kini terlahir kembali sebagai
Raden Lesmana bukan berarti menjadi musuh, tetapi bisa jadi ini menjadi sarana
baginya untuk menebus dosa. Jika sewaktu hidupnya, Prabu Mandrajaya pernah menangkap
dan memenjarakan Prabu Duryudana, maka kini ia menitis menjadi putra yang
selalu melayani dan menyembah kaki Prabu Duryudana.
Prabu Duryudana merasa senang
mendengar bekas musuhnya kelak akan menyembah kakinya sebagai putra. Maka, ia
pun menambah nama putranya menjadi Raden Lesmana Mandrakumara, yang memiliki
arti yaitu, Raden Lesmana titisan roh Prabu Mandra.
Tidak lama kemudian terdengar
suara ribut-ribut di luar, ternyata Patih Mandradenta datang membawa pasukan Saroja
untuk melakukan bela pati, yaitu ingin bertempur sampai mati menyusul Prabu
Mandrajaya. Arya Wrekodara segera keluar dan menaklukkan pasukan dari Kerajaan
Saroja tersebut. Patih Mandradenta tidak dibunuh, melainkan ditangkap dan
dihadapkan kepada Prabu Duryudana.
Prabu Duryudana yang hari ini
sedang berbahagia atas kelahiran putranya, tidak mau menjatuhkan hukuman mati
kepada pasukan Saroja. Ia pun mengampuni Patih Mandradenta dan memerintahkannya
untuk membangun kembali istana Kerajaan Saroja, dan mengganti namanya menjadi
Sarojabinangun. Artinya ialah, Kerajaan Saroja yang dibangun kembali. Kelak
Sarojabinangun hendaknya menjadi tempat tinggal putranya setelah dewasa, yaitu
Raden Lesmana Mandrakumara. Patih Mandradenta mematuhi dan berterima kasih atas
kemurahan hati Prabu Duryudana kepadanya.
Demikianlah, Prabu Duryudana pun
berpesta tujuh hari - tujuh malam merayakan kelahiran putranya. Arya Wrekodara
yang ikut dijamu sebagai pahlawan selalu bersikap waspada dan berhati-hati,
jangan-jangan para Kurawa berbuat licik kepadanya. Setelah dirasa cukup, ia pun
pamit pulang ke Kerajaan Amarta bersama para panakawan.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
Untuk kisah Raden Kardana membangun Kerajaan Mandraka dapat dibaca di sini
Untuk kisah pertemuan pertama Raden Arjuna dan Dewi Banuwati, serta
awal mula Dewi Srutikanti tidak menyukai Raden Arjuna dapat dibaca di sini
Untuk kisah pertemuan Raden Arjuna dan Endang Manuhara dapat dibaca di sini
Untuk kisah perkawinan Dewi Banuwati dan Prabu Duryudana dapat dibaca di sini
kisah hasil perselingkuhan yang menemukan jalan keluar
BalasHapusApa ini cerita nya urut dari masa pandu min?
BalasHapusKronik manusia senantiasa menarik untuk diuraikan
BalasHapus