Sabtu, 18 Maret 2017

Samba Lahir



Kisah ini menceritakan tentang lahirnya Raden Samba Wisnubrata, yaitu putra Prabu Kresna dan Dewi Jembawati yang kelak menjadi pangeran mahkota Kerajaan Dwarawati. Juga diceritakan asal mula Kesatrian Paranggaruda menjadi tempat tinggal Raden Samba.

Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra dengan sedikit pengembangan seperlunya.

Kediri, 18 Maret 2017

Heri Purwanto

Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, klik di sini

Raden Samba Wisnubrata

------------------------------ ooo ------------------------------

DEWI JEMBAWATI DUA KALI MELAHIRKAN BAYI BERBULU KERA

Prabu Kresna Wasudewa di Kerajaan Dwarawati memimpin pertemuan, dengan dihadap Arya Setyaki dan Patih Udawa. Hadir pula sang kakak, yaitu Prabu Baladewa dari Kerajaan Mandura yang diiringi Patih Pragota dan Arya Prabawa. Hari itu Prabu Kresna sedang membicarakan istri nomor dua dan tiga, yaitu Dewi Rukmini dan Dewi Setyaboma yang sama-sama mengandung usia sembilan bulan. Ia berharap kedua istrinya itu melahirkan bayi berwujud normal, karena istri yang pertama, yaitu Dewi Jembawati telah dua kali melahirkan, dan semuanya berwujud bayi laki-laki berbulu lebat seperti kera.

Dewi Jembawati adalah putri kandung Resi Jembawan dan Dewi Trijata yang keduanya tinggal di Astana Gandamadana. Dewi Jembawati sendiri berparas cantik seperti ibunya. Prabu Kresna menikah dengan istri pertamanya itu ketika ia masih bernama Raden Narayana. Dari perkawinan tersebut telah lahir seorang putra berwajah tampan, tetapi sekujur tubuhnya berbulu lebat dan memiliki ekor seperti kera. Rupanya bayi tersebut mewarisi wujud Resi Jembawan yang seorang pendeta bangsa wanara. Prabu Kresna pun memberi nama putra pertamanya itu Raden Gunadewa. Resi Jembawan dapat membaca pikiran menantunya yang malu memiliki putra berwujud demikian. Maka, ia pun mengambil bayi Raden Gunadewa untuk dibesarkan di Astana Gandamadana daripada menjadi bahan pembicaraan di lingkungan istana.

Dua tahun berlalu setelah kejadian itu, Dewi Jembawati pun melahirkan lagi untuk yang kedua kalinya. Kali ini yang lahir seorang bayi laki-laki juga dengan sekujur tubuh berbulu lebat mirip kera, tetapi tidak memiliki ekor seperti kakaknya. Dewi Jembawati merasa malu sudah dua kali melahirkan selalu saja berwujud demikian. Padahal, sewaktu dirinya mengandung, Prabu Kresna pernah berjanji kelak setelah putra keduanya itu lahir, ia akan ditetapkan sebagai pangeran mahkota Kerajaan Dwarawati. Dewi Jembawati merasa malu karena gagal memberikan putra yang berwujud sempurna untuk suaminya. Diam-diam ia pun membawa putra keduanya itu pergi menuju Astana Gandamadana untuk tinggal di sana daripada menjadi bahan ejekan penghuni istana.

Demikianlah Prabu Kresna bercerita kepada Prabu Baladewa tentang kepergian Dewi Jembawati yang sudah dua bulan ini meninggalkan istana Dwarawati untuk tinggal bersama kedua orang tuanya, yaitu Resi Jembawan dan Dewi Trijata di Astana Gandamadana. Prabu Kresna merasa serbasalah. Dalam hati ia ingin menjemput pulang istri tertuanya itu, tetapi Dewi Jembawati pasti akan sangat malu apabila kedua putranya menjadi bahan pembicaraan penghuni istana atau penduduk ibu kota.

Prabu Baladewa merasa maklum atas apa yang menimpa rumah tangga adiknya. Sebenarnya mudah saja bagi Prabu Baladewa untuk menasihati Prabu Kresna agar tetap tabah dalam menghadapi cobaan hidup, atau menyarankan agar sang adik mencari hikmah di balik setiap musibah. Yang namanya rumah tangga, baik atau buruk harus diterima. Jangan hanya mau merasakan yang baik-baik saja, tetapi yang buruk pun harus dijalani juga dengan lapang dada. Namun demikian, Prabu Baladewa tidak berani menasihati seperti itu, karena andai saja ia yang mendapatkan cobaan hidup seperti ini, kemungkinan besar akan lebih marah dan bersedih daripada Prabu Kresna.

Prabu Baladewa pun bertanya apakah Prabu Kresna sudah mencoba meruwat kedua putranya menggunakan Kembang Wijayakusuma. Bukankah dulu Prabu Kresna semasa muda pernah meruwat bayi Prabu Supala yang bermata tiga, berlengan tiga, dan berkaki tiga, lantas mengapa sekarang tidak mencoba meruwat kedua putranya sendiri? Prabu Kresna menjawab ia sudah mencoba meruwat mereka tetapi rupanya dewata tidak mengizinkan hal itu terjadi. Keduanya pun tetap saja berbulu lebat seperti kera.

Prabu Kresna Wasudewa

PRABU KILATMAKA DARI PARANGGARUDA MELAMAR DEWI JEMBAWATI

Ketika Prabu Kresna dan Prabu Baladewa sedang membahas tentang Dewi Jembawati dan putranya, tiba-tiba datang seorang tamu bernama Patih Kilatwarna dari Kerajaan Paranggaruda. Laki-laki tersebut datang untuk menyampaikan surat dari rajanya yang bernama Prabu Kilatmaka. Prabu Kresna menerima surat itu dan membaca isinya, ternyata berisi lamaran Prabu Kilatmaka terhadap Dewi Jembawati. Dalam surat tersebut, Prabu Kilatmaka berterus terang meminta Prabu Kresna agar menceraikan Dewi Jembawati. Sebagai gantinya, ia berjanji akan memberikan sejumlah wanita cantik beserta emas permata sebanyak-banyaknya kepada Prabu Kresna.

Prabu Baladewa sangat marah begitu mendengar isi surat dari Prabu Kilatmaka tersebut. Ia pun menolak lamaran itu dan menyuruh Patih Kilatwarna segera pulang. Patih Kilatwarna berkata bahwa dirinya sudah mendapat wewenang sepenuhnya dari Prabu Kilatmaka untuk merebut Dewi Jembawati, baik itu melalui cara halus ataupun kasar. Lagipula Prabu Baladewa bukan suami Dewi Jembawati, mengapa pula ikut campur menolak lamaran Prabu Kilatmaka segala?

Prabu Baladewa semakin murka dan melabrak Patih Kilatwarna keluar dari istana. Prabu Kresna merasa prihatin di saat satu masalah belum selesai, tiba-tiba muncul satu masalah baru. Ia pun membubarkan pertemuan dan memerintahkan Arya Setyaki beserta Patih Udawa agar membantu Prabu Baladewa menghadapi serangan musuh.

Prabu Baladewa

PRABU BALADEWA MEMBUNUH PATIH KILATWARNA

Patih Kilatwarna keluar dari istana Dwarawati dan segera mempersiapkan pasukannya untuk berperang. Prabu Baladewa pun menghadapinya dengan mengerahkan pasukan Dwarawati, di mana di dalamnya terdapat Arya Setyaki, Patih Udawa, Patih Pragota, dan Arya Prabawa.

Pertempuran sengit pun terjadi. Pasukan Paranggaruda dapat dihancurkan oleh pihak Dwarawati. Bahkan, Patih Kilatwarna sendiri tewas di tangan Prabu Baladewa. Melihat pemimpinnya terbunuh, pasukan Paranggaruda menjadi berantakan. Ditya Kilatyaksa segera menarik mundur para prajurit yang masih hidup untuk kembali ke Kerajaan Paranggaruda, melapor kepada raja mereka, yaitu Prabu Kilatmaka.

Prabu Baladewa dengan angkuh mengejek kekuatan pihak Paranggaruda yang ternyata tidak sebanding dengan kesombongan Patih Kilatwarna. Prabu Kresna muncul dan berterima kasih atas bantuan kakaknya itu dalam menjaga keamanan Kerajaan Dwarawati. Namun, ia juga mengingatkan Prabu Baladewa untuk tidak takabur dan hendaknya tetap waspada terhadap segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Kedua raja kakak beradik itu kemudian masuk ke dalam istana, di mana Prabu Kresna menjamu Prabu Baladewa untuk merayakan kemenangannya.

Arya Prabawa dan Patih Pragota

RADEN ARJUNA MENEMUI DEWI JEMBAWATI

Sementara itu, Raden Arjuna diiringi para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong datang berkunjung ke Astana Gandamadana untuk menjenguk Dewi Jembawati bersama bayinya. Resi Jembawan, Dewi Trijata, dan Dewi Jembawati pun menyambut kedatangan Pandawa nomor tiga itu dengan penuh sukacita. Tampak Dewi Trijata sedang memangku Raden Gunadewa, sedangkan Dewi Jembawati menggendong putra keduanya.

Raden Arjuna mengaku dirinya telah mendengar kabar tentang Dewi Jembawati yang pergi meninggalkan istana Dwarawati karena malu sudah dua kali melahirkan selalu saja berwujud bayi penuh bulu seperti kera. Hal ini membuat Raden Arjuna sangat prihatin dan ingin sekali membantu kesusahan kakak iparnya tersebut. Ia pun meminta petunjuk kepada Bagawan Abyasa di Padepokan Saptaarga. Menurut sang kakek, yang bisa meruwat putra Dewi Jembawati menjadi bayi nomal adalah Batara Sambu di Kahyangan Suwelagringging, dengan menggunakan air pusaka Mustika Tirtakencana.

Berbekal petunjuk tersebut, Raden Arjuna pun datang ke Astana Gandamadana agar diizinkan membawa kedua putra Dewi Jembawati naik ke Kahyangan Suwelagringging. Dewi Jembawati terharu mendengar niat baik Raden Arjuna. Ia lalu berunding dengan ayah dan ibunya mengenai hal ini. Resi Jembawan menyarankan agar putra yang nomor dua saja yang diserahkan kepada Raden Arjuna, karena dialah yang dijanjikan Prabu Kresna menjadi pangeran mahkota Kerajaan Dwarawati. Adapun putra yang pertama, yaitu Raden Gunadewa, biarlah tetap berbulu seperti ini. Resi Jembawan sudah sangat tua dan kelak jika sudah meninggal, ia ingin cucunya itu yang mewarisi jabatan sebagai juru kunci Astana Gandamadana sekaligus menjadi pendeta pula. Apabila Raden Gunadewa juga diruwat, maka dikhawatirkan ia akan lebih betah tinggal di istana Dwarawati daripada di Astana Gandamadana.

Raden Arjuna dapat memahami maksud baik Resi Jembawan. Ia lalu menggendong putra kedua Dewi Jembawati lalu mohon pamit berangkat menuju Kahyangan Suwelagringging dengan ditemani para panakawan.

Raden Arjuna
BATARA SAMBU MERUWAT PUTRA DEWI JEMBAWATI
                 
Atas petunjuk Kyai Semar, Raden Arjuna dapat mencapai Kahyangan Suwelagringging tempat Batara Sambu bersemayam. Batara Sambu ini tidak lain adalah putra sulung Batara Guru sang raja dewa. Ia menyambut kedatangan Raden Arjuna dan bertanya ada keperluan apa menemui dirinya.

Raden Arjuna berkata bahwa ia datang untuk memohon bantuan Batara Sambu agar meruwat bayi yang ada dalam gendongannya. Bayi tersebut adalah putra kedua Prabu Kresna dan Dewi Jembawati, yang terlahir dengan tubuh tertutup bulu lebat seperti kera. Menurut petunjuk kakeknya di Padepokan Saptaarga, bayi tersebut hanya bisa diruwat dengan air pusaka Mustika Tirtakencana milik Batara Sambu.

Batara Sambu meraih bayi tersebut dan menggendongnya dengan hati-hati. Prabu Kresna adalah titisan Batara Wisnu, sedangkan Batara Wisnu adalah adik kandung Batara Sambu yang nomor lima. Maka, bayi tersebut bisa dibilang masih keponakannya sendiri. Batara Sambu pun mengambil Mustika Tirtakencana dan mengusapkannya ke sekujur tubuh si bayi. Sungguh ajaib, seketika seluruh bulu kera yang tumbuh pada kulit si bayi pun rontok berjatuhan di lantai. Kini yang terlihat adalah sosok bayi tampan rupawan yang berkulit keemasan.

Batara Sambu lalu mengembalikan si bayi kepada Raden Arjuna dan berpesan agar segera membawanya pulang ke Kerajaan Dwarawati karena takdir lain menunggu di sana. Raden Arjuna menerima keponakannya itu dan mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan Batara Sambu. Ia lalu mohon pamit meninggalkan Kahyangan Suwelagringging untuk kembali ke Astana Gandamadana.

Batara Sambu

DEWI JEMBAWATI MEMBERI NAMA PUTRANYA RADEN SAMBA

Raden Arjuna dan para panakawan telah kembali ke Astana Gandamadana di mana Resi Jembawan, Dewi Trijata, dan Dewi Jembawati menunggu sejak tadi. Melihat kedatangan mereka, Dewi Jembawati yang paling gembira menyambut dan ia sangat terkejut melihat putranya kini telah berubah menjadi tampan sempurna, tidak lagi berbulu lebat seperti sediakala.

Resi Jembawan dan Dewi Trijata sudah tentu ikut bahagia melihat cucu mereka telah diruwat oleh Batara Sambu. Sebagai tanda terima kasih, Dewi Jembawati pun mengusulkan agar putranya itu diberi nama Raden Samba saja, sesuai dengan nama dewa yang telah meruwatnya. Resi Jembawan setuju dan sebaiknya itu nanti dibicarakan langsung dengan Prabu Kresna.

Raden Arjuna lalu menyampaikan pesan Batara Sambu bahwa si bayi Raden Samba harus segera dibawa pulang ke Kerajaan Dwarawati karena takdir lain sedang menunggu di sana. Dewi Jembawati menurut. Ia pun menggendong bayi Raden Samba untuk kemudian berangkat meninggalkan Astana Gandamadana. Resi Jembawan ikut serta mendampingi, sedangkan Dewi Trijata tetap tinggal bersama Raden Gunadewa.

Dewi Jembawati

PRABU KILATMAKA MENYERANG KERAJAAN DWARAWATI

Sementara itu, Prabu Kilatmaka raja Paranggaruda mendapat laporan dari Ditya Kilatyaksa, bahwa Patih Kilatwarna telah gugur melawan pasukan Kerajaan Dwarawati dalam usahanya merebut Dewi Jembawati. Prabu Kilatmaka sangat marah mendengar laporan tersebut. Ia pun memimpin langsung pasukan Paranggaruda untuk berangkat menggempur Kerajaan Dwarawati.

Singkat cerita, pasukan dari Paranggaruda itu telah sampai di tujuan. Prabu Baladewa kembali memimpin pasukan Dwarawati menghadapi serangan tersebut. Pertempuran sengit kembali terjadi. Prabu Baladewa yang tadinya meremehkan kekuatan Kerajaan Paranggaruda kini dibuat terdesak kewalahan oleh kesaktian Prabu Kilatmaka. Hingga akhirnya, tubuh Prabu Baladewa tiba-tiba menjadi lemas tak berdaya saat terkena air ludah Prabu Kilatmaka.

Melihat kakak sepupunya kalah, Arya Setyaki segera maju menyerang Prabu Kilatmaka. Keduanya pun bertarung sengit. Sama seperti nasib Prabu Baladewa, Arya Setyaki akhirnya roboh pula kehilangan tenaga karena terkena air ludah Prabu Kilatmaka.

Arya Setyaki

RADEN SAMBA MENGALAHKAN PRABU KILATMAKA

Prabu Kresna terkejut melihat Prabu Baladewa dan Arya Setyaki telah roboh tak berdaya menghadapi kesaktian musuh. Ketika ia berniat untuk maju sendiri melawan Prabu Kilatmaka, tiba-tiba terlihat rombongan Raden Arjuna datang, di mana terdapat Dewi Jembawati dan Resi Jembawan di dalamnya. Dewi Jembawati pun memperkenalkan bayi tampan yang ada pada gendongannya sebagai putra kedua mereka yang kemarin masih berbulu lebat seperti kera. Putra kedua itu kini telah diberi nama Raden Samba, karena diruwat oleh Batara Sambu.

Prabu Kresna senang melihatnya. Namun, ia tidak mau mengakui begitu saja apabila si bayi Raden Samba tidak dapat membuktikannya. Ia pun memerintahkan Raden Arjuna agar membawa Raden Samba terjun ke medan laga untuk mengalahkan Prabu Kilatmaka. Dewi Jembawati heran mendengarnya dan memohon kepada Prabu Kresna untuk tidak mencelakakan putra mereka. Prabu Kresna menjelaskan bahwa ia sama sekali tidak mempunyai niat hendak mencelakakan anak sendiri. Ia hanya ingin Raden Samba membuktikan diri sebagai putra raja Dwarawati.

Raden Arjuna dapat memahami niat Prabu Kresna. Ia pun mengambil Raden Samba dari gendongan Dewi Jembawati lalu melesat pergi menghadapi Prabu Kilatmaka. Sesampainya di sana, Raden Arjuna segera menantang raja Paranggaruda itu di mana ia sendiri mengajukan Raden Samba.  

Prabu Kilatmaka marah merasa dipermainkan. Ia pun meludahi Raden Arjuna namun air ludahnya itu mengenai Raden Samba. Sungguh ajaib, bukannya lemas kehilangan tenaga, tubuh Raden Samba justru berubah menjadi anak-anak yang bisa berlari-lari ke sana kemari. Prabu Kilatmaka heran tidak percaya. Ia pun meludahi Raden Samba sekali lagi, dan kali ini tubuh Raden Samba berubah menjadi pemuda remaja dalam waktu seketika.

Raden Samba segera balas menyerang Prabu Kilatmaka. Dasar cucu Resi Jembawan, ia pun berkelahi seperti monyet yang melompat ke sana kemari dan juga menggigit telinga Prabu Kilatmaka. Prabu Kilatmaka merasa risih dan berusaha menangkap Raden Samba. Namun, Raden Samba semakin lincah dan sesekali berhasil memukul atau menendang raja Paranggaruda tersebut.

Prabu Kresna yang melihat dari kejauhan segera memanggil Raden Samba untuk meninggalkan musuhnya barang sejenak. Raden Arjuna pun menggandeng keponakannya itu untuk menghadap. Prabu Kresna merasa senang melihat kelincahan Raden Samba. Namun, ia tidak suka putranya berkelahi seperti seekor kera. Maka, ia pun meminjamkan Senjata Cakra kepada Raden Samba sebagai bekal untuk mengalahkan Prabu Kilatmaka.

Raden Samba menerima senjata tersebut dan kembali maju menghadapi Prabu Kilatmaka. Begitu jarak mereka tidak terlalu jauh, Raden Samba segera melemparkan Senjata Cakra yang tepat mengenai leher Prabu Kilatmaka. Seketika Prabu Kilatmaka pun tewas dengan leher putus.

Melihat rajanya terbunuh, Ditya Kilatyaksa marah dan memimpin pasukannya untuk melakukan bela pati, yaitu bertempur sampai mati melawan pasukan Dwarawati. Pertempuran sengit kembali terjadi. Akhirnya, Ditya Kilatyaksa pun tewas terkena panah Raden Arjuna.

Resi Jembawan

PRABU KRESNA MENGANGKAT RADEN SAMBA SEBAGAI PUTRA MAHKOTA

Prabu Kresna telah mengobati Prabu Baladewa dan Arya Setyaki dengan menggunakan Kembang Wijayakusuma. Mereka lalu bersama-sama memuji kemenangan Raden Samba. Karena Raden Samba mampu menggunakan Senjata Cakra dengan baik, Prabu Kresna pun memberikan nama tambahan untuknya, menjadi Raden Samba Wisnubrata. Hal ini karena Senjata Cakra adalah pusaka milik Batara Wisnu yang kemudian terlahir sebagai Prabu Kresna.

Sesuai janjinya, Prabu Kresna pun mengangkat Raden Samba sebagai putra mahkota Kerajaan Dwarawati. Adapun Kerajaan Paranggaruda yang kini telah kosong karena raja dan seluruh pasukannya tewas, menjadi negeri bawahan Dwarawati. Prabu Kresna pun mengubah Kerajaan Paranggaruda menjadi kesatrian sebagai tempat tinggal Raden Samba. Sejak saat itu, Raden Samba pun mendapat nama baru pula, yaitu Raden Kusuma Kilatmaka.

Prabu Kresna lalu mengadakan pesta syukuran untuk merayakan pelantikan Raden Samba Wisnubrata sebagai putra mahkota. Bersamaan dengan itu, Dewi Rukmini dan Dewi Setyaboma masing-masing melahirkan bayi laki-laki pula yang membuat Kerajaan Dwarawati semakin berbahagia. Prabu Kresna pun memberikan nama Raden Partajumena untuk putranya yang lahir dari Dewi Rukmini, serta Raden Setyaka untuk putranya yang lahir dari Dewi Setyaboma.
 

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------




Untuk kisah perkawinan Prabu Kresna muda dengan Dewi Jembawati dapat dibaca di sini























3 komentar: