Jumat, 04 Agustus 2017

Sitija Takon Bapa



Kisah ini menceritakan tentang perjalanan Raden Sitija dan Dewi Sitisundari, dua anak Batari Pretiwi yang mencari ayah mereka, yaitu Batara Wisnu dalam diri Prabu Kresna. Raden Sitija berhasil mengalahkan Prabu Bomantara dan Prabu Narakasura sehingga berhasil menjadi raja Surateleng-Prajatisa, bergelar Prabu Boma Narakasura.

Kisah ini saya olah dari sumber rubrik pedhalangan Majalah panjebar Semangat, yang saya padukan dengan hasil diskusi bersama Ki Rudy Wiratama, dengan sedikit pengembangan seperlunya.

Kediri, Agustus 2017

Heri Purwanto

Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, klik di sini

------------------------------ ooo ------------------------------
 
Prabu Boma Sitija.

RADEN SITIJA MEMINTA IZIN INGIN BERTEMU AYAHNYA

Di Kahyangan Ekapratala, Batara Nagaraja Ekawarna dihadap putrinya, yaitu Batari Pretiwi, serta kedua cucunya, yaitu Raden Sitija dan Dewi Sitisundari. Hari itu Batari Pretiwi menyampaikan niat kedua anaknya tersebut yang mohon izin ingin meninggalkan kahyangan untuk bertemu ayah mereka di dunia fana.

Karena didesak terus-menerus, Batari Pretiwi akhirnya menceritakan bahwa ayah kandung Raden Sitija dan Dewi Sitisundari adalah Batara Wisnu dari Kahyangan Utarasagara. Akan tetapi, saat ini Batara Wisnu sedang tidak berada di kahyangan tersebut, karena sudah menitis dan terlahir sebagai manusia, bernama Prabu Kresna di Kerajaan Dwarawati.

Raden Sitija sudah bertekad bulat ingin menemui ayahnya, maka ia pun mohon pamit kepada sang kakek dan juga ibu untuk pergi ke Kerajaan Dwarawati. Batara Ekawarna menjelaskan bahwa apabila Raden Sitija meninggalkan Kahyangan Ekapratala, maka cucunya itu tidak akan menjadi dewa lagi, tetapi akan menjadi manusia biasa yang tidak luput dari penyakit, tua, dan mati. Namun, apabila tetap berada di Kahyangan Ekapratala, Raden Sitija akan menjadi sebangsa dewa yang hidup abadi dan terhindar dari penyakit.

Raden Sitija menimbang-nimbang dan ia tetap memilih untuk pergi menemui ayahnya. Dewi Sitisundari juga mohon izin ikut serta bersama kakaknya, karena ia pun rindu ingin bertemu sang ayah. Oleh sebab kedua cucunya memaksa demikian, Batara Ekawarna terpaksa mengabulkan. Ia pun mengeluarkan pusaka Cangkok Wijayamulya. Pusaka ini adalah pasangan Kembang Wijayakusuma yang saat ini berada di tangan Prabu Kresna. Dahulu kala Cangkok Wijayamulya dipersembahkan Batara Wisnu sebagai maskawin saat menikahi Batari Pretiwi. Dengan menunjukkan cangkok tersebut, maka Prabu Kresna pasti akan mengakui Raden Sitija dan Dewi Sitisundari sebagai anaknya.

Raden Sitija dan Dewi Sitisundari berterima kasih kepada sang kakek dan ibu. Mereka lalu mohon pamit berangkat meninggalkan Kahyangan Ekapratala, menuju Kerajaan Dwarawati.

Batari Pretiwi.

PRABU KRESNA MENDAPAT TANTANGAN DARI PRABU NARAKASURA

Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa dihadap Raden Samba Wisnubrata (putra mahkota) dari Kesatrian Paranggaruda, Arya Setyaki (ipar) dari Kesatrian Swalabumi, dan Patih Udawa dari Widarakandang. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang adanya surat tantangan yang dikirimkan oleh Prabu Narakasura raja Prajatisa kepada Prabu Kresna. Dalam surat tersebut, tertulis bahwa Prabu Narakasura berniat melamar permaisuri nomor dua Kerajaan Dwarawati yang bernama Dewi Rukmini. Apabila lamarannya ditolak, maka Prabu Narakasura mengancam akan menghancurkan Prabu Kresna beserta seluruh negeri yang ia pimpin. Adapun saat ini Prabu Narakasura beserta pasukannya sudah berkemah di pinggiran ibu kota Kerajaan Dwarawati.

Arya Setyaki marah mendengar isi surat tersebut. Ia menyebut Prabu Narakasura tidak tahu diri, berani menantang raja titisan Batara Wisnu. Namun, Prabu Kresna sendiri sangat percaya pada takdir. Meskipun dirinya memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi, tetapi apabila tidak ditakdirkan bisa mengalahkan Prabu Narakasura, maka ia tidak akan mau melayani tantangan tersebut. Prabu Kresna sama sekali tidak khawatir meskipun diejek sebagai pengecut yang tidak punya nyali. Baginya, ejekan semacam itu bukanlah sesuatu yang penting.

Pada saat itulah datang Raden Sitija dan Dewi Sitisundari menghadap dan menyembah Prabu Kresna. Keduanya memperkenalkan diri sebagai kakak-beradik putra Batara Wisnu dan Batari Pretiwi. Hari ini mereka datang untuk bertemu dan menyembah sang ayah yang telah menitis dan terlahir sebagai Prabu Kresna. Dengan kata lain, keduanya ingin diakui sebagai putra dan putri raja Dwarawati tersebut. Sebagai bukti, Raden Sitija pun menunjukkan Cangkok Wijayamulya kepada Prabu Kresna.

Prabu Kresna menerima Cangkok Wijayamulya dan mengamati keasliannya. Ia lalu menyerahkan pusaka tersebut kepada Raden Sitija agar dikembalikan kepada Batari Pretiwi. Prabu Kresna pun berkata bahwa ia bersedia mengakui keduanya sebagai putra dan putri, akan tetapi mereka tidak berhak disebut sebagai ahli waris Kerajaan Dwarawati. Hal itu karena mereka bukanlah darah daging Prabu Kresna, melainkan putra Batara Wisnu. Adapun takhta Kerajaan Dwarawati sudah ditetapkan kelak akan diwariskan kepada Raden Samba Wisnubrata.

Raden Sitija dan Dewi Sitisundari menjawab bahwa mereka tidak butuh hak milik atas Kerajaan Dwarawati, melainkan hanya butuh pengakuan sebagai putra dan putri Prabu Kresna, itu saja. Prabu Kresna berkata, saat ini ia sedang ada masalah dan belum bisa mengakui mereka, meskipun kakak beradik itu membawa bukti berupa Cangkok Wijayamulya.

Raden Sitija memahami maksud perkataan Prabu Kresna. Ia pun berjanji siap membantu mengatasi kesulitan tersebut. Prabu Kresna menjawab bahwa Kerajaan Dwarawati saat ini baru saja menerima tantangan musuh bernama Prabu Narakasura dari Kerajaan Prajatisa. Asalkan musuh tersebut dapat dihalau pergi, maka Prabu Kresna pasti akan mengakui Raden Sitija dan Dewi Sitisundari sebagai putra dan putri.

Raden Sitija menjawab dirinya bersedia menghadapi Prabu Narakasura. Dewi Sitisundari tidak ingin ditinggal, maka ia pun ikut mohon pamit bersama sang kakak menuju tempat Prabu Narakasura berkemah. Setelah keduanya pergi, perasaan kebapakan Prabu Kresna tergugah. Ia tidak tega jika mereka berdua sampai dikeroyok pasukan Kerajaan Prajatisa. Maka, Arya Setyaki pun diperintahkan untuk membawa pasukan Dwarawati membantu Raden Sitija dan Dewi Sitisundari. Dengan senang hati Arya Setyaki menjawab bersedia, lalu ia pun keluar mempersiapkan pasukan.

Prabu Kresna merasa bahaya di Kerajaan Dwarawati sudah ada jalan keluarnya. Ia lalu membubarkan pertemuan dan memerintahkan Patih Udawa serta Raden Samba untuk tetap bersiaga menjaga segala kemungkinan yang terjadi.

Prabu Kresna.

ARYA SETYAKI DAN PASUKAN DWARAWATI MEMBANTU RADEN SITIJA

Raden Sitija dan Dewi Sitisundari telah berada di luar istana. Sejak kecil Raden Sitija sudah banyak berlatih ilmu kesaktian dan ilmu peperangan, tentu lain dengan Dewi Sitisundari yang sehari-hari lebih sering belajar ilmu kewanitaan. Maka, Raden Sitija pun menyuruh adiknya itu untuk menunggu di kejauhan, biarlah ia sendiri yang berperang melawan Prabu Narakasura.

Dewi Sitisundari menolak. Sejak dari Kahyangan Ekapratala mereka selalu bersama, maka terhadap tugas dari sang ayah pun harus dijalani bersama pula. Meskipun dirinya tidak dapat berperang, tetapi Dewi Sitisundari siap apabila nyawanya harus dikorbankan demi kemenangan sang kakak. Raden Sitija terharu dan tidak kuasa menolak keinginan adik tersayangnya itu. Ia pun mengheningkan cipta dan membaca mantra, lalu memasukkan tubuh Dewi Sitisundari ke dalam cincin yang ia kenakan di jari. Dengan demikian, mereka berdua bisa tetap bersama dalam perang menghadapi musuh.

Arya Setyaki kemudian datang membawa pasukan Dwarawati dan mengatakan bahwa ia ditugasi Prabu Kresna untuk membantu Raden Sitija. Mendengar itu, Raden Sitija mempersilakan jika Arya Setyaki hendak menghadapi pasukan Prajatisa. Akan tetapi, untuk melawan Prabu Narakasura biarlah ia sendiri yang bertindak. Arya Setyaki tidak keberatan. Mereka lalu bersama-sama berangkat menuju perkemahan Prabu Narakasura.

Arya Setyaki.

PERTEMPURAN RADEN SITIJA MELAWAN PRABU NARAKASURA

Sementara itu di perkemahan tepi ibu kota Kerajaan Dwarawati, Prabu Narakasura dihadap panakawan Kyai Togog dan Bilung. Mereka membahas tentang rencana penyerangan Kerajaan Dwarawati apabila lamaran terhadap Dewi Rukmini sampai ditolak. Kyai Togog dan Bilung menasihati Prabu Narakasura agar melupakan hal itu karena merusak rumah tangga orang lain adalah perbuatan nista. Apalagi yang ingin direbut adalah istri Prabu Kresna, titisan Batara Wisnu. Tentunya hal ini sama saja dengan mengundang kematian. Prabu Narakasura tidak peduli pada nasihat para panakawan. Ia tetap pada pendiriannya untuk menikahi Dewi Rukmini dan syukur apabila dapat merebut Kerajaan Dwarawati pula.

Tiba-tiba terdengar suara Raden Sitija di luar perkemahan menantang Prabu Narakasura untuk berperang. Prabu Narakasura terkejut dan segera keluar. Ternyata pihak Dwarawati sudah datang dan menyatakan bahwa lamarannya terhadap Dewi Rukmini ditolak. Prabu Narakasura marah dan mengerahkan pasukannya untuk melawan pasukan tersebut.

Maka, terjadilah pertempuran ramai antara kedua pihak. Arya Setyaki memimpin pasukan Dwarawati menghadapi pasukan Prajatisa, sedangkan Raden Sitija bertarung melawan Prabu Narakasura. Keduanya bertarung sengit saling berusaha menjatuhkan. Prabu Narakasura tidak menduga Kerajaan Dwarawati memiliki jago yang sedemikian tangguh. Apalagi ada Dewi Sitisundari di dalam cincin membuat pukulan tangan Raden Sitija terasa makin mantap dan ampuh. Setelah berperang cukup lama, Prabu Narakasura akhirnya terdesak dan membawa pasukannya yang masih hidup untuk mundur meninggalkan Kerajaan Dwarawati.

Setelah musuh pergi, Prabu Kresna datang mengucapkan selamat atas kemenangan Raden Sitija. Kini tiada lagi halangan baginya untuk mengakui Raden Sitija dan Dewi Sitisundari sebagai anak. Ia pun mempersiapkan pesta penyambutan untuk mereka berdua. Akan tetapi, Raden Sitija menolak memasuki istana Dwarawati untuk saat ini. Ia masih ingat atas ucapan Prabu Kresna tadi yang mengatakan bahwa Raden Sitija dan Dewi Sitisundari tidak memiliki hak waris atas Kerajaan Dwarawati. Maka, ia hendak membuktikan bahwa dirinya sanggup untuk mencari kemuliaan sendiri tanpa harus tinggal di Kerajaan Dwarawati. Usai berkata demikian, Raden Sitija pun berangkat mengejar Prabu Narakasura untuk merebut takhta Kerajaan Prajatisa.

Prabu Narakasura.

RADEN SITIJA MENCOBA KEAMPUHAN CANGKOK WIJAYAMULYA

Perjalanan Raden Sitija yang membawa serta Dewi Sitisundari di dalam cincin telah memasuki wilayah Kerajaan Prajatisa. Di sebuah desa di pinggiran ibu kota, ia melihat ada sesajen yang diletakkan di depan sebuah punden keramat. Sesajen tersebut berupa ingkung burung merpati yang diletakkan di dalam ancak, yaitu sejenis wadah yang terbuat dari anyaman bambu. Di samping ancak tersebut tampak pula sebuah layah (cobek besar) yang di atasnya terdapat ikan bakar.

Raden Sitija penasaran seperti apa keampuhan Cangkok Wijayamulya. Maka, ia pun mengeluarkan pusaka itu dan menggerak-gerakkannya di atas sesajen tersebut sambil membaca mantra. Sungguh ajaib, begitu terkena khasiat Cangkok Wijayamulya, seketika keempat benda sesajen tersebut berubah menjadi empat raksasa yang menakutkan. Keempat raksasa itu segera menyembah Raden Sitija dan mengakuinya sebagai majikan.

Raden Sitija menerima pengabdian mereka. Raksasa yang tercipta dari layah diberi nama Ditya Yayahgriwa. Raksasa yang tercipta dari ancak diberi nama Ditya Ancakogra. Raksasa yang tercipta dari ingkung burung dara diberi nama Ditya Mahodara. Sedangkan raksasa yang tercipta dari ikan bakar diberi nama Ditya Amisunda.

Raden Sitija.

PERTARUNGAN DUA BURUNG RAKSASA KAKAK BERADIK

Raden Sitija dan keempat raksasa melanjutkan perjalanan mengejar Prabu Narakasura. Di tengah jalan mereka melihat ada dua ekor burung raksasa sedang berkelahi di udara. Burung yang satu tampak terdesak kalah dan meminta perlindungan kepada Raden Sitija.

Burung yang kalah itu mengaku bernama Paksi Wilmuna. Ia memohon kepada Raden Sitija agar dibantu mengalahkan musuhnya yang bernama Paksi Wildata. Jika Raden Sitija bersedia membantu kesulitannya, maka ia bersedia seumur hidup mengabdi sebagai kendaraan pemuda tersebut.

Raden Sitija tertarik melihat sosok Paksi Wilmuna yang perkasa. Ia pun berjanji untuk membantu melawan Paksi Wildata. Melihat ada seorang pemuda yang tiba-tiba maju menyerang dirinya, Paksi Wildata terkejut dan bertanya mengapa ada orang luar ikut campur urusan mereka dua bersaudara.

Paksi Wilmuna dan Paksi Wildata ternyata dua bersaudara yang menetas pada hari yang sama. Mereka pun saling berebut siapa yang lebih tua. Perselisihan ini terjadi bertahun-tahun hingga akhirnya mereka pun berkelahi untuk menentukan siapa dari mereka yang lebih berhak dipanggil kakak. Dalam pertarungan kali ini, Paksi Wilmuna terdesak kalah dan meminta perlindungan Raden Sitija.

Raden Sitija baru tahu kalau kedua burung tersebut ternyata bersaudara. Namun, karena sudah terlanjur berjanji kepada Paksi Wilmuna, terpaksa ia tetap maju menghadapi Paksi Wildata. Keduanya lalu bertarung seru. Raden Sitija berkelahi atas nama Paksi Wilmuna, sedikit demi sedikit berhasil membuat Paksi Wildata terdesak kalah. Hingga akhirnya, Raden Sitija berhasil menangkap tubuh burung raksasa itu dan melemparkannya jauh-jauh ke angkasa.

Raden Gatutkaca.

BATARA NARADA MEMINTA RADEN SITIJA MENJADI JAGO KAHYANGAN

Tubuh Paksi Wildata melayang di udara karena terlempar oleh kekuatan Raden Sitija. Tiba-tiba ia menabrak seorang pemuda gagah yang sedang terbang di angkasa. Pemuda itu tidak lain adalah Raden Gatutkaca sang kesatria Pringgadani yang sedang melanglang buana untuk mencari tambahan pengalaman. Dengan cekatan, ia pun menangkap tubuh burung raksasa itu lalu menurunkannya ke daratan.

Paksi Wildata berterima kasih atas pertolongan Raden Gatutkaca. Raden Sitija datang mengejar dan bertanya ada perlu apa Raden Gatutkaca ikut campur pertarungannya dengan Paksi Wildata. Raden Gatutkaca tidak ingin ikut campur, tetapi ia tidak suka melihat ada orang yang suka menganiaya hewan. Ia pun menantang Raden Sitija apabila ingin bertarung, maka bertarunglah dengan lawan yang sebanding, bukan dengan binatang yang sudah tidak berdaya.

Raden Sitija menanggapi tantangan Raden Gatutkaca dengan senang hati. Keduanya lalu bertarung satu lawan satu. Mereka sama-sama sakti dan tangguh, sulit menentukan siapa yang menang atau kalah. Hingga akhirnya muncul Batara Narada turun dari angkasa melerai perkelahian mereka.

Kedua pemuda itu berhenti bertarung dan serentak menyembah sang dewa. Batara Narada menjelaskan bahwa mereka sebenarnya masih saudara sendiri. Raden Sitija adalah putra Batara Wisnu yang saat ini sudah menitis kepada Prabu Kresna, sedangkan Raden Gatutkaca adalah putra Arya Wrekodara. Adapun Prabu Kresna dan Arya Wrekodara adalah saudara sepupu, sama-sama cucu Prabu Kuntiboja, pendiri Kerajaan Mandura.

Setelah diperkenalkan demikian, Raden Sitija dan Raden Gatutkaca pun saling berpelukan melupakan permusuhan tadi. Keduanya juga menjalin persaudaraan seperti ayah-ayah mereka. Raden Sitija sebagai kakak, dan Raden Gatutkaca sebagai adik.

Batara Narada lalu menjelaskan tujuan kedatangannya, yaitu hendak menjadikan Raden Sitija sebagai jago Kahyangan Suralaya menghadapi musuh para dewa, bernama Prabu Bomantara raja Surateleng. Adapun raja tersebut saat ini sudah mengepung kahyangan untuk merebut kekuasaan Batara Indra, raja para jawata. Raden Sitija menjawab bersedia. Soal mengejar Prabu Narakasura dapat ditunda lain waktu. Batara Narada pun berkata bahwa Prabu Narakasura adalah saudara seperguruan Prabu Bomantara, dan saat ini mereka telah bergabung mengepung Kahyangan Suralaya. Oleh sebab itu, apabila Raden Sitija mengejar Prabu Narakasura ke istana Prajatisa tentunya akan sia-sia belaka.

Raden Sitija gembira mendengarnya. Ini artinya sekali bertindak membuahkan dua hasil. Raden Gatutkaca meminta agar dijadikan jago pula, tetapi dicegah Batara Narada. Dulu Raden Gatutkaca pernah menjadi jago para dewa melawan Prabu Kalapracona, maka kini giliran Raden Sitija yang mendapat tugas seperti itu. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun terbang menuju Kahyangan Suralaya, dengan diikuti Raden Sitija yang mengendarai Paksi Wilmuna. Adapun keempat raksasa Ditya Yayahgriwa, Ditya Ancakogra, Ditya Mahodara, dan Ditya Amisunda mengikuti majikan mereka dengan menempuh lewat jalur darat.

Setelah semuanya pergi, tinggallah Raden Gatutkaca dan Paksi Wildata berdua. Paksi Wildata kagum melihat kesaktian dan kekuatan Raden Gatutkaca saat bertarung menghadapi Raden Sitija tadi. Ia pun memohon agar diterima mengabdi sebagai kendaraan kesatria muda tersebut. Raden Gatutkaca menjawab dirinya bisa terbang sehingga tidak membutuhkan kendaraan. Namun demikian, ia bersedia menerima Paksi Wildata sebagai kawan, bukan sebagai kendaraan.

Paksi Wildata sangat gembira. Ia pun berjanji apabila Raden Gatutkaca membutuhkan bantuan cukup bersuit nyaring saja, maka dirinya pasti akan datang. Raden Gatutkaca menerima saran tersebut. Keduanya lalu berpisah, kembali ke tempat tinggal masing-masing.

Batara Narada.

RADEN SITIJA BERPERANG MELAWAN PRABU BOMANTARA

Sementara itu di luar Kahyangan Suralaya, Prabu Bomantara raja Surateleng dihadap Patih Pancadnyana dan para punggawa lainnya. Ia juga menerima kedatangan sang adik seperguruan, yaitu Prabu Narakasura raja Prajatisa yang baru saja kalah perang melawan Kerajaan Dwarawati. Prabu Bomantara marah atas tindakan Prabu Narakasura yang kemarin menolak membantu dirinya menyerang Kahyangan Suralaya, karena lebih mementingkan urusan pribadi hendak merebut Dewi Rukmini, istri Prabu Kresna. Kini, setelah gagal mewujudkan keinginannya, barulah adiknya itu menyusul ke Kahyangan Suralaya.

Prabu Narakasura meminta maaf atas sikapnya yang mementingkan diri sendiri dan menolak membantu kakak seperguruan. Kini ia sadar bahwa menginginkan istri raja Dwarawati sama saja dengan mencari penyakit. Apalagi ternyata Prabu Kresna memiliki jago yang perkasa, bernama Raden Sitija yang sangat sakti, dan berhasil membuatnya terdesak melarikan diri.

Tiba-tiba di luar perkemahan terdengar suara Raden Sitija menantang perang. Prabu Narakasura gemetar dan menjelaskan bahwa pemuda di luar itulah yang telah mengalahkan dirinya. Prabu Bomantara merasa penasaran. Ia pun keluar menjawab tantangan Raden Sitija. Keduanya lalu bertarung satu lawan satu dengan disaksikan ribuan prajurit raksasa.

Ternyata Prabu Bomantara jauh lebih sakti daripada Prabu Narakasura. Raden Sitija lama-lama terdesak dan akhirnya tewas di tangan lawannya tersebut. Melihat majikannya gugur, Paksi Wilmuna segera menyambar jasad Raden Sitija dan membawanya pergi ke tempat para dewa yang menonton di kejauhan.

Prabu Bomantara.

RADEN SITIJA MENDAPATKAN KEKUATAN BARU

Batara Narada memeriksa jasad Raden Sitija dan menemukan Cangkok Wijayamulya di dalam pakaiannya. Begitu terkena khasiat pusaka tersebut, Raden Sitija pun hidup kembali dan hendak melanjutkan pertarungan. Akan tetapi, Batara Narada mencegahnya. Saat itu Batara Narada teringat pada Raden Gatutkaca yang dulu pernah dijedi di dalam Kawah Candradimuka saat berperang melawan Patih Sekiputantra. Setelah keluar dari kawah, Raden Gatutkaca tumbuh sebagai sosok pemuda perkasa yang kekuatannya luar biasa. Maka, ia pun berniat menggunakan cara yang sama untuk memberikan kekuatan baru kepada Raden Sitija.

Raden Sitija tidak keberatan. Ia pun berjalan diiringi para dewa kemudian menceburkan diri ke dalam Kawah Candradimuka. Kawah yang terletak di puncak Gunung Jamurdipa itu bergolak hebat. Para dewa ramai-ramai melemparkan pusaka ampuh ke dalam kawah, seperti dulu saat menjedi Raden Gatutkaca. Pusaka-pusaka itu melebur dan bersatu dalam diri Raden Sitija. Kini Raden Sitija seolah mendapatkan kekuatan baru. Ia pun keluar dari dalam Kawah Candradimuka dengan wujud lebih gagah dan perkasa daripada sebelumnya.

Batara Narada menyambut Raden Sitija dan mengucapkan selamat atas keberhasilannya mendapatkan kekuatan baru. Tiba-tiba terdengar suara perempuan menangis. Raden Sitija teringat kalau Dewi Sitisundari masih disimpan di dalam cincinnya. Ia pun segera membaca mantra dan mengeluarkan adiknya itu yang kini terlihat lemas setelah ikut masuk ke dalam Kawah Candradimuka.

Raden Sitija meminta maaf karena terlalu bersemangat mencebur ke dalam kawah hingga lupa kepada Dewi Sitisundari yang bersemayam di dalam cincinnya. Batara Aswan dan Batara Aswin segera maju untuk mengobati gadis tersebut. Dalam sekejap, Dewi Sitisundari pulih kembali. Namun sayang, rahimnya sudah terlanjur rusak dan tidak dapat disembuhkan lagi. Hawa panas Kawah Candradimuka telah menyebabkan Dewi Sitisundari menjadi mandul untuk selamanya. Dewi Sitisundari berduka namun ia merasa ini sudah suratan takdir dan tidak perlu menyalahkan siapa-siapa.

Dewi Sitisundari.

RADEN SITIJA KEMBALI BERPERANG MELAWAN MUSUH

Melihat adiknya bersikap tenang tidak meratapi nasib, Raden Sitija pun kembali maju perang dengan penuh semangat. Prabu Bomantara heran melihat musuhnya hidup kembali. Tanpa banyak bicara ia segera menyerang pemuda itu. Mereka kembali bertarung sengit melebihi pertarungan sebelumnya. Kali ini tubuh Raden Sitija telah berubah menjadi lebih gagah dan perkasa, sehingga seimbang dengan Prabu Bomantara.

Prabu Bomantara sendiri merasa lawannya jauh lebih kuat dibanding tadi. Ia pun terdesak kehabisan tenaga dan lehernya berhasil dicengkeram Raden Sitija. Melihat kakak seperguruannya telah kalah dan berada di tangan musuh, Prabu Narakasura melompat maju untuk membantu. Namun, ia lengah dan ikut tertangkap pula. Leher Prabu Bomantara dicengkeram Raden Sitija menggunakan tangan kanan, sedangkan leher Prabu Narakasura dicengkeram menggunakan tangan kiri. Kedua raja itu lalu dibenturkan satu sama lain sekuat tenaga. Prabu Bomatara dan Prabu Narakasura pun tewas dengan kepala masing-masing pecah berantakan.

Namun demikian, roh kedua raja itu masih pantang menyerah. Mereka merasuki tubuh Raden Sitija untuk mengendalikan pikiran pemuda itu. Begitu kerasukan roh Prabu Bomantara dan Prabu Narakasura, seketika tumbuh sepasang gigi taring di mulut Raden Sitija. Roh Prabu Bomantara menjelma menjadi taring sebelah kanan, sedangkan roh Prabu Narakasura menjelma menjadi taring sebelah kiri. 

Batara Aswan dan Batara Aswin.

RADEN SITIJA MENJADI RAJA SURATELENG-PRAJATISA

Batara Narada, Batara Indra, dan para dewa lainnya menyambut kemenangan Raden Sitija dan mengucapkan selamat kepada pemuda itu. Sebagai hadiah, Raden Sitija pun berhak menjadi raja menduduki Kerajaan Surateleng dan Prajatisa sekaligus. Batara Indra juga memberikan harta kekayaan yang melimpah untuk pembangunan di kedua negara tersebut.

Tiba-tiba keempat raksasa pengikut Raden Sitija datang dengan menghadapkan seorang raksasa yang sudah menyerahkan diri. Raksasa itu adalah Patih Pancadnyana, pengikut utama Prabu Bomantara. Kini Raden Sitija telah menewaskan rajanya, maka ia pun memohon agar diampuni dan diterima mengabdi kepada raja baru tersebut.

Raden Sitija menerima pengabdian Patih Pancadnyana dan menetapkannya sebagai patih di Kerajaan Surateleng seperti sediakala. Adapun para pengikut Raden Sitija, yaitu Ditya Yayahgriwa, Ditya Ancakogra, Ditya Mahodara, dan Ditya Amisunda dijadikan sebagai punggawa. Raden Sitija kemudian dilantik para dewa menjadi raja. Tiba-tiba roh Prabu Bomantara dan Prabu Narakasura berbisik di dalam pikirannya agar ia tetap menggunakan nama mereka sebagai gelar. Raden Sitija terpengaruh bisikan itu. Maka, ia pun menetapkan dirinya bergelar Prabu Boma Narakasura.

Patih Pancadnyana.

ASAL USUL KERAJAAN TRAJUTRESNA

Kerajaan Surateleng dan Kerajaan Prajatisa terletak bersebelahan dan kini disatukan di bawah pemerintahan Prabu Boma Narakasura. Namun demikian, Prabu Boma tetap saja merasa iri mendengar kebesaran Kerajaan Dwarawati. Ia pun berniat menukar negeri yang ia pimpin dengan negara yang dipimpin ayahnya tersebut.

Dewi Sitisundari prihatin melihat sifat kakaknya sudah berubah. Jika dulu Raden Sitija seorang kakak yang lembut dan baik hati, namun kini setelah menjadi raja berubah menjadi angkara murka dan dipenuhi watak serakah. Seorang diri Dewi Sitisundari pergi ke Kerajaan Dwarawati. Sesampainya di sana ia menceritakan itu semua kepada Prabu Kresna.

Tidak lama kemudian, Prabu Boma Narakasura datang pula menghadap Prabu Kresna. Ia berkata bahwa dirinya telah terbukti berhasil mendapatkan kemuliaan dan kedudukan dengan perjuangan sendiri, tanpa harus menunggu warisan Kerajaan Dwarawati. Akan tetapi, kini muncul niatnya untuk menukar Kerajaan Surateleng-Prajatisa dengan Dwarawati.

Prabu Kresna bertanya, untuk apa kedua negeri tersebut ditukar, bukankah Kerajaan Surateleng-Prajatisa lebih luas ukurannya karena merupakan gabungan dua negara? Prabu Boma tidak percaya dan mengatakan bahwa ia mendapat cerita dari Patih Pancadnyana, bahwa Kerajaan Dwarawati dulunya juga gabungan dari dua negara, yaitu Dwarawatiprawa dan Dwarakawestri.

Prabu Kresna tersenyum dan berkata bahwa ia akan membuktikan ucapannya. Ia lalu melepaskan Senjata Cakra untuk terbang sendiri, berkeliling mengitari batas-batas Kerajaan Dwarawati. Setelah empat jam, barulah senjata tersebut kembali ke tangannya.

Prabu Kresna, Prabu Boma, dan Dewi Sitisundari lalu pergi ke Kerajaan Surateleng-Prajatisa untuk mengukur luas negara tersebut. Prabu Kresna kembali melepas Senjata Cakra agar terbang berkeliling mengitari batas-batas kedua negara ini. Setelah lima jam, barulah senjata tersebut kembali kepadanya. Hal ini membuktikan bahwa wilayah Kerajaan Surateleng-Prajatisa memang benar lebih luas daripada Kerajaan Dwarawati.

Prabu Boma merasa puas dan gembira. Kini ia merasa mantap menduduki takhta Kerajaan Surateleng-Prajatisa. Prabu Kresna merasa nama kerajaan tersebut terlalu panjang dan sebaiknya diganti menjadi yang lebih sederhana. Prabu Boma memohon kepada sang ayah agar sudi membantu mencarikan nama. Prabu Kresna berkata bahwa Senjata Cakra tadi telah dilepaskan untuk mengukur dan menimbang mana yang lebih luas di antara kedua negara, dan penimbangan ini didasari oleh rasa cinta ayah kepada anaknya. Karena istilah lain untuk timbangan adalah “traju”, dan istilah untuk cinta adalah “tresna”, maka sebaiknya Kerajaan Surateleng-Prajatisa diganti nama menjadi Kerajaan Trajutresna.

Prabu Boma senang mendengarnya dan merasa nama ini sangat indah. Ia pun mengajak Dewi Sitisundari pulang ke istana. Namun, Dewi Sitisundari menolak ikut karena sifat sang kakak sudah berubah tidak seperti dulu lagi. Ia memohon kepada sang ayah agar diizinkan tinggal di Kerajaan Dwarawati saja. Prabu Boma mempersilakan jika sang adik ingin demikian. Karena Prabu Boma tidak keberatan, maka Prabu Kresna pun menerima Dewi Sitisundari tinggal di Kerajaan Dwarawati bersama putra-putrinya yang lain.

Prabu Boma Narakasura.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------



CATATAN : Hubungan antara Prabu Bomantara dan Prabu Narakasura sebagai saudara seperguruan adalah tambahan dari saya. Begitu pula dengan kisah Prabu Narakasura melamar Dewi Rukmini juga tambahan dari saya.


Untuk kisah Raden Gatutkaca menjadi jago dewata dapat dibaca di sini









Tidak ada komentar:

Posting Komentar