Kisah ini menceritakan tentang usaha Raden Lesmana Mandrakumara, Raden
Samba, dan Raden Abimanyu dalam usaha menjemput turunnya Wahyu Cakraningrat.
Perlombaan ini dimenangkan oleh Raden Abimanyu, sehingga dialah kelak yang bisa
menurunkan raja-raja Tanah Jawa.
Kisah ini saya olah dari beberapa pertunjukan wayang kulit dengan lakon
yang sama, yang dimainkan oleh dalang Ki Manteb Soedharsono, Ki Warseno Slenk,
dan juga Ki Rudy Gareng, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 12 September 2017
Heri Purwanto
Untuk daftar judul
lakon wayang lainnya, klik di sini
Raden Abimanyu. |
------------------------------
ooo ------------------------------
PRABU DURYUDANA MEMBAHAS TENTANG WAHYU CAKRANINGRAT
Di Kerajaan Hastina, Prabu
Duryudana memimpin pertemuan dengan dihadap Danghyang Druna dari Padepokan
Sokalima, Adipati Karna dari Awangga, Patih Sangkuni dari Plasajenar, dan Raden
Kartawarma dari Tirtatinalang. Hari itu Prabu Duryudana membicarakan tentang mimpi
yang ia terima bahwa dewata akan menurunkan Wahyu Cakraningrat. Namun, ia
sendiri belum tahu apa yang dimaksud dengan wahyu tersebut dan juga di mana
akan diturunkan. Oleh sebab itu, ia pun meminta petunjuk dari sang guru, yaitu
Danghyang Druna.
Danghyang Druna menjawab
dirinya juga mendapat wangsit dari dewata saat bersamadi di sanggar pemujaan
Padepokan Sokalima kemarin. Wangsit tersebut mengatakan, dewata akan menurunkan
Wahyu Cakraningrat di Hutan Krendayana. Barangsiapa bisa mendapatkan wahyu
tersebut, maka kelak ia akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa. Namun demikian,
Wahyu Cakraningrat ini khusus diperuntukkan bagi para pangeran.
Prabu Duryudana terkejut
mendengarnya. Jika demikian, ini berarti yang harus menjemput turunnya wahyu
tersebut adalah Raden Lesmana Mandrakumara. Dalam hal ini ia merasa ragu apakah
putranya yang manja itu mampu mendapatkan Wahyu Cakraningrat di Hutan
Krendayana.
Danghyang Druna berkata hal
ini harus menjadi bahan pelajaran bagi Raden Lesmana Mandrakumara agar tidak
melulu hidup nyaman di dalam istana. Dulu sewaktu perebutan Wahyu Makutarama,
pihak Hastina mengalami kegagalan, di mana yang berhasil mendapatkannya adalah
Raden Arjuna dari pihak Amarta. Untuk kali ini, Kerajaan Hastina tidak boleh
gagal lagi. Danghyang Druna sendiri yang akan membimbing Raden Lesmana
Mandrakumara untuk mendapatkan Wahyu Cakraningrat. Urusan menjemput turunnya wahyu
haruslah melibatkan dirinya, bukan orang lain yang tidak memiliki keahlian.
Adipati Karna tersinggung
karena yang dulu ditugasi menjemput turunnya Wahyu Makutarama adalah dirinya.
Ia tidak terima dan mengajukan diri sebagai pembimbing Raden Lesmana
Mandrakumara ke Hutan Krendayana. Ia bertekad kali ini harus bisa mengusahakan
keberhasilan Raden Lesmana dalam meraih Wahyu Cakraningrat sebagai penebus
kegagalan di masa lalu. Ia pun balas menyindir Danghyang Druna yang gagal
merekayasa kematian Arya Wrekodara di Samudera Minangkalbu. Bukannya mati, Arya
Wrekodara justru mendapatkan ilmu kasampurnan dari Dewa Ruci.
Prabu Duryudana berusaha menengahi
Danghyang Druna dan Adipati Karna yang saling sindir. Ia mengakui dirinya dulu
telah salah memberikan tugas. Danghyang Druna yang seorang guru ditugasi
merancang kematian Arya Wrekodara, sedangkan Adipati Karna yang seorang
senapati justru ditugasi menjemput turunnya Wahyu Makutarama. Maka itu, untuk
meraih Wahyu Cakraningrat kali ini, ia tidak ingin salah menugasi orang.
Danghyang Druna sebagai guru besar ditugasi untuk membimbing Raden Lesmana
bersamadi, sedangkan Adipati Karna sebagai senapati ditugasi mengamankan Hutan
Krendayana agar tidak ada orang lain yang ikut masuk dan menjadi pesaing
putranya dalam meraih Wahyu Cakraningrat.
Danghyang Druna dan Adipati
Karna puas mendengar keputusan Prabu Duryudana yang tidak berat sebelah. Prabu
Duryudana lalu menugasi Patih Sangkuni untuk memanggil Raden Lesmana
Mandrakumara dari Kesatrian Sarojabinangun agar ikut hadir menerima perintah.
Prabu Duryudana. |
RADEN LESMANA MANDRAKUMARA DIPERINTAHKAN UNTUK MENJEMPUT WAHYU
CAKRANINGRAT
Selang agak lama, Patih
Sangkuni kembali menghadap dengan disertai Raden Lesmana Mandrakumara. Dengan
lagak manja, Raden Lesmana bertanya mengapa dirinya dipanggil, padahal biasanya
dibiarkan bermalas-malasan di kesatrian. Prabu Duryudana berkata bahwa dewata
akan menurunkan Wahyu Cakraningrat untuk para pangeran. Ia berharap putranya
yang mendapatkan wahyu tersebut. Oleh sebab itu, Raden Lesmana Mandrakumara
diperintahkan untuk pergi bertapa di Hutan Krendayana.
Raden Lesmana menolak. Ia
berkata bahwa ayahnya seorang raja yang sangat berkuasa, mengapa tidak bisa
memerintahkan dewata agar menurunkan Wahyu Cakraningrat di Kesatrian
Sarojabinangun saja? Mengapa pula dirinya yang pangeran mahkota kerajaan besar
harus bersusah payah menjemput wahyu tersebut di tengah hutan seperti orang
rendahan?
Prabu Duryudana menasihati
Raden Lesmana agar jangan menjadi pangeran yang cengeng. Dirinya semasa muda
pun menghabiskan waktu di Padepokan Sokalima, hidup sebagai pelajar yang
menjalani segala kesusahan, bukannya bermalas-malasan di dalam istana. Prabu
Duryudana tidak mau tahu, ia ingin Raden Lesmana harus berangkat saat ini juga bersama
Danghyang Druna ke Hutan Krendayana dan harus pulang membawa Wahyu
Cakraningrat.
Raden Lesmana Mandrakumara
kecewa melihat perubahan sikap ayahnya yang biasanya memanjakan, kini menjadi tegas
dan keras. Danghyang Druna dan Patih Sangkuni pun menghibur pemuda itu agar
mematuhi perintah sang ayah. Jika sekarang Raden Lesmana Mandrakumara hanya
bermalas-malasan di istana, maka ia akan menyesal di kemudian hari. Hendaknya
ia jangan mau kalah dengan para putra Pandawa yang gemar berkelana dan mencari
pengalaman di luar.
Begitu mendengar tentang para
putra Pandawa disebut, seketika Raden Lesmana teringat pada dendamnya kepada
Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca yang menyebabkan dirinya gagal menikah tempo
hari. Maka, ia pun menyatakan sanggup pergi bertapa ke Hutan Krendayana. Prabu
Duryudana dan para hadirin lainnya senang mendengar keputusan tersebut.
Setelah dirasa cukup, Prabu
Duryudana membubarkan pertemuan. Danghyang Druna mohon pamit berangkat
mendampingi Raden Lesmana Mandrakumara, dengan dikawal Adipati Karna, Patih
Sangkuni, Arya Dursasana, Raden Kartawarma, dan para Kurawa lainnya.
Danghyang Druna. |
RADEN SAMBA BERANGKAT KE HUTAN KRENDAYANA BERSAMA ARYA SETYAKI
Sementara itu, Raden Samba
Wisnubrata, putra Prabu Kresna sedang berjalan seorang diri meninggalkan
Kerajaan Dwarawati. Ia dikejar oleh sang paman, yaitu Arya Setyaki yang
menanyakan ke mana arah tujuannya. Raden Samba berkata bahwa ia sangat kecewa
kepada sang ayah yang pilih kasih. Tadi pagi Prabu Kresna bercerita baru saja
mendapat petunjuk dewata bahwa di Hutan Krendayana akan diturunkan Wahyu
Cakraningrat untuk para pangeran muda. Barangsiapa mampu mendapatkan wahyu
tersebut, maka kelak ia akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa. Prabu Kresna
berkata bahwa ia akan pergi ke Kesatrian Plangkawati untuk menyampaikan berita
ini kepada Raden Abimanyu agar berangkat menjemput wahyu tersebut. Hal inilah
yang membuat Raden Samba kesal dan merasa disisihkan.
Arya Setyaki berusaha
menghibur Raden Samba dengan mengatakan bahwa Prabu Kresna seorang waskita yang
mampu meramalkan masa depan. Soal mengapa ia ingin agar Raden Abimanyu yang
berangkat tentu ada alasan kuat di balik semua ini. Namun, Raden Samba tetap
tidak terima. Ia merasa ayahnya lebih sayang kepada keponakan sekaligus
menantu, daripada putra kandung sendiri. Oleh sebab itu, ia pun kabur dari
istana Dwarawati untuk mendahului pergi ke Hutan Krendayana. Ia bertekad harus
bisa mendapatkan Wahyu Cakraningrat sebelum Raden Abimanyu pergi ke sana.
Arya Setyaki berkata tidak
sebaiknya Raden Samba pergi tanpa restu orang tua. Akan lebih baik jika Raden
Samba pulang ke Dwarawati, mungkin kelak ada wahyu lain yang cocok untuknya.
Raden Samba tidak peduli dan memilih tetap berangkat, meskipun tanpa restu
orang tua. Ia bertekad ingin mendapatkan Wahyu Cakraningrat, bukan wahyu yang
lain. Arya Setyaki tidak dapat menghalangi lagi. Ia pun berterus terang bahwa
Prabu Kresna sebelum berangkat ke Kesatrian Plangkawati telah memerintahkan dirinya
untuk menjemput pulang Raden Samba yang kabur dari istana. Apabila Raden Samba
menolak pulang, maka Arya Setyaki diperintahkan untuk mengawal dan
membimbingnya.
Raden Samba terharu mendengar
sang ayah ternyata memerhatikan dirinya. Karena Arya Setyaki mendapat perintah
demikian, Raden Samba pun mengajak pamannya itu untuk segera berangkat ke Hutan
Krendayana, jangan menunda-nunda lagi.
Patih Sangkuni. |
ARYA SETYAKI BENTROK DENGAN PARA KURAWA
Raden Samba dan Arya Setyaki
telah sampai di tepi Hutan Krendayana. Mereka melihat para Kurawa membuat pagar
betis menjaga sekeliling hutan. Raden Kartawarma yang melihat Arya Setyaki dan
Raden Samba datang segera menghentikan mereka. Ia berkata bahwa Hutan
Krendayana sudah dijaga para Kurawa dan tidak seorang pun yang boleh masuk,
kecuali Raden Lesmana Mandrakumara beserta Danghyang Druna dan Patih Sangkuni.
Arya Setyaki marah karena Hutan Krendayana bukan milik Kerajaan Hastina, juga
tidak termasuk wilayah negara mana pun. Siapa saja boleh masuk ke dalamnya.
Namun, Raden Kartawarma tetap bersikeras meminta Raden Samba dan Arya Setyaki
agar pulang saja ke Dwarawati.
Arya Setyaki yang sudah
bertekad melindungi keponakannya segera bertindak. Ia pun melabrak Raden
Kartawarma agar membuka jalan. Para Kurawa yang lain segera maju untuk
melawannya. Pertempuran pun terjadi. Seorang diri Arya Setyaki menghadapi para
pangeran dari Hastina tersebut, yang juga ditambah Adipati Jayadrata dan
Bambang Aswatama. Dengan lincah dan cekatan ia berhasil mengatasi mereka semua.
Adipati Karna yang memimpin
pengamanan Hutan Krendayana akhirnya turun tangan. Kali ini Arya Setyaki mulai
terdesak kalah. Namun, tekadnya demi melindungi Raden Samba membuat kekuatannya
bertambah. Dengan bersenjatakan Gada Wesikuning di tangan, ia menangkis semua
panah yang dilepaskan Adipati Karna. Begitu ada kesempatan, Arya Setyaki pun menerobos
masuk ke dalam Hutan Krendayana sambil menarik tangan Raden Samba. Adipati
Karna hendak mengejar, namun sudah kehilangan jejak. Arya Setyaki dan Raden
Samba sudah lenyap ditelan gelapnya hutan. Adipati Karna akhirnya menghentikan
pengejaran karena ia tidak ingin mengganggu Raden Lesmana Mandrakumara yang
sedang bertapa. Selain itu, ia juga tidak berani melepaskan panah sembarangan
karena takut melukai Raden Samba yang merupakan putra Prabu Kresna, yaitu orang
yang paling ia segani.
Adipati Karna. |
PRABU KRESNA MEMERINTAHKAN RADEN ABIMANYU BERTAPA
Sementara itu, Prabu Kresna
Wasudewa telah sampai di Kesatrian Plangkawati, tempat tinggal suami-istri Raden
Abimanyu dan Dewi Sitisundari. Hadir pula di tempat itu para panakawan Kyai
Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Setelah mendapat penghormatan dan balas
memberikan restu, Prabu Kresna pun memerintahkan Raden Abimanyu agar pergi
bertapa ke Hutan Krendayana, menjemput turunnya Wahyu Cakraningrat. Barangsiapa
mendapatkan wahyu tersebut, maka ia akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa.
Raden Abimanyu bertanya apakah
Prabu Kresna juga memerintahkan putra-putranya, yaitu Raden Samba, Raden
Partajumena, dan Raden Setyaka untuk menjemput Wahyu Cakraningrat. Jika memang
demikian, Raden Abimanyu tidak perlu berangkat, biarlah raja-raja Tanah Jawa
diturunkan dari galur Kerajaan Dwarawati saja, bukan dari dirinya.
Prabu Kresna berkata bahwa ia
tidak memerintahkan putra-putranya untuk menjemput wahyu tersebut, karena ia
melihat mereka tidak mampu menjadi wadah bagi Wahyu Cakraningrat. Raden
Partajumena dan Raden Setyaka menurut, namun Raden Samba membantah serta kabur
dari istana. Prabu Kresna sudah memerintahkan Arya Setyaki untuk mengejar dan
mendampinginya.
Menurut ramalan Prabu Kresna,
orang yang kuat menjadi wadah bersemayamnya Wahyu Cakraningrat adalah Raden
Abimanyu, dan itulah sebabnya ia datang ke Kesatrian Plangkawati. Dewi
Sitisundari ikut membesarkan semangat Raden Abimanyu agar mematuhi perintah
sang ayah. Raden Abimanyu akhirnya menjawab bersedia. Ia pun berpamitan kepada
Prabu Kresna dan Dewi Sitisundari, lalu berangkat bersama para panakawan menuju
Hutan Krendayana.
Prabu Kresna. |
RADEN ABIMANYU DIBANTU RADEN GATUTKACA MENYUSUP KE DALAM HUTAN
KRENDAYANA
Setelah menempuh perjalanan
yang lumayan jauh, Raden Abimanyu dan para panakawan akhirnya sampai di dekat
Hutan Krendayana. Mereka melihat para Kurawa dipimpin Adipati Karna berjaga di
sekeliling hutan seolah tidak mengizinkan siapa pun masuk ke dalamnya. Raden
Abimanyu tidak tahu bagaimana caranya masuk hutan tanpa terlihat oleh mereka.
Pada saat itulah Raden
Gatutkaca datang. Ia mengaku telah diberi tahu Dewi Sitisundari tentang
keberangkatan Raden Abimanyu menuju Hutan Krendayana. Merasa tidak tega, Raden
Gatutkaca pun pergi menyusul. Ia tidak ingin bersaing memperebutkan Wahyu
Cakraningrat dengan adiknya itu, melainkan hanya ingin menjaga dan membantunya
menghadapi kesulitan.
Raden Abimanyu berterima kasih
dan ia berkata ingin masuk ke dalam Hutan Krendayana tanpa terlihat oleh para
Kurawa. Raden Gatutkaca segera mendapat akal. Ia pun menggendong tubuh Raden
Abimanyu dan membawanya terbang tinggi ke angkasa. Di langit luas mereka
bersembunyi di balik awan. Hingga begitu ada kesempatan, mereka pun meluncur
turun dan mendarat di dalam Hutan Krendayana tanpa ada seorang pun Kurawa yang
melihat.
Raden Gatutkaca. |
BATARA GURU MEMERINTAHKAN WAHYU CAKRANINGRAT DAN WAHYU WIDAYAT TURUN
Di Kahyangan Jonggringsalaka,
Batara Guru menerima kedatangan Batara Narada beserta Wahyu Cakraningrat dan
Wahyu Widayat. Wahyu Cakraningrat mengambil wujud seorang laki-laki, sedangkan
Wahyu Widayat mengambil wujud seorang perempuan. Batara Guru memerintahkan
mereka berdua untuk turun ke dunia, karena sudah tiba saatnya bagi keduanya untuk
bersemayam ke dalam tubuh pangeran dan putri yang berjodoh, yang kelak menurunkan
raja-raja Tanah Jawa.
Batara Guru menjelaskan bahwa
saat ini di Hutan Krendayana sedang bertapa tiga orang kesatria. Mereka adalah
Raden Lesmana Mandrakumara dari Kerajaan Hastina, Raden Samba Wisnubrata dari
Kerajaan Dwarawati, dan Raden Abimanyu dari Kerajaan Amarta. Ketiganya bertapa
di tempat yang terpisah. Hendaknya Wahyu Cakraningrat dan Wahyu Widayat lebih
dulu menguji mereka untuk menentukan siapa yang paling mampu menjadi tempat
bersemayam. Kedua wahyu itu pun mematuhi, kemudian berangkat menuju Hutan
Krendayana.
Batara Guru. |
WAHYU CAKRANINGRAT MENGUJI RADEN LESMANA MANDRAKUMARA
Sesampainya di Hutan
Krendayana, Wahyu Cakraningrat dan Wahyu Widayat lebih dulu mendatangi tempat
Raden Lesmana Mandrakumara bertapa. Wahyu Cakraningrat lalu mengubah wujudnya
menjadi seekor harimau besar yang menyeramkan. Ia mengendap-endap mendatangi
Raden Lesmana yang sedang duduk bersamadi di bawah pohon.
Begitu sampai di dekat
pangeran tersebut, harimau penjelmaan Wahyu Cakraningrat segera mengaum keras.
Raden Lesmana Mandrakumara kaget dan membuka mata. Ia langsung ketakutan begitu
melihat ada seekor harimau besar siap menerkam tubuhnya. Pada dasarnya Raden
Lesmana Mandrakumara terbiasa hidup nyaman di istana, sehingga ia pun segera meloncat
dan lari sekencang-kencangnya meninggalkan harimau tersebut.
Raden Lesmana berlari ke arah
Danghyang Druna dan Patih Sangkuni yang menunggu di kejauhan. Ia minta tolong
agar dibebaskan dari harimau yang mengejar dirinya. Kedua orang tua itu berkata
tidak ada harimau. Raden Lesmana pasti sedang diuji oleh harimau jadi-jadian. Itu
artinya, Wahyu Cakraningrat akan segera turun kepadanya. Patih Sangkuni
menyarankan agar cucunya itu kembali melanjutkan bertapa. Namun, Raden Lesmana
sudah sangat ketakutan. Ia meminta lebih baik pulang saja, persetan dengan
urusan Wahyu Cakraningrat segala.
Danghyang Druna juga merasa
percuma jika Raden Lesmana melanjutkan bertapa. Kesempatan mendapatkan Wahyu
Cakraningrat tidak datang dua kali. Maka, ia pun memutuskan untuk mengabulkan
keinginan pangeran manja tersebut, yaitu kembali ke Kerajaan Hastina.
Raden Lesmana Mandrakumara. |
WAHYU CAKRANINGRAT MENGUJI RADEN SAMBA
Wahyu Cakraningrat kemudian
bergerak menguji peserta kedua, yaitu Raden Samba dari Kerajaan Dwarawati. Ia
melihat pangeran itu bertapa duduk di atas sebongkah batu datar. Wahyu
Cakraningrat pun mengubah wujudnya menjadi seekor ular besar. Ia
mengibas-ngibaskan ekornya ke tubuh Raden Samba, namun Raden Samba tidak
membuka mata sama sekali dan tetap tekun bertapa.
Ular naga itu semakin ganas
membelit tubuh Raden Samba dan membantingnya ke sana kemari. Mulutnya menganga
lebar hendak mencaplok kepala Raden Samba, namun Raden Samba tetap teguh tidak
takut sama sekali. Ular naga itu merasa puas. Tubuhnya yang panjang musnah dan
berubah menjadi cahaya, lalu masuk merasuk ke dalam tubuh pangeran tersebut.
Arya Setyaki yang menyaksikan
dari jauh segera datang membangunkan Raden Samba. Raden Samba membuka mata dan
melihat tubuhnya acak-acakan. Arya Setyaki memberikan selamat karena
keponakannya itu telah mendapatkan Wahyu Cakraningrat. Raden Samba merasa
senang bercampur bangga. Ia pun berkata bahwa ramalan ayahnya ternyata meleset.
Ternyata dirinya yang mampu menjadi wadah bersemayamnya Wahyu Cakraningrat.
Arya Setyaki menasihati keponakannya agar jangan gegabah, apalagi memandang rendah
ayah sendiri.
Raden Samba. |
WAHYU WIDAYAT MENGUJI RADEN SAMBA
Wahyu Widayat melihat Wahyu
Cakraningrat telah bersemayam di dalam tubuh Raden Samba. Ia pun berniat
menguji apakah Raden Samba adalah wadah yang tepat atau tidak. Maka, Wahyu
Widayat pun mengubah wujudnya menjadi seorang gadis desa yang sangat cantik,
lalu berjalan mendekati Raden Samba dan Arya Setyaki.
Gadis cantik itu mengucap
salam, lalu berkata bahwa dirinya tersesat di dalam hutan dan mohon dibantu
untuk diantar pulang. Raden Samba tampak tertarik, sedangkan Arya Setyaki
merasa curiga. Arya Setyaki lalu menawarkan dirinya saja yang mengantar gadis
itu pulang, namun Raden Samba justru melarang sang paman ikut campur.
Arya Setyaki menasihati Raden
Samba agar berhati-hati karena setelah mendapatkan Wahyu Cakraningrat bukan
berarti ujian telah berhenti. Raden Samba justru marah-marah dan memaki Arya
Setyaki cerewet hendak mengganggu kesenangannya. Dirinya telah mendapat Wahyu
Cakraningrat maka wajar jika sekarang menjadi orang terpandang. Selain itu
wajahnya juga tampan, maka tidak heran jika banyak perempuan ingin mendekatinya.
Arya Setyaki teringgung atas
ucapan keponakannya itu. Ia pun membenarkan Prabu Kresna mengapa memilih Raden
Abimanyu saja yang pergi menjemput Wahyu Cakraningrat. Karena tidak dihargai,
ia pun pergi meninggalkan Raden Samba dan gadis cantik itu.
Setelah sang paman pergi,
Raden Samba merasa leluasa merayu si gadis. Ia berkata gadis itu tidak perlu
pulang, tetapi sebaiknya ikut dirinya ke Kerajaan Dwarawati. Ia menyombongkan diri
sebagai putra mahkota Kerajaan besar yang kelak menggantikan ayahnya sebagai
raja. Jika si gadis bersedia menjadi istrinya, maka kelak tentu akan menjadi
permaisuri kerajaan pula.
Gadis itu merasa risih melihat
sikap genit Raden Samba. Ia pun melangkah pergi, namun Raden Samba mengejar.
Raden Samba lalu menghalangi gadis itu dan berniat memaksanya. Si gadis
tiba-tiba berubah wujud menjadi makhluk mengerikan. Raden Samba terkejut dan
jatuh terduduk. Pada saat itulah Wahyu Cakraningrat keluar dari tubuhnya, dan
ia pun jatuh pingsan.
Arya Setyaki yang teringat
pada tanggung jawabnya segera kembali ke tempat Raden Samba. Betapa terkejut ia
menjumpai sang keponakan sudah tergeletak pingsan. Namun, ia juga bersyukur
semoga ini menjadi pelajaran tersendiri bagi Raden Samba agar kelak lebih
berhati-hati. Arya Setyaki lalu menggendong tubuh keponakannya itu dan
membawanya pulang meninggalkan Hutan Krendayana.
Arya Setyaki. |
WAHYU CAKRANINGRAT MENDATANGI RADEN ABIMANYU
Wahyu Cakraningrat yang sudah
keluar dari tubuh Raden Samba kini mendatangi peserta ketiga, yaitu Raden
Abimanyu. Ia menyamar sebagai seekor gajah liar yang merusak lingkungan di
sekitar pemuda itu bertapa. Pohon-pohon tumbang dan batu-batuan hancur, namun
sedikit pun Raden Abimanyu tidak goyah dan tetap bersamadi.
Gajah liar itu lalu
mengulurkan belalainya dan membelit tubuh Raden Abimanyu, lalu tubuh pemuda itu
pun diangkat tinggi-tinggi. Namun, Raden Abimanyu tetap tenang dalam samadi.
Gajah liar itu lalu berhenti dan mengembalikan Raden Abimanyu ke tempat semula.
Tubuhnya kemudian musnah dan berubah menjadi cahaya, lalu masuk ke dalam tubuh
pemuda tersebut.
Raden Gatutkaca dan Kyai Semar
keluar dari persembunyian untuk membangunkan Raden Abimanyu. Raden Abimanyu
membuka mata dan melihat kedua kawannya itu mengucapkan selamat atas
keberhasilannya mendapatkan Wahyu Cakraningrat. Hampir saja tadi Raden
Gatutkaca maju menolong Raden Abimanyu saat diserang gajah liar, namun
untungnya dicegah Kyai Semar yang baru datang.
Kyai Semar bercerita bahwa ia
baru bisa memasuki Hutan Krendayana setelah rombongan para Kurawa kembali ke
Kerajaan Hastina. Saat itu ia melihat Raden Abimanyu sedang bersamadi dan
diserang seekor gajah liar. Raden Gatutkaca hendak membantu, namun dicegah Kyai
Semar. Rupanya Kyai Semar paham bahwa gajah tersebut adalah makhluk jadi-jadian
yang hendak menguji kesungguhan Raden Abimanyu.
Kyai Semar lalu menasihati
bahwa ujian belum selesai. Meskipun Wahyu Cakraningrat telah bersemayam dalam
diri Raden Abimanyu, namun ia tidak boleh lengah. Selama empat puluh hari ini
akan tetap ada ujian-ujian yang bisa datang sewaktu-waktu.
Kyai Semar. |
WAHYU WIDAYAT MENGUJI RADEN ABIMANYU
Sama seperti yang dilakukan
terhadap Raden Samba, Wahyu Widayat pun datang menguji Raden Abimanyu dalam
wujud seorang gadis cantik yang mengaku tersesat. Ia memohon bantuan kepada
Raden Abimanyu agar diantar pulang ke rumah. Raden Abimanyu meminta maaf,
dirinya tidak dapat mengabulkan permohonan gadis tersebut. Ia merasa sungguh
aneh ada gadis cantik yang tiba-tiba muncul di dalam hutan lebat. Bisa datang,
mengapa tidak bisa pulang?
Si gadis terus merengek. Jika
ia tidak diantar pulang, lebih baik ia ikut mengabdi sebagai pelayan Raden
Abimanyu saja. Ia mengaku bersedia melakukan apa saja untuk pangeran dari
Plangkawati tersebut. Raden Abimanyu menjawab dirinya sudah memiliki empat
orang panakawan dan tidak membutuhkan pelayan lagi. Jika memang gadis itu ingin
pulang, biarlah salah satu panakawannya saja yang mengantarkan. Usai berkata
demikian, Raden Abimanyu pun melangkah pergi ditemani Raden Gatutkaca dan Kyai
Semar.
Nala Gareng, Petruk, dan
Bagong lalu mengundi siapa yang harus mengantar pulang si gadis. Nala Gareng
memberikan semua uangnya kepada Petruk dan Bagong karena dia yang paling
bersemangat ingin mengantar pulang gadis itu. Kedua adiknya pun sepakat. Dengan
senang hati, Nala Gareng lalu mengantar pulang gadis tersebut.
Setelah berjalan agak jauh,
Nala Gareng mulai merayu si gadis dengan bermacam-macam kata-kata manis.
Tiba-tiba gadis itu menoleh dan wajahnya tampak mengerikan. Nala Gareng lari
ketakutan karena merasa bertemu hantu perempuan. Ia pun kembali ke tempat
Petruk dan Bagong.
Si gadis lalu kembali ke wujud
Wahyu Widayat. Ia berkata bahwa Wahyu Cakraningrat sudah tepat memilih Raden
Abimanyu sebagai tempat bersemayam. Maka, dirinya berniat hendak bersemayam
pula ke dalam tubuh istri pangeran tersebut, yaitu Dewi Sitisundari. Namun, Batara
Narada tiba-tiba datang mencegahnya.
Batara Narada menjelaskan
bahwa Dewi Sitisundari ditakdirkan mandul. Menurut ramalan dewata, Raden
Abimanyu kelak akan menikah lagi dengan Dewi Utari putri Prabu Matsyapati di
Kerajaan Wirata. Gadis itulah yang sebaiknya menjadi tempat Wahyu Widayat
bersemayam. Wahyu Widayat berterima kasih atas petunjuk Batara Narada. Maka, ia
pun berangkat menuju Kerajaan Wirata.
Batara Narada. |
PRABU KRESNA DAN ARYA WREKODARA MENJEMPUT ROMBONGAN RADEN ABIMANYU
Prabu Kresna raja Dwarawati
dan Arya Wrekodara dari Jodipati telah berangkat bersama menuju Hutan
Krendayana untuk menjemput pulang Raden Abimanyu. Di tengah jalan mereka berjumpa
Arya Setyaki yang memapah Raden Samba. Arya Setyaki pun menceritakan semua
peristiwa yang dialami mereka berdua. Raden Samba yang sudah siuman dari
pingsan pun mohon maaf kepada Prabu Kresna karena ia sempat berprasangka buruk
kepada ayahnya itu.
Prabu Kresna menjelaskan bahwa
ia bukan tidak sayang kepada anak sendiri, tetapi ia telah meramalkan bahwa
hanya Raden Abimanyu yang mampu menjadi wadah bersemayamnya Wahyu Cakraningrat.
Namun demikian, ia merasa bangga karena Raden Samba sudah mau berjuang untuk
meraih wahyu tersebut, dan tidak lagi melulu hidup santai di Kesatrian
Paranggaruda. Prabu Kresna pun meramalkan kelak jika keturunan Raden Abimanyu
menjadi raja, maka keturunan Raden Samba akan menjadi patih yang
mendampinginya.
Prabu Kresna lalu mengajak
rombongan melanjutkan perjalanan. Mereka kemudian melihat ada pertempuran di
mana Raden Gatutkaca dikeroyok para Kurawa. Arya Wrekodara dan Arya Setyaki
segera maju membantu mengusir Arya Dursasana dan adik-adiknya itu. Begitu
keduanya turun tangan, para Kurawa pun berhamburan pulang ke Hastina dengan
babak belur.
Raden Abimanyu dan Raden
Gatutkaca berterima kasih. Mereka bercerita bahwa Wahyu Cakraningrat sudah
berhasil didapatkan, namun di tengah jalan Arya Dursasana dan adik-adiknya
berusaha merebut. Rupanya mereka tidak ikut Danghyang Druna dan Raden Lesmana
Mandrakumara pulang ke Hastina, melainkan menunggu di dekat Hutan Krendayana
untuk melampiaskan sakit hati kepada Raden Abimanyu.
Prabu Kresna bersyukur atas
keberhasilan Raden Abimanyu, dan ini juga berkat bimbingan Kyai Semar dan
pengawalan Raden Gatutkaca. Mereka berdua ikut berjasa besar. Prabu Kresna lalu
mengajak rombongan tersebut untuk kembali ke Kerajaan Amarta, melapor kepada Prabu Puntadewa.
Arya Wrekodara. |
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
Untuk kisah turunnya Wahyu Makutarama dapat dibaca di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar