Kisah ini menceritakan tentang kelima putra Batara Guru yang menjadi raja di Pulau Jawa dan bertakhta di lima pegunungan. Kisah dilanjutkan dengan serangan Prabu Hiranyakasipu raja Lengkapura, leluhur Prabu Rahwana yang akhirnya tewas di tangan Batara Wisnu dalam wujud Narasinga. Juga dikisahkan perkawinan anak-anak Prabu Hiranyakasipu dengan anak-anak Batara Brahma.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 22 Juli 2014
Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------
LIMA DEWA BERANGKAT KE TANAH JAWA
Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dihadap Batara Narada dan para dewa lainnya. Yang dibicarakan adalah rencana untuk melanjutkan penyebaran Agama Dewa dan pembangunan di Pulau Jawa, yaitu dengan mengirim kelima putra yang lahir dari Batari Umayi untuk menjadi raja di sana. Mereka adalah Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu.
Kelima dewa pun meminta restu kepada Batara Guru dan Batara Narada, kemudian mereka mohon pamit berangkat menuju ke Pulau Jawa.
LIMA DEWA MEMBANGUN KERAJAAN DI PUNCAK GUNUNG
Sesampainya di Pulau Jawa, kelima dewa putra Batara Guru pun mencari tempat yang cocok untuk mendirikan kerajaan masing-masing. Mereka menelusuri Pulau Jawa yang membentang panjang dari Tanah Aceh sampai Tanah Bali, dan masing-masing akhirnya memilih pegunungan sebagai ibu kota kerajaan mereka.
Batara Sambu turun di Gunung Rajabasa, di daerah Sumatra sebelah selatan, lalu mendirikan Kerajaan Medang Prawa di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Maldewa.
Batara Brahma turun di Gunung Mahera, di daerah Banten, lalu mendirikan Kerajaan Medang Gili di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Sunda.
Batara Wisnu turun di Gunung Gora, di daerah Tegal, lalu mendirikan Kerajaan Medang Pura di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Suman.
Batara Indra turun di Gunung Mahameru, di daerah Jawa sebelah timur, lalu mendirikan Kerajaan Medang Gana di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Sakra.
Batara Bayu turun di Gunung Karang, di daerah Bali, lalu mendirikan Kerajaan Medang Gora di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Bima.
Kelima maharaja tersebut memerintah di wilayah masing-masing dengan derajat yang setara, tidak ada yang lebih unggul dan tidak ada yang lebih rendah di antara mereka.
TUJUH DEWA MENJADI RESI
Setahun kemudian, datanglah tiga orang resi penjelmaan dewa ke Pulau Jawa untuk membantu penyebaran agama. Mereka adalah Resi Atrakelasa, Resi Drasta, dan Resi Kusamba. Adapun Resi Atrakelasa adalah penjelmaan Batara Wanda, putra Batara Brahmastya, putra Sanghyang Pancaresi; sedangkan Resi Drasta adalah penjelmaan Batara Langsur, putra Sanghyang Citragotra, putra Sanghyang Pancaresi; dan Resi Kusamba adalah penjelmaan Batara Singajalma, juga putra Sanghyang Citragotra.
Dua tahun kemudian datang lagi empat orang resi ke Pulau Jawa. Mereka adalah Resi Prawa, Resi Boma, Resi Bana, dan Resi Kosara. Adapun Resi Prawa adalah penjelmaan Batara Kulika, putra Batara Sanggana, atau cucu Sanghyang Hening. Kemudian Resi Boma adalah penjelmaan Batara Suksena, dan Resi Bana adalah penjelmaan Batara Suksrana, keduanya adalah kakak beradik putra Batara Nihoya, adik dari Batara Sanggana. Terakhir adalah Resi Kosara merupakan penjelmaan Batara Gangga, putra Batara Hermaya, adik dari Batara Nihoya.
PARA RESI MENJADI PATIH DI LIMA KERAJAAN
Tahun demi tahun berlalu, ketujuh resi itu memiliki pengikut yang semakin banyak. Mereka kemudian berpencar untuk mengunjungi kelima kerajaan yang dipimpin oleh lima dewa dengan membawa pengikut masing-masing.
Resi Atrakelasa mengunjungi Kerajaan Medang Prawa. Ia disambut dengan baik oleh Sri Maharaja Maldewa dan diangkat sebagai patih di sana.
Resi Drasta dan Resi Kusamba mengunjungi Kerajaan Medang Gili. Mereka disambut dengan baik oleh Sri Maharaja Sunda, dan keduanya diangkat sebagai patih di sana.
Resi Prawa mengunjungi Kerajaan Medang Gana. Ia disambut baik oleh Sri Maharaja Sakra dan diangkat sebagai patih di sana, dengan nama baru Patih Resi Kapila.
Resi Boma dan Resi Bana mengunjungi Kerajaan Medang Gora. Mereka disambut baik oleh Sri Maharaja Bima dan diangkat sebagai patih di sana.
Yang terakhir adalah Resi Kosara mengunjungi Kerajaan Medang Pura. Ia disambut baik oleh Sri Maharaja Suman dan diangkat sebagai patih di sana.
PRABU HIRANYAKASIPU MENDAPAT ANUGERAH DARI BATARA GURU
Tersebutlah seorang raja raksasa bernama Prabu Hiranyakasipu dari Kerajaan Lengkapura. Kerajaan Lengkapura ini terletak di Pulau Srilangka, yaitu bekas Kahyangan Selongkandi yang dulu ditempati Sanghyang Darmajaka, kakak Sanghyang Wenang. Pada suatu hari Sanghyang Darmajaka memutuskan untuk membangun tempat tinggal baru bernama Kahyangan Imamaya, sehingga Kahyangan Selongkandi menjadi kosong tak berpenghuni. Akhirnya, bekas kahyangan itu diambil alih oleh bangsa raksasa yang dipimpin Ditya Hiranyakasipu, dan dibangun menjadi kerajaan bernama Lengkapura. Itulah sebabnya, Kerajaan Lengkapura memiliki keindahan luar biasa bagaikan kahyangan para dewa.
Prabu Hiranyakasipu ini merupakan pemuja Batara Guru yang setia dan pernah menjalankan tapa brata sangat berat selama belasan tahun. Batara Guru berkenan menerima tapa brata tersebut dan bersedia mengabulkan apa saja permintaan Prabu Hiranyakasipu, kecuali jika ia meminta kehidupan abadi. Ternyata yang diminta Prabu Hiranyakasipu adalah ilmu kesaktian, yaitu tidak bisa dikalahkan oleh dewa, manusia, raksasa, binatang, jin, juga tubuhnya tidak bisa terkena penyakit dan tidak bisa terluka oleh senjata jenis apa pun. Batara Guru mengabulkan permintaan tersebut. Setelah mendapatkan kesaktian yang diinginkannya, Prabu Hiranyakasipu sangat berterima kasih dan mohon pamit kembali ke Kerajaan Lengkapura.
Namun, setelah mendapatkan kesaktian justru sifat Prabu Hiranyakasipu berubah menjadi angkara murka. Ia banyak menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di sekitar Tanah Hindustan, dengan dibantu adiknya yang bernama Prabu Hiranyawreka raja Kerajaan Kasipura. Sampai akhirnya mereka mendengar di seberang timur terdapat sebuah pulau yang sangat indah dan subur bernama Pulau Jawa yang dipimpin oleh lima raja bersaudara. Maka, berangkatlah kedua raja raksasa itu menuju ke sana untuk menjadikan pulau tersebut sebagai daerah jajahan.
PRABU HIRANYAKASIPU MENYERANG PULAU JAWA
Prabu Hiranyakasipu dan Prabu Hiranyawreka mendarat di Pulau Jawa. Yang menjadi sasaran pertama adalah Kerajaan Medang Prawa yang terletak paling barat. Perang besar pun terjadi. Sri Maharaja Maldewa terdesak kalah dan melarikan diri ke tenggara untuk berlindung di Kerajaan Medang Gili.
Sri Maharaja Sunda di Kerajaan Medang Gili menerima kedatangan Sri Maharaja Maldewa, dan ia merasa sangat khawatir mendengar apa yang telah dialami kakaknya itu. Ia lalu mengundang ketiga saudara yang lain supaya datang dengan membawa bala tentara masing-masing. Ia sangat yakin negerinya akan menjadi sasaran Prabu Hiranyakasipu yang berikutnya. Maka, ia pun berniat menggabungkan kekuatan lima kerajaan dengan berkumpul di Medang Gili.
Ketiga maharaja telah datang di Kerajaan Medang Gili dengan membawa pasukan lengkap, serta menunggang kendaraan masing-masing. Sri Maharaja Sakra datang dengan mengendarai Gajah Erawata, Sri Maharaja Bima mengendarai Gajah Sena, sedangkan Sri Maharaja Suman mengendarai Garuda Brihawan.
PRABU HIRANYAKASIPU TEWAS MELAWAN BATARA NARASINGA
Sesuai dugaan, Prabu Hiranyakasipu dan Prabu Hiranyawreka pun datang menyerbu Kerajaan Medang Gili. Pertempuran kembali berlangsung di mana pasukan raksasa Kerajaan Lengkapura dan Kasipura menghadapi gabungan pasukan jawata dari lima kerajaan. Kendaraan Sri Maharaja Suman yang bernama Garuda Brihawan ikut maju menerjang dan berhasil menewaskan Prabu Hiranyawreka.
Prabu Hiranyakasipu sangat marah melihat adiknya tewas. Ia pun mengamuk memukul mundur pasukan jawata. Tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkannya, juga tidak ada satu senjata pun yang dapat melukai kulitnya.
Dalam keadaan gawat tersebut, Batara Narada datang dari Kahyangan Jonggringsalaka menemui lima maharaja untuk menceritakan riwayat Prabu Hiranyakasipu. Begitu mengetahui kesaktian macam apa yang dimiliki Prabu Hiranyakasipu, Sri Maharaja Suman pun mendapat akal untuk mengalahkan raja raksasa tersebut. Ia lalu mengubah wujudnya menjadi manusia berkepala singa dengan memakai nama Batara Narasinga.
Maka terjadilah perang tanding seru antara Prabu Hiranyakasipu melawan Batara Narasinga. Setelah bertarung cukup lama, Prabu Hiranyakasipu akhirnya terluka parah dengan perut robek terkena kuku-kuku tajam di kedua tangan Batara Narasinga.
Prabu Hiranyakasipu yang sekarat merasa heran mengapa anugerah Batara Guru tidak bisa melindungi dirinya dari serangan lawan yang satu ini. Batara Narasinga menjelaskan bahwa dirinya adalah manusia berkepala hewan, sehingga tidak bisa disebut manusia, juga tidak bisa disebut binatang. Ia juga tidak menggunakan senjata untuk mengalahkan Prabu Hiranyakasipu, tetapi menggunakan cakar untuk merobek perutnya. Prabu Hiranyakasipu akhirnya meninggal karena luka-lukanya. Namun, ia sempat bersumpah bahwa kelak ia akan menitis bersatu jiwa raga dengan seorang keturunannya yang bernama Prabu Rahwana untuk menyebarkan kejahatan dan angkara murka.
RADEN BANJARANJALI MENYERAHKAN DIRI
Prabu Hiranyakasipu memiliki putra berwujud raksasa muda bernama Ditya Banjaranjali. Berbeda dengan sang ayah yang kejam dan angkara murka, Ditya Banjaranjali bersifat lembut dan berbudi luhur. Dengan sikap tulus ia menyerahkan diri kepada lima maharaja dan siap menerima hukuman. Sri Maharaja Sunda selaku tuan rumah menyerahkan keputusan kepada Batara Narasinga, karena dialah yang berhasil mengalahkan Prabu Hiranyakasipu.
Batara Narasinga kembali ke wujud Sri Maharaja Suman, kemudian mengamati putra Prabu Hiranyakasipu tersebut. Ia dapat melihat bahwa Ditya Banjaranjali benar-benar tulus dan tidak menyembunyikan maksud jahat. Maka, ia pun membebaskan raksasa muda itu dari segala hukuman dan mengizinkannya pulang ke Kerajaan Lengkapura untuk menjadi raja di sana.
ANAK-ANAK SRI MAHARAJA SUNDA DATANG KE PULAU JAWA
Berita bahwa Kerajaan Medang Gili mengalami kerusakan parah setelah perang besar melawan Prabu Hiranyakasipu terdengar sampai ke Tanah Hindustan. Para putra Batara Brahma pun berangkat menuju ke Pulau Jawa untuk membantu sang ayah membangun kembali Kerajaan Medang Gili.
Karena Batara Brahma telah menjelma menjadi manusia bergelar Sri Maharaja Sunda, maka putra-putranya pun ikut menjelma sebagai manusia dengan bergelar Raden untuk yang laki-laki, dan Dewi untuk yang perempuan. Inilah awal mula adanya pangeran bergelar Raden. Sementara itu, gelar Dewi sudah lazim dipakai sejak zaman sebelumnya.
Para putra Sri Maharaja Sunda tersebut adalah Raden Maricibrahma dan Raden Naradabrahma yang lahir dari Batari Sacika; kemudian Raden Brahmanasa, Raden Brahmanadewa, Raden Brahmanakanda, dan Raden Brahmanaresi yang lahir dari Batari Saraswati; dan selanjutnya adalah Raden Brahmaniskala, Raden Brahmanityasa, Raden Brahmaniyara, Raden Brahmaniyari, Raden Brahmaniyodi, Raden Brahmaniyasa, Raden Brahmaniyasa, Dewi Brahmaniwati, Dewi Brahmanisri, Dewi Brahmaniyati, Dewi Brahmaniyuta, Dewi Dresanala, dan Dewi Dresawati yang kesemuanya lahir dari Batari Rarasati.
PRABU BANJARANJALI MEMPERSEMBAHKAN KEDUA ADIKNYA
Pada suatu hari Prabu Banjaranjali yang telah menjadi raja Kerajaan Lengkapura datang kembali ke Pulau Jawa dengan sikap persahabatan. Kali ini ia datang untuk mempersembahkan kedua adiknya yang cantik kepada Sri Maharaja Sunda sebagai permintaan maaf karena dulu ayahnya telah banyak berbuat kerusakan di Kerajaan Medang Gili. Kedua putri itu bernama Dewi Kasipi dan Dewi Kistapi.
Sri Maharaja Sunda heran mengapa Prabu Banjaranjali memiliki dua orang adik berwujud manusia cantik, sedangkan dia berwujud raksasa. Prabu Banjaranjali menjelaskan bahwa ibu mereka bukan berasal dari bangsa raksasa, melainkan seorang manusia bernama Dewi Nariti, putri Prabu Nasa dari Kerajaan Banapura. Jika Prabu Banjaranjali berwujud raksasa seperti sang ayah, maka kedua adiknya berparas cantik seperti sang ibu.
Sri Maharaja Sunda sangat berkenan menerima kedua putri itu dan berniat menjadikan mereka sebagai menantu. Akan tetapi, terjadilah perselisihan di antara para putranya yang memperebutkan kedua putri tersebut. Mereka yang berebut adalah Raden Maricibrahma, Raden Naradabrahma, Raden Brahmanasa, Raden Brahmanadewa, Raden Brahmanaresi, Raden Brahamaniskala, dan Raden Brahmanityasa. Sri Maharaja Sunda bingung menentukan pilihan dan khawatir akan terjadi perkelahian di antara para putranya itu.
Pada saat itulah Sri Maharaja Suman datang di Kerajaan Medang Gili dengan mengendarai Garuda Brihawan. Ia mengusulkan supaya diadakan sayembara saja di antara para putra yang berselisih tersebut. Sri Maharaja Sunda setuju dan segera bersamadi memohon petunjuk Tuhan Yang Mahakuasa. Tiba-tiba dari langit turun sebuah kitab gaib yang jatuh ke tangan Sri Maharaja Sunda.
Sri Maharaja Sunda pun mengumumkan barangsiapa bisa membaca dan menafsirkan isi kitab gaib tersebut, berhak menikahi Dewi Kasipi dan Dewi Kistapi. Ternyata yang mampu membacanya hanyalah Raden Brahmanityasa namun ia tidak mampu menafsirkannya. Isi kitab tersebut berbunyi “Diya heng diyan darya.”
Raden Brahmaniyasa yang tidak ikut memperebutkan kedua putri mengajukan diri untuk mencoba menerjemahkan kalimat gaib tersebut. Menurut penafsirannya, kalimat itu mengandung makna: “kedua putri dimiliki oleh kelapangan hati.”
Sri Maharaja Sunda sangat berkenan terhadap penafsiran itu. Ia lantas mengumumkan bahwa Dewi Kasipi akan dinikahkan dengan Raden Brahmanityasa, sedangkan Dewi Kistapi dengan Raden Brahmaniyasa. Keputusan ini membuat para putra yang lain merasa kesal bercampur malu. Raden Maricibrahma, Raden Naradabrahma, Raden Brahmanasa, Raden Brahmanadewa, Raden Brahmanaresi, dan Raden Brahamaniskala memilih pergi meninggalkan Pulau Jawa dan kembali ke Tanah Hindustan.
PRABU BANJARANJALI DAN GARUDA BRIHAWAN MENJADI MENANTU MEDANG GILI
Sri Maharaja Suman kemudian menjelaskan maksud kedatangannya di Kerajaan Medang Gili adalah untuk menagih hadiah atas bantuannya membunuh Prabu Hiranyakasipu dan Prabu Hiranyawreka. Adapun hadiah yang diminta Sri Maharaja Suman adalah supaya Sri Maharaja Sunda menikahkan seorang putrinya dengan Garuda Brihawan.
Sri Maharaja Sunda agak bimbang jika putrinya harus menikah dengan seekor burung. Hal ini sudah dipertimbangkan oleh Sri Maharaja Suman. Maka sebelum berangkat ke Medang Gili tadi, Sri Maharaja Suman sempat mengajarkan ilmu kesaktian kepada Garuda Brihawan supaya bisa mengubah wujud menjadi manusia.
Setelah melihat Garuda Brihawan berubah wujud menjadi laki-laki tampan, Sri Maharaja Sunda sangat berkenan dan setuju menyerahkan Dewi Brahmanisri kepadanya. Selain itu, Sri Maharaja Sunda juga senang melihat ketulusan Prabu Banjaranjali menyerahkan kedua adiknya. Sebagai tali asih, Sri Maharaja Sunda pun menyerahkan Dewi Brahmaniwati sebagai istri Prabu Banjaranjali.
Maka, diadakanlah pernikahan antara empat pasang pengantin di Kerajaan Medang Gili tersebut. Mereka adalah Prabu Banjaranjali dengan Dewi Brahmaniwati; Garuda Brihawan dengan Dewi Brahmanisri; Raden Brahmanityasa dengan Dewi Kasipi; serta Raden Brahmaniyasa dengan Dewi Kistapi.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
Nuwun sewu mau tanya prabu hiranyakasipu itu keturunan dari tokoh siapa?
BalasHapusSumangga disimak wonten mriki:
Hapushttps://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2016/12/28/hiranyaksha-dan-hiranyakashipu-kelahiran-sifat-raksasa-akibat-nafsu-srimadbhagavatam/