Sabtu, 26 Juli 2014

Pertiwi Cahya

Kisah ini menceritakan peperangan antara Sri Maharaja Sakra melawan raja raksasa Prabu Danuka, yang dilanjutkan dengan perkawinan Sri Maharaja Suman dan Batari Pertiwi. Setelah itu terjadilah perselisihan di antara kelima maharaja yang kemudian ditengahi oleh sepuluh brahmana penjelmaan putra-putra Batara Ismaya yang dipimpin Brahmana Balika atau Batara Siwah.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 26 Juli 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

PRABU DANUKA MENYERANG KERAJAAN MEDANG GANA


Di Kerajaan Gua Gobajra, raja raksasa Prabu Danuka dihadap Patih Kiswaraja dan para menteri, serta putranya yang bernama Ditya Danupati. Mereka mendengar berita bahwa lima maharaja yang berkuasa di Pulau Jawa baru saja menumpas Prabu Hiranyakasipu dari Kerajaan Lengkapura dan sejak saat itu mereka menjadi sangat benci terhadap kaum raksasa. Bahkan, kelima maharaja itu juga telah memerintahkan pembantaian terhadap kaum raksasa yang dianggap sebagai makhluk tidak berguna.

Prabu Danuka sangat murka dan menuduh kelima maharaja telah berbuat tidak adil, karena pada zaman Sri Padukaraja Mahadewa Buda dulu, semua jenis makhluk hidup dilindungi tanpa pilih kasih. Maka, Prabu Danuka pun memerintahkan Patih Kiswaraja dan Ditya Danupati mempersiapkan pasukan Gua Gobajra untuk menyerang kelima maharaja tersebut.

Sasaran pertama Prabu Danuka adalah Kerajaan Medang Gana di Gunung Mahameru. Sri Maharaja Sakra menjelaskan bahwa berita pembantaian kaum raksasa yang didengar Prabu Danuka itu tidak benar, bahkan Sri Maharaja Sunda dari Kerajaan Medang Gili telah mengambil Prabu Banjaranjali sebagai menantu. Namun demikian, Prabu Danuka tidak percaya dan tetap menggempur Kerajaan Medang Gana. Perang besar pun terjadi. Karena pihak raksasa lebih kuat dan persiapannya lebih matang, Sri Maharaja Sakra dan Patih Resi Kapila akhirnya melarikan diri setelah bertempur sekuat tenaga melawan musuh.

SRI MAHARAJA SAKRA MENDAPAT BANTUAN PASUKAN WANARA


Sri Maharaja Sakra dan Patih Resi Kapila dalam pelarian ke arah barat bertemu pasukan wanara, yaitu sebangsa kera yang memiliki kecerdasan seperti manusia dan biasa hidup di hutan pegunungan Tanah Hindustan. Pemimpin pasukan wanara ini bernama Kapi Malawapati, yang ternyata adalah sahabat baik Patih Resi Kapila saat masih menjadi Batara Gangga dulu. Kapi Malawati dan pasukannya sengaja datang dari Tanah Hindustan ke Pulau Jawa adalah untuk menyusul sahabatnya itu dan ingin ikut serta mengabdi kepada Sri Maharaja Sakra.

Sri Maharaja Sakra sangat gembira mendapatkan bala bantuan. Ia menceritakan bahwa saat ini Kerajaan Medang Gana telah direbut musuh dari Kerajaan Gua Gobajra yang dipimpin Prabu Danuka. Kapi Malawapati segera mohon pamit untuk kemudian berangkat menyerang para raksasa tersebut.

Sesampainya di Kerajaan Medang Gana, pasukan wanara langsung menggempur pasukan raksasa Gua Gobajra. Pertempuran besar pun terjadi. Melihat banyak prajurit raksasa yang tewas dibunuh para wanara, Prabu Danuka sangat marah dan mengamuk melakukan pembalasan. Kapi Malawapati segera maju menghadapinya. Raja kaum wanara itu mengheningkan cipta mengerahkan Aji Bayurota. Dari tubuhnya keluar angin topan dahsyat yang bergulung-gulung menewaskan Prabu Danuka dan Patih Kiswaraja beserta pasukan mereka. Ditya Danupati sendiri berhasil lolos dari maut dan memilih pulang ke Gua Gobajra beserta para prajurit yang masih hidup. 

MUNCULNYA CAHAYA PERTIWI

Setelah pertempuran besar itu, Sri Maharaja Sakra bersama Patih Resi Kapila dan Kapi Malawapati memperbaiki bangunan istana Medang Gana yang rusak parah. Sri Maharaja Sakra lalu mengundang keempat maharaja lainnya untuk ikut merayakan syukuran atas keberhasilan Negeri Medang Gana lolos dari bahaya.

Lima maharaja telah berkumpul di Kerajaan Medang Gana, menikmati pertunjukan musik dan tari yang digelar di sana. Tiba-tiba dari dalam tanah memancar keluar seberkas cahaya teja yang menjulang tegak lurus ke angkasa. Kelima maharaja terkejut dan berusaha menyelidiki asal-usul cahaya tersebut.

Sri Maharaja Suman segera menjelma menjadi babi hutan dan menggali tanah tempat cahaya itu keluar menggunakan taringnya, sedangkan Sri Maharaja Sunda menjelma menjadi burung elang untuk kemudian terbang ke angkasa mengejar ujung cahaya. Seampainya di atas, si burung elang mencakar cahaya tersebut hingga pecah berantakan.

Tiba-tiba muncul seorang bidadari cantik dari dalam tanah yang digali si babi hutan. Bidadari itu mengaku bernama Batari Pertiwi, putri Batara Nagaraja. Melihat itu, babi hutan segera kembali ke wujud Sri Maharaja Suman, sedangkan burung elang kembali ke wujud Sri Maharaja Sunda.

RAMALAN BATARI PERTIWI


Batari Pertiwi kemudian duduk berhadap-hadapan dengan lima maharaja di Kerajaan Medang Gana. Ia menyampaikan nasihat supaya mereka berlima tetap menjaga kerukunan dan persatuan, jangan saling iri di antara sesama saudara karena hanya akan menimbulkan perpecahan. Kelima maharaja itu merasa tidak mungkin akan terjadi perselisihan di antara mereka. Namun demikian, mereka tetap berjanji untuk saling setia satu sama lain dan selalu menjaga kerukunan.

Batari Pertiwi kemudian menjelaskan bahwa di antara kelima maharaja tadi ada dua orang yang berusaha keras menemukan asal-usul sumber cahaya teja yang terpancar tadi, yaitu Sri Maharaja Sunda dan Sri Maharaja Suman. Yang satu menjelma menjadi burung elang, dan yang satu lagi menjelma menjadi babi hutan. Atas usaha yang dilakukan keduanya, Batari Pertiwi pun meramalkan kelak keturunan merekalah yang akan berkuasa turun-temurun di Tanah Jawa.

Sri Maharaja Suman sangat tertarik melihat kecantikan Batari Pertiwi dan ia pun mengajukan lamaran untuk menikahinya. Batari Pertiwi menerima lamaran tersebut karena ia memang ditakdirkan berjodoh dengan Batara Wisnu yang saat ini telah menjelma sebagai Sri Maharaja Suman tersebut. Batari Pertiwi juga memberikan hadiah kepada Sri Maharaja Sunda alias Batara Brahma atas usahanya mengejar cahaya teja tadi. Hadiah tersebut berupa Permata Mustikabumi, sumber dari cahaya teja yang memancar dari tanah tadi. Sri Maharaja Sunda bersenang hati menerimanya dan menyimpan permata pusaka itu baik-baik.

Setelah dirasa cukup, keempat maharaja lalu mohon pamit kepada Sri Maharaja Sakra untuk pulang ke negara masing-masing.

LIMA MAHARAJA BERSELISIH

Tidak lama setelah peristiwa di Kerajaan Medang Gana tersebut, terjadilah perselisihan di antara para pengikut lima maharaja. Ramalan Batari Pertiwi akhirnya menjadi kenyataan.

Awal dari perselisihan itu adalah seorang penduduk Kerajaan Medang Pura bernama Kodeya yang pergi mengunjungi saudaranya di Kerajaan Medang Gili, bernama Puyika. Namun Puyika justru menipu Kodeya sehingga habis seluruh harta dan perhiasan yang dibawanya. Kodeya lalu menghadap Sri Maharaja Sunda dan meminta keadilan, namun Sri Maharaja Sunda justru menyalahkannya dan membela Puyika.

Kodeya pulang ke Kerajaan Medang Pura dengan perasaan kecewa lalu mengadukan nasib sialnya kepada Sri Maharaja Suman. Karena Sri Maharaja Suman tidak mempunyai cara untuk mendapatkan kembali harta dan perhiasan Kodeya, maka ia pun berjanji akan melakukan pembalasan dengan cara lain. Apabila ada penduduk Medang Gili yang memasuki Medang Pura, semua orang harus mempermalukannya.

Pada suatu hari ada seorang pemburu dari Kerajaan Medang Gili bernama Pastima yang mengejar kijang berkulit ungu sampai masuk ke wilayah Kerajaan Medang Pura. Di sana ia kehilangan jejak dan pandangan matanya kemudian tertuju pada seekor burung derkuku. Pastima berusaha menangkapnya, namun ketahuan Salibana, pemilik burung tersebut. Salibana dan para tetangganya lalu beramai-ramai menangkap Pastima dan menelanjanginya. Mereka melakukan hal itu adalah untuk melaksanakan perintah Sri Maharaja Suman.

Demikianlah, sejak kejadian itu banyak terjadi perselisihan antara warga Medang Gili dan Medang Pura, yang akhirnya berkembang menjadi perselisihan dengan warga tiga kerajaan lainnya. Perselisihan itu kadang disertai perkelahian, bahkan pertempuran. Lima maharaja saling menyalahkan dan membela penduduk kerajaan masing-masing. Tidak hanya itu, bahkan Agama Dewa pun terpecah menjadi lima aliran, yaitu Agama Sambu, Agama Brahma, Agama Indra, Agama Bayu, dan Agama Wisnu.

KEDATANGAN SEPULUH BRAHMANA

Perselisihan di antara kelima maharaja itu akhirnya terdengar oleh Batara Guru di Kahyangan Jongringsalaka. Maka, ia pun mengirim kesepuluh keponakannya, yaitu anak-anak Batara Ismaya untuk mejadi juru damai di antara mereka. Kesepuluh keponakan itu pun mohon pamit berangkat ke Tanah Jawa dengan menjelma sebagai kaum brahmana.

Anak-anak Batara Ismaya itu adalah:
  • Batara Wungkuam menjadi Brahmana Weda,
  • Batara Siwah menjadi Brahmana Balika,
  • Batara Wrehaspati menjadi Brahmana Trista,
  • Batara Yamadipati menjadi Brahmana Graksa,
  • Batara Surya menjadi Brahmana Grisma,
  • Batara Candra menjadi Brahmana Walanta,
  • Batara Kuwera menjadi Brahmana Hima,
  • Batara Temburu menjadi Brahmana Patuk,
  • Batara Kamajaya menjadi Brahmana Tadi, dan
  • Batari Darmanastiti menjadi Brahmana wanita Yukti.

Di antara kesepuluh brahmana tersebut, yang dipilih menjadi pemimpin rombongan adalah Brahmana Balika, di mana ia mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan wawasan agama dari Batara Guru.

Kesepuluh brahmana tersebut akhirnya tiba di Pulau Jawa dan bermukim di bekas Kerajaan Medang Kamulan di Gunung Mahendra. Mereka lalu mengirim undangan supaya kelima maharaja datang dan berkumpul di gunung tersebut.

PEMBAGIAN TUGAS LIMA MAHARAJA

Kelima maharaja telah berkumpul di Gunung Mahendra. Kesepuluh brahmana mengaku diutus Batara Guru untuk menjadi penengah dalam perselisihan mereka. Maka diumumkanlah sebuah sayembara, barangsiapa bisa mengembangkan aksara A, I, U, E, dan O, maka dia berhak menjadi maharaja tertinggi di Tanah Jawa. Ternyata kelima maharaja itu tidak mampu dan menyatakan tunduk terhadap semua keputusan para brahmana.

Kesepuluh brahmana lalu menetapkan pembagian rakyat di Tanah Jawa. Mulai saat ini, Sri Maharaja Maldewa di Kerajaan Medang Prawa hanya boleh memimpin binatang terbang, dan ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Kagapati.

Sri Maharaja Suman di Kerajaan Medang Pura hanya boleh memimpin binatang air, dan ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Matsyapati.

Sri Maharaja Bima di Kerajaan Medang Gora hanya boleh memimpin binatang darat, dan ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Mregapati.

Sri Maharaja Sunda di Kerajaan Medang Gili hanya boleh memimpin manusia dan raksasa, dan ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Prajapati.

Sri Maharaja Sakra di Kerajaan Medang Gana hanya boleh memimpin para resi dan jawata, yaitu orang-orang yang tidak lagi tertarik keinginan duniawi. Ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Surapati.

BRAHMANA BALIKA MENDIRIKAN KERAJAAN MEDANG SIWANDA


Setelah kelima maharaja menerima keputuan tersebut dan pulang ke negara masing-masing, para brahmana pun kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melapor kepada Batara Guru, kecuali satu orang saja yang tetap tinggal di Tanah Jawa untuk mengawasi kelima maharaja agar tidak berselisih lagi. Brahmana yang tetap tinggal di Gunung Mahendra tersebut adalah sang pemimpin rombongan, yaitu Brahmana Balika alias Batara Siwah.

Dengan berbekal ilmu pengetahuan dan wawasan agama yang didapatkannya dari Batara Guru sebelum berangkat, Brahmana Balika lalu mengajarkan Agama Dewa kepada masyarakat Tanah Jawa yang datang kepadanya. Semakin lama, jumlah murid dan pengikutnya semakin banyak. Akhirnya, Brahmana Balika pun mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Sri Maharaja Balya, serta membangun kembali bekas Kerajaan Medang Kamulan di Gunung Mahendra yang ditempatinya menjadi sebuah negeri baru bernama Kerajaan Medang Siwanda.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


kembali ke : daftar isi




Rabu, 23 Juli 2014

Prabu Hiranyakasipu

Kisah ini menceritakan tentang kelima putra Batara Guru yang menjadi raja di Pulau Jawa dan bertakhta di lima pegunungan. Kisah dilanjutkan dengan serangan Prabu Hiranyakasipu raja Lengkapura, leluhur Prabu Rahwana yang akhirnya tewas di tangan Batara Wisnu dalam wujud Narasinga. Juga dikisahkan perkawinan anak-anak Prabu Hiranyakasipu dengan anak-anak Batara Brahma.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 22 Juli 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------


LIMA DEWA BERANGKAT KE TANAH JAWA


Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dihadap Batara Narada dan para dewa lainnya. Yang dibicarakan adalah rencana untuk melanjutkan penyebaran Agama Dewa dan pembangunan di Pulau Jawa, yaitu dengan mengirim kelima putra yang lahir dari Batari Umayi untuk menjadi raja di sana. Mereka adalah Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu.

Kelima dewa pun meminta restu kepada Batara Guru dan Batara Narada, kemudian mereka mohon pamit berangkat menuju ke Pulau Jawa.

LIMA DEWA MEMBANGUN KERAJAAN DI PUNCAK GUNUNG


Sesampainya di Pulau Jawa, kelima dewa putra Batara Guru pun mencari tempat yang cocok untuk mendirikan kerajaan masing-masing. Mereka menelusuri Pulau Jawa yang membentang panjang dari Tanah Aceh sampai Tanah Bali, dan masing-masing akhirnya memilih pegunungan sebagai ibu kota kerajaan mereka.

Batara Sambu turun di Gunung Rajabasa, di daerah Sumatra sebelah selatan, lalu mendirikan Kerajaan Medang Prawa di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Maldewa.

Batara Brahma turun di Gunung Mahera, di daerah Banten, lalu mendirikan Kerajaan Medang Gili di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Sunda.

Batara Wisnu turun di Gunung Gora, di daerah Tegal, lalu mendirikan Kerajaan Medang Pura di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Suman.

Batara Indra turun di Gunung Mahameru, di daerah Jawa sebelah timur, lalu mendirikan Kerajaan Medang Gana di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Sakra.

Batara Bayu turun di Gunung Karang, di daerah Bali, lalu mendirikan Kerajaan Medang Gora di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Bima.

Kelima maharaja tersebut memerintah di wilayah masing-masing dengan derajat yang setara, tidak ada yang lebih unggul dan tidak ada yang lebih rendah di antara mereka.

TUJUH DEWA MENJADI RESI


Setahun kemudian, datanglah tiga orang resi penjelmaan dewa ke Pulau Jawa untuk membantu penyebaran agama. Mereka adalah Resi Atrakelasa, Resi Drasta, dan Resi Kusamba. Adapun Resi Atrakelasa adalah penjelmaan Batara Wanda, putra Batara Brahmastya, putra Sanghyang Pancaresi; sedangkan Resi Drasta adalah penjelmaan Batara Langsur, putra Sanghyang Citragotra, putra Sanghyang Pancaresi; dan Resi Kusamba adalah penjelmaan Batara Singajalma, juga putra Sanghyang Citragotra.

Dua tahun kemudian datang lagi empat orang resi ke Pulau Jawa. Mereka adalah Resi Prawa, Resi Boma, Resi Bana, dan Resi Kosara. Adapun Resi Prawa adalah penjelmaan Batara Kulika, putra Batara Sanggana, atau cucu Sanghyang Hening. Kemudian Resi Boma adalah penjelmaan Batara Suksena, dan Resi Bana adalah penjelmaan Batara Suksrana, keduanya adalah kakak beradik putra Batara Nihoya, adik dari Batara Sanggana. Terakhir adalah Resi Kosara merupakan penjelmaan Batara Gangga, putra Batara Hermaya, adik dari Batara Nihoya.

PARA RESI MENJADI PATIH DI LIMA KERAJAAN


Tahun demi tahun berlalu, ketujuh resi itu memiliki pengikut yang semakin banyak. Mereka kemudian berpencar untuk mengunjungi kelima kerajaan yang dipimpin oleh lima dewa dengan membawa pengikut masing-masing.

Resi Atrakelasa mengunjungi Kerajaan Medang Prawa. Ia disambut dengan baik oleh Sri Maharaja Maldewa dan diangkat sebagai patih di sana.

Resi Drasta dan Resi Kusamba mengunjungi Kerajaan Medang Gili. Mereka disambut dengan baik oleh Sri Maharaja Sunda, dan keduanya diangkat sebagai patih di sana.

Resi Prawa mengunjungi Kerajaan Medang Gana. Ia disambut baik oleh Sri Maharaja Sakra dan diangkat sebagai patih di sana, dengan nama baru Patih Resi Kapila.

Resi Boma dan Resi Bana mengunjungi Kerajaan Medang Gora. Mereka disambut baik oleh Sri Maharaja Bima dan diangkat sebagai patih di sana.

Yang terakhir adalah Resi Kosara mengunjungi Kerajaan Medang Pura. Ia disambut baik oleh Sri Maharaja Suman dan diangkat sebagai patih di sana.

PRABU HIRANYAKASIPU MENDAPAT ANUGERAH DARI BATARA GURU


Tersebutlah seorang raja raksasa bernama Prabu Hiranyakasipu dari Kerajaan Lengkapura. Kerajaan Lengkapura ini terletak di Pulau Srilangka, yaitu bekas Kahyangan Selongkandi yang dulu ditempati Sanghyang Darmajaka, kakak Sanghyang Wenang. Pada suatu hari Sanghyang Darmajaka memutuskan untuk membangun tempat tinggal baru bernama Kahyangan Imamaya, sehingga Kahyangan Selongkandi menjadi kosong tak berpenghuni. Akhirnya, bekas kahyangan itu diambil alih oleh bangsa raksasa yang dipimpin Ditya Hiranyakasipu, dan dibangun menjadi kerajaan bernama Lengkapura. Itulah sebabnya, Kerajaan Lengkapura memiliki keindahan luar biasa bagaikan kahyangan para dewa.

Prabu Hiranyakasipu ini merupakan pemuja Batara Guru yang setia dan pernah menjalankan tapa brata sangat berat selama belasan tahun. Batara Guru berkenan menerima tapa brata tersebut dan bersedia mengabulkan apa saja permintaan Prabu Hiranyakasipu, kecuali jika ia meminta kehidupan abadi. Ternyata yang diminta Prabu Hiranyakasipu adalah ilmu kesaktian, yaitu tidak bisa dikalahkan oleh dewa, manusia, raksasa, binatang, jin, juga tubuhnya tidak bisa terkena penyakit dan tidak bisa terluka oleh senjata jenis apa pun. Batara Guru mengabulkan permintaan tersebut. Setelah mendapatkan kesaktian yang diinginkannya, Prabu Hiranyakasipu sangat berterima kasih dan mohon pamit kembali ke Kerajaan Lengkapura.

Namun, setelah mendapatkan kesaktian justru sifat Prabu Hiranyakasipu berubah menjadi angkara murka. Ia banyak menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di sekitar Tanah Hindustan, dengan dibantu adiknya yang bernama Prabu Hiranyawreka raja Kerajaan Kasipura. Sampai akhirnya mereka mendengar di seberang timur terdapat sebuah pulau yang sangat indah dan subur bernama Pulau Jawa yang dipimpin oleh lima raja bersaudara. Maka, berangkatlah kedua raja raksasa itu menuju ke sana untuk menjadikan pulau tersebut sebagai daerah jajahan.

PRABU HIRANYAKASIPU MENYERANG PULAU JAWA


Prabu Hiranyakasipu dan Prabu Hiranyawreka mendarat di Pulau Jawa. Yang menjadi sasaran pertama adalah Kerajaan Medang Prawa yang terletak paling barat. Perang besar pun terjadi. Sri Maharaja Maldewa terdesak kalah dan melarikan diri ke tenggara untuk berlindung di Kerajaan Medang Gili.

Sri Maharaja Sunda di Kerajaan Medang Gili menerima kedatangan Sri Maharaja Maldewa, dan ia merasa sangat khawatir mendengar apa yang telah dialami kakaknya itu. Ia lalu mengundang ketiga saudara yang lain supaya datang dengan membawa bala tentara masing-masing. Ia sangat yakin negerinya akan menjadi sasaran Prabu Hiranyakasipu yang berikutnya. Maka, ia pun berniat menggabungkan kekuatan lima kerajaan dengan berkumpul di Medang Gili.

Ketiga maharaja telah datang di Kerajaan Medang Gili dengan membawa pasukan lengkap, serta menunggang kendaraan masing-masing. Sri Maharaja Sakra datang dengan mengendarai Gajah Erawata, Sri Maharaja Bima mengendarai Gajah Sena, sedangkan Sri Maharaja Suman mengendarai Garuda Brihawan.

PRABU HIRANYAKASIPU TEWAS MELAWAN BATARA NARASINGA


Sesuai dugaan, Prabu Hiranyakasipu dan Prabu Hiranyawreka pun datang menyerbu Kerajaan Medang Gili. Pertempuran kembali berlangsung di mana pasukan raksasa Kerajaan Lengkapura dan Kasipura menghadapi gabungan pasukan jawata dari lima kerajaan. Kendaraan Sri Maharaja Suman yang bernama Garuda Brihawan ikut maju menerjang dan berhasil menewaskan Prabu Hiranyawreka.

Prabu Hiranyakasipu sangat marah melihat adiknya tewas. Ia pun mengamuk memukul mundur pasukan jawata. Tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkannya, juga tidak ada satu senjata pun yang dapat melukai kulitnya.

Dalam keadaan gawat tersebut, Batara Narada datang dari Kahyangan Jonggringsalaka menemui lima maharaja untuk menceritakan riwayat Prabu Hiranyakasipu. Begitu mengetahui kesaktian macam apa yang dimiliki Prabu Hiranyakasipu, Sri Maharaja Suman pun mendapat akal untuk mengalahkan raja raksasa tersebut. Ia lalu mengubah wujudnya menjadi manusia berkepala singa dengan memakai nama Batara Narasinga.

Maka terjadilah perang tanding seru antara Prabu Hiranyakasipu melawan Batara Narasinga. Setelah bertarung cukup lama, Prabu Hiranyakasipu akhirnya terluka parah dengan perut robek terkena kuku-kuku tajam di kedua tangan Batara Narasinga.

Prabu Hiranyakasipu yang sekarat merasa heran mengapa anugerah Batara Guru tidak bisa melindungi dirinya dari serangan lawan yang satu ini. Batara Narasinga menjelaskan bahwa dirinya adalah manusia berkepala hewan, sehingga tidak bisa disebut manusia, juga tidak bisa disebut binatang. Ia juga tidak menggunakan senjata untuk mengalahkan Prabu Hiranyakasipu, tetapi menggunakan cakar untuk merobek perutnya. Prabu Hiranyakasipu akhirnya meninggal karena luka-lukanya. Namun, ia sempat bersumpah bahwa kelak ia akan menitis bersatu jiwa raga dengan seorang keturunannya yang bernama Prabu Rahwana untuk menyebarkan kejahatan dan angkara murka.

RADEN BANJARANJALI MENYERAHKAN DIRI


Prabu Hiranyakasipu memiliki putra berwujud raksasa muda bernama Ditya Banjaranjali. Berbeda dengan sang ayah yang kejam dan angkara murka, Ditya Banjaranjali bersifat lembut dan berbudi luhur. Dengan sikap tulus ia menyerahkan diri kepada lima maharaja dan siap menerima hukuman. Sri Maharaja Sunda selaku tuan rumah menyerahkan keputusan kepada Batara Narasinga, karena dialah yang berhasil mengalahkan Prabu Hiranyakasipu.

Batara Narasinga kembali ke wujud Sri Maharaja Suman, kemudian mengamati putra Prabu Hiranyakasipu tersebut. Ia dapat melihat bahwa Ditya Banjaranjali benar-benar tulus dan tidak menyembunyikan maksud jahat. Maka, ia pun membebaskan raksasa muda itu dari segala hukuman dan mengizinkannya pulang ke Kerajaan Lengkapura untuk menjadi raja di sana.

ANAK-ANAK SRI MAHARAJA SUNDA DATANG KE PULAU JAWA


Berita bahwa Kerajaan Medang Gili mengalami kerusakan parah setelah perang besar melawan Prabu Hiranyakasipu terdengar sampai ke Tanah Hindustan. Para putra Batara Brahma pun berangkat menuju ke Pulau Jawa untuk membantu sang ayah membangun kembali Kerajaan Medang Gili.

Karena Batara Brahma telah menjelma menjadi manusia bergelar Sri Maharaja Sunda, maka putra-putranya pun ikut menjelma sebagai manusia dengan bergelar Raden untuk yang laki-laki, dan Dewi untuk yang perempuan. Inilah awal mula adanya pangeran bergelar Raden. Sementara itu, gelar Dewi sudah lazim dipakai sejak zaman sebelumnya.

Para putra Sri Maharaja Sunda tersebut adalah Raden Maricibrahma dan Raden Naradabrahma yang lahir dari Batari Sacika; kemudian Raden Brahmanasa, Raden Brahmanadewa, Raden Brahmanakanda, dan Raden Brahmanaresi yang lahir dari Batari Saraswati; dan selanjutnya adalah Raden Brahmaniskala, Raden Brahmanityasa, Raden Brahmaniyara, Raden Brahmaniyari, Raden Brahmaniyodi, Raden Brahmaniyasa, Raden Brahmaniyasa, Dewi Brahmaniwati, Dewi Brahmanisri, Dewi Brahmaniyati, Dewi Brahmaniyuta, Dewi Dresanala, dan Dewi Dresawati yang kesemuanya lahir dari Batari Rarasati.

PRABU BANJARANJALI MEMPERSEMBAHKAN KEDUA ADIKNYA


Pada suatu hari Prabu Banjaranjali yang telah menjadi raja Kerajaan Lengkapura datang kembali ke Pulau Jawa dengan sikap persahabatan. Kali ini ia datang untuk mempersembahkan kedua adiknya yang cantik kepada Sri Maharaja Sunda sebagai permintaan maaf karena dulu ayahnya telah banyak berbuat kerusakan di Kerajaan Medang Gili. Kedua putri itu bernama Dewi Kasipi dan Dewi Kistapi.

Sri Maharaja Sunda heran mengapa Prabu Banjaranjali memiliki dua orang adik berwujud manusia cantik, sedangkan dia berwujud raksasa. Prabu Banjaranjali menjelaskan bahwa ibu mereka bukan berasal dari bangsa raksasa, melainkan seorang manusia bernama Dewi Nariti, putri Prabu Nasa dari Kerajaan Banapura. Jika Prabu Banjaranjali berwujud raksasa seperti sang ayah, maka kedua adiknya berparas cantik seperti sang ibu.

Sri Maharaja Sunda sangat berkenan menerima kedua putri itu dan berniat menjadikan mereka sebagai menantu. Akan tetapi, terjadilah perselisihan di antara para putranya yang memperebutkan kedua putri tersebut. Mereka yang berebut adalah Raden Maricibrahma, Raden Naradabrahma, Raden Brahmanasa, Raden Brahmanadewa, Raden Brahmanaresi, Raden Brahamaniskala, dan Raden Brahmanityasa. Sri Maharaja Sunda bingung menentukan pilihan dan khawatir akan terjadi perkelahian di antara para putranya itu.

Pada saat itulah Sri Maharaja Suman datang di Kerajaan Medang Gili dengan mengendarai Garuda Brihawan. Ia mengusulkan supaya diadakan sayembara saja di antara para putra yang berselisih tersebut. Sri Maharaja Sunda setuju dan segera bersamadi memohon petunjuk Tuhan Yang Mahakuasa. Tiba-tiba dari langit turun sebuah kitab gaib yang jatuh ke tangan Sri Maharaja Sunda.

Sri Maharaja Sunda pun mengumumkan barangsiapa bisa membaca dan menafsirkan isi kitab gaib tersebut, berhak menikahi Dewi Kasipi dan Dewi Kistapi. Ternyata yang mampu membacanya hanyalah Raden Brahmanityasa namun ia tidak mampu menafsirkannya. Isi kitab tersebut berbunyi “Diya heng diyan darya.”

Raden Brahmaniyasa yang tidak ikut memperebutkan kedua putri mengajukan diri untuk mencoba menerjemahkan kalimat gaib tersebut. Menurut penafsirannya, kalimat itu mengandung makna: “kedua putri dimiliki oleh kelapangan hati.”

Sri Maharaja Sunda sangat berkenan terhadap penafsiran itu. Ia lantas mengumumkan bahwa Dewi Kasipi akan dinikahkan dengan Raden Brahmanityasa, sedangkan Dewi Kistapi dengan Raden Brahmaniyasa. Keputusan ini membuat para putra yang lain merasa kesal bercampur malu. Raden Maricibrahma, Raden Naradabrahma, Raden Brahmanasa, Raden Brahmanadewa, Raden Brahmanaresi, dan Raden Brahamaniskala memilih pergi meninggalkan Pulau Jawa dan kembali ke Tanah Hindustan.

PRABU BANJARANJALI DAN GARUDA BRIHAWAN MENJADI MENANTU MEDANG GILI


Sri Maharaja Suman kemudian menjelaskan maksud kedatangannya di Kerajaan Medang Gili adalah untuk menagih hadiah atas bantuannya membunuh Prabu Hiranyakasipu dan Prabu Hiranyawreka. Adapun hadiah yang diminta Sri Maharaja Suman adalah supaya Sri Maharaja Sunda menikahkan seorang putrinya dengan Garuda Brihawan.

Sri Maharaja Sunda agak bimbang jika putrinya harus menikah dengan seekor burung. Hal ini sudah dipertimbangkan oleh Sri Maharaja Suman. Maka sebelum berangkat ke Medang Gili tadi, Sri Maharaja Suman sempat mengajarkan ilmu kesaktian kepada Garuda Brihawan supaya bisa mengubah wujud menjadi manusia.

Setelah melihat Garuda Brihawan berubah wujud menjadi laki-laki tampan, Sri Maharaja Sunda sangat berkenan dan setuju menyerahkan Dewi Brahmanisri kepadanya. Selain itu, Sri Maharaja Sunda juga senang melihat ketulusan Prabu Banjaranjali menyerahkan kedua adiknya. Sebagai tali asih, Sri Maharaja Sunda pun menyerahkan Dewi Brahmaniwati sebagai istri Prabu Banjaranjali.

Maka, diadakanlah pernikahan antara empat pasang pengantin di Kerajaan Medang Gili tersebut. Mereka adalah Prabu Banjaranjali dengan Dewi Brahmaniwati; Garuda Brihawan dengan Dewi Brahmanisri; Raden Brahmanityasa dengan Dewi Kasipi; serta Raden Brahmaniyasa dengan Dewi Kistapi.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


kembali ke: daftar isi




Sabtu, 19 Juli 2014

Andini - Andana

Kisah ini menceritakan Sri Padukaraja Mahadewa Buda atau Batara Guru mengutuk Lembu Andini menjadi pelangi, dan kemudian memperoleh kendaraan baru bernama Lembu Andana yang berkelamin jantan. Kisah dilanjutkan dengan kepergian Batara Guru meninggalkan Pulau Jawa karena berbuat tidak adil kepada para penduduk.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 19 Juli 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------


KERAJAAN MEDANG KAMULAN KEMBAR DUA


Sri Padukaraja Mahadewa Buda di Kerajaan Medang Kamulan dihadap Patih Narada serta para resi dan punggawa yang disebut kaum jawata. Mereka membicarakan adanya berita bahwa bekas Kerajaan Medang Kamulan yang lama di Gunung Kamula telah diduduki seorang raja dari Tanah Hindustan bernama Prabu Sri Rajadurga.

Tidak lama kemudian datang utusan Prabu Sri Rajadurga yang bernama Patih Rajasatya menyampaikan surat tantangan dari rajanya. Surat tantangan itu menyebutkan bahwa, apabila Sri Padukaraja Mahadewa Buda kalah perang, maka Kerajaan Medang Kamulan di Gunung Mahendra harus diserahkan untuk menjadi satu dengan Medang Kamulan di Gunung Kamula. Setelah menyampaikan surat tersebut, Patih Rajasatya lalu mundur dan kembali ke perkemahan rajanya.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, Sri Padukaraja Mahadewa Buda segera memerintahkan Patih Narada mempersiapkan pasukan jawata Gunung Mahendra. Setelah dirasa cukup, pertemuan pun dibubarkan.

SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MENGALAHKAN PRABU SRI RAJADURGA

Pertempuran pun terjadi antara pasukan Medang Kamulan Gunung Mahendra melawan pasukan Medang Kamulan Gunung Kamula. Setelah kedua pihak kalah dan menang silih berganti, akhirnya Sri Padukaraja Mahadewa Buda turun sendiri ke medan perang menghadapi Prabu Sri Rajadurga. Terjadilah pertarungan sengit yang cukup lama, di mana akhirnya Prabu Sri Rajadurga dapat ditaklukkan dan menyerah kalah.

Ternyata Prabu Sri Rajadurga dan Patih Rajasatya tidak lain adalah penjelmaan kedua istri Batara Guru sendiri, yaitu Batari Umaranti dan Batari Parwati. Sri Padukaraja Mahadewa Buda bertanya mengapa mereka menyamar sebagai laki-laki dan menantang perang seperti ini. Batari Umaranti menjawab bahwa dirinya telah dihasut oleh Lembu Andini supaya memberontak kepada Sri Padukaraja Mahadewa Buda alias Batara Guru yang kini bertakhta di Pulau Jawa.

LEMBU ANDINI DIKUTUK MENJADI PELANGI

Sri Padukaraja Mahadewa Buda sebenarnya sudah lama curiga bahwa Lembu Andini masih menyimpan dendam atas kekalahannya dulu dan selama ini terpaksa bersedia menjadi kendaraan baginya. Selain itu, Lembu Andini juga memendam perasaan kesal karena Batara Guru telah mengutuk Batari Umayi menjadi raksasi.

Itulah sebabnya, dalam penjelmaan sebagai Sri Padukaraja Mahadewa Buda kali ini, Batara Guru sengaja tidak mengajak serta Lembu Andini, tetapi meninggalkannya di Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru ingin melihat apakah Lembu Andini akan terbongkar sifat aslinya atau tidak. Ternyata kecurigaannya itu kini telah terbukti nyata.

Sri Padukaraja Mahadewa Buda kemudian mengerahkan Aji Pameling membuat Lembu Andini seketika hadir di hadapannya. Lembu Andini ketakutan dan serbasalah melihat Sri Padukaraja Mahadewa Buda telah mengetahui bahwa dirinya yang menghasut Batari Umaranti dan Batari Parwati untuk melakukan pemberontakan. Namun bagaimanapun juga, ia harus rela menerima hukuman dari sang raja dewa.

Meskipun Lembu Andini mengakui kesalahannya, namun Sri Padukaraja Mahadewa Buda tetap tidak lupa atas semua jasa-jasanya. Maka, sebagai hukuman, Lembu Andini pun dipecat sebagai kendaraan dan dikutuk menjadi pelangi supaya tetap bisa bermanfaat bagi kahyangan, yaitu sebagai tangga bagi para bidadari apabila turun ke bumi.

Sri Padukaraja Mahadewa Buda kemudian mengampuni kesalahan Batari Umaranti dan Batari Parwati serta menerima mereka sebagai permaisuri di Medang Kamulan Gunung Mahendra. Batari Umaranti lalu diberi nama gelar menjadi Dewi Maheswari, sedangkan Batari Parwati menjadi Dewi Sati.

SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MENAKLUKKAN LEMBU ANDANA


Sri Padukaraja Mahadewa Buda memerintahkan para jawata untuk mencari sapi yang mirip dengan Lembu Andini sebagai kendaraan pengganti. Sepasang raksasa penjaga gerbang, yaitu Batara Cingkarabala dan Batara Balaupata melaporkan bahwa mereka memiliki saudara tiri berwujud sapi jantan bernama Lembu Andana yang juga sakti seperti Lembu Andini. Lembu Andana tersebut adalah putra Ditya Gopatana yang lahir dari Dewi Sungkawa, sedangkan Batara Cingkarabala dan Batara Balaupata lahir dari Dewi Amatri.

Sri Padukaraja Mahadewa Buda lalu mengirim pasukan Medang Kamulan untuk menjemput Lembu Andana yang saat ini sedang bertapa di Gunung Kampud. Begitu mengetahui dirinya akan dijadikan sebagai kendaraan, Lembu Andana pun bangun dari tapa dan mengamuk menghadapi para prajurit jawata tersebut. Dalam waktu singkat pasukan Medang Kamulan dibuat kocar-kacir dan berlarian kembali ke Gunung Mahendra.

Setelah menerima laporan, Sri Padukaraja Mahadewa Buda memutuskan berangkat sendiri ke Gunung Kampud untuk menangkap Lembu Andana. Maka, terjadilah pertarungan sengit antara mereka berdua. Setelah bertempur cukup lama, Lembu Andana akhirnya menyerah kalah dan tunduk menjadi kendaraan Sri Padukaraja Mahadewa Buda.

Sri Padukaraja Mahadewa Buda melihat wujud Lembu Andana sangat mirip dengan Lembu Andini, hanya berbeda jenis kelamin saja. Jika Lembu Andini berkelamin betina, maka Lembu Andana berkelamin jantan. Oleh karena itu, Lembu Andana pun diganti namanya menjadi Lembu Nandini, dan sejak itu resmi menjadi kendaraan Sri Padukaraja Mahadewa Buda jika kelak kembali ke kahyangan.

SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MEMAKSAKAN MIMPI

Pada suatu malam, Sri Padukaraja Mahadewa Buda bermimpi menemukan sebongkah permata di puncak Gunung Mahendra, dan esok harinya ternyata ia benar-benar menemukan permata tersebut. Maka, ia lalu mengumumkan barangsiapa mimpi melakukan sesuatu, maka esok harinya harus mewujudkan mimpi tersebut. Misalnya, jika ada orang yang bermimpi mandi, maka esoknya ia harus mandi seperti pada mimpinya itu.

Peraturan baru ini membuat rakyat menjadi gembira sekaligus resah. Mereka yang bermimpi bagus tentu akan merasa senang, sedangkan yang bermimpi buruk pasti akan merasa susah. Misalnya, ada kijang bermimpi dimangsa harimau, maka esok harinya ia harus merelakan diri untuk diterkam harimau.

Namun, Sri Padukaraja Mahadewa Buda ternyata melakukan perbuatan tidak adil. Pada suatu hari ada seorang raksasa bernama Ditya Atmira yang memiliki anak perempuan bernama Ken Waktri. Mereka menghadap ke Medang Kamulan karena Ken Waktri semalam bermimpi menjadi istri Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Sri Padukaraja Mahadewa Buda bersedia melaksanakan mimpi tersebut, namun ia juga mengaku telah bermimpi hanya sebentar saja menjadi suami Ken Waktri karena untuk selanjutnya Ken Waktri menjadi istri Batara Cingkarabala.

Mau tidak mau Ditya Atmira dan Ken Waktri pun melaksanakan keputusan tersebut. Maka dilaksakanlah pernikahan antara Sri Padukaraja Mahadewa Buda dengan Ken Waktri, yang kemudian disusul dengan pernikahan Ken Waktri dengan Batara Cingkarabala saat itu juga.

SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA KEMBALI MENJADI BATARA GURU


Tersebutlah seekor bunglon bijaksana yang merasa prihatin mendengar keluh kesah penduduk Medang Kamulan yang terdiri dari berbagai jenis makhluk hidup itu. Para penduduk manusia, raksasa, gandarwa, siluman, dan binatang banyak yang kecewa terhadap kewajiban melaksakan mimpi yang telah ditetapkan Sri Padukaraja Mahadewa Buda.

Si bunglon dapat merasakan bahwa kebijaksanaan Sri Padukaraja Mahadewa Buda jauh menurun setelah kedatangan Dewi Maheswari dan Dewi Sati. Sang raja yang lama tidak berjumpa kedua istrinya itu kini lebih banyak bersenang-senang untuk memuaskan kerinduan sehingga tidak lagi memimpin Kerajaan Medang Kamulan dengan baik.

Maka, setelah membulatkan tekad, si bunglon memberanikan diri datang ke Gunung Mahendra menghadap Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Ia menyampaikan keluhan para penduduk bahwa kewajiban melaksanakan mimpi adalah keputusan yang sangat memberatkan dan tidak masuk akal. Bagaimanapun juga tidak semua mimpi adalah petunjuk Tuhan, bahkan banyak di antaranya hanyalah bunga tidur belaka.

Sri Padukaraja Mahadewa Buda merasa sangat malu melihat ada seekor bunglon telah menegur kebijaksaannya yang dirasa memang tidak masuk akal. Maka, ia pun memutuskan kembali menjadi Batara Guru dan pergi meninggalkan Pulau Jawa. Batara Narada, Batari Umaranti, Batari Parwati, Batara Cingkarabala, Batara Balaupata, dan para jawata lainnya juga ikut serta meninggalkan Kerajaan Medang Kamulan sehingga Gunung Mahendra menjadi sepi seketika.

LIMA DEWA BERSIAP MELANJUTKAN TUGAS BATARA GURU

Batara Guru dan rombongannya telah kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka di Tanah Hindustan. Tidak lama kemudian Sanghyang Padawenang datang dan menegur kegagalan Batara Guru dalam memakmurkan Pulau Jawa karena terlena oleh peraturan melaksanakan mimpi yang tidak masuk akal. Batara Guru mohon ampun dan berniat memerintahkan kelima putranya untuk melanjutkan tugas memakmurkan Pulau Jawa tersebut.

Setelah Sanghyang Padawenang menerima usulan itu, Batara Guru pun memerintahkan Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu supaya mempersiapkan diri menjadi lima raja yang mengatur Pulau Jawa. Kelima dewa itu menyatakan bersedia dan berjanji melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


kembali ke: daftar isi





Daftar isi album kisah pewayangan


Kisah Para Dewa

Kisah Zaman Purwacarita
Kisah Leluhur Pandawa

Kisah Pandawa - Kurawa

Kisah Pandawa dan Para Putra

Kisah Pandawa Buang













Jumat, 11 Juli 2014

Mahadewa Buda

Kisah ini menceritakan tentang Batara Guru yang menjelma sebagai seorang pertapa bernama Resi Mahadewa Buda untuk mengajarkan agama dan tata cara kehidupan kepada para penduduk Pulau Jawa. Ia kemudian mendirikan Kerajaan Medang Kamulan dan menjadi raja bergelar Sri Padukaraja Mahadewa Buda.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 11 Juli 2013

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

BATARA GURU MENDAPAT TUGAS KE PULAU JAWA

Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dihadap Batara Narada dan para putra, yaitu Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu. Mereka membicarakan tentang orang-orang Keling, Benggala, dan Siam yang telah berkembang biak di Pulau Jawa selama seratus tahun. Pada mulanya mereka yang datang bersama Empu Sengkala masih tekun beribadah sesuai ajaran Agama Dewa. Namun kini, anak keturunan mereka banyak yang tidak beriman dan hanya sibuk mencari makan atau berkembang biak saja.

Tidak lama kemudian Sanghyang Padawenang datang dari Kahyangan Awang-Awang Kumitir. Batara Guru menghaturkan sembah dan menceritakan keadaan Pulau Jawa yang penduduknya saat ini sudah jauh dari agama dan hidup seperti hewan saja. Sanghyang Padawenang merasa sangat prihatin mendengarnya. Maka, ia pun memerintahkan Batara Guru supaya pergi ke Pulau jawa untuk mengajarkan ilmu agama kepada para penduduk di sana. Batara Guru mematuhi perintah tersebut dan menyerahkan kepemimpinan Kahyangan Jonggringsalaka untuk sementara waktu kepada Batara Sambu dengan didampingi Batara Narada.

BATARA GURU MENJELMA MENJADI RESI MAHADEWA BUDA

Sebelum berangkat ke Pulau Jawa, Batara Guru lebih dulu berpamitan kepada sang istri, yaitu Batari Umaranti. Ia juga meninggalkan Lembu Andini di Kahyangan Jonggringsalaka untuk menemani Batari Umaranti. Setelah dirasa cukup, Batara Guru lalu menjelma menjadi seorang resi dengan menyembunyikan segala bentuk cacat tubuhnya, seperti berlengan empat, bertaring, berkaki pincang, dan berleher belang. Nama gelar yang ia pakai adalah Resi Mahadewa Buda.

Resi Mahadewa Buda pun berangkat ke Pulau Jawa dan mulai mengajarkan Agama Dewa. Para penduduk yang berusia tua menyambut gembira kedatangan Sang Resi, karena mereka samar-samar masih teringat tentang agama yang pernah dianut para leluhur yang dulu datang ke Pulau Jawa bersama Empu Sengkala. Sementara itu, para penduduk yang berusia muda pun belajar agama mulai dari awal.

Tidak hanya itu, selain bangsa manusia juga banyak pula jenis makhluk lain yang ikut belajar Agama Dewa kepada Resi Mahadewa Buda. Mereka adalah kaum raksasa, siluman, bahkan segala jenis binatang pun banyak pula yang berguru kepadanya.

Setelah berkelana menjelajahi Pulau Jawa untuk mengajarkan agama, Resi Mahadewa Buda lalu membangun sebuah padepokan di Gunung Kamula sebagai tempat tinggalnya. Di padepokan tersebut ia menerima murid dan pengikut yang semakin banyak jumlahnya dan juga beraneka ragam jenisnya.

RESI MAHADEWA BUDA MENDIRIKAN KERAJAAN MEDANG KAMULAN

Setelah mengajarkan ilmu agama selama empat puluh tahun, Resi Mahadewa Buda menerima kedatangan Batara Narada dari Tanah Hindustan, yang menyampaikan perintah Sanghyang Padawenang supaya mengajarkan pula tata cara pemerintahan kepada masyarakat Jawa yang sudah semakin berkembang kehidupannya itu.

Maka, Batara Guru pun mengubah padepokan di Gunung Kamula menjadi sebuah pusat pemerintahan, yang diberi nama Kerajaan Medang Kamulan. Ia menjadi raja di sana dengan bergelar Sri Padukaraja Mahadewa Buda, sedangkan Batara Narada menjadi menteri utama bergelar Patih Narada.

KISAH SENA SI TUNANETRA MEMOHON KEADILAN

Pada suatu hari Sri Padukaraja Mahadewa Buda menerima kedatangan seorang penduduk bernama Sena yang menghadap memohon keadilan. Ia mengeluh mengapa Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan dirinya tidak sempurna, yaitu menderita tunanetra sejak lahir.

Sri Padukaraja Mahadewa Buda menasihati agar Sena tidak mencela ciptaan Tuhan. Namun, Sena terus-menerus memohon supaya diberi mata yang lebar agar bisa melihat pemandangan dunia. Sri Padukaraja Mahadewa Buda pun mengabulkannya. Sena berterima kasih dan meninggalkan pertemuan.

Tidak lama kemudian, Sena kembali lagi datang menghadap Sri Padukaraja Mahadewa Buda dan mengeluh ternyata memiliki mata lebar tidaklah enak, karena mudah kemasukan debu. Ia memohon agar diberi mata yang sempit saja. Sri Padukaraja Mahadewa Buda mengabulkannya. Sena pun berterima kasih dan mohon pamit keluar ruangan.

Namun, baru saja berada di luar istana, Sena terjatuh karena matanya silau melihat halilintar menyambar di angkasa. Ia pun kembali menghadap dan memohon kepada Sri Padukaraja Mahadewa Buda supaya matanya dikembalikan buta saja. Sri Padukaraja Mahadewa Buda mengabulkannya dan memberikan nasihat bahwa Tuhan Yang Mahakuasa telah menciptakan setiap makhluk hidup dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Apa yang sangat diinginkan oleh seseorang belum tentu menjadi sumber kebahagiaannya, dan apa yang tidak disukai seseorang belum tentu menjadi sumber penderitannya. Jika ada bagian tubuh yang memiliki kekurangan, tentu ada bagian tubuh lain yang memiliki kelebihan.

Sena merenungkan nasihat tersebut dan ia pun mendapatkan pencerahan. Setelah meninggalkan istana Medang Kamulan, ia banyak belajar ilmu pengobatan dan akhirnya menjadi seorang dukun yang memberikan pengobatan kepada masyarakat luas.

SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MEMINDAHKAN MEDANG KAMULAN

Setelah lima tahun bertakhta di Gunung Kamula, Sri Padukaraja Mahadewa Buda teringat dulu ia pernah dikejar-kejar burung dara berbisa ciptaan Nabi Isa sehingga pindah ke Pulau Jawa dan membangun sebuah kahyangan baru di Gunung Mahendra. Kahyangan tersebut diberi nama Kahyangan Argadumilah, dan kini menjadi tempat kosong setelah lama ditinggalkan. Teringat pada kenangan tersebut, Sri Padukaraja Mahadewa Buda ingin sekali memindahkan pusat kerajaan Medang Kamulan dari Gunung Kamula ke Gunung Mahendra tersebut.

Demikianlah, Sri Padukaraja Mahadewa Buda dengan dibantu Patih Narada dan para menteri pun membangun kembali bekas Kahyangan Argadumilah di puncak Gunung Mahendra menjadi sebuah istana, yaitu pusat Kerajaan Medang Kamulan yang baru. Istana yang baru ini tentu saja jauh lebih indah dan lebih megah daripada istana lama di Gunung Kamula.

MEDANG KAMULAN DISERANG KERAJAAN GUA GOBAJRA

Pada suatu hari Sri Padukaraja Mahadewa Buda melihat cahaya kemilau dari arah Laut Selatan. Patih Narada pun dikirim untuk pergi menyelidiki. Ternyata cahaya itu berasal dari seorang pertapa raksasa bernama Begawan Danu. Ketika ditanya apa tujuannya bertapa, ia menjawab ingin dijadikan maharesi pujangga Kerajaan Medang Kamulan. Patih Narada lalu membawanya pergi menemui Sri Padukaraja Mahadewa Buda.

Sri Padukaraja Mahadewa Buda menerima Patih Narada yang datang membawa Begawan Danu. Setelah memberikan beberapa ujian kecerdasan, Sri Padukaraja tertarik dan menyukai ilmu pengetahuan yang dimiliki Begawan Danu. Maka, pertapa raksasa itu pun dikabulkan keinginannya, yaitu diangkat menjadi maharesi pujangga Kerajaan Medang Kamulan.

Tidak lama kemudian tiba-tiba datang serangan dari Kerajaan Gua Gobajra yang dipimpin raja raksasa bernama Prabu Danuka, anak Begawan Danu. Rupanya telah terjadi salah paham, di mana Prabu Danuka mengira ayahnya ditangkap Patih Narada untuk dimasukkan penjara.

Ketika pertempuran ramai tersebut berlangsung, Begawan Danu muncul dan langsung melerai. Setelah segala kesalahpahaman dijelaskan, Prabu Danuka sangat malu dan memohon ampun kepada Sri Padukaraja Mahadewa Buda.

SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MENDAPATKAN SEPASANG RAKSASA KEMBAR

Di antara pasukan Prabu Danuka ada dua orang raksasa kembar bernama Ditya Cingkarabala dan Ditya Balaupata yang menarik perhatian Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Kedua raksasa kembar itu adalah putra Patih Gopatana, menteri utama pengikut Prabu Danuka. Rupanya Sri Padukaraja Mahadewa Buda sangat terkesan melihat kekuatan dan kesaktian sepasang raksasa kembar tersebut saat bertempur melawan pasukannya tadi. Ia pun meminta mereka supaya tetap tinggal di Gunung Mahendra sebagai penjaga pintu gerbang Kerajaan Medang Kamulan.

Patih Gopatana sangat senang dan mengizinkan jika kedua putranya diterima menjadi abdi Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Kedua raksasa kembar itu pun menurut dan patuh terhadap perintah tersebut. Maka, sejak saat itu mereka pun menjadi sepasang abdi penjaga pintu gerbang Kerajaan Medang Kamulan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


kembali ke: daftar isi





Kamis, 10 Juli 2014

Penumbalan Tanah Jawa

Kisah ini menceritakan bagaimana awal mula Pulau Jawa diisi penduduk manusia. Juga dikisahkan bagaimana Empu Sengkala membantu memasang tumbal di Pulau Jawa yang angker sehingga menjadi aman untuk dihuni manusia.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 10 Juli 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Empu Sengkala.

EMPU SENGKALA BERANGKAT KE PULAU JAWA

Batara Anggajali di tempat pembuatan senjata kahyangan menerima kedatangan Empu Sengkala yang hendak pergi bertapa di Pulau Jawa atas perintah Batara Guru. Batara Anggajali pun membekali putranya itu dengan mengajarkan beberapa tambahan ilmu kesaktian dan nasihat kehidupan. Setelah dirasa cukup, ia lalu memberikan doa restu agar sang putra selalu mendapatkan keselamatan dalam perjalanannya.

Setelah berlayar menyeberangi lautan luas, Empu Sengkala akhirnya tiba di Pulau Jawa yang saat itu masih tersambung dengan Pulau Sumatra dan Pulau Bali. Butuh waktu seratus tiga hari bagi Empu Sengkala untuk berkeliling menjelajahi pulau tersebut dari Tanah Aceh di ujung barat laut sampai ke Bali. Pulau tersebut benar-benar sepi dan hanya dihuni oleh para makhluk halus, siluman, bekasakan, dan binatang buas.

Setelah selesai berkeliling, Empu Sengkala lalu membangun tempat tinggal di Gunung Dihyang, dengan diberi nama Padepokan Purwapada.

EMPU SENGKALA MENCIPTAKAN PENANGGALAN

Empu Sengkala mulai bertapa di Padepokan Purwapada. Karena daya perbawa yang ia pancarkan, tidak ada makhluk halus yang berani mengganggunya. Setelah beberapa hari bertapa ia pun didatangi oleh Batari Srilaksmi yang memancarkan cahaya putih. Batari Srilaksmi mengajarkan kepadanya ilmu Asmaragama, Asmaranala, Asmaratura, Asmaraturida, dan Asmarandana. Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.

Pada hari kedua, Empu Sengkala didatangi Batara Kala yang memancarkan cahaya kuning. Batara Kala mengajarkan berbagai macam ilmu sihir, kemayan, dan panggendaman. Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.

Pada hari ketiga, Empu Sengkala didatangi Batara Brahma yang memancarkan cahaya merah. Batara Brahma mengajarkan berbagai macam ilmu ramalan dan kemampuan melihat masa depan. Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.

Pada hari keempat, Empu Sengkala didatangi Batara Wisnu yang memancarkan cahaya hitam. Batara Wisnu mengajarkan berbagai macam ilmu kesaktian dan siasat peperangan. Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.

Pada hari kelima, Empu Sengkala didatangi Batara Guru yang memancarkan cahaya mancawarna. Batara Guru mengajarkan ilmu kesempurnaan dan ilmu panitisan. Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.

Untuk mengenang peristiwa tersebut, Empu Sengkala kemudian membuat sebuah penanggalan yang dalam satu pekan terdiri atas lima hari, yaitu hari Sri, Kala, Brahma, Wisnu, dan Guru. Pada hari Sri ia bersamadi menghadap ke timur, pada hari Kala bersamadi menghadap ke selatan, pada hari Brahma bersamadi menghadap ke barat, pada hari Wisnu bersamadi menghadap ke utara, dan pada hari Guru bersamadi menunduk ke bumi, serta mendongak ke angkasa.

Penanggalan yang diciptakan Empu Sengkala tersebut kemudian diberi nama Tahun Suryasengkala dan Tahun Candrasengkala. Jika Suryasengkala didasarkan pada peredaran bumi terhadap matahari, maka Candrasengkala didasarkan pada peredaran bulan terhadap bumi.

PENDUDUK NEGERI RUM MENGISI PULAU JAWA

Tersebutlah raja Kerajaan Rum bernama Maharaja Galbah. Pada suatu hari ia memimpin pertemuan dengan dihadap sang putra bernama Pangeran Oto, dan menteri utama bernama Patih Amirulsamsu. Yang dibicarakan adalah perihal mimpi Maharaja Galbah, yaitu ia mendapatkan perintah dari suara gaib agar mengisi Pulau Jawa di seberang lautan timur. Pulau tersebut sangat subur namun hanya dihuni kaum bekasakan dan makhluk halus, tanpa ada manusia sama sekali di dalamnya.

Maharaja Galbah bertanya kepada para pendeta kerajaan dan mereka menjelaskan bahwa suara gaib dalam mimpi tersebut adalah perintah Tuhan Yang Mahakuasa agar dilaksanakan. Maka, Maharaja Galbah pun mengutus Patih Amirulsamsu untuk memimpin sebagian penduduk Kerajaan Rum pindah dan bermukim di Pulau Jawa.

Patih Amirulsamsu berangkat dengan membawa dua puluh ribu orang penduduk Rum menyeberang lautan luas. Sesampainya di Pulau Jawa, orang-orang Rum tersebut bergotong royong membuka hutan dan mendirikan perkampungan. Setelah dirasa cukup, Patih Amirulsamsu lalu kembali untuk melapor kepada Maharaja Galbah.

Sepeninggal Sang Patih, orang-orang Rum di Pulau Jawa banyak yang jatuh sakit dan meninggal karena tidak tahan hawa panas serta diganggu makhluk halus, atau ada pula yang dimangsa binatang buas. Dalam waktu tiga tahun saja yang tersisa hanya tinggal dua puluh orang dan mereka memutuskan untuk pulang ke Negeri Rum.

PANDITA USMANAJI BERANGKAT KE PULAU JAWA

Maharaja Galbah sangat sedih mendengar laporan bahwa dari dua puluh ribu orang yang menghuni Pulau Jawa hanya tersisa dua puluh orang saja dan mereka memilih pulang kembali ke Negeri Rum. Patih Amirulsamsu berpendapat bahwa Pulau Jawa terlalu angker untuk ditempati manusia, dan untuk itu perlu dipasangi tumbal penakluk makhluk halus. Sang Patih melaporkan bahwa di Negeri Bani Israil hidup seorang pendeta berilmu tinggi bernama Pandita Usmanaji yang kiranya bisa melaksanakan tugas berat ini.

Kerajaan Bani Israil sudah lama menjadi negeri jajahan Kerajaan Rum, sehingga Maharaja Galbah dapat leluasa memanggil Pandita Usmanaji untuk menghadap dan menerima perintah darinya. Pandita Usmanaji tiba di kerajaan dan menyatakan siap melaksanakan perintah itu. Ia lalu mohon pamit berlayar ke Pulau Jawa dengan diiringi sejumlah pendeta lainnya.

EMPU SENGKALA MEMBANTU PENUMBALAN PULAU JAWA

Setelah berlayar beberapa bulan, rombongan Pandita Usmanaji akhirnya tiba dan mendarat di Pulau Jawa. Berkat kesaktiannya, Pandita Usmanaji dapat merasakan bahwa di pulau tersebut ternyata ada seorang manusia sedang bertapa di Gunung Dihyang. Didatanginya gunung tersebut dan ditemuinya sang pertapa, yang ternyata Empu Sengkala, muridnya sendiri.

Empu Sengkala sangat terharu dan gembira bisa bertemu sang guru di pulau sunyi ini. Ia pun menceritakan semua pengalaman hidupnya sejak berpisah dulu, antara lain pernah menjadi raja Kerajaan Surati dan akhirnya mendapatkan perintah dari Batara Guru untuk bertapa di Pulau Jawa. Tak terasa sudah enam tahun lamanya Empu Sengkala bertapa dan ia pun sempat mendengar berita adanya orang-orang Rum yang bermukim di Pulau Jawa namun mengalami nasib malang.

Pandita Usmanaji lalu mengajak Empu Sengkala untuk membantunya memasang tumbal supaya Pulau Jawa yang angker menjadi lebih aman dan nyaman untuk ditempati manusia. Mereka pun mulai bekerja, dengan memasang lima buah tumbal, yaitu yang empat ditanam di empat penjuru mata angin dan satu lagi dipasang di tengah-tengah pulau. Setelah pemasangan tumbal selesai, Pandita Usmanaji dan rombongan membawa serta Empu Sengkala meninggalkan Pulau Jawa.

Hari berikutnya, terjadilah bencana alam di segenap penjuru pulau. Gempa bumi, gunung meletus, badai halilintar, disertai suara bergemuruh terjadi di mana-mana yang kemudian diikuti suara jerit tangis para makhluk jahat. Mereka pun berlarian menuju Laut Selatan untuk mencari perlindungan.

EMPU SENGKALA MENDAPAT PERINTAH DARI MAHARAJA GALBAH

Pandita Usmanaji tiba di Kerajaan Rum dan melaporkan keberhasilannya kepada Maharaja Galbah. Maharaja Galbah juga sangat berterima kasih atas bantuan Empu Sengkala dan memberikan gelar Pandita Isaka kepadanya. Pandita Usmanaji lalu mohon pamit pulang ke Negeri Bani Israil dengan mengajak Empu Sengkala ikut serta. Di sana Empu Sengkala pun mendapatkan banyak tambahan ilmu pengetahuan dan ilmu kesaktian darinya.

Pada suatu hari Patih Amirulsamsu datang ke Bani Israil untuk menyampaikan surat perintah Maharaja Galbah kepada Empu Sengkala. Bagaimanapun juga perintah Tuhan Yang Mahakuasa untuk menempatkan penduduk manusia di Pulau Jawa harus tetap dilaksanakan. Hanya saja, perintah tersebut tidak menjelaskan bahwa yang harus ditempatkan di sana adalah penduduk Kerajaan Rum, sehingga Maharaja Galbah kini memerintahkan Empu Sengkala untuk mencari penduduk negeri lain yang cocok dengan keadaan Pulau Jawa sehingga bisa bermukim di sana dengan nyaman.

Empu Sengkala menyatakan bersedia dan ia pun mohon restu kepada Pandita Usmanaji, kemudian berangkat menuju ke timur.

EMPU SENGKALA MEMIMPIN PENGISIAN PULAU JAWA

Empu Sengkala tiba di Kahyangan Jonggringsalaka menghadap Batara Guru untuk meminta petujuk dalam melaksanakan perintah Tuhan Yang Mahakuasa melalui mimpi Maharaja Galbah tersebut. Batara Guru selaku pemimpin tertinggi di Tanah Hindustan dan sekitarnya memberikan izin kepada Empu Sengkala untuk mengumpulkan orang-orang Keling, Benggala, dan Siam karena mereka memiliki tubuh yang cocok dengan keadaan alam di Pulau Jawa.

Empu Sengkala kemudian menemui ayahnya, yaitu Batara Anggajali. Sang ayah memberikan restu dan menyertakan putra-putranya yang lain untuk membantu pekerjaan Empu Sengkala tersebut. Mereka adalah Empu Bratandang, Empu Braruni, dan Empu Braradya, yaitu anak-anak Batara Anggajali yang lahir dari istri kedua.

Empu Sengkala ditemani ketiga adiknya berlayar membawa dua puluh ribu orang yang mereka kumpulkan dari Keling, Benggala, dan Siam, sesuai perintah Batara Guru. Setelah mendarat di Pulau Jawa, orang-orang itu kemudian diajak bergotong royong membuka hutan dan pegunungan untuk dijadikan tempat permukiman.

Setelah sepuluh tempat permukiman berdiri, Empu Sengkala lalu memilih sepuluh orang yang paling pandai di antara para penduduk untuk mendapatkan tambahan pelajaran darinya. Mereka bernama Jangga, Wisaka, Kutastaka, Malipata, Wiswandana, Kurmanda, Kusalya, Anuwilipa, Suskadi, dan Sarada.

Setelah mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan, kesepuluh orang itu lalu disebar untuk menjadi pemimpin para penduduk. Setelah dirasa cukup, Empu Sengkala pun kembali ke Negeri Rum, sedangkan ketiga adiknya kembali ke Tanah Hindustan.

EMPU SENGKALA MENINJAU PULAU JAWA

Tujuh belas tahun kemudian Empu Sengkala kembali mendapatkan perintah untuk berlayar ke Pulau Jawa. Kali ini yang memberikan perintah adalah Maharaja Oto, yaitu putra Maharaja Galbah. Maharaja baru itu memerintahkan Empu Sengkala pergi meninjau keadaan Pulau Jawa sebagaimana wasiat terakhir Maharaja Galbah sebelum meninggal. Jika penduduk Pulau Jawa sudah berkembang pesat dan hidup aman tenteram, tentu roh Maharaja Galbah bisa merasa tenang di alam baka.

Empu Sengkala lalu berangkat disertai sejumlah orang Rum sebagai pengiring. Setelah tiba di Pulau Jawa, mereka gembira melihat para penduduk semakin berkembang dan jumlah mereka meningkat pesat. Orang-orang Rum yang datang tersebut menjadi tertarik dan sebagian dari mereka memilih untuk ikut menetap di Pulau Jawa.

Empu Sengkala lalu menunjuk seorang bernama Tamus untuk menjadi pemimpin orang-orang Rum yang menetap di Pulau Jawa. Setelah dirasa cukup, Empu Sengkala kemudian kembali ke Negeri Rum untuk menyampaikan laporan kepada Maharaja Oto.

EMPU SENGKALA MENDAPATKAN AIR KEABADIAN

Setelah menyampaikan laporan kepada Maharaja Oto tentang keadaan penduduk di Pulau Jawa, Empu Sengkala kembali menemui Pandita Usmanaji di Kerajaan Bani Israil. Pada suatu malam ia bermimpi mendengar suara gaib yang menyuruhnya pergi ke Kutub Utara mencari sebuah tempat bernama Tanah Lulmat dan bertapa di sana. Setelah berunding dengan sang guru, ia pun mohon restu dan berangkat melaksanakan mimpi tersebut.

Setelah bersusah payah, Empu Sengkala akhirnya sampai juga di Tanah Lulmat. Setelah bertapa beberapa bulan, tiba-tiba muncul mustika awan yang memancarkan air keabadian Tirtamarta Kamandanu seperti yang pernah dialami Sayidina Anwar ribuan tahun silam. Terdengar pula suara gaib yang memerintahkan Empu Sengkala untuk meminum air tersebut. Setelah meminumnya, Empu Sengkala seketika mendapatkan kehidupan kekal dan tetap awet muda selamanya.

Setelah itu, suara gaib kembali terdengar yang kali ini mengatakan bahwa kelak Empu Sengkala harus datang lagi ke Pulau Jawa untuk menumpas angkara murka dan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada penduduk di sana. Namun peristiwa tersebut masih berselang ratusan tahun dari saat ini. Untuk menunggu datangnya saat itu, Empu Sengkala diperintahkan untuk tinggal di Tanah Hindustan sebagai brahmana.

Suara gaib tersebut kemudian menghilang tidak terdengar lagi. Empu Sengkala lalu meninggalkan Tanah Lulmat dan pergi menemui Pandita Usmanaji di Negeri Bani israil, untuk kemudian mohon pamit berangkat ke Tanah Hindustan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


kembali ke: daftar isi





Rabu, 02 Juli 2014

Batara Gana Lahir

Kisah ini menceritakan kelahiran Batara Ganesa atau Ganapati, yaitu dewa berkepala gajah, serta awal mula Prabu Ajisaka menjadi Empu Sengkala.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Kakawin Smaradahana karya Mpu Dharmaja yang dipadukan dengan Serat Paramayoga karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 2 Juli 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------


PRABU AJISAKA KEHILANGAN TAKHTA

Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Sambu untuk sementara memimpin pertemuan, karena saat ini Batara Guru sedang bertapa di Gunung Tengguru, dengan tujuan menyerap sisa-sisa daya perbawa yang tertinggal di kahyangan lama untuk dipindahkan ke kahyangan baru.

Tiba-tiba datang Prabu Ajisaka, putra Batara Anggajali, yang melaporkan bahwa Kerajaan Surati telah hancur diserang musuh raksasa bernama Prabu Nilarudraka dari Kerajaan Glugutinatar. Prabu Ajisaka mohon ampun karena tidak mampu mempertahankan negeri anugerah Batara Guru tersebut. Ia juga melaporkan bahwa selama para dewa berkahyangan di Tanah Jawa, Prabu Nilarudraka dan pasukannya telah banyak menaklukkan raja-raja di Tanah Hindustan.

Tidak lama kemudian datang utusan Prabu Nilarudraka yang bernama Patih Senarudraka menghadap Batara Sambu untuk meminta supaya Prabu Ajisaka diserahkan kepadanya. Tidak hanya itu, ia juga meminta agar para dewa mengakui kekuasaan Prabu Nilarudraka.

Batara Sambu marah mendengar permintaan tersebut. Ia pun mempersilakan Patih Senarudraka menunggu di luar karena permintaan tersebut akan dihadapi dengan pertempuran.

PARA DEWA KALAH PERANG MELAWAN PATIH SENARUDRAKA

Patih Senarudraka memimpin pasukan raksasa menghadapi pasukan dewata yang dipimpin langsung oleh Batara Sambu. Perang besar pun terjadi. Para dewa merasa kesulitan tidak mampu mengalahkan kekuatan para raksasa Kerajaan Glugutinatar tersebut. Akhirnya, Batara Sambu pun menarik mundur pasukan dewata dan menutup rapat-rapat gerbang Kori Selamatangkep.

Melihat pihak lawan mundur ke dalam kahyangan, Patih Senarudraka pun mendirikan perkemahan di kaki Gunung Jamurdipa, untuk mengepung jalur masuk menuju Kahyangan Jonggringsalaka. Sementara itu, Prabu Nilarudraka yang menduduki Kerajaan Surati mengirim kabar bahwa dirinya telah bergerak untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan yang lain.

PARA DEWA MEMINTA PETUNJUK SANGHYANG PADAWENANG

Setelah para dewa masuk kembali ke dalam Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Narada menyarankan agar Batara Sambu meminta petunjuk Sanghyang Padawenang di Kahyangan Awang-Awang Kumitir. Batara Sambu pun menugasi Batara Wisnu dan Batara Kamajaya untuk pergi ke sana. Kedua dewa itu mohon pamit dan berangkat dengan mengerahkan Aji Panglimunan sehingga tidak terlihat oleh pasukan Patih Senarudraka yang berkemah.

Sesampainya di Kahyangan Awang-Awang Kumitir, Batara Wisnu dan Batara Kamajaya segera meminta petunjuk Sanghyang Padawenang dalam menghadapi serangan Kerajaan Glugutinatar. Menghadapi Patih Senarudraka saja sudah sulit, apalagi menghadapi Prabu Nilarudraka. Bahkan, Batara Wisnu yang sangat sakti saja tidak mampu mengalahkan mereka.

Sanghyang Padawenang menjelaskan bahwa takdir kematian Prabu Nilarudraka bukan di tangan Batara Wisnu, tetapi di tangan adiknya yang kelak lahir dari Dewi Parwati, putri Kerajaan Giriprawata. Namun saat ini Batara Guru sedang bertapa di Gunung Tengguru, sehingga perlu dibangunkan dan dipertemukan dengan putri tersebut.

Setelah mendapatkan penjelasan, Batara Wisnu dan Batara Kamajaya pun mohon pamit untuk kemudian berangkat menemui Batara Guru di Gunung Tengguru.

BATARA GURU MEMBAKAR BATARA KAMAJAYA

Batara Guru sedang tekun bersamadi di puing-puing bekas reruntuhan Kahyangan Tengguru. Batara Wisnu dan Batara Kamajaya datang menghadap. Mereka berusaha membangunkan Batara Guru namun tidak berhasil. Batara Kamajaya akhirnya mohon izin untuk menggunakan Panah Pancawisaya, yang berguna untuk membangkitkan gairah dan rasa cinta di hati Batara Guru.

Setelah Batara Wisnu mengizinkan, Batara Kamajaya pun melepaskan Panah Pancawisaya dan mengenai dada Batara Guru. Seketika Batara Guru dalam samadinya pun bermimpi melihat seorang putri cantik bernama Dewi Parwati putri Kerajaan Giriprawata. Namun begitu terbangun, ia sangat marah karena mengetahui ternyata itu semua adalah ulah Batara Kamajaya yang berusaha membangkitkan nafsu birahinya. Tak kuasa menahan murka, Batara Guru pun bertriwikrama menjadi Sanghyang Rudrapati, yang memiliki mata ketiga di dahi. Mata ketiga itu lalu memancarkan sorot api yang langsung membakar Batara Kamajaya menjadi abu.

Batara Wisnu memohon supaya Batara Guru meredam kemarahan dan ia pun menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah menyadari duduk permasalahannya, Batara Guru pun kembali ke wujud semula dan merasa berduka. Ia lalu memerintahkan Batara Wisnu mengumpulkan abu jenazah Batara Kamajaya dan membawanya pulang ke Kahyangan Jonggringsalaka. Ia sendiri kemudian terbang menuju Kerajaan Giriprawata untuk menikahi Dewi Parwati sesuai petunjuk Sanghyang Padawenang.

BATARA GURU MENIKAHI DEWI PARWATI

Di Kerajaan Giriprawata, Prabu Himawan dan Dewi Minawati menyambut kedatangan Batara Guru dengan penuh hormat. Mereka berdua menerima dengan suka cita saat Batara Guru menyampaikan maksud kedatangannya ingin melamar Dewi Parwati, putri mereka, sebagai istri.

Maka dilangsungkanlah pernikahan antara Batara Guru dengan Dewi Parwati. Setelah itu, Batara Guru kemudian mohon pamit memboyong Dewi Parwati untuk tinggal di Kahyangan Jonggringsalaka.

BATARA GURU MENGHIDUPKAN BATARA KAMAJAYA DAN BATARI RATIH

Sesampainya di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dan Dewi Parwati melihat para dewa dan bidadari sedang berkabung di hadapan abu jenazah berjumlah dua. Rupanya Batari Ratih sangat berduka mengetahui Batara Kamajaya mati terbakar, dan ia pun melakukan bela pati ikut membakar diri menyusul sang suami.

Para dewa memohon kepada Batara Guru supaya menghidupkan kembali pasangan suami-istri tersebut. Batara Guru lalu menyiram kedua abu jenazah itu menggunakan air kehidupan Tirtamarta Kamandanu. Secara ajaib, kedua abu jenazah pun berubah wujud menjadi Batara Kamajaya dan Batari Ratih seperti sedia kala.

Batara Kamajaya.

KELAHIRAN BATARA GANAPATI

Sudah lima bulan lamanya Patih Senarudraka berkemah di kaki Gunung Jamurdipa mengepung Kahyangan Jonggringsalaka. Sementara itu Dewi Parwati sudah mengandung pula. Para dewa berharap bayi yang akan dilahirkannya itulah yang kelak bisa mengalahkan musuh dari Kerajaan Glugutinatar.

Sementara itu Prabu Nilarudraka telah menaklukkan kerajaan-kerajaan di segenap penjuru Tanah Hindustan. Kerajaan terakhir yang ia kalahkan adalah Kerajaan Giriprawata, di mana ia berhasil menawan Prabu Himawan dan Dewi Minawati. Maka, tiba saatnya Prabu Nilarudraka bergabung dengan Patih Senarudraka di kaki Gunung Jamurdipa untuk bersama-sama menyerbu Kahyangan Jonggringsalaka.

Para dewa menjadi panik mendengar Prabu Nilarudraka telah datang di perkemahan Gunung Jamurdipa. Padahal, usia kandungan Dewi Parwati belum mencapai masa kelahiran. Para dewa akhirnya bertekad untuk bertempur mati-matian melawan Prabu Nilarudraka dan Patih Senarudraka dengan mengerahkan segenap kekuatan yang ada.

Batara Guru mengajak Dewi Parwati menyaksikan para dewa mempersiapkan pasukan di halaman Kahyangan Jonggringsalaka yang disebut Repat Kepanasan. Pada saat melihat gajah yang dikendarai Batara Indra, Dewi Parwati menjerit ngeri. Gajah tersebut bernama Gajah Erawata yang berukuran sangat besar, membuat Dewi Parwati ketakutan dan janin yang ada di dalam rahimnya ikut berontak.

Melihat keadaan yang tidak baik itu, Batara Guru pun menggunakan kesaktiannya untuk membantu sang istri melahirkan sebelum waktunya. Akhirnya, lahirlah seorang bayi laki-laki yang anehnya berkepala gajah. Para dewa terheran-heran, namun mereka berharap bayi berwujud aneh inilah yang bisa mengalahkan musuh sesuai ramalan Sanghyang Padawenang.

Batara Guru kemudian menyiram putranya yang berkepala gajah itu menggunakan Tirtamarta Kamandanu. Secara ajaib, bayi tersebut langsung berubah dewasa dan diberi nama Batara Ganapati atau Batara Ganesa.

BATARA GANAPATI MENGALAHKAN PATIH SENARUDRAKA

Di perkemahan pasukan Glugutinatar, Prabu Nilarudraka sedang menyusun rencana penyerbuan bersama Patih Senarudraka. Tiba-tiba mereka mendengar pasukan dewata telah membuka gerbang Kori Selamatangkep dan melakukan serangan balasan dengan dipimpin seorang dewa yang baru lahir bernama Batara Ganapati.

Patih Senarudraka maju menghadapi Batara Ganapati. Begitu berhadap-hadapan, Patih Senarudraka langsung tertawa geli melihat ada seorang dewa bertubuh gagah tapi berkepala gajah. Sungguh ajaib, gara-gara menertawakan wujud Batara Ganapati, seketika seluruh tubuh Patih Senarudraka pun berubah menjadi seekor gajah. Ia sangat menyesal mengetahui kesaktian Batara Ganapati dan menyatakan tunduk kepadanya.

Melihat patihnya berubah menjadi gajah dan menyerah kepada musuh, Prabu Nilarudraka sangat marah dan maju menyerang Batara Ganapati. Pertempuran sengit pun terjadi. Kedua pihak sama-sama kuat dan sama-sama sakti. Prabu Nilarudraka ternyata benar-benar perkasa sehingga pantas kalau ia berani menaklukkan para raja di Tanah Hindustan dan kemudian menyerbu kahyangan. Tidak ada satu pun senjata yang mampu melukai kulitnya.

Akan tetapi, setelah bertempur sekian lama Batara Ganapati akhirnya berhasil mematahkan kedua taring Prabu Nilarudraka dan menusukkannya ke leher raja raksasa tersebut. Begitu tertusuk taringnya sendiri, Prabu Nilarudraka langsung roboh kehilangan nyawa.

BATARA GANAPATI MENDAPAT KAHYANGAN GLUGUTINATAR

Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka dihadap para dewa dalam suasana suka cita karena pihak musuh telah berhasil dihancurkan. Kerajaan Glugutinatar milik Prabu Nilarudraka kini diubah menjadi kahyangan tempat tinggal Batara Ganapati. Para raja yang ditawan dan kerajaannya direbut Prabu Nilarudraka juga dibebaskan dan dikembalikan ke negeri masing-masing. Termasuk di antara mereka adalah Prabu Himawan dan Dewi Minawati dari Kerajaan Giriprawata.

Sementara itu, Patih Senarudraka yang kini berwujud gajah telah menyatakan sumpah setia kepada Batara Guru. Ia kemudian mendapatkan nama baru, yaitu Gajah Sena, dan diserahkan kepada Batara Bayu untuk mengabdi kepadanya.

PRABU AJISAKA MENJADI EMPU SENGKALA

Batara Guru lalu menerima kedatangan Batara Anggajali bersama putranya, yaitu Prabu Ajisaka. Setelah Kerajaan Surati direbut Prabu Nilarudraka, Prabu Ajisaka mengungsi ke Kahyangan Jonggringsalaka dan banyak membantu sang ayah dalam membuat senjata-senjata kahyangan untuk menghadapi pasukan raksasa Glugutinatar. Kini Prabu Ajisaka telah menguasai segala ilmu pembuatan senjata, dan ia telah berganti nama menjadi Empu Sengkala.

Batara Guru sangat senang melihat pengabdian Empu Sengkala, namun tidak mengizinkannya kembali ke Kerajaan Surati yang telah hancur itu. Batara Guru meramalkan, kelak Empu Sengkala akan mendapatkan tugas untuk mengisi Pulau Jawa di seberang lautan dengan penduduk manusia. Maka, sebelum saat itu tiba, Empu Sengkala pun diperintahkan untuk bertapa di pulau panjang tersebut.

Empu Sengkala mematuhi perintah sang raja dewa dan ia segera mohon pamit berangkat ke Pulau Jawa.

Batara Ganapati

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------