Jumat, 14 April 2017

Abimanyu Lahir



Kisah ini menceritakan tentang kelahiran Raden Abimanyu atau yang disebut juga Raden Angkawijaya, yaitu putra pasangan Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra. Juga dikisahkan bagaimana Raden Abimanyu menjadi putra angkat Arya Wrekodara dan dipersaudarakan dengan Raden Gatutkaca.

Kisah ini saya olah dari sumber buku Ensiklopedia Wayang Purwa karya Rio Sudibyoprono yang dipadukan dengan artikel dalam rubrik pedhalangan di Majalah Panjebar Semangat, dengan pengembangan seperlunya.

Kediri, 14 April 2017

Heri Purwanto

Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, klik di sini

Raden Abimanyu kelak setelah dewasa.

------------------------------ ooo ------------------------------

ARYA WREKODARA MENGHILANG DARI KERAJAAN AMARTA

Prabu Puntadewa di Kerajaan Amarta dihadap kedua adik kembarnya, yaitu Raden Nakula dan Raden Sadewa, serta Patih Tambakganggeng. Hadir pula kedua kakak sepupu sesama raja, yaitu Prabu Kresna Wasudewa dari Kerajaan Dwarawati dan Prabu Baladewa dari Kerajaan Mandura.

Hari itu Prabu Kresna dan Prabu Baladewa datang untuk mengunjungi adik bungsu mereka, yaitu Dewi Sumbadra di Kesatrian Madukara. Kedua raja tersebut mendapat kabar bahwa adik mereka telah melahirkan seorang bayi laki-laki. Prabu Puntadewa membenarkan hal itu dan mengatakan bahwa keponakannya memang baru saja lahir, sehingga Raden Arjuna tidak dapat hadir dalam pertemuan kali ini karena harus menunggui sang istri.

Prabu Kresna dan Prabu Baladewa bahagia mendengar berita tersebut. Namun, mereka heran melihat raut muka Prabu Puntadewa tampak murung, seperti tidak ikut bahagia. Mereka pun bertanya ada masalah apa, apakah bayi yang dilahirkan Dewi Sumbadra tidak sempurna?

Prabu Puntadewa menjelaskan bahwa dirinya sedih bukan soal Dewi Sumbadra melahirkan, tetapi karena memikirkan adik nomor dua, yaitu Arya Wrekodara yang sudah beberapa pekan ini meninggalkan Kesatrian Jodipati. Dewi Arimbi dan Raden Gatutkaca juga tidak mengetahui di mana keberadaannya. Itulah yang menyebabkan Prabu Puntadewa kurang bergembira dan ia meminta petunjuk kepada Prabu Kresna dan Prabu Baladewa mengenai hal ini.

Prabu Kresna tidak dapat memberikan keterangan pasti di mana Arya Wrekodara kini berada. Namun, ia yakin sepupunya itu pasti sedang berusaha meraih cita-cita mulia dan tetap berada dalam perlindungan dewata. Untuk itu, Prabu Kresna berjanji nanti setelah menjenguk Dewi Sumbadra dan bayinya, ia akan pergi membantu mencari ke mana hilangnya Arya Wrekodara.

Prabu Puntadewa

PRABU JAYAMURCITA MENYERANG KERAJAAN AMARTA

Ketika Prabu Puntadewa hendak mengajak kedua sepupunya pergi ke Kesatrian Madukara untuk menengok bayi, tiba-tiba Raden Gatutkaca datang melaporkan bahwa Kerajaan Amarta saat ini diserang musuh dari Kerajaan Plangkawati. Menurut keterangan yang ia peroleh saat meronda di perbatasan, raja Plangkawati yang bernama Prabu Jayamurcita datang ingin merebut Dewi Sumbadra untuk dijadikannya sebagai istri.

Prabu Baladewa marah mendengar berita ini. Ia pun berkata bahwa Prabu Puntadewa tidak perlu khawatir, karena urusan Prabu Jayamurcita biarlah dirinya saja yang menangani. Usai berkata demikian, Prabu Baladewa pun mohon pamit keluar untuk menghadapi serangan raja Plangkawati tersebut.

Prabu Puntadewa melepas kepergian Prabu Baladewa dan mendoakan kemenangannya. Ia lalu membubarkan pertemuan dan mengajak Prabu Kresna menuju Kesatrian Madukara untuk menengok bayi.

Raden Gatutkaca.

RADEN ARJUNA MEMBERI NAMA PUTRANYA RADEN ANGKAWIJAYA

Raden Arjuna di Kesatrian Madukara mendampingi istrinya, yaitu Dewi Sumbadra yang baru saja melahirkan bayi laki-laki. Ketiga istri padmi lainnya, yaitu Dewi Srikandi, Niken Larasati, dan Dewi Sulastri ikut menemani pula di samping.

Tidak lama kemudian Prabu Puntadewa datang bersama Prabu Kresna. Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra sangat gembira menyambut kedatangan sang raja Dwarawati, serta menanyakan pula mengapa Prabu Baladewa tidak ikut serta. Prabu Kresna menjelaskan bahwa saat ini Prabu Baladewa sedang memimpin perang menghadapi serangan Prabu Jayamurcita raja Plangkawati yang ingin menyerang Kerajaan Amarta.

Prabu Kresna lalu meminta bayi laki-laki dari tangan Dewi Sumbadra untuk digendongnya. Ia pun bertanya bayi ini apa sudah diberi nama. Raden Arjuna menjawab putranya belum memiliki panggilan tetapi ia sudah mempersiapkan sebuah nama dan hendaknya Prabu Puntadewa dan Prabu Kresna menjadi saksi. Hari itu Raden Arjuna mengumumkan bahwa putranya diberi nama Raden Angkawijaya.

Prabu Kresna senang mendengar nama tersebut sangat indah dan gagah. Ia berjanji kelak apabila Raden Angkawijaya telah dewasa akan diangkat sebagai murid. Tidak lupa ia juga memberikan beberapa nasihat untuk Dewi Sumbadra tentang bagaimana caranya menjadi seorang ibu yang baik. Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna pun mohon pamit untuk pergi mencari hilangnya Arya Wrekodara, sesuai janjinya kepada Prabu Puntadewa tadi.

Raden Arjuna.

PRABU BALADEWA TERTANGKAP MUSUH

Sementara itu, Prabu Baladewa telah memimpin pasukan Amarta untuk menghadapi serangan Prabu Jayamurcita dari Kerajaan Plangkawati. Arya Setyaki dari Kerajaan Dwarawati, serta Patih Pragota dan Arya Prabawa dari Kerajaan Mandura ikut bergabung dalam pasukan tersebut.

Pasukan Amarta lalu bergerak menghadang pasukan Plangkawati yang sudah mulai memasuki wilayah Kota Indraprasta. Pertempuran pun meletus di antara kedua pihak. Mereka saling serang dan berusaha saling mengalahkan pihak lawan. Prabu Jayamurcita memimpin langsung serangan tersebut. Prabu Baladewa maju menghadapinya. Mereka bertarung seru dan berusaha saling mengalahkan. Tak disangka, Prabu Jayamurcita ternyata sangat lincah dan cekatan. Prabu Baladewa yang terlalu meremehkan lawan sempat lengah dan dapat diringkus oleh raja Plangkawati tersebut.

Prabu Jayamurcita lalu menjadikan Prabu Baladewa sebagai tawanan. Ia mengatakan kepada Arya Setyaki dan orang-orang Amarta lainnya agar segera melaporkan hal ini kepada Prabu Puntadewa. Ia memberikan batas waktu selama tiga hari agar Prabu Puntadewa menyerahkan Dewi Sumbadra kepadanya. Jika tidak, maka Prabu Jayamurcita yang akan mengirimkan kepala Prabu Baladewa ke istana Amarta.

Arya Setyaki yang mengkhawatirkan keselamatan Prabu Baladewa segera menarik mundur pasukan Amarta untuk kembali ke istana dan melapor kepada Prabu Puntadewa.

Prabu Baladewa.

PRABU DURYUDANA KEHILANGAN ARYA DURSASANA

Sementara itu, Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina dihadap Resi Druna, Adipati Karna, dan Patih Sangkuni. Mereka sedang membicarakan tentang pangeran Kurawa nomor dua, yaitu Arya Dursasana yang sudah beberapa pekan ini menghilang meninggalkan Kesatrian Banjarjunut. Prabu Duryudana sangat prihatin dan mengkhawatirkan keselamatan adiknya itu yang selama ini selalu hidup nyaman di istana, makan dan tidur, juga bersenang-senang. Meskipun sifat Arya Dursasana ugal-ugalan, tetapi Prabu Duryudana sangat menyayanginya melebihi adik-adik yang lain.

Resi Druna berkata bahwa beberapa waktu yang lalu dirinya pernah menegur Arya Dursasana yang suka bermalas-malasan dan hidup nyaman. Arya Dursasana selalu menyombongkan diri bahwa jika di pihak Pandawa ada Arya Wrekodara, maka di pihak Kurawa ada dirinya. Resi Druna menegur Arya Dursasana yang hanya menyombongkan diri tanpa bukti nyata. Arya Wrekodara memiliki banyak pengalaman dan keberhasilan, antara lain pernah membunuh Prabu Jalasengara, Prabu Baka, Prabu Arimba, Arya Gandamana, hingga pernah mengarungi samudera luas dan bertemu Dewa Ruci. Di lain pihak, Arya Dursasana sama sekali tidak memiliki prestasi yang bisa dibanggakan. Sehari-hari hanya bersenang-senang dan foya-foya menghambur-hamburkan uang, mana bisa dibandingkan dengan Arya Wrekodara?

Prabu Duryudana mendengar dengan seksama dan kini ia yakin bahwa adik keduanya meninggalkan istana karena tersinggung pada ucapan Resi Druna. Ia pun menyalahkan Resi Druna sebagai orang yang menyebabkan hilangnya Arya Dursasana. Maka sebagai penebus kesalahan ini, Resi Druna harus pergi mencari dan menemukan keberadaan Arya Dursasana.

Meskipun Resi Druna adalah guru para Kurawa, namun ia juga seorang pegawai di Kerajaan Hastina. Sebagai pegawai, ia patuh terhadap perintah Raja. Karena Prabu Duryudana sudah memerintahkan demikian, Resi Druna hanya bisa mematuhi. Patih Sangkuni dan beberapa orang Kurawa pun diperintahkan untuk mendampingi kepergian Resi Druna.

Prabu Duryudana.

ARYA DURSASANA BERTAPA UNTUK MERAIH TURUNNYA WAHYU PANUNTUN

Pangeran Kurawa nomor dua, yaitu Arya Dursasana saat ini sedang bertapa di dalam Hutan Krendawahana untuk menanti turunnya Wahyu Cahyaningrat, yang disebut juga Wahyu Hidayat atau Wahyu Panuntun.

Arya Dursasana memang sakit hati atas ucapan Resi Druna tempo hari, sehingga ia pun pergi meninggalkan Kesatrian Banjarjunut untuk pergi bertapa. Dalam tapanya itu, ia mendapat petunjuk dari Batari Durga bahwa dewata akan menurunkan wahyu yang disebut Wahyu Cahyaningrat. Barangsiapa mendapatkan wahyu ini, maka dirinya akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa.

Demikianlah, hari demi hari Arya Dursasana pun bertapa dengan tekun hingga pada akhirnya seberkas cahaya masuk ke dalam dirinya. Tidak lama kemudian, Batara Narada turun dari angkasa untuk membangunkannya. Arya Dursasana pun membuka mata dan segera menyembah hormat kepada dewa tersebut.

Batara Narada menjelaskan bahwa Wahyu Cahyaningrat Panuntun telah turun dan masuk ke dalam diri Arya Dursasana. Namun, wahyu ini menetap atau pindah ke orang lain, semuanya tergantung usaha Arya Dursasana sendiri. Selama empat puluh hari, Arya Dursasana tidak boleh menyentuh wanita, juga tidak boleh memegang bayi. Arya Dursasana mematuhi nasihat tersebut dan segera mohon pamit kembali ke Kerajaan Hastina sambil menari-nari kegirangan.

Arya Dursasana

WAHYU PANUNTUN MENINGGALKAN ARYA DURSASANA

Batara Narada mengamati tingkah laku Arya Dursasana dan segera memanggil bidadari bernama Batari Wilotama untuk mengujinya. Batari Wilotama mematuhi dan segera menyamar menjadi gadis desa cantik jelita yang sengaja lewat di depan Arya Dursasana. Gadis itu menangis dan mengaku tersesat di hutan, meminta tolong untuk diantar pulang.

Arya Dursasana terkesima melihat gadis desa yang cantik jelita tersebut. Ia melupakan nasihat Batara Narada dan justru berusaha merayu gadis tersebut. Gadis itu menolak dan melarikan diri, membuat Arya Dursasana semakin penasaran dan bernafsu mengejarnya. Dengan kekuatan penuh ia pun menubruk gadis desa itu demi melampiaskan nafsu birahinya.

Arya Dursasana memeluk dan menciumi gadis tersebut dengan penuh hasrat. Ketika membuka mata, si gadis sudah tidak ada dan yang ia peluk ternyata sebatang pohon asam. Seketika tubuhnya terasa panas dan Wahyu Panuntun pun keluar serta kembali ke angkasa. Arya Dursasana merasa sangat menyesal dan jatuh terduduk meratapi diri.

Batara Narada

WAHYU PANUNTUN BERPINDAH KEPADA ARYA WREKODARA

Pada saat yang sama, Arya Wrekodara sedang bertapa pula di sisi lain Hutan Krendawahana. Begitu tekun ia bertapa hingga seberkas cahaya masuk ke dalam dirinya pun ia tidak merasa. Batara Narada kemudian datang dan membangunkan Arya Wrekodara. Kesatria Pandawa nomor dua itu membuka mata dan segera mengucapkan salam. Batara Narada memaklumi sifat Arya Wrekodara yang tidak pernah menyembah kepada siapa pun selain kepada Dewa Ruci. Maka, ia menerima salam Arya Wrekodara dan menjelaskan bahwa Wahyu Cahyaningrat Panuntun telah diterima olehnya.

Arya Wrekodara bersyukur atas kemurahan para dewa yang telah memilihnya menerima wahyu tersebut. Batara Narada pun bercerita bahwa sebenarnya Wahyu Cahyaningrat Panuntun telah memasuki tubuh Arya Dursasana namun tidak betah dan kini berpindah kepadanya. Namun, Batara Narada merasa penasaran mengapa Arya Wrekodara yang memiliki pendirian kuat kini mencari wahyu untuk menjadi pemimpin? Bukankah dulu Arya Wrekodara menolak menjadi raja saat para Pandawa membuka Hutan Wanamarta dan menyerahkan takhta Kerajaan Amarta kepada Prabu Puntadewa saja? Apakah sekarang Arya Wrekodara ingin melanggar ucapannya sendiri? Apakah setelah mendapatkan Wahyu Cahyaningrat Panuntun, Arya Wrekodara akan memberontak dan merebut takhta dari kakaknya?

Arya Wrekodara menjawab dirinya tetap memegang ucapannya itu, bahwa ia sama sekali tidak ingin menjadi raja Amarta. Namun, pada suatu hari ia mendengar sang kakak sulung, yaitu Prabu Puntadewa berbicara bahwa putranya yang bernama Raden Pancawala diramalkan dewa tidak akan menjadi raja. Prabu Puntadewa pun menerima takdir tersebut dan berharap semoga kelak yang menjadi raja menggantikan dirinya adalah keturunan Arya Wrekodara ataupun keturunan Raden Arjuna.

Arya Wrekodara merasa prihatin mendengar ucapan sang kakak. Maka, ia pun diam-diam pergi bertapa untuk mencari wahyu kepemimpinan agar keturunannya dapat menjadi raja-raja Tanah Jawa. Jadi, tujuannya mencari wahyu bukan karena dirinya gila kedudukan ingin merebut takhta, tetapi demi untuk mewujudkan keinginan Prabu Puntadewa.

Batara Narada senang mendengarnya. Itu pertanda Arya Wrekodara masih teguh memegang ucapan. Ia lalu menasihati agar Arya Wrekodara selama empat puluh hari ini jangan menyentuh wanita ataupun memegang bayi. Arya Wrekodara mematuhi dan tetap berdiri menunggu Batara Narada pergi lebih dulu. Batara Narada senang melihat kesopanannya yang sangat berbeda dengan Arya Dursasana tadi, yang menari-nari kegirangan lupa diri. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun terbang ke angkasa, kembali ke kahyangan.

Arya Wrekodara

ARYA WREKODARA MELUPAKAN PANTANGAN

Setelah Batara Narada pergi, Batari Wilotama kembali muncul untuk menggoda dengan menyamar sebagai gadis desa yang tersesat. Dengan kecantikannya ia mencoba menarik hati Arya Wrekodara agar melanggar pantangan. Arya Wrekodara tidak tertarik dan dengan mantap tetap melangkah pergi. Karena terus-menerus didesak, ia pun membongkar tipuan Batari Wilotama. Ia berkata mana ada gadis desa yang sehari-hari mengaku mencari kayu bakar dan buah-buahan di hutan tetapi kulit kaki dan tangannya putih mulus seperti bidadari? Batari Wilotama sangat malu penyamarannya diketahui, lalu ia pun kembali ke kahyangan menyusul Batara Narada.

Arya Wrekodara kembali melangkah meninggalkan Hutan Krendawahana. Dalam perjalanan pulang ia berjumpa Prabu Kresna yang sedang mencari keberadaannya. Keduanya sangat gembira dan saling bertanya kabar. Arya Wrekodara bercerita bahwa dirinya baru saja mendapatkan Wahyu Cahyaningrat Panuntun, yang dikenal juga dengan nama Wahyu Hidayat. Prabu Kresna mengucapkan selamat, kemudian berkata bahwa Dewi Sumbadra di Kesatrian Madukara juga baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki.

Sungguh gembira perasaan Arya Wrekodara mendengarnya. Ia sangat bahagia karena keponakannya baru saja lahir. Tanpa membuang waktu lagi, ia pun berlari kencang dan melompat secepat angin agar bisa segera sampai di Kerajaan Amarta.

Prabu Kresna mendapat firasat yang kurang baik. Ia pun melesat pergi mengejar Arya Wrekodara.

Batari Wilotama

ARYA WREKODARA MENYUSUI BAYI ANGKAWIJAYA

Dengan kecepatan melompatnya yang dahsyat dan sangat cepat bagaikan angin, dalam sekejap Arya Wrekodara sudah sampai di Kesatrian Madukara, menemui Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra yang sedang menggendong bayi Angkawijaya. Arya Wrekodara disambut hangat oleh pasangan tersebut. Melihat keponakannya sangat tampan, ia pun ingin menggendongnya. Tanpa ragu, Dewi Sumbadra segera menyerahkan putranya itu kepada Arya Wrekodara.

Begitu berada dalam gendongan Arya Wrekodara, tiba-tiba si bayi Angkawijaya langsung menghisap puting dadanya. Arya Wrekodara merasa geli tetapi tidak dapat melepaskan hisapan si bayi. Sungguh ajaib, dari puting dada tersebut tiba-tiba memancar keluar air susu yang seketika masuk ke dalam mulut Raden Angkawijaya. Arya Wrekodara merasa gemetar dan teringat pada pantangan yang disampaikan Batara Narada tadi. Namun, semuanya kini telah terlambat. Air susu yang dihisap Raden Angkawijaya dari puting dadanya itu tidak lain adalah penjelmaan Wahyu Panuntun yang kini telah berpindah masuk ke dalam tubuh si bayi.

Bayi Angkawijaya sendiri tidak mau melepaskan hisapannya. Ia terus menghisap dan tubuhnya semakin lama semakin besar. Kini, ia pun berubah menjadi anak kecil berusia lima tahun. Setelah air susu dihisap habis, barulah ia melepaskan mulutnya dari puting dada Arya Wrekodara.

Dewi Sumbadra

ARYA WREKODARA INGIN MENJADIKAN BAYI ANGKAWIJAYA SEBAGAI ANAK

Arya Wrekodara sangat kecewa dan segera mengembalikan Raden Angkawijaya kepada orang tuanya. Ia telah melanggar pantangan yang tadi disampaikan Batara Narada. Kini Wahyu Cahyaningrat Panuntun telah berpindah kepada Raden Angkawijaya. Ia pun berterus terang ingin mengambil anak laki-laki tersebut sebagai putra angkat, yang dipersaudarakan dengan Raden Gatutkaca. Namun, Raden Arjuna menolak. Ia berkata baru kali ini memiliki anak laki-laki dan ingin menyayanginya sepenuh hati. Sebelumnya ia memang telah memiliki anak, tetapi semuanya berkelamin perempuan, yaitu Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati yang saat ini berada dalam asuhan Endang Manuhara di Padepokan Andongsumawi.

Arya Wrekodara mendesak berkali-kali namun Raden Arjuna tetap saja menolak. Dengan sangat kecewa ia pun melangkah pergi untuk kembali ke Kesatrian Jodipati. Pada saat itulah Prabu Kresna datang setelah tadi tertinggal di belakang Arya Wrekodara. Ia heran melihat bayi yang baru dilahirkan adiknya, kini tiba-tiba sudah tumbuh menjadi anak kecil berusia lima tahun. Raden Arjuna pun menceritakan semuanya dan ia justru disalahkan Prabu Kresna karena menghalangi keinginan Arya Wrekodara.

Prabu Kresna lalu menjelaskan bahwa Arya Wrekodara telah bersusah payah bertapa demi meraih Wahyu Cahyaningrat Panuntun. Namun, karena kurang berhati-hati ia melanggar pantangan dan wahyu tersebut kini berpindah kepada si bayi Angkawijaya. Raden Arjuna prihatin mendengar apa yang dialami kakak keduanya. Ia dapat membayangkan betapa kecewa hati Arya Wrekodara. Kini ia pun dapat memahami mengapa kakaknya ingin mengambil Raden Angkawijaya sebagai anak angkat. Ia merasa putranya telah mendapat keberuntungan besar dan tidak ada salahnya apabila memanggil ayah pula kepada Arya Wrekodara.

Prabu Kresna

ARYA WREKODARA MEMBERI NAMA ABIMANYU KEPADA RADEN ANGKAWIJAYA

Raden Arjuna dengan ditemani Dewi Sumbadra menggendong Raden Angkawijaya menyusul Arya Wrekodara. Saat itu Arya Wrekodara berdiri termangu-mangu di halaman Kesatrian Jodipati. Raden Gatutkaca datang kepadanya untuk melapor bahwa Prabu Baladewa kini berada di tangan musuh. Namun, Arya Wrekodara seperti tidak peduli dan pikirannya melayang ke tempat lain.

Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra datang meminta maaf. Mereka pun dengan tulus menyerahkan Raden Angkawijaya sebagai putra angkat Arya Wrekodara. Namun, Arya Wrekodara sudah terlanjur sakit hati. Ia menolak dan tidak sudi menerima belas kasihan Raden Arjuna dan istrinya. Tadi saat dirinya meminta, Raden Arjuna keberatan. Kini saat ia sudah pulang, adiknya itu justru datang dan menawarkan apa yang tadi telah ditolak. Dalam hal ini Arya Wrekodara merasa dirinya telah dipermainkan.

Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra pun membawa putra mereka kembali ke Madukara dengan perasaan kecewa. Namun, baru melangkah sebentar, tiba-tiba Raden Angkawijaya menangis keras. Tangisannya ini sangat keras dan tidak dapat berhenti. Dewi Sumbadra dan Raden Arjuna berusaha menghentikan tangisnya, namun suara putra mereka itu justru semakin keras.

Arya Wrekodara bergegas menyusul dan merebut Raden Angkawijaya lalu menggendongnya. Seketika Raden Angkawijaya pun terdiam dan tidak lagi menangis. Arya Wrekodara lalu berkata kepada Raden Arjuna beserta istri bahwa ia bersedia menerima Raden Angkawijaya sebagai putra angkat. Ia juga berkata kepada Raden Gatutkaca agar memperlakukan Raden Angkawijaya seperti adik kandung, bukan sebagai sepupu. Raden Gatutkaca dengan senang hati menyatakan bersedia.

Raden Arjuna lalu mempersilakan Arya Wrekodara untuk memberikan nama baru kepada Raden Angkawijaya. Arya Wrekodara berkata bahwa putra mereka ini biarlah tetap memakai nama Angkawijaya saat masih kecil. Namun, kelak sesudah dewasa hendaknya dipanggil dengan nama Raden Abimanyu, yaitu dari kata “bima” dan “banyu” (air). Nama ini sebagai pengingat bahwa semasa kecil Raden Angkawijaya pernah meminum air susu dari puting dada Sang Bima (nama asli Arya Wrekodara).

Usai berkata demikian, Arya Wrekodara pun menyerahkan perhiasan Garuda Mungkur yang dulu ia pakai di kepala sebelum bertemu Dewa Ruci. Ia berkata kelak jika sudah dewasa hendaknya Raden Angkawijaya memakai Garuda Mungkur miliknya ini di kepala dan mengurai rambut seperti dirinya saat masih bernama Raden Bratasena dulu.

Raden Bratasena atau Arya Wrekodara muda

ARYA WREKODARA MEMBAWA RADEN ANGKAWIJAYA MENGHADAPI PRABU JAYAMURCITA

Ketika hubungan antara Arya Wrekodara dan Raden Arjuna sudah kembali baik, Prabu Kresna dan Prabu Puntadewa muncul untuk menyampaikan kabar bahwa Prabu Baladewa kini masih berada di tangan musuh. Raden Gatutkaca berkata bahwa tadi ia sudah menyampaikan hal ini kepada ayahnya, namun tidak ditanggapi sama sekali. Kali ini pikiran Arya Wrekodara sudah tidak mengembara lagi. Ia pun bersiaga hendak menyerbu peremahan Prabu Jayamurcita dan membebaskan Prabu Baladewa, namun dicegah oleh Prabu Kresna.

Prabu Kresna berkata bahwa Arya Wrekodara bukanlah tandingan Prabu Jayamurcita. Prabu Kresna yang berpandangan tajam dapat mengetahui siapa sebenarnya Prabu Jayamurcita, namun biarlah Raden Angkawijaya saja yang membongkar penyamarannya. Arya Wrekodara heran mengapa Raden Angkawijaya yang masih kecil dihadapkan dengan Prabu Jayamurcita, bukankah ini sama saja dengan mengantarkan nyawa?

Prabu Kresna mengingatkan Arya Wrekodara dan para Pandawa lainnya, bahwa ayah mereka, yaitu mendiang Prabu Pandu pernah menjadi jago kahyangan menumpas Prabu Nagapaya pada saat usianya masih tujuh tahun. Bahkan, yang lebih kuno lagi yaitu Resi Satrukem semasa bayi pernah dilemparkan Resi Manumanasa (ayahnya) untuk mengalahkan Prabu Kalimantara beserta seluruh pasukannya.

Arya Wrekodara dapat menangkap maksud Prabu Kresna. Ia pun menggendong Raden Angkawijaya maju perang. Ia tidak peduli meskipun Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra merasa keberatan.

Prabu Jayamurcita

PRABU JAYAMURCITA MENYATU DENGAN RADEN ANGKAWIJAYA

Arya Wrekodara dan Raden Angkawijaya kini telah berhadapan dengan Prabu Jayamurcita. Arya Wrekodara menantang Prabu Jayamurcita bertarung dengan anak kecil yang ada dalam gendongannya. Apabila Prabu Jayamurcita kalah, maka Prabu Baladewa harus dibebaskan. Namun apabila Prabu Jayamurcita menang, maka Dewi Sumbadra akan diserahkan kepadanya.

Prabu Jayamurcita merasa dipermainkan dan ia menolak bertarung melawan anak kecil. Arya Wrekodara pun mengejeknya sebagai pengecut. Prabu Jayamurcita marah dan menerima tantangan tersebut. Arya Wrekodara segera meletakkan putra angkatnya di tanah dan mempersilakan mereka bertarung. Raden Angkawijaya yang kini telah berusia lima tahun pun berlari dengan lincah penuh rasa gembira. Prabu Jayamurcita berusaha menangkapnya tetapi selalu gagal. Hingga akhirnya ia dapat memukul anak kecil itu dengan setengah tenaga. Namun, Raden Angkawijaya tetap tegar tidak bersuara. Prabu Jayamurcita penasaran dan kembali memukul beberapa kali. Meskipun demikian, Raden Angkawijaya tetap saja tegar seperti tidak kesakitan sama sekali.

Raden Arjuna datang menyusul untuk melihat keadaan putranya. Arya Wrekodara bercerita bahwa Raden Angkawijaya benar-benar memiliki bakat kesaktian sejak lahir, yaitu daya tahan tubuhnya tinggi dan kuat menahan rasa sakit. Namun demikian, Raden Arjuna tidak tega melihat putranya dipukuli musuh. Ia ingin pertarungan ini segera diakhiri. Arya Wrekodara pun meminjam Keris Pulanggeni miliknya untuk kemudian diserahkan kepada Raden Angkawijaya.

Kini Raden Angkawijaya telah memegang keris pusaka milik ayahnya dan maju menyerang Prabu Jayamurcita. Karena kurang berhati-hati, lutut Prabu Jayamurcita pun tergores dan membuatnya jatuh terduduk. Prabu Jayamurcita bukannya marah tetapi justru tersenyum senang. Ia lalu mengheningkan cipta dan seketika tubuhnya musnah menjadi dewa berparas tampan.

Prabu Kresna datang dan mengatakan dewa tersebut pastilah putra Batara Candra yang bernama Batara Warcas. Sang dewa mengangguk dan memperkenalkan dirinya memang bernama Batara Warcas. Ia telah berbuat salah kepada ayahnya dan harus menjalani hukuman yaitu hidup sebagai manusia biasa. Batara Warcas menerima hukuman itu dan memohon petunjuk dirinya harus bersatu dengan manusia yang mana. Batara Candra pun menyarankan agar ia menitis kepada putra Raden Arjuna yang baru lahir.

Itulah sebabnya Batara Warcas lalu menyamar sebagai raja bernama Prabu Jayamurcita dan membuka hutan menjadi sebuah negara bernama Kerajaan Plangkawati. Ia pun mencari-cari alasan yaitu pura-pura ingin merebut Dewi Sumbadra, padahal hanya ingin melihat seperti apa putra Raden Arjuna yang baru lahir itu.

Kini tiada keraguan lagi bagi Batara Warcas. Ia pun menyerahkan Kerajaan Plangkawati menjadi bawahan Kerajaan Amarta, kemudian mohon pamit dan segera masuk ke dalam diri Raden Angkawijaya, bersatu jiwa raga dengannya. 

Batara Candra

ARYA WREKODARA MENGUSIR PARA KURAWA YANG HENDAK MEREBUT WAHYU PANUNTUN

Tidak lama kemudian Arya Dursasana bersama para Kurawa lainnya datang untuk merebut Wahyu Cahyaningrat Panuntun dari tangan Arya Wrekodara. Pertempuran seru pun terjadi. Arya Wrekodara seorang diri mampu memukul mundur para sepupunya itu. Mereka semua pulang kembali ke Kerajaan Hastina, kecuali Resi Druna yang tetap tinggal untuk memberikan selamat atas kelahiran Raden Angkawijaya.

Kini semuanya telah berakhir bahagia. Prabu Baladewa pun telah dibebaskan dan bersama-sama para Pandawa serta Prabu Kresna mengadakan syukuran atas keberhasilan Raden Angkawijaya mengatasi bahaya yang melanda Kerajaan Amarta. Prabu Puntadewa pun menetapkan negeri Plangkawati mulai kini menjadi kesatrian tempat tinggal Raden Angkawijaya atau Abimanyu. 
              
Resi Druna

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------



CATATAN : Dalam kitab Mahabharata dikisahkan bahwa tokoh Abhimanyu adalah titisan dewa bernama Varcas, putra Soma. Oleh sebab itu, saya pun mengambil kisah tersebut dan memadukannya dengan cerita umum di pedhalangan. Saya mengisahkan Prabu Jayamurcita adalah penyamaran Batara Warcas, dan tentunya ini akan berbeda dengan lakon-lakon wayang yang sudah umum di masyarakat.


Untuk kisah perkawinan Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra dapat dibaca di sini










Tidak ada komentar:

Posting Komentar