Minggu, 29 Juni 2014

Cupu Linggamanik

Kisah ini menceritakan awal mula Batara Narada diangkat menjadi penasihat kahyangan oleh Batara Guru, serta dilanjutkan dengan pengangkatan Batara Anantaboga sebagai dewa penguasa para ular, serta awal mula Batara Guru memiliki empat lengan dan menikahi Batari Umaranti.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Paramayoga karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan beberapa sumber lain dalam Ensiklopedia Wayang Purwa terbitan Balai Pustaka.

Kediri, 29 Juni 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------


BATARA GURU MEMBANGUN KAHYANGAN JONGGRINGSALAKA

Di Kahyangan Argadumilah, Batara Guru bersama para putra, yaitu Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu sedang membicarakan berita meninggalnya Nabi Isa yang kemudian dibangkitkan kembali dan diangkat naik ke Surga. Tak terasa sudah lima belas tahun para dewata berkahyangan di Pulau Jawa, dan inilah saatnya untuk kembali lagi ke Pegunungan Himalaya.

Setelah dirasa cukup, Batara Guru pun memimpin perjalanan para dewata kembali menuju Gunung Tengguru. Kahyangan Argadumilah di Gunung Mahendra seketika menjadi kosong tak berpenghuni setelah kepergian mereka.

Sesampainya di Pegunungan Himalaya, para dewata sangat prihatin melihat keadaan Kahyangan Tengguru yang porak poranda akibat serangan burung dara berbisa ciptaan Nabi Isa dulu. Batara Guru berpendapat, kahyangan yang sudah rusak sebaiknya tidak ditempati lagi. Ia kemudian terbang ke angkasa untuk melihat ke sekeliling Pegunungan Himalaya. Akhirnya, pilihan pun jatuh kepada sebuah gunung bernama Gunung Kailasa.

Batara Guru lalu membangun kahyangan baru di atas Gunung Kailasa tersebut. Balai Marcukunda dan Balai Marakata ditempatkan di dalamnya, serta dibangun pula sepasang pintu gerbang bernama Kori Selamatangkep yang bisa membuka dan menutup sendiri tergantung tamu yang datang berniat baik ataukah buruk.

Kahyangan baru tersebut akhirnya selesai dibangun dan diberi nama Kahyangan Jonggringsalaka, karena memancarkan sinar putih keperakan. Para dewa juga membangun kahyangan pribadi sebagai tempat tinggal masing-masing. Batara Sambu tinggal di Kahyangan Suwelagringging, Batara Brahma tinggal di Kahyangan Duksinageni, Batara Indra tinggal di Kahyangan Karang Kaindran, Batara Bayu tinggal di Kahyangan Swargapanglawung, Batara Wisnu tinggal di Kahyangan Utarasegara, Batara Yamadipati tinggal di Kahyangan Yamaniloka, Batara Kamajaya tinggal di Kahyangan Cakrakembang, dan masih banyak lagi yang lainnya.

PARA DEWA BERTEMU MAHARESI KANEKAPUTRA

Beberapa tahun kemudian Batara Guru melihat adanya sinar teja atau pelangi tegak lurus di sebelah selatan Pegunungan Himalaya. Ia pun memerintahkan para putra untuk menyelidiki asal-usul sinar teja tersebut. Batara Sambu lalu berangkat bersama keempat adiknya.

Para dewa itu terbang menuju selatan dan akhirnya sampai di Samudera Hindia. Mereka melihat seorang laki-laki bertapa dengan duduk samadi di atas ombak laut sambil tangannya menggenggam sebuah cupu yang bersinar indah. Batara Sambu dan yang lain pun membangunkan laki-laki itu dan menanyakan apa maksud dan tujuannya bertapa.

Laki-laki itu mengaku bernama Maharesi Kanekaputra yang bertapa ingin menjadi penasihat raja dewa. Batara Sambu dan para adik pun menertawakannya, kecuali Batara Wisnu yang memiliki firasat kalau laki-laki ini benar-benar memiliki kesaktian dan ilmu pengetahuan yang sangat tinggi.

Maharesi Kanekaputra tidak peduli dan kembali bertapa. Batara Sambu merasa diacuhkan, dan ia pun memerintahkan para adik untuk membangunkan petapa itu dengan paksa. Tiba-tiba saja tubuh Maharesi Kanekaputra mengeluarkan tenaga dahsyat yang mendorong para dewa itu terlempar kembali ke utara, kecuali Batara Wisnu yang sejak awal tidak ikut mengganggunya. Batara Wisnu mohon pamit dengan hormat lalu melesat menyusul kakak-kakaknya.

BATARA GURU MENGHADAPI MAHARESI KANEKAPUTRA

Batara Guru datang menemui Maharesi Kanekaputra setelah mendapat laporan kekalahan putra-putranya. Batara Guru sangat heran mengapa ada seorang maharesi yang bertapa ingin menjadi penasihat kahyangan. Maka, selaku raja dewa ia pun mengajukan beberapa pertanyaan untuk menguji ilmu pengetahuan petapa tersebut.

Maharesi Kanekaputra menjawab setiap pertanyaan Batara Guru dengan gaya bercanda, namun setiap jawabannya selalu benar. Batara Guru merasa kagum sekaligus kesal melihat Maharesi Kanekaputra yang tingkah lakunya seperti pelawak itu. Maka, ia pun tak kuasa menahan diri dan menyebut lawan bicaranya itu seperti badut. Ucapan tersebut disertai Aji Kawastrawam sehingga wujud Maharesi Kanekaputra dalam sekejap berubah bentuk menjadi laki-laki bertubuh pendek dan gemuk seperti badut, dengan wajah lucu yang selalu mendongak ke atas.

Batara Guru menyesali ucapannya namun semuanya sudah terlambat. Ia kemudian menelusuri asal-usul Maharesi Kanekaputra yang tidak lain adalah kakak sepupunya sendiri, yaitu putra Sanghyang Caturkaneka, atau cucu Sanghyang Darmajaka. Batara Guru pun memohon maaf dan mengabulkan keinginan Maharesi Kanekaputra menjadi penasihat kahyangan, karena selama ini ia sering berbuat khilaf karena terlalu berkuasa tanpa ada yang mengendalikan. Maharesi Kanekaputra menerima permohonan tersebut, dan ia pun memakai nama Batara Narada.

Sejak saat itu Batara Narada menjadi penasihat Batara Guru, dan ia mendapatkan Kahyangan Sidiudal-udal sebagai tempat tinggal. Ia juga menyerahkan Cupu Linggamanik yang selalu digenggamnya sewaktu bertapa kepada Batara Guru sebagai pelengkap pusaka Kahyangan Jonggringsalaka. Cupu Linggamanik tersebut adalah pemberian ayahnya, yaitu Sanghyang Caturkaneka yang berisikan air Tirta Mayahadi.

Batara Narada.

BATARA ANANTABOGA DAN BATARA BASUKI

Pada suatu hari Cupu Linggamanik tiba-tiba terbang sendiri meninggalkan ruang pusaka Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru memerintahkan para dewa untuk mencari ke mana hilangnya cupu pusaka tersebut.

Cupu Linggamanik ternyata masuk ke Kahyangan Saptapretala di dasar bumi dan ditemukan oleh seekor naga yang sedang bertapa. Naga itu bernama Adisesa yang langsung menangkap cupu pusaka tersebut dengan mulutnya.

Para dewa datang dan menuduh Naga Adisesa telah mencuri Cupu Linggamanik. Naga Adisesa tidak terima dan terjadilah pertempuran. Tidak lama kemudian muncul adik Naga Adisesa bernama Naga Basuki yang segera membantu sang kakak. Para dewa terdesak kewalahan dan akhirnya kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melaporkan apa yang terjadi.

Batara Guru dan Batara Narada kemudian datang ke Kahyangan Saptapratala untuk menanyai Naga Adisesa dan Naga Basuki secara baik-baik. Ternyata Batara Guru dapat menebak asal-usul kedua naga tersebut yang terhitung masih kerabat sendiri. Ayah Batara Guru yaitu Sanghyang Tunggal memiliki adik perempuan bernama Dewi Suyati yang menikah dengan jin berwujud naga bernama Anantawasesa. Dari perkawinan itu lahir dua ekor naga bernama Anantaswara dan Anantadewa. Anantaswara memiliki anak perempuan bernama Dewi Basu, sedangkan Anantadewa memiliki putra bernama Anantanaga. Anantanaga dan Dewi Basu kemudian dinikahkan, sehingga lahir dua ekor naga bernama Adisesa dan Basuki tersebut.

Karena Batara Guru datang secara baik-baik, Naga Adisesa pun menyerahkan Cupu Linggamanik dengan cara yang baik pula. Sebagai rasa terima kasih, Naga Adisesa dan Naga Basuki diangkat menjadi dewa dan masing-masing diberi gelar Batara Anantaboga dan Batara Basuki. Batara Anantaboga ditunjuk sebagai pemimpin para ular yang hidup di darat, sedangkan Batara Basuki menjadi pemimpin para ular yang hidup di air.

Setelah dirasa cukup, Batara Guru dan Batara Narada pun kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka dengan membawa Cupu Linggamanik.

KELAHIRAN BAYI DARI BUAH RANTI

Sejak kepergian Batari Uma menjadi Batari Durga yang tinggal di Kahyangan Setragandamayit, Batara Guru merasa kesepian dan kehilangan rekan untuk dimintai pertimbangan. Ia pun meminta kepada mertuanya, yaitu Saudagar Umaran untuk dicarikan istri yang wajahnya mirip dengan Batari Uma. Saudagar Umaran tidak tahu bagaimana caranya, namun ia juga tidak berani menolak permintaan sang raja dewata.

Saudagar Umaran kemudian pulang ke Kerajaan Merut dan bersamadi di kebun buah ranti di pekarangan istananya. Setelah beberapa lama, tapa brata Saudagar Umaran tersebut akhirnya dikabulkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Tiba-tiba saja ada sebutir buah ranti yang membesar ukurannya sedikit demi sedikit. Saudagar Umaran lalu membuka buah ranti berukuran besar tersebut, ternyata di dalamnya berisikan seorang bayi.

Akan tetapi, bayi ajaib itu tiba-tiba terbang melesat ke arah timur. Saudagar Umaran pun bergegas mengejar ke mana perginya. Ternyata bayi itu melayang-layang memasuki Kahyangan Jonggringsalaka dan membuat suasana menjadi gempar. Para dewa berusaha menangkapnya namun tidak ada yang mampu. Saudagar Umaran datang melapor kepada Batara Guru bahwa bayi itu adalah bayi ajaib yang tercipta dari dalam buah ranti di pekarangan istananya.

Batara Guru pun turun tangan berusaha ikut menangkap si bayi namun selalu gagal. Ia merasa sangat kesal dan berkata andai saja dirinya memiliki empat lengan, tentu bisa menangkap bayi tersebut. Seketika ucapan yang disertai Aji Kawastrawam itu menjadi kenyataan. Tiba-tiba saja lengan Batara Guru berubah menjadi empat. Tanpa pikir lagi, ia pun melesat dan berhasil menangkap kedua tangan dan kedua kaki si bayi menggunakan keempat lengannya itu.

BATARA GURU MENIKAHI BATARI UMARANTI

Batara Guru mengamati wujud si bayi ajaib yang ternyata memiliki kelamin ganda. Ia lalu meruwat bayi tersebut menggunakan siraman air Tirta Mayahadi dalam Cupu Linggamanik, sehingga kelamin laki-laki pada si bayi musnah dan yang tertinggal hanya kelamin perempuan saja. Batara Guru lalu menyiramkan Tirta Mayahadi untuk yang kedua kalinya. Secara ajaib, bayi itu langsung berubah menjadi perempuan dewasa seketika.

Batara Guru dan Saudagar Umaran sangat gembira karena wajah perempuan tersebut sama persis dengan Batari Uma. Batara Guru juga berkenan menjadikannya sebagai istri sebagai pengganti Batari Uma. Perempuan itu lalu diberi nama Batari Umaranti, karena tercipta dari buah ranti.

Pernikahan antara Batara Guru dengan Batari Umaranti akhirnya dikaruniai tiga orang putra, yaitu Batara Mahadewa, Batara Cakra, dan Batara Asmara.

Batara Guru berlengan empat.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Senin, 23 Juni 2014

Batara Kala Lahir

Kisah ini menceritakan tentang kelahiran Batara Kala yang terjadi dari kama salah Batara Guru, dilanjutkan dengan peristiwa Batari Uma berubah wujud menjadi Batari Durga.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Paramayoga karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.


Kediri, 23 Juni 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------


BATARA GURU MENGAJAK BATARI UMA BERPESIAR

Meskipun telah membangun Kahyangan Argadumilah yang tidak kalah indahnya dibanding Kahyangan Tengguru, namun perasaan Batara Guru masih sangat kecewa atas kekalahannya melawan mukjizat Nabi Isa. Ia hanya bisa menyesali perbuatannya yang telah menyerang Kerajaan Bani Israil dan melanggar nasihat Sanghyang Padawenang.

Untuk menghibur diri, Batara Guru mengajak Batari Uma pergi berpesiar menikmati keindahan Pulau Jawa. Batari Uma awalnya tidak bersedia karena ia mendapatkan firasat akan terjadi hal yang tidak baik. Namun Batara Guru terus-menerus mendesak sehingga Batari Uma akhirnya menurut juga.

LAHIRNYA KAMA SALAH

Batara Guru dan Batari Uma pun berangkat dengan mengendarai Lembu Andini. Mereka terbang di angkasa menikmati keindahan Pulau Jawa dari atas. Ketika melewati Laut Selatan, saat itu hari sudah menjelang senja. Sinar matahari terbenam yang kemerah-merahan menerpa tubuh Batari Uma sehingga membuatnya terlihat semakin cantik.

Tiba-tiba saja Batara Guru terbangkit nafsu birahinya. Maklum saja, sejak kelahiran Batara Wisnu yang melalui ajian Asmaragama, Asmaracipta, dan Asmaraturida, ia tidak pernah lagi melakukan persetubuhan dengan sang istri, sehingga kali ini nafsunya bagaikan meledak dan berkobar-kobar.

Batara Guru pun mengajak Batari Uma bersetubuh di atas punggung Lembu Andini saat itu juga. Batari Uma menolak karena malu, namun Batara Guru terus memaksa dan mengancam hendak menggunakan kekerasan. Batari Uma mengingatkan Batara Guru selaku raja dewata tidak sepantasnya bersikap seperti raksasa. Ucapan Batari Uma yang sedang terdesak itu berubah menjadi kutukan. Seketika, Batara Guru pun mendapatkan cacat ketiga, yaitu memiliki dua buah taring panjang seperti raksasa. Maka, sejak saat itu Batara Guru mendapatkan julukan baru, yaitu Sanghyang Randuwana, yang bermakna "memiliki taring seperti buah randu hutan".

Batara Guru sangat murka atas kutukan yang menimpa dirinya. Keinginannya bersetubuh pun berubah menjadi niat untuk memerkosa istri sendiri. Tubuh Batari Uma kemudian diangkat dan didudukkan di atas pangkuannya. Karena nafsu birahi sudah tak terkendalikan, air mani Batara Guru pun memancar keluar. Namun Batari Uma meronta menghindarinya sehingga air mani tersebut jatuh ke laut. Tiba-tiba saja air laut yang terkena tumpahan air mani sang raja dewata langsung mendidih dan mengepulkan asap.

KAMA SALAH BERUBAH WUJUD MENJADI RAKSASA

Dengan perasaan kecewa bercampur malu, Batara Guru memutuskan pulang ke Kahyangan Argadumilah. Tiba-tiba datang dewa penjaga lautan yang bernama Batara Baruna menghadap kepadanya. Batara Baruna ini adalah putra Batara Gangga, putra Batara Hermaya, putra Sanghyang Hening, yaitu paman Batara Guru.

Batara Baruna melaporkan bahwa di Laut Selatan telah tercipta api berkobar-kobar yang menewaskan banyak ikan dan binatang air. Batara Baruna mengaku kesulitan memadamkan api tersebut, karena semakin dipadamkan justru semakin bertambah besar. Kedatangannya ke Kahyangan Argadumilah ini adalah untuk memohon bantuan kepada Batara Guru supaya turun tangan menyelamatkan segenap binatang laut.

Batara Guru paham bahwa api tersebut sesungguhnya berasal dari "kama salah", yaitu luapan nafsu birahi salah tempat yang tadi tumpah dan membuat air laut mendidih. Rupanya gelembung kama salah tersebut kini telah berkembang dan tumbuh menjadi api yang berkobar-kobar. Batara Guru lalu memerintahkan Batara Sambu supaya memimpin para adik dan para sepupu untuk memadamkan kobaran Kama Salah tersebut.

Batara Sambu dan pasukan dewata telah tiba di Laut Selatan dan mengepung api yang berkobar-kobar itu. Mereka lantas mengerahkan segala cara untuk memadamkan api Kama Salah. Namun, bukannya padam, api tersebut justru berkobar semakin besar. Para dewa lantas melemparkan berbagai senjata pusaka ke dalam kobaran api. Namun, secara ajaib api itu justru berubah wujud menjadi raksasa mengerikan. Semakin para dewa menghujaninya dengan senjata, raksasa itu justru semakin bertambah besar dan kuat.

Raksasa Kama Salah itu lalu mengamuk melakukan serangan balasan. Para dewa pun kocar-kacir dibuatnya. Mereka berhamburan terbang kembali ke Kahyangan Argadumilah. Si Kama Salah terus mengejar sambil menanyakan siapa dirinya, dan siapa orang tuanya.

Kama Salah.

KAMA SALAH MENDAPAT NAMA BATARA KALA

Kama Salah mengejar para dewa sampai memasuki Kahyangan Argadumilah. Batara Guru dengan tenang menyambut kedatangannya dan menyuruhnya duduk di lantai. Kama Salah heran melihat wujud Batara Guru yang jauh lebih kecil dari dirinya namun berani memberikan perintah begitu saja. Batara Guru pun memperkenalkan diri sebagai raja dewata, penguasa seluruh dunia. Kama Salah merasa kebetulan, karena Batara Guru pasti bisa menceritakan siapa asal-usulnya, dan siapa orang tuanya.

Batara Guru bersedia menceritakan asal-usul Kama Salah apabila raksasa tersebut memberikan sembah bakti yang tulus kepadanya. Kama Salah pun membungkuk menghaturkan sembah. Pada saat itulah Batara Guru tiba-tiba memangkas rambut raksasa itu. Kama Salah terkejut dan mendongak. Secepat kilat Batara Guru memotong dua buah taringnya, dan menusuk lidahnya hingga semua bisa di dalam mulut raksasa itu mengalir keluar. Begitu kehilangan dua buah taring dan bisa di lidahnya, tubuh Kama Salah langsung lemas tak berdaya dan terkulai di lantai.

Batara Guru kemudian memperkenalkan dirinya sebagai ayah dari Kama Salah. Sejak hari itu Kama Salah diakuinya sebagai putra, dan diberi nama Batara Kala, karena lahir pada saat senjakala. Putra nomor enam itu lalu diperintahkan untuk tinggal di Pulau Nusakambangan yang terletak di Laut Selatan. Batara Kala berterima kasih dan berangkat menuruti perintah sang ayah.

Batara Guru kemudian menyerahkan kedua taring Batara Kala yang dipotongnya tadi kepada Batara Ramayadi dan Batara Anggajali supaya ditempa menjadi senjata. Kedua empu kahyangan itu lalu mengubah taring-taring tersebut menjadi dua bilah keris pusaka, yang diberi nama Keris Kalanadah dan Keris Kaladite.

BATARI UMA DIKUTUK MENJADI BATARI DURGA

Berita tentang Batara Guru memiliki anak berwujud raksasa besar dan mengerikan telah membuatnya merasa sangat malu. Ia pun menimpakan kesalahan kepada Batari Uma yang seharusnya tidak menolak sewaktu diajak bersetubuh di atas punggung Lembu Andini tadi. Batara Guru pun menemui Batari Uma dan menceritakan segalanya. Ia memarahi Batari Uma sebagai istri tidaklah pantas menolak perintah suami.

Batari Uma balas mengatakan bahwa terciptanya Batara Kala tidak lain karena kesalahan Batara Guru sendiri yang tidak dapat mengendalikan nafsu birahi. Jawaban ini membuat Batara Guru tersinggung dan semakin marah. Batara Guru lalu menjambak rambut sang istri dan memukuli badannya. Kedua kaki Batari Uma diangkat sehingga tubuhnya pun tergantung dengan kepala di bawah.

Batari Uma menjerit memohon ampun dengan suara yang melengking menyayat hati. Batara Guru tidak peduli dan menyebut jeritan Batari Uma itu seperti suara raksasi. Karena Batara Guru memiliki ajian Kawastrawam, membuat apa yang ia ucapkan menjadi kenyataan. Seketika wujud Batari Uma pun berubah menjadi raksasi buruk rupa.

Batara Guru menyesali kutukannya, namun semua sudah terlambat. Sejak saat itu Batari Uma diganti namanya menjadi Batari Durga dan diperintahkan untuk tinggal di Hutan Setragandamayit, memimpin para hantu dan siluman. Kelak ia akan berubah cantik kembali jika diruwat oleh seorang yang paling muda dari lima bersaudara Pandawa.

Batari Uma yang telah berganti nama menjadi Batari Durga itu pun menerima keputusan sang suami dengan perasaan sedih. Ia lalu berangkat meninggalkan Kahyangan Argadumilah dan pergi ke Hutan Setragandamayit untuk membangun kahyangan pribadi di sana.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------












Selasa, 17 Juni 2014

Dara Wisa

Kisah ini menceritakan tentang kehancuran Kahyangan Tengguru akibat serangan burung dara berbisa buatan Nabi Isa. Batara Guru terpaksa mengungsi ke sebuah pulau panjang yang kemudian diberi nama Pulau Jawa. Di pulau itu, ia membangun tempat tinggal baru bernama Kahyangan Argadumilah.

Kisah ini disusun berdasarkan Serat Paramayoga yang dipadukan dengan naskah-naskah lainnya, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 17 Juni 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

RENCANA BATARA GURU MENYERANG BANI ISRAIL

Batara Guru di Kahyangan Tengguru bersama para putra, yaitu Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu sedang membicarakan rencana menyerang Kerajaan Bani Israil dan menyebarluaskan Agama Dewa di sana. Rupanya Batara Guru masih penasaran karena sampai sekarang belum juga bisa menaklukkan negeri para nabi tersebut.

Batara Wisnu memohon supaya sang ayah mengurungkan niat, karena tidak baik memaksakan agama kepada orang lain. Lagipula, Kerajaan Bani Israil saat ini sudah menjadi jajahan Kerajaan Rum, dan bukan lagi sebuah negeri yang merdeka.

Batara Guru marah dan menuduh Batara Wisnu telah bersekongkol dengan kaum Bani Israil. Batara Guru tetap pada pendirian untuk memaksakan Agama Dewa kepada penduduk Bani Israil, sebagai balasan atas perbuatan Nabi Sulaiman yang telah menghancurkan Kahyangan Pulau Dewa dahulu kala. Mengenai Kerajaan Rum yang saat ini berkuasa, itu bisa diatur nanti. Bila perlu, setelah menaklukkan Kerajaan Bani Israil, pasukan dewata akan bergerak menaklukkan Kerajaan Rum sekalian.

Batara Wisnu tidak berani membantah lagi. Batara Guru lalu memerintahkan Batara Sambu untuk mengumpulkan dan memimpin pasukan dewata serta memulai penyerangan.

PASUKAN DEWATA MENYERANG BANI ISRAIL


Batara Sambu dan para adik, yaitu Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu, serta beberapa sepupu, yaitu Batara Wrehaspati, Batara Kuwera, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Temburu, dan Batara Kamajaya menyusun rencana penyerangan terhadap Kerajaan Bani Israil sesuai perintah Batara Guru. Sebenarnya Batara Sambu juga kurang setuju terhadap rencana ini. Akan tetapi, ia tidak memiliki keberanian seperti Batara Wisnu dalam menentang perintah sang ayah. Ia hanya bisa berharap semoga peperangan kali ini bisa berjalan dengan baik tanpa menjatuhkan banyak korban. Setelah dirasa cukup, mereka pun menyiapkan pasukan dewata dan berangkat menuju ke arah barat.

Sesampainya di wilayah Kerajaan Bani Israil, pasukan dewata mulai mengadakan pengrusakan. Para penduduk dipaksa untuk meninggalkan Agama Nabi dan beralih memeluk Agama Dewa. Hanya Batara Wisnu yang terlihat diam saja dengan perasaan sangat prihatin.

Pasukan Kerajaan Bani Israil dengan dibantu pasukan Kerajaan Rum mengadakan perlawanan, namun mereka semua tidak mampu menghadapi kekuatan para dewa. Pasukan dewata terus-menerus maju menguasai wilayah Bani Israil.

Batara Sambu.

NABI ISA MENCIPTAKAN BURUNG DARA BERBISA

Pada saat itu hidup seorang keturunan Sayidina Anwas yang bernama Nabi Isa. Ia didatangi para murid yang memohon supaya Nabi Isa turun tangan menyelamatkan Kerajaan Bani Israil dari kehancuran. Nabi Isa lantas mengambil tanah liat dan membentuknya menjadi boneka burung dara. Setelah meniupnya, secara ajaib tiba-tiba boneka tanah liat itu hidup menjadi burung dara sungguhan yang dapat terbang di angkasa, tentu saja atas izin Tuhan Yang Mahakuasa.

Burung dara ajaib itu melesat ke angkasa dan menyerang para dewa. Paruhnya mampu menyemburkan bisa panas yang melukai kulit para dewa. Selain itu, burung tersebut juga mampu terbang cepat dan sangat gesit sehingga para dewa tidak mampu menangkapnya. Melihat keadaan telah berbalik, Batara Sambu pun memerintahkan pasukan dewata supaya mundur kembali ke Gunung Tengguru.

BATARA GURU MENGUNGSI KE SEBERANG TIMUR

Batara Sambu dan pasukan dewata telah kembali dan menghadap Batara Guru untuk menyampaikan apa yang telah terjadi. Tak disangka, burung dara ajaib tetap mengejar dan merusak bangunan kahyangan. Para dewa dan bidadari pontang-panting berlarian terkena semburan bisa panas dari paruhnya.

Batara Guru sendiri juga kesulitan untuk menangkap burung dara ciptaan Nabi Isa tersebut. Dalam keadaan terdesak inilah Batara Guru baru menyadari kesalahannya yang telah melanggar pesan Sanghyang Padawenang untuk tidak mengganggu penduduk Bani Israil.

Batara Guru merasa sangat berduka dan segera memerintahkan semua dewa dan bidadari untuk mengungsi meninggalkan Kahyangan Tengguru. Para dewa lalu masuk ke dalam Balai Marcukunda, sedangkan para bidadari masuk ke dalam Balai Marakata. Batara Bayu yang perkasa lalu mengangkat kedua balai tersebut dan membawanya terbang sekencang-kencangnya ke arah timur dengan mengerahkan kekuatan angin.

Setelah menyeberangi Samudra Hindia, Batara Bayu sampai di sebuah pulau yang membentang panjang dari ujung utara-barat dan berbelok ke timur. Pulau tersebut tidak lain adalah gabungan Sumatra, Jawa, dan Bali di masa sekarang yang saat itu masih satu kesatuan. Batara Guru lalu memerintahkan Batara Bayu untuk berhenti di Tanah Padang, di bagian Pulau Sumatra sekarang.

BATARA WISNU MEMUSNAHKAN DARA BERBISA

Setelah Batara Bayu menurunkan kedua balai, tak disangka burung dara ajaib masih mengejar dan kembali menyemburkan bisa panas ke arah para dewa dan bidadari. Batara Guru curiga melihat Batara Wisnu yang tetap segar bugar, sama sekali tidak terluka oleh semburan bisa panas tersebut.

Batara Wisnu terpaksa mengaku, bahwa ia diam-diam menjalin persahabatan dengan Pendeta Usmanaji dari Bani Israil, dan pernah bertukar ilmu dengan orang itu sehingga ia mampu menangkal semburan bisa panas burung dara tersebut. Batara Guru sangat marah dan menuduh putra bungsunya itu telah berkhianat.

Batara Wisnu berduka mendapat tuduhan demikian. Ia lantas mohon izin untuk maju menghadapi si burung dara. Batara Ramayadi melaporkan bahwa dirinya telah menyelesaikan sebuah senjata ampuh bernama Cakra Sudarsana. Senjata tersebut berwujud piringan bergigi tajam, yang kemudian dipinjamkan kepada Batara Wisnu atas izin Batara Guru.

Batara Wisnu maju menerima Cakra Sudarsana, kemudian melemparkannya ke arah burung dara berbisa sambil mengucapkan doa permohonan kepada Tuhan Yang Mahakuasa di dalam hati. Kali ini si burung dara tidak bisa lagi menghindar. Begitu terkena senjata Cakra Sudarsana, burung ajaib itu langsung hancur berkeping-keping menjadi bara api yang jatuh di kaki Gunung Marapi.

Batara Guru sangat senang melihat keberhasilan Batara Wisnu dan meminta maaf atas tuduhan tadi. Ia juga menetapkan bahwa senjata Cakra Sudarsana mulai saat ini resmi menjadi pusaka pribadi Batara Wisnu. Batara Wisnu sangat berterima kasih dan menerimanya dengan suka cita.

PARA DEWA TERKENA RACUN CALAKUTA


Tersebutlah seorang raja siluman bernama Danghyang Calakuta yang menguasai segenap hewan berbisa di Kerajaan Wisabawana yang terletak di kaki Gunung Marapi. Ia sangat terkejut karena tiba-tiba saja ada sejumlah kepingan bara api yang jatuh menimpa tempat tinggalnya. Akibatnya, terjadilah kebakaran hebat yang membuat banyak hewan berbisa anak buahnya tewas menjadi korban.

Danghyang Calakuta sangat marah dan menyelidiki apa yang sebenarnya telah terjadi. Setelah mengetahui kalau bara api tersebut berasal dari bangkai burung dara yang dibunuh dewa, maka ia pun merencanakan pembalasan yang setimpal. Dengan kesaktiannya, Danghyang Calakuta lalu mencampurkan racun ganas ke dalam sebuah telaga jernih di kaki Gunung Marapi.

Sementara itu, para dewa dan bidadari merasa sangat kehausan akibat dikejar-kejar burung dara berbisa tadi. Mereka lalu menemukan telaga jernih di kaki Gunung Marapi dan segera minum sepuas-puasnya dengan riang gembira. Sungguh aneh, begitu meminum air telaga itu, mereka semua langsung roboh tak sadarkan diri.

Batara Guru yang belum sempat meminum air telaga tersebut segera melakukan penyelidikan. Setelah mengetahui kalau air telaga itu mengandung racun, maka ia pun menghirup habis racun dalam telaga tersebut dan menghentikannya di kerongkongan. Akibatnya, sejak saat itu Batara Guru pun memiliki leher belang biru sebagai cacat nomor dua, sehingga ia mendapatkan julukan baru sebagai Sanghyang Nilakanta.

Batara Guru kemudian menyembuhkan para dewa dan bidadari yang keracunan menggunakan Lata Mahosadi. Setelah sembuh dan bangkit dari sekarat, mereka dipersilakan minum kembali karena air telaga saat ini sudah bebas dari racun.

BATARA GURU MENGELILINGI PULAU PANJANG

Batara Guru kemudian bertemu dengan Danghyang Calakuta yang telah menebarkan racun di telaga tadi. Terjadilah pertarungan di antara mereka yang berakhir dengan kemenangan Batara Guru. Danghyang Calakuta mohon ampun dan menceritakan apa yang telah terjadi pada tempat tinggalnya di Wisabawana, sehingga ia nekat melakukan pembalasan dengan meracuni air telaga yang hendak diminum para dewata.

Batara Guru yang saat ini sedang mengalami masa prihatin merasa tidak ada gunanya memperpanjang kesalahpahaman. Ia pun menerima permohonan ampun Danghyang Calakuta, dan memintanya untuk menjadi pemandu jalan. Rupanya Batara Guru tertarik melihat pulau panjang tersebut dan ingin berjalan-jalan mengelilinginya.

Danghyang Calakuta dengan senang hati mengantarkan Batara Guru memeriksa keadaan pulau dari ujung utara-barat menuju selatan-timur. Pulau tersebut sangat indah dan subur, dengan gunung-gunung yang berbaris-baris, namun penghuninya hanya terdiri dari kaum bekasakan dan makhluk halus saja. Setelah selesai berkeliling, Batara Guru pun berterima kasih kepada Danghyang Calakuta dan mengangkatnya sebagai anggota dewata dengan bergelar Batara Calakuta.

Batara Guru kemudian memberi nama pulau panjang tempatnya tingal kini dengan sebutan Pulau Jawa.

BATARA GURU MEMBANGUN KAHYANGAN ARGADUMILAH


Dalam perjalanan mengelilingi Pulau Jawa, Batara Guru tertarik pada sebuah gunung indah bernama Gunung Mahendra, yang pada zaman sekarang disebut Gunung Lawu. Ia merasa cocok berada di sana dan ingin membangun kahyangan baru sebagai tempat tinggal sementara. Kelak jika sudah aman, ia tentu akan kembali lagi ke Kahyangan Tengguru di Pegunungan Himalaya.

Dengan kesaktiannya, Batara Guru pun membangun sebuah kahyangan di puncak Gunung Mahendra tersebut, yang kemudian ia beri nama Kahyangan Argadumilah. Setelah dirasa cukup, Balai Marcukunda dan Balai Marakata lalu ditempatkan di dalam kahyangan baru tersebut, sehingga pemandangan di Kahyangan Argadumilah kini sama persis seperti pemandangan di Kahyangan Tengguru.

JAKA SENGKALA MENJADI RAJA

Sementara itu di Kerajaan Surati, Prabu Iwasaka telah mendengar berita mengenai kepindahan Batara Guru ke Pulau Jawa karena dikejar-kejar burung dara berbisa ciptaaan Nabi Isa. Prabu Iwasaka merasa sangat prihatin dan berniat menyusul ke sana. Ia pun kembali menjadi Batara Anggajali dan menyerahkan takhta Kerajaan Surati kepada putranya, yaitu Jaka Sengkala.

Jaka Sengkala menggantikan ayahnya menjadi pemimpin Kerajaan Surati dengan bergelar Prabu Ajisaka. Setelah upacara pelantikan putranya selesai, Batara Anggajali kemudian melesat terbang menyusul Batara Guru ke Pulau Jawa dan bergabung dengan para dewata di Kahyangan Argadumilah.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------













Senin, 09 Juni 2014

Jaka Sengkala

Kisah ini menceritakan kelahiran dan kehidupan masa muda Jaka Sengkala, putra Batara Anggajali. Ia kelak bergelar Ajisaka, yaitu orang yang mengisi Pulau Jawa dengan penduduk dari bangsa manusia.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber dari Serat Paramayoga karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 09 Juni 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------


PRABU SAKIL BERTEMU BATARA ANGGAJALI

Tersebutlah seorang raja keturunan Nabi Ismail bernama Prabu Sakil yang memerintah Kerajaan Najran. Raja ini suka sekali berdagang ke seberang lautan dengan berdandan sebagai saudagar. Pada suatu hari, kapal yang ditumpangi Prabu Sakil dan para pengikutnya hancur dihantam badai. Seluruh penumpang tewas, kecuali Prabu Sakil yang terapung-apung di lautan dengan berpegangan pada sebilah papan kayu.

Batara Anggajali saat itu sedang duduk di atas ombak laut sambil mengerjakan perintah Batara Guru untuk membuat senjata-senjata pusaka kahyangan. Ketika melihat Prabu Sakil terapung-apung, ia pun bergegas menolong dan membawanya naik ke daratan.

Setelah sadar dari pingsan, Prabu Sakil berterima kasih atas pertolongan Batara Anggajali. Mereka pun berkenalan dan saling menceritakan asal-usul masing-masing. Sebagai ungkapan terima kasih, Prabu Sakil memohon dengan sangat agar Batara Anggajali sudi singgah di Kerajaan Najran barang beberapa hari.

Batara Anggajali tidak tega untuk menolak. Maka dengan kesaktiannya, ia pun menggendong Prabu Sakil dan membawanya terbang di udara, sehingga dalam sekejap saja mereka sudah sampai di ibu kota Kerajaan Najran.

BATARA ANGGAJALI MENIKAHI DEWI SAKA

Prabu Sakil sangat menyukai pribadi Batara Anggajali dan berterus terang ingin menjadikannya menantu. Saat itu ia telah memiliki seorang putri remaja bernama Dewi Saka yang hendak dijodohkan dengan dewa pembuat senjata tersebut.

Batara Anggajali menerima lamaran Prabu Sakil dengan senang hati. Maka dilangsungkanlah pernikahan antara dirinya dengan Dewi Saka. Namun ia juga tidak bisa lama-lama meninggalkan tugas yang diberikan Batara Guru. Setelah sang istri mengandung, Batara Anggajali pun mohon pamit kembali ke tengah lautan untuk melanjutkan pembuatan senjata-senjata pusaka. 

Batara Anggajali.

KELAHIRAN JAKA SENGKALA

Sudah lebih dari sembilan bulan mengandung, namun Dewi Saka belum juga melahirkan. Segala macam pengobatan sudah diusahakan oleh Prabu Sakil namun belum juga berhasil. Sampai akhirnya, usia kandungan mencapai dua tahun, barulah Dewi Saka melahirkan bayi laki-laki berkulit putih bersih, dengan mata berwarna merah berkilat-kilat. Bayi itu diberi nama Jaka Sengkala, karena kelahirannya tergolong aneh dan tidak seperti bayi-bayi lain pada umumnya.

Sejak kecil Jaka Sengkala sudah memiliki keistimewaan. Ia tidak minum air susu ibunya, tetapi menghisap ujung jari sendiri. Ketika berusia delapan tahun ia sudah menamatkan semua ilmu yang diajarkan para ulama. Setelah tumbuh dewasa ia pun memiliki berbagai macam kesaktian, antara lain mampu terbang di angkasa.

Pada suatu hari Jaka Sengkala meminta ibunya untuk menceritakan siapa sebenarnya ayah kandungnya. Setelah didesak terus-menerus, Dewi Saka akhirnya bercerita, bahwa Jaka Sengkala sebenarnya adalah cucu seorang dewa pembuat senjata, bernama Batara Anggajali, yang saat ini berada di atas Samudera Hindia.

Jaka Sengkala sangat penasaran ingin bertemu ayahnya dan tidak bisa ditahan lagi. Ia pun mohon pamit kepada kakek dan ibunya untuk pergi mencari Batara Anggajali. Dengan berat hati Prabu Sakil dan Dewi Saka pun melepas kepergian Jaka Sengkala yang sangat mereka kasihi itu dan mendoakannya supaya selalu mendapatkan perlindungan Tuhan Yang Mahakuasa.

JAKA SENGKALA BERTEMU AYAHNYA

Jaka Sengkala terbang meninggalkan Kerajaan Najran dan sampai di atas Samudera Hindia. Di tengah lautan ia melihat Batara Anggajali sedang duduk tenang di atas ombak lautan sambil tangannya bekerja membuat senjata-senjata pusaka. Jaka Sengkala yakin orang itu adalah ayah kandungnya dan ia pun segera memperkenalkan diri. Mengetahui pemuda itu adalah anak Dewi Saka, Batara Anggajali sangat gembira dan menerimanya sebagai putra.

Jaka Sengkala sangat kagum melihat kesaktian sang ayah dalam membuat senjata yang tidak menggunakan api, namun cukup jarinya memijat-mijat besi saja. Ia pun menyatakan ingin tinggal bersama sang ayah. Namun Batara Anggajali berkata bahwa sebaiknya Jaka Sengkala pulang ke Najran saja supaya bisa hidup mulia di sana sebagai raja yang kelak menggantikan kakeknya. Jaka Sengkala mengaku tidak suka kemewahan dan ingin hidup sebagai murid sang ayah saja. Karena baginya, Batara Anggajali adalah yang paling sakti di dunia.

Batara Anggajali menolak anggapan itu. Ia mengatakan bahwa ayahnya, atau kakek dari Jaka Sengkala yang bernama Batara Ramayadi jauh lebih sakti darinya. Jika membuat senjata, Batara Ramayadi tidak perlu menggunakan tangan tapi cukup dengan memandang saja, besi baja akan lunak dengan sendirinya.

Jaka Sengkala pun mengurungkan niat untuk berguru kepada ayahnya dan menyatakan ingin berguru kepada sang kakek saja. Batara Anggajali melepaskan kepergian putranya itu dan menunjukkan arah yang harus ditempuh jika ingin bertemu Batara Ramayadi.

JAKA SENGKALA BERTEMU KAKEKNYA

Jaka Sengkala akhirnya berhasil menemukan Batara Ramayadi yang sedang duduk di atas awan mega sedang sibuk membuat berbagai senjata pusaka. Tanpa perlu Jaka Sengkala memperkenalkan diri, ternyata Batara Ramayadi sudah dapat menebak kalau ia adalah cucunya sendiri, yaitu putra Batara Anggajali.

Jaka Sengkala menyampaikan niatnya ingin berguru kepada sang kakek yang dianggapnya paling sakti di dunia. Kini ia melihat dengan mata sendiri bagaimana sang kakek membuat senjata tanpa perlu menggunakan tangan. Cukup dengan dipandang saja, segala macam besi dan baja akan lunak dengan sendirinya. Namun, Batara Ramayadi menolak sebutan paling sakti tersebut, karena ia hanyalah seorang empu pembuat senjata. Para dewa di Kahyangan Tengguru jauh lebih sakti, dan yang paling sakti adalah Batara Guru, sang raja para dewa. Adapun dewa lainnya yang memiliki kesaktian setara dengan Batara Guru adalah putra bungsunya yang bernama Batara Wisnu.

Jaka Sengkala terlihat kecewa karena kakeknya ternyata bukan yang paling sakti. Ia kemudian mohon pamit untuk berangkat menemui Batara Wisnu. Batara Ramayadi mengizinkan dan menunjukkan arah yang harus ditempuh menuju tempat tinggal Batara Wisnu tersebut.

JAKA SENGKALA BERTEMU BATARA WISNU

Berkat petunjuk sang kakek, Jaka Sengkala berhasil menemukan Gunung Tengguru dan tiba di kahyangan tempat tinggal Batara Wisnu. Tanpa harus memperkenalkan diri, Batara Wisnu dapat menebak asal-usul Jaka Sengkala sekaligus mengetahui perasaan kecewa dalam hati pemuda itu terhadap ayah dan kakeknya yang ternyata bukan manusia paling sakti di dunia. Jaka Sengkala sangat senang melihat kepandaian Batara Wisnu dalam menebak asal-usul serta isi hatinya. Ia pun menyatakan ingin berguru kepadanya. Batara Wisnu mengatakan jika Jaka Sengkala ingin menjadi murid maka harus bisa menyesuaikan diri dengan perilaku kehidupannya.

Jaka Sengkala menyatakan siap untuk menyesuaikan diri dengan perilaku Batara Wisnu. Batara Wisnu pun menguji Jaka Sengkala. Dalam sekejap tubuh Batara Wisnu sudah menghilang dari pandangan dan kemudian amblas ke dalam perut bumi, setelah itu terbang ke angkasa, dan mendarat di Kutub Utara, kemudian menuju ke Kutub Selatan dalam waktu sekejap. Anehnya, ke mana pun Batara Wisnu pergi, Jaka Sengkala selalu dapat menyertainya.

Batara Wisnu mengatakan bahwa Jaka Sengkala tidak perlu lagi belajar kesaktian karena pada dasarnya ia telah sakti sejak lahir. Batara Wisnu juga menjelaskan bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang memiliki kesaktian paling sempurna, karena yang sempurna hanyalah  Tuhan Yang Mahasempurna. Maka, ilmu yang paling tinggi derajatnya bukanlah ilmu kesaktian yang membuat manusia tidak terkalahkan, tetapi ilmu pengetahuan yang membuat manusia semakin dekat dengan Tuhan Yang Mahakuasa. Itulah ilmu kesempurnaan yang seharusnya dipelajari dan diamalkan.

Jaka Sengkala pun memohon supaya Batara Wisnu mengajarkan ilmu kesempurnaan tersebut agar ia dapat mendekati Tuhan Yang Mahakuasa. Batara Wisnu menyarankan supaya Jaka Sengala berguru kepada sahabatnya saja yang bernama Pendeta Usmanaji di Kerajaan Bani Israil. Jaka Sengkala menurut dan berangkat menuju arah yang ditunjukkan kepadanya.

JAKA SENGKALA MENJADI MURID PENDETA USMANAJI

Jaka Sengkala akhirnya bertemu dengan Pendeta Usmanaji dan menceritakan apa yang disampaikan Batara Wisnu kepadanya. Pendeta Usmanaji berkenan menerimanya sebagai murid dan mengajarinya berbagai macam ilmu pengetahuan dan hakikat kebenaran.

Setelah mempelajari semua ilmu dari sang guru, Jaka Sengkala berubah menjadi sosok rendah hati dan tidak lagi angkuh seperti sebelumnya. Pendeta Usmanaji meramalkan bahwa kelak Jaka Sengkala akan menjadi manusia yang dipilih Tuhan untuk mengisi Pulau Jawa dengan penduduk manusia. Jaka Sengkala juga diramalkan kelak berhasil memperoleh keabadian berkat meminum Tirtamarta Kamandanu di Tanah Lulmat, namun waktunya masih lama.

Pendeta Usmanaji menyarankan agar saat ini Jaka Sengkala pergi ke Kerajaan Surati untuk bertemu ayahnya sambil menunggu takdir Tuhan lebih lanjut. Rupanya Pendeta Usmanaji mendapatkan berita bahwa Batara Guru sangat senang melihat hasil kerja Batara Anggajali dalam menciptakan senjata-senjata kahyangan, sehingga ayah Jaka Sengkala itu pun mendapatkan hadiah berupa Kerajaan Surati.

Jaka Sengkala menuruti nasihat sang guru. Dengan berat hati ia pun mohon pamit. Pendeta Usmanaji melepas kepergian muridnya itu dan meramalkan kelak mereka akan bertemu lagi di Pulau Jawa yang terletak di seberang tenggara.

JAKA SENGKALA TIBA DI KERAJAAN SURATI


Dari Kerajaan Bani Israil menuju Kerajaan Surati, Jaka Sengkala tidak lagi terbang di angkasa seperti yang sudah-sudah, tetapi lebih memilih berjalan kaki menyusuri jalur darat. Sesampainya di tempat yang dituju, ia disambut dengan hangat oleh sang ayah, yaitu Batara Anggajali. Adapun saat itu Batara Anggajali telah menjadi raja dengan bergelar Prabu Iwasaka.

Jaka Sengkala pun diangkat sebagai pangeran mahkota Kerajaan Surati dengan bergelar Raden Ajisaka.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------