Kisah ini menceritakan tentang Sri Maharaja Kanwa yang mendapat tugas dari Batara Guru untuk mengukuhkan tatanan kehidupan beragama di Tanah Jawa, yang dilanjutkan dengan peristiwa hilangnya Dewi Sriganarti, kematian Raden Sengkan, dan terpisahnya Pulau Jawa dengan Pulau Sumatra akibat banjir besar.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (balungan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
SRI MAHARAJA KANWA MENGUKUHKAN TATANAN ENAM AGAMA
Sri Maharaja Kanwa di Kerajaan Purwacarita dihadap Patih Jakapuring, Brahmana Srita, dan para menteri lainnya. Tiba-tiba datang Batara Narada yang menyampaikan perintah Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka supaya Sri Maharaja Kanwa menyebarkan dan mengukuhkan tatanan kehidupan enam agama di Pulau Jawa, yaitu Agama Sambu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu, dan Kala. Dengan berpegang teguh pada tatanan tersebut, maka para penduduk Pulau Jawa diharap akan lebih damai dan tidak mudah saling bertikai antara satu dengan lainnya.
Tatanan keenam agama tersebut meliputi:
- sebutan penghulu
- penanda diri
- ibadah pemujaan
- laku diri
- tapa brata
- hari raya
- larangan
- wewenang
- wasiat
- mengurus kematian
- kenduri selamatan
Setelah menjelaskan semua uraian dengan lengkap dan rinci, Batara Narada pun pamit kembali ke kahyangan. Sri Maharaja Kanwa kemudian berangkat menyebarkan tatanan keenam agama tersebut ke seluruh penjuru Pulau Jawa, dengan didampingi Patih Jakapuring dan Brahmana Srita.
SRI MAHARAJA KANWA KEHILANGAN PUTRI
Setelah tugas menyebarkan tatanan keenam agama selesai, Sri Maharaja Kanwa kembali ke istana Purwacarita dan ia sangat terkejut mengetahui putrinya yang bernama Dewi Sriganarti telah hilang entah ke mana. Patih Jakapuring lalu diperintahkan pergi ke Padepokan Andongdadapan untuk meminta petunjuk kepada sang kakak, yaitu Begawan Anda.
Begawan Anda didampingi Raden Sengkan dan Raden Turunan menyambut kedatangan Patih Jakapuring. Dengan kesaktian penerawangannya, Begawan Anda memberikan petunjuk bahwa Dewi Sriganarti hilang diculik raja raksasa Kerajaan Pidanapura bernama Prabu Karungkala. Mendengar itu, Raden Sengkan pun mengajukan diri untuk membantu membebaskan Dewi Sriganarti. Ia lalu mohon restu kepada sang ayah untuk kemudian berangkat menuju Kerajaan Pidanapura.
RADEN SENGKAN MEREBUT DAN MENIKAHI DEWI SRIGANARTI
Prabu Karungkala di Kerajaan Pidanapura telah menculik Dewi Sriganarti dan menempatkannya di dalam taman sari. Meskipun dibujuk dan dirayu sedemikian rupa, namun Dewi Sriganarti tetap menolak menjadi istri Prabu Karungkala. Pada suatu malam, Raden Sengkan berhasil menyusup ke dalam taman sari tersebut dan membawa lari Dewi Sriganarti untuk dikembalikan ke Kerajaan Purwacarita.
Sri Maharaja Kanwa sangat gembira menyambut kedatangan Raden Sengkan dan Dewi Sriganarti. Sebagai ungkapan terima kasih, Raden Sengkan pun dinikahkan dengan Dewi Sriganarti. Upacara pernikahan digelar beberapa hari kemudian, dengan dihadiri Begawan Radi, Begawan Anda, Begawan Radya, Raden Turunan, Putut Candramawa, dan Putut Wiyunghyang.
Akan tetapi, nasib Raden Sengkan sungguh malang. Pada malam pertama pernikahannya itu, Prabu Karungkala datang menyusup ke dalam istana Purwacarita dan menggigit leher Raden Sengkan yang sedang tidur bersama Dewi Sriganarti. Raden Sengkan pun tewas seketika, sedangkan Dewi Sriganarti kembali diculik dan dibawa lari meninggalkan Kerajaan Purwacarita.
Raden Turunan mendengar jeritan Dewi Sriganarti yang meminta tolong. Ia pun berlari mengejar dan berhasil menyusul Prabu Karungkala. Terjadilah pertarungan sengit yang berakhir dengan kekalahan Prabu Karungkala. Raden Turunan lalu membawa pulang Dewi Sriganarti, sedangkan Prabu Karungkala melarikan diri kembali ke istana Pidanapura.
Segenap penghuni istana Purwacarita sangat berduka atas kematian Raden Sengkan yang mengenaskan itu. Sebagai pengganti sekaligus membalas jasa, Raden Turunan lalu dinikahkan dengan Dewi Sriganarti pada hari berikutnya.
BEGAWAN ANDA DAN BEGAWAN RADYA MENINGGAL DUNIA
Beberapa hari setelah kematian Raden Sengkan dan pernikahan Raden Turunan, ayah mereka yaitu Begawan Anda jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Tidak hanya itu, Begawan Radya di Padepokan Gadingmawukir juga ikut sakit dan meninggal pula.
Sri Maharaja Kanwa dan Patih Jakapuring datang melayat kedua kakak mereka itu. Setelah upacara pemakaman berakhir, Sri Maharaja Kanwa lalu meminta sang guru, yaitu Begawan Radi untuk menjadi pemimpin segenap pandita di Kerajaan Purwacarita, serta menempati Padepokan Andongdadapan, bekas tempat tinggal Begawan Anda.
Sri Maharaja Kanwa menyimpulkan bahwa, penyebab meninggalnya Begawan Anda dan Begawan Radya ini adalah karena mereka terlalu bersedih atas kematian Raden Sengkan yang mengenaskan. Sri Maharaja Kanwa pun melimpahkan semua kesalahan kepada Prabu Karungkala. Maka, setelah kembali ke istana Purwacarita, ia segera mengumpulkan bala tentara dan bergerak menggempur Kerajaan Pidanapura.
SRI MAHARAJA KANWA MENYERANG KERAJAAN PIDANAPURA
Sri Maharaja Kanwa memimpin langsung pasukan Purwacarita menyerbu Kerajaan Pidanapura, dengan didampingi Patih Jakapuring dan Brahmana Srita. Sementara itu, Raden Turunan ditugasi menjaga kerajaan.
Sesampainya di wilayah Pidanapura, terjadilah pertempuran besar. Pasukan raksasa Pidanapura digempur habis-habisan dan istananya dihancurkan. Prabu Karungkala terdesak kewalahan dan menyerah memohon ampun. Namun, Sri Maharaja Kanwa tidak peduli dan tetap berniat menghukum mati raja raksasa itu.
Prabu Karungkala ketakutan dan melarikan diri menuju Kerajaan Samaskuta, tempat kakaknya berada. Sri Maharaja Kanwa semakin marah dan ia pun mengejar Prabu Karungkala tak peduli ke mana pun perginya.
SRI MAHARAJA KANWA DITINGGALKAN BATARA WISNU
Prabu Sangkala di Kerajaan Samaskuta (kerajaan ini terletak di Pulau Sumatra pada zaman sekarang) menerima kedatangan adiknya. Ia sangat marah mendengar penuturan Prabu karungkala yang sudah menyerah mohon ampun tetapi tetap diancam hendak dibunuh oleh Sri Maharaja Kanwa. Maka, Prabu Sangkala pun berjanji akan memberikan perlindungan kepada adiknya itu dari serangan Sri Maharaja Kanwa.
Tidak lama kemudian, datanglah Sri Maharaja Kanwa beserta pasukannya yang meminta supaya Prabu Karungkala diserahkan. Prabu Sangkala mengerahkan pasukannya untuk menghadapi serangan tersebut. Perang besar kembali terjadi. Lagi-lagi Pasukan Purwacarita memperoleh kemenangan. Kerajaan Samaskuta berhasil dihancurkan, sedangkan Prabu Sangkala dan Prabu Karungkala tewas terkena panah Sri Maharaja Kanwa.
Kemenangan yang diperoleh pihak Purwacarita ini telah membuat Sri Maharaja Kanwa lupa diri. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk melakukan pembantaian terhadap seluruh anggota keluarga Prabu Sangkala dan rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa. Keputusan ini membuat Batara Wisnu yang berada di dalam diri Sri Maharaja Kanwa merasa gerah dan tidak tahan lagi. Ia pun keluar meninggalkan tubuh Sri Maharaja Kanwa dan bergegas kembali ke Kahyangan Utarasegara.
Brahmana Srita yang berpandangan tajam mengetahui kalau Batara Wisnu telah memisahkan diri dari raga Sri Maharaja Kanwa. Ia merasa tidak ada gunanya lagi menjadi pengikut Kerajaan Purwacarita. Maka, Brahmana Srita pun kembali ke wujud Batara Penyarikan dan melesat pergi ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melapor kepada Batara Guru.
SRI MAHARAJA KANWA TEWAS DISAPU BANJIR
Setelah ditinggalkan oleh Batara Wisnu, amarah Sri Maharaja Kanwa semakin tidak terkendali. Ia memutuskan pulang ke Kerajaan Purwacarita dan membunuh setiap raksasa yang dijumpai dalam perjalanan.
Ketika melewati Gunung Batuwara, Sri Maharaja Kanwa berjumpa seorang pertapa raksasa bernama Begawan Prakempa. Setelah mengetahui kalau Begawan Prakempa ini adalah ayah dari Prabu Sangkala dan Prabu Karungkala, amarah Sri Maharaja Kanwa kembali meluap dan ingin membunuhnya. Patih Jakapuring berusaha mengingatkan Sri Maharaja Kanwa bahwa Begawan Prakempa tidak terlibat atas perbuatan jahat anak-anaknya. Selain itu, membunuh seorang pertapa yang sedang menyepi adalah sebuah dosa besar.
Akan tetapi, Sri Maharaja Kanwa tidak peduli pada nasihat itu. Ia lalu menusuk dada Begawan Prakempa menggunakan patahan gading Gajah Iramba. Begawan Prakempa yang tidak melawan sama sekali langsung tewas seketika. Sebelum roboh ia masih sempat mengucapkan kutukan, bahwa kematian Sri Maharaja Kanwa akan segera terjadi tidak lama lagi. Tuhan Yang Mahakuasa pun mengabulkan kutukan tersebut. Tiba-tiba terjadilah gempa bumi dahsyat yang disertai dengan hujan badai. Tidak lama kemudian, air laut pun naik ke daratan menyebabkan banjir besar yang disertai ombak meluap-luap (peristiwa ini pada zaman sekarang disebut dengan istilah tsunami).
Sri Maharaja Kanwa dan pasukannya tewas tenggelam oleh bencana alam yang mengerikan itu. Hanya Patih Jakapuring satu-satunya orang yang berhasil selamat, dengan tubuh tersangkut pada cabang pohon di puncak Gunung Batuwara. Setelah banjir surut, ia pun turun dan segera berlari ke arah timur.
Akibat banjir besar itu, Pulau Jawa kini terbelah menjadi dua. Pulau di sebelah barat Gunung Batuwara yang berukuran lebih besar disebut dengan nama Pulau Sumatra, sedangkan pulau di sebelah timur yang berukuran lebih kecil tetap disebut Pulau Jawa. Adapun Pulau Jawa saat itu masih bersatu dengan Pulau Bali.
PATIH JAKAPURING BERSELISIH DENGAN RADEN TURUNAN
Patih Jakapuring yang berhasil meloloskan diri dari malapetaka akhirnya sampai di Kerajaan Purwacarita. Raden Turunan dan Dewi Sriganarti terkejut dan sangat berduka mengetahui Sri Maharaja Kanwa telah meninggal. Raden Turunan heran melihat Patih Jakapuring tetap selamat, sedangkan seluruh bala tentara Purwacarita gugur bersama Sri Maharaja Kanwa.
Patih Jakapuring tersinggung merasa dirinya telah dicurigai berkhianat. Karena perselisihan dengan Raden Turunan tidak dapat dihindari lagi, ia pun memilih pergi meninggalkan Kerajaan Purwacarita. Kepergiannya itu disertai seorang pengikut yang berpihak kepadanya, bernama Empu Cakut, yaitu pembuat senjata di Kerajaan Purwacarita.
Raden Turunan lalu dilantik menjadi raja yang baru di Purwacarita menggantikan sang mertua, dengan bergelar Prabu Kandihawa. Adapun yang mendampinginya sebagai menteri utama adalah anak laki-laki Putut Candramawa, bernama Patih Mandasrawa. Mereka berdua lalu bekerja sama menghimpun angkatan perang baru untuk menggantikan para prajurit yang telah tewas bersama Sri Maharaja Kanwa dalam bencana banjir besar di Gunung Batuwara.
Sementara itu, Patih Jakapuring dan Empu Cakut berkelana ke arah barat sampai akhirnya tiba di bekas Kerajaan Gilingaya, yang kini telah menjadi kota mati sejak ditinggal pergi Sri Maharaja Dewahesa (Batara Rudra). Patih Jakapuring pun membangun kembali kerajaan peninggalan ayahnya itu dan menjadi pemimpin di sana, dengan bergelar Prabu Heryanarudra. Sebagai pendamping, Empu Cakut pun diangkat menjadi menteri utama, dengan bergelar Patih Anindyamantri.
Kembali ke: daftar isi
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (balungan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 23 September 2014.
Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------
SRI MAHARAJA KANWA MENGUKUHKAN TATANAN ENAM AGAMA
Sri Maharaja Kanwa di Kerajaan Purwacarita dihadap Patih Jakapuring, Brahmana Srita, dan para menteri lainnya. Tiba-tiba datang Batara Narada yang menyampaikan perintah Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka supaya Sri Maharaja Kanwa menyebarkan dan mengukuhkan tatanan kehidupan enam agama di Pulau Jawa, yaitu Agama Sambu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu, dan Kala. Dengan berpegang teguh pada tatanan tersebut, maka para penduduk Pulau Jawa diharap akan lebih damai dan tidak mudah saling bertikai antara satu dengan lainnya.
Tatanan keenam agama tersebut meliputi:
- sebutan penghulu
- penanda diri
- ibadah pemujaan
- laku diri
- tapa brata
- hari raya
- larangan
- wewenang
- wasiat
- mengurus kematian
- kenduri selamatan
Setelah menjelaskan semua uraian dengan lengkap dan rinci, Batara Narada pun pamit kembali ke kahyangan. Sri Maharaja Kanwa kemudian berangkat menyebarkan tatanan keenam agama tersebut ke seluruh penjuru Pulau Jawa, dengan didampingi Patih Jakapuring dan Brahmana Srita.
SRI MAHARAJA KANWA KEHILANGAN PUTRI
Setelah tugas menyebarkan tatanan keenam agama selesai, Sri Maharaja Kanwa kembali ke istana Purwacarita dan ia sangat terkejut mengetahui putrinya yang bernama Dewi Sriganarti telah hilang entah ke mana. Patih Jakapuring lalu diperintahkan pergi ke Padepokan Andongdadapan untuk meminta petunjuk kepada sang kakak, yaitu Begawan Anda.
Begawan Anda didampingi Raden Sengkan dan Raden Turunan menyambut kedatangan Patih Jakapuring. Dengan kesaktian penerawangannya, Begawan Anda memberikan petunjuk bahwa Dewi Sriganarti hilang diculik raja raksasa Kerajaan Pidanapura bernama Prabu Karungkala. Mendengar itu, Raden Sengkan pun mengajukan diri untuk membantu membebaskan Dewi Sriganarti. Ia lalu mohon restu kepada sang ayah untuk kemudian berangkat menuju Kerajaan Pidanapura.
RADEN SENGKAN MEREBUT DAN MENIKAHI DEWI SRIGANARTI
Prabu Karungkala di Kerajaan Pidanapura telah menculik Dewi Sriganarti dan menempatkannya di dalam taman sari. Meskipun dibujuk dan dirayu sedemikian rupa, namun Dewi Sriganarti tetap menolak menjadi istri Prabu Karungkala. Pada suatu malam, Raden Sengkan berhasil menyusup ke dalam taman sari tersebut dan membawa lari Dewi Sriganarti untuk dikembalikan ke Kerajaan Purwacarita.
Sri Maharaja Kanwa sangat gembira menyambut kedatangan Raden Sengkan dan Dewi Sriganarti. Sebagai ungkapan terima kasih, Raden Sengkan pun dinikahkan dengan Dewi Sriganarti. Upacara pernikahan digelar beberapa hari kemudian, dengan dihadiri Begawan Radi, Begawan Anda, Begawan Radya, Raden Turunan, Putut Candramawa, dan Putut Wiyunghyang.
Akan tetapi, nasib Raden Sengkan sungguh malang. Pada malam pertama pernikahannya itu, Prabu Karungkala datang menyusup ke dalam istana Purwacarita dan menggigit leher Raden Sengkan yang sedang tidur bersama Dewi Sriganarti. Raden Sengkan pun tewas seketika, sedangkan Dewi Sriganarti kembali diculik dan dibawa lari meninggalkan Kerajaan Purwacarita.
Raden Turunan mendengar jeritan Dewi Sriganarti yang meminta tolong. Ia pun berlari mengejar dan berhasil menyusul Prabu Karungkala. Terjadilah pertarungan sengit yang berakhir dengan kekalahan Prabu Karungkala. Raden Turunan lalu membawa pulang Dewi Sriganarti, sedangkan Prabu Karungkala melarikan diri kembali ke istana Pidanapura.
Segenap penghuni istana Purwacarita sangat berduka atas kematian Raden Sengkan yang mengenaskan itu. Sebagai pengganti sekaligus membalas jasa, Raden Turunan lalu dinikahkan dengan Dewi Sriganarti pada hari berikutnya.
BEGAWAN ANDA DAN BEGAWAN RADYA MENINGGAL DUNIA
Beberapa hari setelah kematian Raden Sengkan dan pernikahan Raden Turunan, ayah mereka yaitu Begawan Anda jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Tidak hanya itu, Begawan Radya di Padepokan Gadingmawukir juga ikut sakit dan meninggal pula.
Sri Maharaja Kanwa dan Patih Jakapuring datang melayat kedua kakak mereka itu. Setelah upacara pemakaman berakhir, Sri Maharaja Kanwa lalu meminta sang guru, yaitu Begawan Radi untuk menjadi pemimpin segenap pandita di Kerajaan Purwacarita, serta menempati Padepokan Andongdadapan, bekas tempat tinggal Begawan Anda.
Sri Maharaja Kanwa menyimpulkan bahwa, penyebab meninggalnya Begawan Anda dan Begawan Radya ini adalah karena mereka terlalu bersedih atas kematian Raden Sengkan yang mengenaskan. Sri Maharaja Kanwa pun melimpahkan semua kesalahan kepada Prabu Karungkala. Maka, setelah kembali ke istana Purwacarita, ia segera mengumpulkan bala tentara dan bergerak menggempur Kerajaan Pidanapura.
SRI MAHARAJA KANWA MENYERANG KERAJAAN PIDANAPURA
Sri Maharaja Kanwa memimpin langsung pasukan Purwacarita menyerbu Kerajaan Pidanapura, dengan didampingi Patih Jakapuring dan Brahmana Srita. Sementara itu, Raden Turunan ditugasi menjaga kerajaan.
Sesampainya di wilayah Pidanapura, terjadilah pertempuran besar. Pasukan raksasa Pidanapura digempur habis-habisan dan istananya dihancurkan. Prabu Karungkala terdesak kewalahan dan menyerah memohon ampun. Namun, Sri Maharaja Kanwa tidak peduli dan tetap berniat menghukum mati raja raksasa itu.
Prabu Karungkala ketakutan dan melarikan diri menuju Kerajaan Samaskuta, tempat kakaknya berada. Sri Maharaja Kanwa semakin marah dan ia pun mengejar Prabu Karungkala tak peduli ke mana pun perginya.
SRI MAHARAJA KANWA DITINGGALKAN BATARA WISNU
Prabu Sangkala di Kerajaan Samaskuta (kerajaan ini terletak di Pulau Sumatra pada zaman sekarang) menerima kedatangan adiknya. Ia sangat marah mendengar penuturan Prabu karungkala yang sudah menyerah mohon ampun tetapi tetap diancam hendak dibunuh oleh Sri Maharaja Kanwa. Maka, Prabu Sangkala pun berjanji akan memberikan perlindungan kepada adiknya itu dari serangan Sri Maharaja Kanwa.
Tidak lama kemudian, datanglah Sri Maharaja Kanwa beserta pasukannya yang meminta supaya Prabu Karungkala diserahkan. Prabu Sangkala mengerahkan pasukannya untuk menghadapi serangan tersebut. Perang besar kembali terjadi. Lagi-lagi Pasukan Purwacarita memperoleh kemenangan. Kerajaan Samaskuta berhasil dihancurkan, sedangkan Prabu Sangkala dan Prabu Karungkala tewas terkena panah Sri Maharaja Kanwa.
Kemenangan yang diperoleh pihak Purwacarita ini telah membuat Sri Maharaja Kanwa lupa diri. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk melakukan pembantaian terhadap seluruh anggota keluarga Prabu Sangkala dan rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa. Keputusan ini membuat Batara Wisnu yang berada di dalam diri Sri Maharaja Kanwa merasa gerah dan tidak tahan lagi. Ia pun keluar meninggalkan tubuh Sri Maharaja Kanwa dan bergegas kembali ke Kahyangan Utarasegara.
Brahmana Srita yang berpandangan tajam mengetahui kalau Batara Wisnu telah memisahkan diri dari raga Sri Maharaja Kanwa. Ia merasa tidak ada gunanya lagi menjadi pengikut Kerajaan Purwacarita. Maka, Brahmana Srita pun kembali ke wujud Batara Penyarikan dan melesat pergi ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melapor kepada Batara Guru.
SRI MAHARAJA KANWA TEWAS DISAPU BANJIR
Setelah ditinggalkan oleh Batara Wisnu, amarah Sri Maharaja Kanwa semakin tidak terkendali. Ia memutuskan pulang ke Kerajaan Purwacarita dan membunuh setiap raksasa yang dijumpai dalam perjalanan.
Ketika melewati Gunung Batuwara, Sri Maharaja Kanwa berjumpa seorang pertapa raksasa bernama Begawan Prakempa. Setelah mengetahui kalau Begawan Prakempa ini adalah ayah dari Prabu Sangkala dan Prabu Karungkala, amarah Sri Maharaja Kanwa kembali meluap dan ingin membunuhnya. Patih Jakapuring berusaha mengingatkan Sri Maharaja Kanwa bahwa Begawan Prakempa tidak terlibat atas perbuatan jahat anak-anaknya. Selain itu, membunuh seorang pertapa yang sedang menyepi adalah sebuah dosa besar.
Akan tetapi, Sri Maharaja Kanwa tidak peduli pada nasihat itu. Ia lalu menusuk dada Begawan Prakempa menggunakan patahan gading Gajah Iramba. Begawan Prakempa yang tidak melawan sama sekali langsung tewas seketika. Sebelum roboh ia masih sempat mengucapkan kutukan, bahwa kematian Sri Maharaja Kanwa akan segera terjadi tidak lama lagi. Tuhan Yang Mahakuasa pun mengabulkan kutukan tersebut. Tiba-tiba terjadilah gempa bumi dahsyat yang disertai dengan hujan badai. Tidak lama kemudian, air laut pun naik ke daratan menyebabkan banjir besar yang disertai ombak meluap-luap (peristiwa ini pada zaman sekarang disebut dengan istilah tsunami).
Sri Maharaja Kanwa dan pasukannya tewas tenggelam oleh bencana alam yang mengerikan itu. Hanya Patih Jakapuring satu-satunya orang yang berhasil selamat, dengan tubuh tersangkut pada cabang pohon di puncak Gunung Batuwara. Setelah banjir surut, ia pun turun dan segera berlari ke arah timur.
Akibat banjir besar itu, Pulau Jawa kini terbelah menjadi dua. Pulau di sebelah barat Gunung Batuwara yang berukuran lebih besar disebut dengan nama Pulau Sumatra, sedangkan pulau di sebelah timur yang berukuran lebih kecil tetap disebut Pulau Jawa. Adapun Pulau Jawa saat itu masih bersatu dengan Pulau Bali.
PATIH JAKAPURING BERSELISIH DENGAN RADEN TURUNAN
Patih Jakapuring yang berhasil meloloskan diri dari malapetaka akhirnya sampai di Kerajaan Purwacarita. Raden Turunan dan Dewi Sriganarti terkejut dan sangat berduka mengetahui Sri Maharaja Kanwa telah meninggal. Raden Turunan heran melihat Patih Jakapuring tetap selamat, sedangkan seluruh bala tentara Purwacarita gugur bersama Sri Maharaja Kanwa.
Patih Jakapuring tersinggung merasa dirinya telah dicurigai berkhianat. Karena perselisihan dengan Raden Turunan tidak dapat dihindari lagi, ia pun memilih pergi meninggalkan Kerajaan Purwacarita. Kepergiannya itu disertai seorang pengikut yang berpihak kepadanya, bernama Empu Cakut, yaitu pembuat senjata di Kerajaan Purwacarita.
Raden Turunan lalu dilantik menjadi raja yang baru di Purwacarita menggantikan sang mertua, dengan bergelar Prabu Kandihawa. Adapun yang mendampinginya sebagai menteri utama adalah anak laki-laki Putut Candramawa, bernama Patih Mandasrawa. Mereka berdua lalu bekerja sama menghimpun angkatan perang baru untuk menggantikan para prajurit yang telah tewas bersama Sri Maharaja Kanwa dalam bencana banjir besar di Gunung Batuwara.
Sementara itu, Patih Jakapuring dan Empu Cakut berkelana ke arah barat sampai akhirnya tiba di bekas Kerajaan Gilingaya, yang kini telah menjadi kota mati sejak ditinggal pergi Sri Maharaja Dewahesa (Batara Rudra). Patih Jakapuring pun membangun kembali kerajaan peninggalan ayahnya itu dan menjadi pemimpin di sana, dengan bergelar Prabu Heryanarudra. Sebagai pendamping, Empu Cakut pun diangkat menjadi menteri utama, dengan bergelar Patih Anindyamantri.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
Kembali ke: daftar isi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar