Kamis, 22 Februari 2018

Sumitra Rabi



Kisah ini menceritakan tentang perkawinan antara Raden Sumitra putra Raden Arjuna dengan Dewi Asmarawati putri Prabu Suryaasmara. Perkawinan ini merupakan penggenapan atas cita-cita Prabu Suryaasmara dalam lakon Arjuna Tumbal.

Kisah ini saya olah dari sumber Ensiklopedia Wayang Purwa karya Rio Sudibyoprono, dengan sedikit pengembangan seperlunya.

Kediri, 22 Februari 2018

Heri Purwanto

Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, klik di sini


------------------------------ ooo ------------------------------

RENCANA PERNIKAHAN RADEN LESMANA MANDRAKUMARA DENGAN DEWI ASMARAWATI

Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana menerima penghadapan Danghyang Druna dari Sokalima, Adipati Karna dari Awangga, Patih Sangkuni dari Plasajenar, dan Raden Kartawarma dari Tirtatinalang. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang putra mahkota, yaitu Raden Lesmana Mandrakumara satria Sarojabinangun yang telah gagal menikah dengan Dewi Karnawati, sekarang ingin menikah dengan Dewi Asmarawati, putri Prabu Suryaasmara dari Kerajaan Parangkencana.

Adipati Karna meminta maaf atas kegagalan pernikahan antara putrinya dengan Raden Lesmana tersebut. Kegagalan itu dikarenakan Raden Bratalaras putra Raden Arjuna telah memenangkan sayembara, sehingga berhak memboyong Dewi Karnawati. Patih Sangkuni menyahut, bahwa kemenangan Raden Bratalaras terjadi karena kelicikan Bambang Wisanggeni yang menghadirkan Arya Wrekodara palsu. Harusnya Adipati Karna bisa membatalkan perkawinan itu dan menolak kemenangan Raden Bratalaras. Danghyang Druna menyela ikut bicara, bahwa tidak perlu menyebut Bambang Wisanggeni licik, karena Patih Sangkuni jauh lebih banyak berbuat licik terhadap para Pandawa daripada dia.

Prabu Duryudana tidak senang perihal kegagalan putranya diungkit-ungkit. Sekarang yang lebih penting adalah bagaimana caranya mendapatkan Dewi Asmarawati. Adipati Karna mengajukan diri biar dia saja yang pergi melamar ke Kerajaan Parangkencana. Prabu Duryudana menyetujui. Namun, ia juga memerintahkan Danghyang Druna beserta Patih Sangkuni agar ikut berangkat mendampingi.

Setelah dirasa cukup, Prabu Duryudana pun membubarkan pertemuan. Patih Sangkuni segera memberikan perintah kepada Arya Dursasana, Raden Surtayu, Raden Durmagati, beserta para Kurawa lainnya agar bersiap menyertai perjalanan ke Kerajaan Parangkencana.

DEWI ASMARAWATI MENDAPAT LAMARAN DARI DUA PIHAK

Prabu Suryaasmara di Kerajaan Parangkencana beserta gurunya yang bernama Resi Indrajala menerima kedatangan rombongan dari Kerajaan Hastina. Adipati Karna, Danghyang Druna, dan Patih Sangkuni pun memperkenalkan diri mereka masing-masing. Kemudian Adipati Karna selaku juru bicara menyampaikan maksud kedatangan mereka, yaitu hendak melamar Dewi Asmarawati sebagai calon istri Raden Lesmana Mandrakumara, putra mahkota Kerajaan Hastina.

Prabu Suryaasmara sudah lama mendengar nama besar Prabu Duryudana yang merupakan raja paling kaya di dunia saat ini. Sudah tentu ia mendapat kehormatan besar jika bisa berbesan dengannya. Akan tetapi, Prabu Suryaasmara terlanjur berhutang budi kepada Raden Arjuna sang Panengah Pandawa. Dahulu kala, Kerajaan Parangkencana pernah diserang wabah penyakit. Berkat pengorbanan tetesan darah Raden Arjuna, wabah penyakit tersebut bisa musnah dari bumi Parangkencana. Saat itu kebetulan istri Raden Arjuna yang bernama Dewi Sulastri melahirkan bayi laki-laki bernama Raden Sumitra. Prabu Suryaasmara pun bercita-cita apabila memiliki anak perempuan, semoga kelak bisa berjodoh dengan Raden Sumitra tersebut. Ternyata benar, istrinya kemudian melahirkan anak perempuan yang diberi nama Dewi Asmarawati.

Itulah sebabnya kini Prabu Suryaasmara merasa berat hati untuk menerima pinangan Kerajaan Hastina, karena sudah terlanjur berjanji kepada Raden Arjuna. Patih Sangkuni menyela ikut bicara. Ia berkata bahwa Prabu Suryaasmara dulu berkata “semoga” anaknya bisa berjodoh dengan Raden Sumitra. Kata “semoga” adalah pengharapan, bukan perjanjian. Itu artinya, Prabu Suryaasmara tidak bisa dianggap telah berjanji. Jika Dewi Asmarawati dinikahkan dengan Raden Lesmana Mandrakumara, maka tidak akan ada janji yang dilanggar, karena memang Prabu Suryaasmara tidak pernah berjanji.

Prabu Suryaasmara merasa ucapan Patih Sangkuni ada benarnya. Namun, ia ingin meminta pertimbangan Resi Indrajala terlebih dahulu soal hal ini. Belum sempat gurunya itu menjawab, tiba-tiba muncul Raden Antareja dan Raden Gatutkaca menghadap. Kedua putra Arya Wrekodara itu menyembah Prabu Suryaasmara, dan memperkenalkan diri mereka sebagai utusan Raden Arjuna untuk menanyakan kelanjutan perjodohan antara Raden Sumitra dengan putri Kerajaan Parangkencana. Rupanya Raden Arjuna telah mendengar berita bahwa Prabu Suryaasmara memiliki seorang putri bernama Dewi Asmarawati.

Adipati Karna menukas dengan mengatakan bahwa Dewi Asmarawati hendak dinikahkan dengan Raden Lesmana Mandrakumara. Untuk itu, sebaiknya Raden Sumitra mencari perempuan lain saja. Raden Antareja menjawab, Dewi Asmarawati sudah dijodohkan dengan sepupunya sejak belum dilahirkan. Maka, sebaiknya Raden Lesmana Mandrakumara saja yang mencari perempuan lain. Patih Sangkuni ikut bicara, bahwa Prabu Suryaasmara tidak pernah berjanji demikian, melainkan saat itu hanya berkata jika kelak memiliki anak perempuan “semoga” bisa berjodoh dengan Raden Sumitra yang baru lahir. Kata “semoga” jelas tidak bisa dianggap sebagai perjanjian.

Raden Antareja dan Raden Gatutkaca jelas kalah jika adu bicara dengan Patih Sangkuni yang licik. Mereka tidak mau berdebat dan meminta agar Prabu Suryaasmara saja yang mengambil keputusan, lamaran pihak mana yang akan diterima.

Prabu Suryaasmara kembali bertanya kepada Resi Indrajala mengenai keputusan apa yang harus ia ambil. Resi Indrajala berkata bahwa kedua pihak sama-sama benar. Dahulu kala Prabu Suryaasmara bisa dikatakan berjanji, namun bisa juga dikatakan tidak berjanji. Untuk itu, agar tidak menyakiti perasaan salah satu pihak, maka sebaiknya diadakan sayembara saja.

Prabu Suryaasmara berpikir sejenak, lalu berkata bahwa ia menerima nasihat Resi Indrajala untuk mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat mewujudkan apa saja persyaratan darinya, maka orang itulah yang berhak menjadi suami Dewi Asmarawati. Persyaratan itu adalah: pengantin pria harus menunggang Kuda Ciptawalaha dan dipayungi menggunakan Payung Tunggulnaga saat mendatangi Kerajaan Parangkencana; kedua, pernikahan harus dilaksanakan di dalam Balai Sasanamulya yang dihadiri seratus bidadari. Demikianlah isi sayembara Prabu Suryaasmara.

Adipati Karna dan Raden Antareja sama-sama menyatakan sanggup. Mereka lalu undur diri meninggalkan Kerajaan Parangkencana.

PARA KURAWA HENDAK MENYINGKIRKAN SAINGAN

Sesampainya di luar, Adipati Karna, Danghyang Druna, dan Patih Sangkuni berunding bagaimana caranya memenangkan sayembara, karena pengalaman sebelumnya selalu saja pihak Pandawa yang unggul. Patih Sangkuni mengusulkan agar Adipati Karna berangkat ke Kerajaan Dwarawati untuk meminjam Kuda Ciptawalaha kepada Prabu Kresna Wasudewa, sedangkan Danghyang Druna pergi ke Kerajaan Amarta untuk meminjam Payung Tunggulnaga kepada Prabu Puntadewa. Adapun Patih Sangkuni dan para Kurawa akan menghambat perjalanan pulang Raden Antareja dan Raden Gatutkaca demi mengurangi saingan. Setelah dicapai kata sepakat, ketiga orang itu pun pergi berpencar.

Patih Sangkuni segera memerintahkan para Kurawa, antara lain Arya Dursasana, Raden Kartawarma, Raden Surtayu, Raden Durjaya, Raden Durmuka, Raden Durmagati, Raden Citraksa, Raden Citraksi, ditambah pula dengan Adipati Jayadrata dan Bambang Aswatama untuk pergi menyergap Raden Antareja dan Raden Gatutkaca. Tujuannya ialah, agar kedua pemuda itu terlambat menyampaikan berita kepada Raden Arjuna dan Raden Sumitra. Dengan demikian, saingan Raden Lesmana Mandrakumara bisa berkurang. 

Para Kurawa itu segera berangkat melaksanakan tugas. Mereka menemukan Raden Antareja beserta Raden Gatutkaca dan segera mengeroyok kedua pemuda itu. Namun, keduanya bukanlah pemuda sembarangan. Mereka pun melayani serangan para Kurawa dengan mudah. Para Kurawa dibuat babak belur dan berguling-guling di tanah. Namun, Raden Gatutkaca akhirnya menyadari apa yang menjadi tujuan para Kurawa menghadang mereka. Ia pun mengajak Raden Antareja untuk segera pergi, tidak perlu melayani serangan para Kurawa itu.

DANGHYANG DRUNA MEMINJAM PAYUNG TUNGGULNAGA

Di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa memimpin pertemuan yang dihadiri adik-adiknya, yaitu Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa. Tidak lama kemudian datanglah Danghyang Druna di istana Indraprasta. Prabu Puntadewa dan yang lain segera memberikan penghormatan kepada guru mereka itu.

Danghyang Druna lalu menyampaikan maksud kedatangannya adalah untuk meminjam Payung Tunggulnaga sebagai syarat pernikahan Raden Lesmana Mandrakumara. Prabu Puntadewa dengan senang hati langsung meminjamkan payung pusaka tersebut. Danghyang Druna menerima payung itu dan segera pamit pulang ke Kerajaan Hastina.

Tiba-tiba datanglah Raden Antareja dan Raden Gatutkaca. Kedua pemuda itu melaporkan hasil kunjungan mereka ke Kerajaan Parangkencana kepada Raden Arjuna, serta apa saja persyaratan yang diajukan Prabu Suryaasmara, yang salah satunya adalah Payung Tunggulnaga. Prabu Puntadewa meminta maaf karena Payung Tunggulnaga sudah terlanjur dibawa Danghyang Druna.

Raden Arjuna terdiam sejenak, kemudian berkata dirinya tidak akan merebut Payung Tunggulnaga dari tangan sang guru. Ia merasa kesal pada Prabu Suryaasmara yang telah mengingkari janji dan sekarang justru mempersulit putranya dengan mengajukan persyaratan aneh-aneh. Oleh sebab itu, Raden Antareja dan Raden Gatutkaca diperintahkan untuk memberi tahu Raden Sumitra bahwa pernikahan dengan Dewi Asmarawati tidak usah dilanjutkan.

Raden Antareja dan Raden Gatutkaca saling pandang lalu mohon pamit keluar istana untuk mencari Raden Sumitra.

KYAI SEMAR MEMBAGI TUGAS UNTUK MEMENANGKAN RADEN SUMITRA

Raden Antareja dan Raden Gatutkaca berhasil menemukan Raden Sumitra yang baru saja pulang dari Padepokan Saptaarga, meminta restu kepada sang kakek buyut, yaitu Bagawan Abyasa. Para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong ikut menyertai kepergiannya. Raden Antareja segera menceritakan hasil kunjungannya bersama Raden Gatutkaca ke Kerajaan Parangkencana, juga apa saja persyaratan yang diajukan Prabu Suryaasmara. Akan tetapi, Payung Tunggulnaga sudah lebih dulu dibawa Danghyang Druna, sedangkan Raden Arjuna tidak bersedia merebutnya. Bahkan, Raden Arjuna telah memerintahkan agar pernikahan Raden Sumitra dengan Dewi Asmarawati dibatalkan saja.

Raden Sumitra merasa putus asa. Kyai Semar berkata dirinya bersedia membantu asalkan Raden Sumitra benar-benar mencintai Dewi Asmarawati. Raden Sumitra berkata dirinya benar-benar ingin menikah dengan putri Prabu Suryaasmara tersebut. Sejak kecil ia sudah mendengar cerita bahwa dirinya sudah mempunyai calon istri apabila Prabu Suryaasmara memiliki anak perempuan. Ketika beranjak dewasa, Raden Sumitra merasa penasaran dan diam-diam menyusup ke dalam Kerajaan Parangkencana. Ia akhirnya bertemu dengan Dewi Asmarawati dan sama-sama saling jatuh cinta.

Mendengar itu, Kyai Semar merasa mantap dan segera membagi tugas. Ia bersama Raden Sumitra akan naik ke kahyangan untuk mendapatkan Balai Sasanamulya dan seratus bidadari. Adapun Raden Antareja ditugasi mendapatkan Kuda Ciptawalaha, sedangkan Raden Gatutkaca dan para panakawan Nala Gareng, Petruk, dan Bagong ditugasi merebut Payung Tunggulnaga dari tangan Danghyang Druna.

Setelah rencana disusun matang, ketiga kelompok itu lalu berpisah melaksanakan tugas masing-masing.

RADEN ANTAREJA MENDAPATKAN KUDA CIPTAWALAHA

Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa menerima kedatangan Adipati Karna. Setelah memberi hormat dan bertanya kabar, Adipati Karna pun menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu ingin meminjam Kuda Ciptawalaha sebagai persyaratan Raden Lesmana Mandrakumara menikahi Dewi Asmarawati, putri Prabu Suryaasmara di Kerajaan Parangkencana.

Prabu Kresna teringat bahwa Prabu Suryaasmara dulu pernah bercita-cita ingin memiliki anak perempuan agar bisa berbesan dengan Raden Arjuna yang telah berjasa mengorbankan tetesan darahnya demi keselamatan negeri Parangkencana. Jika yang menikahi Dewi Asmarawati adalah Raden Lesmana, maka artinya Prabu Suryaasmara akan melanggar ucapannya sendiri.

Prabu Kresna pun mendapat firasat bahwa sebentar lagi utusan pihak Raden Arjuna akan datang pula. Maka, ia tidak segera menjawab permohonan Adipati Karna, melainkan berusaha mengalihkan pembicaraan dengan bertanya kabar Kerajaan Hastina, Kadipaten Awangga, dan juga kabar para Kurawa satu persatu. Adipati Karna merasa kesal, namun sejak dulu ia segan kepada Prabu Kresna sehingga tidak berani memaksa. Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba. Raden Antareja datang dengan tujuan yang sama, yaitu meminjam Kuda Ciptawalaha untuk kendaraan Raden Sumitra menikahi Dewi Asmarawati.

Adipati Karna tidak terima karena dirinya lebih dulu datang, maka ia yang lebih berhak atas kuda tersebut. Prabu Kresna berkata dirinya belum memberikan jawaban, sehingga belum jelas siapa yang berhak meminjam kudanya itu. Ia pun menjelaskan bahwa Kuda Ciptawalaha adalah salah satu di antara empat kuda pusaka penarik Kereta Jaladara. Kuda Ciptawalaha ini larinya sangat kencang melebihi kuda-kuda lainnya. Untuk itu, Adipati Karna dan Raden Antareja silakan berlomba. Barangsiapa mampu menangkap Ciptawalaha, maka dia yang berhak meminjam kuda tersebut.

Adipati Karna menjawab tidak masalah. Ia adalah putra Adipati Adirata yang merupakan raja dari para kusir kereta. Sejak kecil Adipati Karna dididik cara menjinakkan kuda dan cara mengendalikan kereta, sehingga mengejar dan menangkap Kuda Ciptawalaha bukanlah hal sulit baginya. Usai berkata demikian, ia pun keluar istana untuk bersiaga. Raden Antareja juga ikut keluar, disertai Prabu Kresna.

Prabu Kresna lalu memanggil Kuda Ciptawalaha. Kuda berbulu hitam legam itu datang menemui majikannya. Prabu Kresna segera memerintahkan kuda itu untuk berlari sekencang-kencangnya dan baru boleh berhenti apabila salah satu dari Adipati Karna atau Raden Antareja bisa menangkapnya. Kuda Ciptawalaha seolah mengerti bahasa manusia. Ia pun segera berlari meninggalkan Prabu Kresna.

Melihat Kuda Ciptawalaha sudah berlari, Adipati Karna dan Raden Antareja segera mengejar. Meskipun usianya lebih tua, tetapi tubuh Adipati Karna lebih kecil dan lebih lincah daripada Raden Antareja. Dengan mengerahkan segenap ilmu kesaktianya, ia mampu berlari sangat cepat dan hampir menyentuh ekor Kuda Ciptawalaha. Namun, Kuda Ciptawalaha dapat meningkatkan laju kecepatannya. Adipati Karna tidak kurang akal. Ia pun melepaskan ratusan panah yang mengurung Kuda Ciptawalaha seperti kerangkeng.

Akan tetapi, sungguh di luar dugaan tiba-tiba Kuda Ciptawalaha amblas masuk ke dalam bumi. Empat ekor kuda pusaka milik Prabu Kresna memang memiliki kemampuan sendiri-sendiri. Kuda Ciptawalaha mampu amblas ke dalam bumi, Kuda Abrapuspa mampu masuk ke dalam kobaran api, Kuda Sunyasakti mampu menyelam ke dalam air, dan Kuda Sukanta mampu terbang di angkasa. Perhitungan Kyai Semar sungguh tepat, yaitu mengutus Raden Antareja yang memiliki kesaktian sama dengan Kuda Ciptawalaha.

Melihat Kuda Ciptawalaha lolos dari kurungan panah, Raden Antareja merasa gembira dan segera ikut amblas ke dalam bumi pula. Kuda Ciptawalaha tidak menyangka bahwa salah satu pengejarnya ini memiliki kemampuan yang sama seperti dirinya. Raden Antareja pun mengerahkan segenap kecepatannya hingga akhirnya mampu memeluk leher Kuda Ciptawalaha dan membawanya kembali ke atas permukaan tanah.

Adipati Karna marah melihat Raden Antareja sudah duduk di atas punggung Kuda Ciptawalaha. Ia pun melepaskan panah untuk memisahkan mereka. Namun, Raden Antareja kembali mengajak Kuda Ciptawalaha untuk amblas bumi menghindari serangan Adipati Karna. Keduanya melaju kencang di dalam tanah menuju arah Kerajaan Amarta.

Adipati Karna kini kehilangan jejak. Namun, ia kemudian teringat bahwa dirinya juga memiliki kuda berwarna hitam legam bernama Ciptalanagati. Meskipun tidak dapat amblas ke dalam bumi, namun wujud Kuda Ciptalanagati sangat mirip dengan Kuda Ciptawalaha. Prabu Suryaasmara tentu tidak akan dapat membedakan mereka. Berpikir demikian, Adipati Karna pun bergegas pulang ke Kadipaten Awangga.

RADEN GATUTKACA MEREBUT PAYUNG TUNGGULNAGA

Sementara itu, Danghyang Druna sedang dalam perjalanan pulang ke Kerajaan Hastina dengan membawa Payung Tunggulnaga. Di tengah jalan ia bertemu tiga orang pengamen. Dua di antaranya menabuh musik, sedangkan yang satu lagi seorang penyanyi wanita. Danghyang Druna tertarik dan meminta dinyanyikan lagu. Penyanyi itu pun melayani permintaan Danghyang Druna. Apa pun lagu yang diminta pasti dinyanyikannya.

Danghyang Druna terlena dan berusaha merayu si penyanyi wanita agar ikut dengannya pergi ke Padepokan Sokalima. Penyanyi itu menolak dengan malu-malu. Danghyang Druna semakin terbuai dan lengah. Pada saat itulah Raden Gatutkaca muncul secara tiba-tiba dan menyambar Payung Tunggulnaga, untuk kemudian dibawanya terbang ke angkasa.

Danghyang Druna berteriak-teriak kecolongan. Ketiga pengamen di hadapannya pun membubarkan diri. Si penyanyi wanita berubah menjadi Petruk, sedangkan dua pemusik berubah menjadi Nala Gareng dan Bagong. Mereka segera berlari kencang meninggalkan Danghyang Druna yang menangis meraung-raung seperti anak kecil kehilangan makanan.

KYAI SEMAR DAN RADEN SUMITRA MENGHADAP SANGHYANG PADAWENANG

Sementara itu, Kyai Semar mengajak Raden Sumitra naik ke Kahyangan Awang-Awang Kumitir menghadap Sanghyang Padawenang. Kyai Semar menyampaikan maksudnya ingin meminjam pusaka orang tuanya itu yang bernama Cupumanik Tirta Bulayat. Keampuhan cupu tersebut adalah dapat menciptakan apa yang dikehendaki si pemegang. Dengan menggunakannya, Kyai Semar berniat untuk menciptakan Balai Sasanamulya dan seratus bidadari pengiring.

Sanghyang Padawenang memahami apa tujuan Kyai Semar yaitu ingin membantu pernikahan Raden Sumitra dengan Dewi Asmarawati. Dalam hal ini Sanghyang Padawenang mengizinkan Cupumanik Tirta Bulayat untuk dipinjam Kyai Semar, karena memang Raden Sumitra ditakdirkan berjodoh dengan Dewi Asmarawati. Namun, setelah pernikahan selesai, Kyai Semar harus segera mengembalikan benda pusaka tersebut kepada Sanghyang Padawenang.

Kyai Semar menyanggupi. Ia berjanji setelah pernikahan selesai, maka Cupumanik Tirta Bulayat akan ia kembalikan dengan segera. Sanghyang Padawenang percaya pada ucapan Kyai Semar. Ia lantas mengeluarkan cupu pusaka tersebut dan menyerahkannya kepada Kyai Semar.

Kyai Semar menerima Cupumanik Tirta Bulayat kemudian mohon pamit meninggalkan kahyangan bersama Raden Sumitra.

PERKAWINAN RADEN SUMITRA DENGAN DEWI ASMARAWATI

Demikianlah, segala persiapan kini telah terkumpul. Kyai Semar beserta para panakawan lainnya, serta Raden Antareja dan Raden Gatutkaca mengiring keberangkatan Raden Sumitra menuju Kerajaan Parangkencana. Sesampainya di sana, mereka disambut Prabu Suryaasmara sekeluarga. Tampak Raden Sumitra duduk di atas kuda hitam legam bernama Ciptawalaha, dengan Payung Tunggulnaga dipegang oleh Raden Gatutkaca di belakangnya.

Prabu Suryaasmara gembira apabila Raden Sumitra yang berhasil memenangkan sayembara, karena itu berarti keinginannya bisa berbesan dengan Raden Arjuna dapat terwujud. Ia lalu menanyakan tentang persyaratan lain, yaitu Balai Sasanamulya dan bidadari pengiring. Kyai Semar lalu membuka Cupumanik Tirta Bulayat. Sambil membaca mantra ia memercikkan air ajaib dalam cupu tersebut ke arah halaman istana Parangkencana. Seketika muncullah sebuah balai indah dan megah bagaikan turun dari kahyangan.

Ketika Kyai Semar hendak menciptakan seratus bidadari dengan cara yang sama, tiba-tiba terdengar suara mencegah dirinya. Itu adalah suara Raden Arjuna yang datang bersama para Pandawa lainnya, serta seratus bidadari kahyangan di belakang mereka.

Raden Sumitra terharu melihat ayahnya datang. Raden Arjuna berkata bahwa ia hanya pura-pura tidak mau ikut campur pernikahan putranya itu karena ingin melihat seperti apa usaha Raden Sumitra. Diam-diam, Raden Arjuna naik ke Kahyangan Suralaya menghadap Batara Indra untuk diizinkan meminjam seratus bidadari sebagai pengiring perkawinan putranya tersebut.

Raden Sumitra menangis haru dan menyembah kaki ayahnya. Raden Arjuna membangunkannya dan memberikan restu semoga rumah tangga Raden Sumitra dan Dewi Asmarawati bisa berjalan dengan sebaik-baiknya.

Kini semuanya telah terpenuhi. Prabu Suryaasmara pun menikahkan putrinya dengan Raden Sumitra. Kedua mempelai lalu duduk di atas pelaminan yang sudah terpasang di Balai Sasanamulya. Para bidadari berbaris rapi menyambut para tamu sahabat Prabu Suryaasmara dan juga segenap rakyat Parangkencana. Suasana sungguh indah dan meriah.

PRABU DURYUDANA KEMBALI MENDAPAT MALU

Tidak lama kemudian, datanglah rombongan dari Kerajaan Hastina. Tampak Raden Lesmana Mandrakumara naik kuda hitam legam yang mirip sekali dengan Kuda Ciptawalaha. Di belakangnya juga terlihat Bambang Aswatama membawa payung emas berkilauan. Kemudian Prabu Duryudana bersama para Kurawa ada di belakang mereka, dengan diiringi para wanita cantik.

Prabu Duryudana berkata pada Prabu Suryaasmara bahwa semua persyaratan sudah ia penuhi, maka seharusnya Dewi Asmarawati dinikahkan dengan Raden Lesmana, bukannya dengan Raden Sumitra. Prabu Suryaasmara berkata Raden Sumitra sudah memenuhi semua persyaratan. Maka, Dewi Asmarawati pun dinikahkan dengannya.

Prabu Duryudana tidak percaya. Ia menuduh Raden Sumitra telah memalsukan Kuda Ciptawalaha. Prabu Suryaasmara menjawab justru kuda yang dinaiki Raden Lesmana adalah yang palsu. Untuk membuktikannya, lebih baik kedua kuda itu diadu, mana yang bisa amblas ke dalam bumi, maka itulah Kuda Ciptawalaha yang sebenarnya.

Raden Sumitra lalu turun dari pelaminan dan naik di atas Kuda Ciptawalaha. Ia memerintahkan kuda tersebut agar masuk ke dalam tanah. Dengan mudah, kuda hitam itu pun amblas ke dalam bumi sambil membawa Raden Sumitra di punggungnya. Tidak lama kemudian mereka sudah muncul kembali di atas tanah, yang mana Raden Sumitra tampak baik-baik saja. Prabu Duryudana terkejut melihatnya. Ia sudah tahu kalau kuda yang dikendarai Raden Lesmana adalah Kuda Ciptalanagati. Namun, ia tidak menyangka kalau Prabu Suryaasmara ternyata bisa membedakan, mana yang palsu, mana yang asli.

Prabu Suryaasmara lalu menyebut bahwa payung emas yang dipegang Bambang Aswatama memang indah berkilauan jika dibandingkan dengan payung yang dipegang Raden Gatutkaca. Meskipun payung yang dipegang Raden Gatutkaca sudah tua dan kuno, tetapi tampak indah berwibawa, membuat gentar siapa pun yang melihatnya. Prabu Suryaasmara pun mengatakan dengan tegas bahwa Payung Tunggulnaga yang dipegang Bambang Aswatama adalah palsu. Prabu Duryudana kembali merasa malu tipuannya terbongkar.

Kemudian Prabu Suryaasmara menyebut para bidadari yang dibawa Prabu Duryudana memang cantik-cantik, tetapi mereka tidak bersinar seperti para bidadari yang dibawa Raden Arjuna. Maka, Prabu Suryaasmara pun menyimpulkan bahwa para bidadari dari Kerajaan Hastina itu adalah perempuan biasa yang ia dandani biar lebih cantik.

Prabu Duryudana merasa semakin malu. Ia mengajak Raden Lesmana yang merengek-rengek untuk segera pulang saja ke negeri Hastina. Patih Sangkuni ingin menyenangkan hati rajanya. Para Kurawa pun diperintahkan untuk membuat kekacauan dan merebut paksa Dewi Asmarawati. Namun, mereka semua dapat dipukul mundur oleh Arya Wrekodara dan kedua anaknya.

Demikianlah, rombongan dari Hastina itu pun berhamburan terbirit-birit meninggalkan Kerajaan Parangkencana. Prabu Suryaasmara merasa senang dan melanjutkan pesta pernikahan. Prabu Puntadewa memberikan selamat kepadanya karena telah berhasil mewujudkan cita-cita ingin berbesan dengan Raden Arjuna.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

 


Untuk kisah kelahiran Raden Sumitra dan awal pertemuan Raden Arjuna dengan Prabu Suryaasmara dapat dibaca di sini









1 komentar: