Kamis, 01 Desember 2016

Wahyu Purbasejati


Kisah ini menceritakan roh Prabu Sri Rama dan Raden Lesmana menitis kepada Prabu Kresna, Prabu Baladewa, dan Raden Arjuna. Juga dikisahkan awal mula kemunculan Kapi Anoman, pahlawan bangsa wanara dari zaman kuno yang kemudian mengabdi kepada Prabu Kresna.

Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan catatan yang saya dapatkan dari rubrik Pedhalangan di Majalah Panjebar Semangat, dengan sedikit pengembangan seperlunya.

Kediri, 01 Desember 2016

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------


KAPI ANOMAN MENDAPAT TUGAS MENGEJAR ROH PRABU RAHWANA

Prabu Rahwana Dasamuka adalah raja raksasa dari Kerajaan Alengka yang terletak di Pulau Sailan. Ia merupakan keturunan Prabu Hiranyakasipu yang pada zaman dahulu tewas di tangan Batara Wisnu dalam wujud Sang Narasinga. Semasa hidupnya, Prabu Rahwana sangat pandai dan alim. Ia pemuja Batara Guru yang taat dan juga ahli dalam menghafal kitab suci. Namun sayangnya, kepandaian dan kealimannya itu telah membuat Prabu Rahwana menjadi lupa diri. Merasa sudah pasti masuk surga, ia pun bertindak sewenang-wenang, mengumbar angkara murka, serta memaksakan kehendaknya terhadap semua orang. Hingga pada puncaknya, ia menculik Rakyanwara Sinta, istri Raden Sri Rama di Hutan Dandaka.

Raden Sri Rama lalu bekerja sama dengan Prabu Sugriwa raja bangsa wanara di Kerajaan Guakiskenda untuk merebut kembali sang istri. Dalam puncak pertempuran di Kerajaan Alengka, Raden Sri Rama berkali-kali menewaskan Prabu Rahwana, tetapi raja raksasa tersebut selalu dapat hidup kembali berkat pengaruh Aji Pancasunya. Hingga akhirnya, ketika Raden Sri Rama berhasil merobohkan Prabu Rahwana untuk yang kesekian kalinya, tiba-tiba Kapi Anoman (senapati andalan Prabu Sugriwa) nekat membantu. Wanara berbulu putih itu mengangkat Gunung Ungrungan dan menindihkannya pada tubuh Prabu Rahwana.

Karena tubuhnya tertindih Gunung Ungrungan, Prabu Rahwana tidak dapat bangun kembali, meskipun Aji Pancasunya masih bekerja. Di lain pihak, Raden Sri Rama tersinggung karena Kapi Anoman membantu tanpa diperintah. Sebagai hukuman, Kapi Anoman diwajibkan menjaga Gunung Ungrungan, jangan sampai roh Prabu Rahwana keluar dan berbuat kekacauan di dunia. Kapi Anoman pun mematuhi perintah tersebut.

Setelah peristiwa Brubuh Alengka, Raden Sri Rama memboyong Rakyanwara Sinta kembali ke Kerajaan Ayodya. Ia lalu membangun Kerajaan Pancawati di Hutan Dandaka dan menjadi raja bergelar Prabu Ramawijaya. Kelak keturunannya yang kedelapan bernama Raden Surasena mendirikan Kerajaan Mandura dan bergelar Prabu Kuntiboja. Ia merupakan kakek dari Prabu Baladewa, Prabu Kresna, Dewi Bratajaya, dan juga para Pandawa.

Sementara itu, Kapi Anoman dikaruniai umur panjang dan tubuh yang kuat, meskipun terlihat tua renta. Ia bertapa di Gunung Ungrungan menjaga roh Prabu Rahwana agar tidak keluar mengacau dunia. Pada suatu hari turunlah Batara Narada dari kahyangan yang memberi tahu bahwa roh Prabu Rahwana telah meloloskan diri, meninggalkan penjara gaib Gunung Ungrungan. Kapi Anoman merasa sangat berdosa karena lalai dalam menjalankan tugas. Ia pun meminta petunjuk Batara Narada agar diberi tahu ke mana perginya roh penjahat besar tersebut.

Batara Narada berkata bahwa roh Prabu Rahwana kini pergi untuk mewujudkan keinginan lamanya, yaitu menikahi Rakyanwara Sinta yang merupakan titisan Batari Sri Wedawati. Karena Rakyanwara Sinta sudah lama meninggal dunia, maka roh Prabu Rahwana pun mencari titisan Batari Sri Wedawati yang hidup di zaman sekarang, yaitu Dewi Bratajaya. Menurut penglihatan Batara Narada, roh Prabu Rahwana kini telah berganti nama menjadi Prabu Godayitma, dan mendirikan kerajaan gaib bernama Tawanggantungan di Tanah Jawa. Ia pun telah mengumpulkan roh Patih Prahasta (pamannya) dan roh Raden Indrajit (putranya) untuk menjalankan rencana menculik Dewi Bratajaya.

Kapi Anoman berterima kasih atas petunjuk Batara Narada. Ia pun mohon restu agar bisa menangkap kembali roh Prabu Rahwana tersebut. Batara Narada merestui dan memberikan pusaka berupa rantai gaib untuk mengikat roh Prabu Rahwana dan para pengikutnya. Ia juga berpesan agar kelak Kapi Anoman tidak perlu lagi kembali ke Gunung Ungrungan di Pulau Sailan, tetapi sebaiknya mengabdi kepada Prabu Kresna Wasudewa raja Dwarawati, yang merupakan titisan Batara Wisnu di zaman sekarang.

Kapi Anoman sekali lagi berterima kasih dan sangat bersyukur apabila bisa kembali mengabdi pada titisan Batara Wisnu. Batara Narada lalu memberikan petunjuk, yaitu jika ingin bertemu dengan Prabu Kresna, maka Kapi Anoman harus mencarinya di Gunung Gandamadana. Setelah berkata demikian, ia pun undur diri kembali ke kahyangan.

PRABU BALADEWA MENGUNJUNGI KERAJAAN DWARAWATI

Prabu Baladewa raja Mandura ditemani adik bungsu, yaitu Dewi Bratajaya, beserta Patih Pragota dan Arya Prabawa datang berkunjung ke Kerajaan Dwarawati. Mereka pun disambut oleh Prabu Kresna Wasudewa beserta ketiga istri, Arya Setyaki, dan Patih Udawa.

Prabu Baladewa terkagum-kagum memuji betapa megah Kerajaan Dwarawati yang dipimpin adiknya. Beberapa waktu yang lalu atas perintah dewata, Prabu Kresna Wasudewa berhasil menumpas Prabu Kunjarakresna raja Dwarawatiprawa dan Prabu Yudakala Kresna raja Dwarakawestri, kemudian menggabungkan kedua negeri mereka menjadi satu. Itulah sebabnya Kerajaan Dwarawati sangat besar, bahkan jauh lebih besar daripada Kerajaan Mandura yang merupakan tanah kelahiran Prabu Kresna Wasudewa.

Prabu Kresna menyebut Prabu Baladewa terlalu memuji. Ia sendiri merasa belum mampu menata Kerajaan Dwarawati dengan baik. Untungnya ada Arya Setyaki dan Patih Udawa yang giat membantu tanpa kenal waktu, sehingga pekerjaan terasa menjadi lebih ringan.

Prabu Baladewa kemudian bercerita masalah lain. Beberapa waktu yang lalu, ia mimpi bertemu seorang laki-laki yang mengaku sebagai kakeknya, bernama Prabu Kuntiboja. Dalam mimpi tersebut, Prabu Kuntiboja mengabarkan bahwa dewata hendak menurunkan anugerah berupa Wahyu Purbasejati kepada cucunya yang laki-laki. Untuk itu, hendaknya Prabu Baladewa mengajak Prabu Kresna bertapa di Gunung Gandamadana, karena di sanalah wahyu tersebut akan diturunkan.

Prabu Kresna menanggapi, bahwa dirinya juga mimpi demikian. Roh Prabu Kuntiboja telah datang kepadanya dan mengabarkan bahwa dewata akan menurunkan Wahyu Purbasejati di Gunung Gandamadana kepada keturunan Mandura yang laki-laki. Maka, tidak perlu membuang waktu lagi, Prabu Kresna pun mengajak Prabu Baladewa berangkat hari ini juga ke sana.

Prabu Baladewa sebenarnya agak sangsi karena di puncak Gunung Gandamadana terdapat astana pemakaman para leluhur, yaitu Prabu Kuntiboja, Dewi Bandodari, Prabu Basudewa, dan Dewi Dewaki. Menurut pendapat kaum agama, berdoa meminta kepada leluhur yang telah wafat atau menyembah kuburan adalah perbuatan yang tidak bisa dibenarkan, karena itu sama seperti menduakan Sang Pencipta. Rasanya aneh, mengapa wahyu harus diturunkan di kuburan, bukannya di tempat lain yang lebih mulia?

Prabu Kresna tersenyum menanggapi kakaknya. Baginya, kuburan adalah tempat mulia, tempat keramat, yang tidak kalah baik jika dibandingkan dengan tempat suci lainnya. Tujuan kedatangan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa adalah untuk memuliakan para leluhur, dan bukan untuk meminta berkah dari mereka. Berdoa meminta sesuatu kepada kuburan memang bukan perbuatan yang benar, tetapi mendoakan mereka yang berada di dalam kubur itulah yang sebaiknya dilakukan.

Prabu Baladewa kembali berkata bahwa, mendoakan leluhur memang perbuatan yang baik, tetapi mengapa harus mengunjungi kuburan? Bukankah berdoa itu bisa dilakukan di mana saja dan tidak harus pergi ke makam? Prabu Kresna menjawab, memang benar mendoakan leluhur bisa dilakukan di mana saja. Namun, mendoakan mereka di depan kuburan dapat membuat pikiran lebih hening, lebih terpusat, serta membuat kita lebih ingat pada kematian. Dengan mengunjungi kuburan, maka diharapkan manusia tidak lagi terlalu mengumbar nafsu keduniawian.

Prabu Baladewa dapat menerima penjelasan Prabu Kresna. Padahal dirinya adalah mantan pendeta, namun pemahamannya masih kalah mendalam jika dibandingkan dengan sang adik yang mantan begal. Kini ia pun mantap untuk melaksanakan petunjuk dari sang kakek, yaitu bertapa di Gunung Gandamadana bersama Prabu Kresna.

Dewi Bratajaya merengek ingin ikut diajak bertapa. Prabu Baladewa dengan tegas melarang dan menyuruh adik bungsunya itu agar tetap menunggu di Kerajaan Dwarawati saja, bersama ketiga istri Prabu Kresna, yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Setyaboma. Wahyu Purbasejati ini hanya diturunkan kepada cucu Prabu Kuntiboja yang laki-laki saja, sehingga tidak ada gunanya apabila Dewi Bratajaya ikut serta.

Setelah persiapan cukup, Prabu Kresna pun berangkat hanya berdua saja dengan Prabu Baladewa saja. Arya Setyaki ditugasi untuk menjaga Kerajaan Dwarawati bersama Patih Udawa, Patih Pragota, dan Arya Prabawa. Rupanya Prabu Kresna telah mendapat firasat akan terjadi gangguan di negerinya.

DITYA KUNJANAWRESA BERGABUNG DENGAN PRABU GODAYITMA

Ditya Kunjanawresa adalah raksasa berkepala kuda yang merupakan adik Prabu Kunjarakresna dan Prabu Yudakala Kresna. Setelah kedua kakaknya tewas di tangan Raden Narayana, ia pun kabur dan bertapa di Gunung Mregapati bersama para raksasa pengikutnya.

Pada suatu hari Prabu Godayitma (roh Prabu Rahwana) bersama Patih Prahastayitma (roh Patih Prahasta) dan Raden Begakumara (roh Raden Indrajit) datang ke Gunung Mregapati. Ditya Kunjanawresa marah dan menyerang Prabu Godayitma karena menurut dongeng yang pernah ia dengar, leluhurnya yang bernama Resi Wisnungkara mati di tangan Prabu Rahwana saat peristiwa Bedah Lokapala. Namun, dengan cekatan Prabu Godayitma dapat meringkus raksasa berkepala kuda tersebut dan membuatnya minta ampun.

Prabu Godayitma berkata bahwa meskipun ia sudah menjadi hantu, tetapi masih mampu membunuh Ditya Kunjanawresa dengan mudah. Masalah dendam lama tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Resi Wisnungkara sudah tua saat terbunuh, dan Prabu Rahwana kemudian mendapat balasan, yaitu dikalahkan titisan Batara Wisnu yang lain, yaitu Prabu Arjuna Sasrabahu dari Mahespati. Bahkan pada akhirnya, Prabu Rahwana mati pula di tangan titisan Batara Wisnu selanjutnya, yang bernama Prabu Sri Rama.

Prabu Godayitma berkata bahwa yang terpenting saat ini adalah bagaimana caranya agar Ditya Kunjanawresa dapat membalas kematian Prabu Kunjarakresna dan Prabu Yudakala Kresna. Ditya Kunjanawresa heran mengapa Prabu Godayitma mengetahui kalau dirinya menyimpan dendam kepada Prabu Kresna Wasudewa. Namun, ia kemudian memaklumi bahwa Prabu Godayitma adalah makhluk halus yang tak terika ruang dan waktu sehingga pengetahuannya lebih banyak daripada makhluk hidup.

Ditya Kunjanawresa sebenarnya sudah tidak ingin lagi melawan Prabu Kresna. Dirinya adalah keturunan Batara Wisnu, sedangkan Prabu Kresna adalah titisan Batara Wisnu. Beberapa hari ini Ditya Kunjanawresa mendapat kesadaran bahwa dendam tidak perlu dibalas, biarlah waktu yang menguburnya. Apalagi melawan Prabu Kresna, itu rasanya sama seperti melawan leluhur sendiri.

Mendengar itu, Prabu Godayitma pun berusaha menghasut Ditya Kunjanawresa agar membangkitkan kembali rasa dendamnya kepada Prabu Kresna. Ia berkata bahwa Prabu Kunjarakresna dan Prabu Yudakala Kresna mungkin memang pantas mati akibat perbuatan mereka sendiri yang menyerang Kahyangan Suralaya. Akan tetapi, tindakan Raden Narayana yang mengangkangi takhta Kerajaan Dwarawati dengan gelar Prabu Kresna, itu yang tidak dapat dibenarkan. Kerajaan Dwarawati adalah tanah kelahiran Ditya Kunjanawresa. Maka, Ditya Kunjanawresa harus dapat merebutnya kembali. Untuk itu, Prabu Godayitma menyatakan sanggup mengerahkan pasukan hantu pengikutnya untuk membantu Ditya Kunjanawresa.

Ditya Kunjanawresa heran dan bertanya ada urusan apa sehingga Prabu Godayitma dendam terhadap Kerajaan Dwarawati. Prabu Godayitma berterus terang bahwa ia dulu mati karena merebut istri Prabu Sri Rama yang bernama Rakyanwara Sinta. Adapun Rakyanwara Sinta adalah titisan Batari Sri Wedawati. Setelah Rakyanwara Sinta meninggal, konon kabarnya Batari Sri Wedawati menitis pada keturunannya yang bernama Dewi Bratajaya dari Kerajaan Mandura.

Prabu Godayitma berkali-kali berusaha menculik Dewi Bratajaya tetapi selalu terhalang oleh kesaktian Prabu Baladewa. Kini ia mendengar kabar bahwa Dewi Bratajaya bersama kakaknya itu sedang berkunjung ke Kerajaan Dwarawati. Maka, Prabu Godayitma pun mengajak Ditya Kunjanawresa untuk bekerja sama. Ia akan mengerahkan pasukan Tawanggantungan untuk membantu Ditya Kunjanawresa mengacau Kerajaan Dwarawati. Nanti jika Prabu Baladewa dan Prabu Kresna lengah, maka putranya yang bernama Raden Begakumara akan menyusup masuk ke dalam istana untuk menculik Dewi Bratajaya.

Ditya Kunjanawresa masih merasa segan karena Prabu Kresna adalah titisan Batara Wisnu, leluhurnya sendiri. Prabu Godayitma menjawab itu hanya dongeng palsu yang dikarang Prabu Kresna. Ia pun berusaha meyakinkan Ditya Kunjanawresa bahwa titisan Batara Wisnu harusnya berjodoh dengan titisan Batari Sri Wedawati. Karena Batari Sri Wedawati menitis kepada Dewi Bratajaya, maka tidak mungkin Batara Wisnu menitis pada kakaknya yang bernama Prabu Kresna.

Ditya Kunjanawresa akhirnya termakan hasutan Prabu Godayitma. Ia pun setuju mereka bekerja sama menyerang Kerajaan Dwarawati. Maka, Prabu Godayitma pun memerintahkan Patih Prahastayitma dan Raden Begakumara untuk mempersiapkan pasukan hantu agar bergabung dengan pasukan raksasa pengikut Ditya Kunjanawresa. Bersama-sama mereka lalu bergerak menuju ibu kota Dwarawati, kecuali Prabu Godayitma yang pulang ke Kerajaan Tawanggantungan dengan penuh keyakinan pasti menang.

PERTEMPURAN DI KERAJAAN DWARAWATI

Pasukan gabungan dari Mregapati dan Tawanggantungan telah sampai di batas ibu kota Dwarawati. Mereka membuat kekacauan dan kerusakan di pedesaan. Para raksasa merampok dan memerkosa warga, sedangkan para hantu menakut-nakuti penduduk. Mereka sengaja ingin memancing Prabu Baladewa dan Prabu Kresna agar keluar meninggalkan istana.

Saat itu kedua raja kakak beradik telah pergi ke Gunung Gandamadana. Maka, yang keluar menghadapi para pengacau tersebut adalah Arya Setyaki, Patih Udawa, Patih Pragota, dan Arya Prabawa. Terjadilah pertempuran di antara mereka. Arya Setyaki heran melihat musuh sedemikian banyak, ada yang berwujud raksasa dan ada yang berwujud hantu. Beruntung dulu Raden Permadi telah mengajari dirinya bagaimana cara berperang melawan makhluk halus. Demikian pula Patih Udawa juga pernah belajar kepada Prabu Kresna saat sama-sama berkelana dulu. Maka, mereka pun dapat menahan serangan pasukan musuh tersebut.

Patih Prahastayitma bertarung melawan Patih Pragota sambil menantang nama Prabu Kresna dan Prabu Baladewa. Patih Pragota dengan polos menjawab bahwa kedua raja tersebut sudah pergi ke Gunung Gandamadana. Mendengar itu, Patih Prahastayitma segera mundur dan memberi tahu Raden Begakumara, bahwa ini adalah kesempatan baik untuk menyusup ke dalam istana Dwarawati dan menculik Dewi Bratajaya. Raden Begakumara pun mohon pamit dan melesat pergi melaksanakan perintah.

Patih Prahastayitma lalu mengajak Ditya Kunjanawresa untuk pura-pura kalah dan kembali ke Gunung Mregapati. Namun, Ditya Kunjanawresa menolak karena tujuannya untuk membalas kematian Prabu Kunjarakresna dan Prabu Yudakala Kresna belum tercapai. Jika memang Raden Begakumara berhasil menculik Dewi Bratajaya, maka itu berarti keinginan Prabu Godayitma saja yang terpenuhi, sedangkan keinginan Ditya Kunjanawresa belum tuntas. Oleh sebab itu, kerja sama harus tetap dilanjutkan. Ditya Kunjanawresa pun mengajak Patih Prahastayitma untuk menyerang Gunung Gandamadana, membunuh Prabu Kresna Wasudewa.

Patih Prahastayitma merasa ucapan Ditya Kunjanawresa ada benarnya. Kerja sama ini memang harus menguntungkan kedua pihak. Maka, ia pun bersedia menemani raksasa berkepala kuda itu menyerang Gunung Gandamadana. Patih Prahastayitma lalu meninggalkan sebagian pasukan raksasa dan hantu untuk tetap mengacau Kerajaan Dwarawati agar membuat sibuk Arya Setyaki dan kawan-kawan, sedangkan pasukan yang lain dibawa untuk membantu Ditya Kunjanawresa menyerang Gunung Gandamadana.

RADEN PERMADI BERANGKAT MENUJU GUNUNG GANDAMADANA

Sementara itu, Raden Permadi (Arjuna) sang Panengah Pandawa belum pulang ke Kerajaan Amarta sejak menghadiri perkawinan Prabu Kresna dengan Dewi Setyaboma beberapa waktu yang lalu. Dasar sifatnya senang berkelana, ia pun pergi mengunjungi berbagai tempat, hingga akhirnya bertemu saudara angkatnya, yaitu Batara Kamajaya beserta Batari Ratih.

Batara Kamajaya memberi tahu Raden Permadi bahwa dewata akan menurunkan Wahyu Purbasejati kepada cucu Prabu Kuntiboja di Gunung Gandamadana. Untuk itu, Raden Permadi hendaknya segera berangkat meraih wahyu tersebut, karena saat ini Prabu Baladewa dan Prabu Kresna juga sedang dalam perjalanan menuju ke sana. Setelah berkata demikian, Batara Kamajaya dan Batari Ratih pun undur diri kembali ke Kahyangan Cakrakembang.

Raden Permadi dan para panakawan segera berangkat. Di tengah jalan mereka bertemu beberapa prajurit raksasa pengikut Ditya Kunjanawresa yang terpisah dari rombongan. Terjadilah pertempuran di antara mereka, di mana Raden Permadi berhasil menumpas semua raksasa tersebut.

BATARA GURU MEMPERSIAPKAN WAHYU PURBASEJATI DAN WAHDAT

Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka dihadap Batara Narada beserta roh Prabu Sri Rama dan roh Raden Lesmana. Mereka membahas tentang rencana turunnya Wahyu Purbasejati kepada cucu Prabu Kuntiboja di Gunung Gandamadana. Wahyu tersebut tidak lain adalah penjelmaan roh Prabu Sri Rama dan Raden Lesmana berdua.

Prabu Sri Rama dan Raden Lesmana semasa hidupnya adalah putra nomor satu dan tiga Prabu Dasarata raja Ayodya. Mereka berdua adalah titisan Batara Wisnu dan Batara Laksmanasadu yang turun ke dunia untuk menumpas angkara murka Prabu Rahwana raja Alengka, keturunan Prabu Hiranyakasipu. Setelah tugasnya selesai, Prabu Sri Rama pun membangun Kerajaan Pancawati dan hidup bahagia di sana. Dunia kembali damai dan tenteram. Batara Wisnu dan Batara Laksmanasadu pun meninggalkan raga Prabu Sri Rama dan Raden Lesmana untuk kembali ke kahyangan. Adapun Prabu Sri Rama dan Raden Lesmana kemudian bertapa hingga akhir hayat mereka di tepi Sungai Gangga.

Atas jasa-jasa mereka selama hidup di dunia, Batara Guru pun mengistimewakan roh Prabu Sri Rama dan Raden Lesmana menjadi Wahyu Purba dan Wahyu Sejati. Mereka berdua boleh hidup kembali ke dunia dalam raga keturunan mereka untuk menumpas angkara murka. Adapun keturunan yang terpilih ialah Prabu Kresna raja Dwarawati sebagai wadah Wahyu Purba, dan Raden Permadi kesatria Madukara sebagai wadah Wahyu Sejati.

Roh Prabu Rama terpaksa menolak keputusan Batara Guru tersebut. Dulu semasa hidup, ia banyak berhutang budi kepada Raden Lesmana. Ketika sang istri, yaitu Rakyanwara Sinta hilang diculik Prabu Rahwana, saat itu Prabu Sri Rama yang masih bernama Raden Ramabadra sempat linglung, tidak dapat menguasai diri. Raden Lesmana dengan sabar dan setia mendampingi serta melindungi dirinya dari segala marabahaya. Raden Lesmana menghalau binatang buas yang hendak memangsa Raden Ramabadra, menyingkirkan onak dan duri, bahkan berdiri di depan kakaknya itu saat hujan badai menerjang. Ketika Raden Ramabadra sadar dari linglung, ia pun berterima kasih banyak kepada Raden Lesmana dan berjanji kelak jika lahir kembali, ia ingin menjadi adik, sedangkan Raden Lesmana biarlah menjadi kakak, agar bisa ganti melayani.

Demikianlah, roh Prabu Sri Rama kini memohon kepada Batara Guru agar diizinkan menitis kepada Prabu Kresna, sedangkan Raden Lesmana biarlah menitis kepada Prabu Baladewa saja, bukan kepada Raden Permadi. Dengan demikian, ia bisa menepati janjinya seperti yang telah diucapkan dulu.

Batara Guru lalu berunding dengan Batara Narada. Semasa hidupnya, Raden Lesmana tidak pernah menikah, sedangkan Raden Permadi diramalkan kelak mempunyai banyak istri di mana-mana. Namun, dewata telah menetapkan bahwa Wahyu Sejati harus turun kepada Pandawa nomor tiga tersebut, dan ini tidak mungkin dibatalkan. Sebagai jalan tengah, Batara Guru pun memerintahkan roh Raden Lesmana untuk membelah menjadi dua. Yang setengah hendaknya menitis kepada Prabu Baladewa sebagai Wahyu Wahdat, sedangkan yang setengah tetap menitis kepada Raden Permadi sebagai Wahyu Sejati.

Roh Prabu Sri Rama dan Raden Lesmana menerima keputusan tersebut dengan senang hati. Roh Raden Lesmana lalu membelah menjadi dua. Mereka kemudian mohon pamit dan pergi bersama-sama menuju Gunung Gandamadana.

RADEN BRATASENA BERTEMU KAPI ANOMAN

Raden Bratasena sang Panenggak Pandawa saat ini sedang dalam perjalanan mencari Raden Permadi yang sudah lama tidak pulang ke Amarta. Di tengah jalan ia bertemu seekor kera tua berbulu putih yang mengenakan pakaian mirip dengannya, yaitu kain Dodot Poleng Bang Bintulu Aji, Sumping Pudak Sinumpet, Pupuk Mas Rineka Jaroting Asem, Kelatbahu Cepok Manggis, Gelang Candrakirana, dan Peningset Cindebara.

Raden Bratasena bertanya dengan logatnya yang khas dari mana Kapi Anoman mendapatkan pakaian tersebut. Kapi Anoman tersinggung karena mengira Raden Bratasena seorang pemuda yang tidak punya sopan santun, sehingga ia pun menjawab dengan sesuka hati bahwa semua pakaian ini berasal dari bapaknya. Raden Bratasena pun memaksa Kapi Anoman untuk melepaskan pakaian itu karena tidak pantas dikenakan oleh seekor kera. Kapi Anoman semakin tersinggung dan menantang Raden Bratasena apakah bisa memaksanya melepas pakaian. Keduanya pun bertarung, saling banting dan tendang. Keduanya seolah mempunyai kesaktian yang seimbang, meskipun yang satu sudah tua dan yang satunya masih muda serta gagah.

Raden Bratasena akhirnya menghentikan pertarungan karena teringat sesuatu. Ia ingat dahulu Batara Bayu pernah bercerita bahwa di zaman kuno ada seorang putra angkatnya yang menjadi pahlawan besar dalam perang melawan Prabu Rahwana raja Alengka. Putra angkat Batara Bayu itu berwujud wanara putih, bernama Kapi Anoman. Raden Bratasena sangat mengagumi kisah kepahlawanan Kapi Anoman dan membayangkan pasti orangnya gagah perkasa seperti dirinya.

Kapi Anoman tertawa dan menjawab bahwa dirinya adalah pahlawan yang dikagumi Raden Bratasena tersebut. Raden Bratasena tidak percaya karena Kapi Anoman hidup di zaman kuno, pasti orangnya sudah meninggal. Lagipula Kapi Anoman adalah pahlawan besar yang namanya dikenang sepanjang masa, tentu tubuhnya gagah perkasa, bukannya tua renta seperti ini. Kapi Anoman kembali tertawa dan kemudian mengheningkan cipta. Seketika tubuhnya pun berubah ukuran menjadi tinggi besar, jauh lebih besar daripada Raden Bratasena.

Raden Bratasena merinding dan merasa ngeri. Ia kini percaya bahwa sosok kera putih di hadapannya adalah benar-benar Kapi Anoman, pahlawan pujaannya. Kapi Anoman pun kembali ke wujud asal dan segera memeluk Raden Bratasena. Ia meminta maaf atas pertarungan tadi. Meskipun usianya sudah tua, tapi ternyata sifatnya masih berangasan dan mudah tersinggung oleh ucapan kaum muda.

Raden Bratasena sungguh kagum bercampur heran, ternyata Kapi Anoman masih hidup meskipun peristiwa Brubuh Alengka sudah berlalu ratusan tahun. Kapi Anoman menjawab dirinya memang mendapat anugerah panjang umur dari dewata karena ditugasi menjaga roh Prabu Rahwana yang dipenjara di Gunung Ungrungan. Sayang sekali, dirinya sempat lengah, sehingga roh Prabu Rahwana itu berhasil kabur dan kini menjadi raja di Tawanggantungan, bergelar Prabu Godayitma.

Kapi Anoman mendapat petunjuk dari dewata bahwa untuk menangkap kembali Prabu Godayitma, dirinya harus pergi ke Gunung Gandamadana. Namun sayang, ia tidak mengetahui di mana letak gunung tersebut berada. Raden Bratasena menjawab bahwa Gunung Gandamadana adalah tempat kakeknya yang bernama Prabu Kuntiboja dimakamkan. Kebetulan juru kunci astana di gunung tersebut juga berwujud wanara tua, bernama Resi Jembawan.

Kapi Anoman sangat terkejut mendengar nama itu disebut. Ia berkata bahwa dahulu kala dirinya mengabdi sebagai senapati Kerajaan Guakiskenda yang dipimpin pamannya, bernama Prabu Sugriwa. Adapun Kapi Jembawan bertindak sebagai penasihat pamannya tersebut. Sungguh tidak disangka ternyata Kapi Jembawan juga dikaruniai umur panjang dan kini menjadi pendeta di Gunung Gandamadana. Kapi Anoman tidak sabar lagi dan mengajak Raden Bratasena untuk mengantarkannya pergi ke gunung tersebut. Raden Bratasena dengan senang hati memenuhi ajakan Kapi Anoman yang kini dipanggilnya sebagai kakak. Mereka berdua pun bergegas pergi ke sana dengan mengerahkan kesaktian yang sama-sama pernah mereka pelajari dari Batara Bayu.

PRABU KRESNA, PRABU BALADEWA, DAN RADEN PERMADI MENADAPAT WAHYU

Sementara itu, Prabu Kresna dan Prabu Baladewa telah berada di Astana Gandamadana, di mana mereka bertapa di depan makam Prabu Kuntiboja, sang leluhur pendiri Kerajaan Mandura. Tiba-tiba dari langit muncul tiga titik cahaya, di mana yang satu masuk ke dalam tubuh Prabu Kresna, yang satunya masuk ke dalam tubuh Prabu Baladewa, dan yang satu lagi masuk ke balik cungkup makam.

Batara Narada pun turun dari kahyangan untuk membangunkan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa, serta mengabarkan bahwa Wahyu Purbasejati telah diterima oleh mereka. Tidak hanya itu, ada satu lagi orang yang mendapatkan wahyu selain mereka berdua. Prabu Baladewa heran karena sejak tadi hanya dirinya dan Prabu Kresna saja yang bertapa di dalam astana. Resi Jembawan yang menunggu di luar jelas tidak mungkin mendapatkan wahyu.

Prabu Kresna berkata bahwa sejak tadi ia sudah mengetahui ada orang ketiga yang menyusup di dalam astana. Namun, karena orang itu bertujuan baik, Prabu Kresna sengaja tidak menegurnya. Orang ketiga itu adalah Raden Permadi yang datang lebih dulu dan bersembunyi di balik cungkup.

Karena namanya disebut, Raden Permadi pun keluar perlahan dan menyembah Batara Narada, Prabu Kresna, dan Prabu Baladewa. Karena semua kini telah lengkap, Batara Narada pun menjelaskan makna Wahyu Purbasejati kepada mereka.

Wahyu Purba adalah penjelmaan roh Prabu Sri Ramawijaya, leluhur Prabu Kuntiboja, yang juga pahlawan di zaman kuno. Makna dari purba adalah asal usul, yang bisa juga ditafsirkan sebagai perencanaan, pengaturan siasat, ataupun perumusan tindakan. Wahyu Purba ini menitis kepada Prabu Kresna, sebagai sosok manusia yang memiliki kecerdasan tinggi, dan juga titisan Batara Wisnu sebagai pemelihara ketertiban dunia. Prabu Kresna mendapat wewenang untuk merencanakan dan mengatur siasat bagaimana agar angkara murka dapat musnah dari muka bumi.

Wahyu Sejati adalah penjelmaan setengah roh Raden Lesmana, adik Prabu Sri Rama. Sejati artinya kebenaran yang nyata, kebenaran yang sebenarnya. Wahyu Sejati ini menitis kepada Raden Permadi sebagai kesatria lambang kebenaran. Raden Permadi ditakdirkan menjadi kesatria penumpas angkara murka, pembela kebenaran yang sejati, bukan kebenaran semu berdasarkan tafsir masing-masing orang.

Wahyu Wahdat adalah penjelmaan setengah roh Raden Lesmana juga. Wahdat artinya tunggal, tidak mendua. Wahyu Wahdat ini menitis kepada Prabu Baladewa yang bersifat tidak mendua, tidak memihak. Prabu Baladewa adalah lambang kebenaran dari Tuhan Yang Mahatunggal. Kebenaran Tuhan sifatnya satu, tidak mendua. Kebenaran adalah satu, dan tafsir atas kebenaran bisa jadi bermacam-macam. Seringkali banyak orang saling bunuh dengan mengaku sedang membela kebenaran. Padahal sebenarnya, yang mereka bela bukanlah kebenaran, tetapi tafsir atas kebenaran sesuai pemahaman masing-masing.

Semasa hidupnya, Raden Lesmana telah menjalani hidup wahdat, yaitu tidak menikah seumur hidup, serta mampu mematikan nafsu birahinya. Karena Wahyu Wahdat telah menitis kepada Prabu Baladewa, maka mulai hari ini Prabu Baladewa tidak lagi memiliki nafsu birahi terhadap wanita, sama seperti Raden Lesmana. Dengan demikian, Prabu Baladewa akan tetap teguh memegang kebenaran tunggal, dan tidak akan mendua.

Prabu Baladewa senang bercampur sedih. Ia senang karena telah mendapatkan wahyu, sekaligus sedih karena jika tidak memiliki nafsu birahi, maka itu berarti akan mengecewakan istrinya, yaitu Dewi Erawati. Batara Narada menjawab bahwa penjelasannya belum selesai. Ia berkata, Prabu Baladewa tidak akan memiliki nafsu birahi kepada wanita lain, sedangkan kepada Dewi Erawati, nafsu birahi tetap ada, namun hanya dapat digunakan sebagaimana mestinya, tidak diumbar sepanjang waktu. Mendengar itu, Prabu Baladewa bersyukur dan meminta maaf telah menyela pembicaraan Batara Narada tadi.

Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun undur diri kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melapor kepada Batara Guru.

KAPI ANOMAN MERINGKUS DITYA KUNJANAWRESA

Resi Jembawan tiba-tiba datang menemui Prabu Kresna, Prabu Baladewa, dan Raden Permadi untuk mengabarkan bahwa di luar Astana Gandamadana saat ini sedang terjadi pertempuran antara pasukan raksasa melawan dua orang kesatria. Prabu Kresna, Prabu Baladewa, dan Raden Permadi segera keluar untuk memeriksa.

Sesampainya di luar, mereka melihat Ditya Kunjanawresa dan Patih Prahastayitma sedang bertempur melawan Kapi Anoman dan Raden Bratasena. Ditya Kunjanawresa yang berwujud raksasa kepala kuda dapat ditaklukkan oleh Kapi Anoman, sedangkan Patih Prahastayitma yang berwujud hantu dapat diringkus oleh Raden Bratasena yang memanfaatkan khasiat Minyak Pranawa.

Ditya Kunjanawresa menyerah kalah dan menyatakan siap dihukum mati. Prabu Kresna mengamati bahwa sesungguhnya raksasa ini berwatak polos dan tidak jahat. Ia hanya terbawa oleh dosa kedua kakaknya yang serakah, serta termakan hasutan Prabu Godayitma. Maka, Prabu Kresna pun mengampuni Ditya Kunjanawresa dan mempersilakannya untuk pulang ke Gunung Mregapati sebagai pendeta di sana. Prabu Kresna berjanji akan melindungi Ditya Kunjanawresa karena Gunung Mregapati masih termasuk wilayah Kerajaan Dwarawati.

Ditya Kunjanawresa sangat terharu karena orang yang ia benci ternyata baik hati dan mau memaafkan perbuatannya. Ia menyesal telah menuruti hasutan Prabu Godayitma yang hanya memanfaatkan dirinya untuk menculik Dewi Bratajaya. Maka, Ditya Kunjanawresa pun bersumpah dirinya tidak akan lagi mengganggu Prabu Kresna sekeluarga. Tidak hanya itu, ia mengaku takut pada kesaktian Kapi Anoman dan bersumpah mulai hari ini bangsa kuda akan selalu tunduk kepada bangsa kera. Barangsiapa ingin memelihara kuda sebaiknya juga memelihara kera untuk membantu menjinakkannya.

Setelah mendapatkan Wahyu Purba, kecerdasan Prabu Kresna meningkat pesat. Ia dapat mengenali Patih Prahastayitma meskipun baru kali ini bertemu. Patih Prahastayitma pun ditanyai mengapa Prabu Godayitma menghasut Ditya Kunjanawresa untuk menyerang Kerajaan Dwarawati. Patih Prahastayitma pada dasarnya berwatak jujur. Ia pun berterus terang bahwa serangan terhadap Kerajaan Dwarawati hanyalah pancingan belaka demi mengalihkan perhatian Arya Setyaki dan kawan-kawan. Saat mereka sibuk bertempur, Raden Begakumara menyusup masuk ke dalam istana untuk menculik Dewi Bratajaya yang merupakan titisan Batari Sri Wedawati. Dewi Bratajaya kini telah dibawa oleh Raden Begakumara menuju Kerajaan Tawanggantungan untuk diperistri Prabu Godayitma.

Mendengar itu, Prabu Kresna segera berkata kepada Kapi Anoman dan Raden Permadi untuk menangkap Prabu Godayitma dan merebut kembali Dewi Bratajaya. Keduanya pun mohon pamit menjalankan perintah.

KAPI ANOMAN MENANGKAP PRABU GODAYITMA

Raden Permadi segera mengerahkan Aji Penggandan untuk merasakan bau tubuh Dewi Bratajaya. Setelah ketemu, ia kemudian melesat sambil mengerahkan Aji Seipi Angin menuju ke arah datangnya bau. Kapi Anoman pun mengikuti dari belakang dengan mengerahkan ilmu melompatnya yang dahsyat bagaikan terbang. Hingga akhirnya, mereka melihat Raden Begakumara sedang melayang terbang menuju Kerajaan Tawanggantungan.

Raden Permadi segera mengerahkan Aji Ngragasukma agar dapat merebut Dewi Bratajaya tanpa sepengetahuan Raden Begakumara yang berwujud hantu. Dengan cekatan, ia mengeluarkan Dewi Bratajaya yang disimpan secara gaib di dalam kancing gelung Raden Begakumara, serta menggantinya dengan Kapi Anoman. Raden Permadi lalu kembali ke wujud fisik dan membawa Dewi Baratajaya menuju Gunung Gandamadana.

Demikianlah, Raden Begakumara telah tiba di hadapan Prabu Godayitma. Begitu ia membuka kancing gelungnya, tiba-tiba yang keluar bukan Dewi Bratajaya, melainkan Kapi Anoman, musuh lama mereka. Karena tidak siap, Prabu Godayitma dan Raden Begakumara dapat diringkus dengan mudah oleh Kapi Anoman dan diikat menggunakan rantai gaib pemberian Batara Narada. Keduanya lalu diseret menuju Gunung Gandamadana sambil mulut mereka memaki-maki sepanjang jalan.

KAPI ANOMAN MENJADI PENDETA DI GUNUNG KENDALI

Prabu Kresna, Prabu Baladewa, Raden Bratasena, Raden Permadi, dan Dewi Bratajaya menyambut kedatangan Kapi Anoman dengan sukacita. Resi Jembawan dan Dewi Trijata juga muncul dan ikut berbahagia. Kapi Anoman menghormat kepada mereka dengan perasaan haru. Sudah ratusan tahun mereka berpisah dan kini bisa bertemu kembali dalam suasana bahagia.

Kapi Anoman berkata bahwa dirinya ingin mengabdi kepada Prabu Kresna, dan tidak mau pulang ke Gunung Ungrungan di Pulau Sailan. Prabu Kresna mengabulkan permohonan itu. Ia menyarankan hendaknya Kapi Anoman membangun penjara baru untuk Prabu Godayitma, Raden Begakumara, dan Patih Prahastayitma di Gunung Kendali, yang masih termasuk wilayah Kerajaan Dwarawati. Prabu Kresna juga memerintahkan Kapi Anoman untuk menjadi pendeta demi melunturkan sisa-sisa watak beringasnya sebagai mantan jagoan Gunung Suwelagiri.

Kapi Anoman mematuhi dan mohon petunjuk di mana letak Gunung Kendali berada. Prabu Kresna menjelaskan bahwa Gunung Kendali tercipta dari pusaka Brahmakadali milik Bambang Sakri, yaitu leluhur para Pandawa. Setelah Bambang Sakri gugur di tangan Prabu Murtija, pusaka Brahmakadali berubah menjadi gunung, dan diberi nama Gunung Kendali oleh masyarakat sekitar.

Prabu Kresna lalu memungut sebatang lidi (sada) dan melemparkannya ke arah timur. Kapi Anoman diperintah untuk mengikuti lidi tersebut. Di mana lidi itu jatuh, maka di situlah Gunung Kendali berada. Kapi Anoman mematuhi dan segera pergi sambil menyeret Prabu Godayitma, Raden Begakumara, dan Patih Prahastayitma. Raden Bratasena pun bergegas mengikuti dari belakang.

Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, Kapi Anoman dan Raden Bratasena melihat lidi tersebut menancap di bebatuan sebuah gunung kecil. Mereka yakin pasti gunung tersebut yang bernama Gunung Kendali. Kapi Anoman dibantu Raden Bratasena pun membangun penjara gaib untuk mengurung Prabu Godayitma, Raden Begakumara, dan Patih Prahastayitma.

Setelah semuanya beres, Kapi Anoman lalu memulai kehidupannya sebagai pendeta, dengan bergelar Resi Kapiwara Anoman. Dengan disaksikan Raden Bratasena, ia pun memberi nama padepokannya, yaitu Kendalisada, yang bermakna Gunung Kendali tertancap lidi.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------




CATATAN : Kisah Wahyu Purbasejati tidak terdapat dalam Serat Pustakaraja Purwa. Adapun kisah Kapi Anoman meringkus Ditya Kunjanawresa terdapat dalam naskah tersebut, yang menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita terjadi bersamaan dengan pernikahan Prabu Kresna dan Dewi Setyaboma, yaitu pada tahun Suryasengkala 696 yang ditandai dengan sengkalan “Hoyaging gapura karenging wiyat”, atau tahun Candrasengkala 717 yang ditandai dengan sengkalan “Swaraning janma gora”.  

Untuk kisah Batara Wisnu mengalahkan leluhur Prabu Rahwana yang bernama Prabu Hiranyakasipu dapat dibaca di sini

Untuk kisah kelahiran Prabu Baladewa, Prabu Kresna, dan Raden Permadi bisa dibaca di sini









Tidak ada komentar:

Posting Komentar