Kisah ini menceritakan pertempuran antara Kerajaan Gilingaya dengan Kerajaan Medang Kamulan, di mana Jaka Wudug atau Raden Raditya membantu pihak Medang Kamulan. Sampai akhirnya, ia berhasil mengalahkan Prabu Sintwaka dan menjadi raja Gilingaya, bergelar Prabu Watugunung.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
PRABU SINTAWAKA BERPERANG DENGAN PRABU PALINDRIYA
Prabu Sintawaka di Kerajaan Gilingaya dihadap Patih Anindyamantri dan para menteri lainnya. Mereka membicarakan datangnya surat tantangan dari Kerajaan Medang Kamulan, di mana Prabu Palindriya ingin membalas kematian ayahnya (Prabu Kandihawa) yang dulu tewas dibunuh Prabu Heryanarudra. Karena Prabu Heryanarudra juga telah meninggal karena wabah penyakit, maka pembalasan dendam pun ditujukan kepada anak angkatnya, yaitu Prabu Sintawaka.
Prabu Sintawaka yang tidak lain adalah penjelmaan Dewi Basundari menerima tantangan tersebut. Ia sendiri masih menyimpan dendam di dalam hati terhadap Prabu Palindriya yang telah mengkhianati perkawinan mereka dulu. Maka, ia pun memerintahkan Patih Anindyamantri supaya mempersiapkan pasukan perang untuk menghadapi serangan pihak lawan.
Beberapa hari kemudian pasukan Medang Kamulan yang dipimpin langsung oleh Prabu Palindriya datang menyerbu Kerajaan Gilingaya. Prabu Sintawaka menyambut serangan tersebut di mana ia sendiri yang turun tangan menghadapi Prabu Palindriya. Pertempuran terjadi cukup lama. Kedua pihak kalah dan menang silih berganti. Merasa pertahanan pihak Gilingaya terlalu kuat, Prabu Palindriya akhirnya menarik mundur pasukannya kembali ke Medang Kamulan.
RADEN RADITYA MENGAMBIL PUSAKA KE GUNUNG ASWATA
Sementara itu, Raden Raditya (Jaka Wudug) telah menamatkan pendidikannya di Padepokan Andongdadapan, dengan menyerap semua ilmu yang diajarkan Begawan Radi. Mendengar berita adanya peperangan antara Kerajaan Medang Kamulan dan Kerajaan Gilingaya, ia ingin sekali ikut membantu salah satu pihak. Menurutnya, yang layak dibantu adalah Prabu Palindriya karena yang memulai masalah adalah Kerajaan Gilingaya di zaman Prabu Heryanarudra dulu. Andai saja Prabu Heryanarudra tidak membunuh Prabu Kandihawa, tentu Prabu Palindriya tidak akan menyerang Prabu Sintawaka.
Begawan Radi mempersilakan Raden Raditya jika ingin membantu pihak Medang Kamulan, tetapi hendaknya jangan bersikap gegabah memamerkan kepandaian. Begawan Radi lalu bercerita bahwa Prabu Palindriya semasa mudanya bernama Raden Respati yang pernah bertapa di Gunung Aswata dan menerima pusaka pemberian Batara Indra, berupa busur Bajra dan panah Herawana. Ketika Prabu Paindriya bertakhta di Kerajaan Medang Kamulan, kedua pusaka itu masih tertinggal di Gunung Aswata. Begawan Radi menyarankan agar Raden Raditya pergi ke Gunung Aswata untuk mengambil kedua pusaka tersebut dan mempersembahkannya kepada Prabu Palindriya. Dengan cara inilah Raden Raditya kelak akan mendapatkan kejayaan.
Raden Raditya mohon restu kepada sang guru kemudian berangkat ke Gunung Aswata. Sesampainya di sana ia bertemu Patih Anindyamantri yang juga dikirim Prabu Sintawaka untuk mengambil kedua pusaka tersebut. Prabu Sintawaka yang tidak lain adalah penjelmaan Dewi Basundari rupanya masih ingat kalau busur Bajra dan panah Herawana milik Prabu Palindriya tertinggal di Gunung Aswata setelah digunakan untuk membunuh Naga Sindula dulu. Maka, Prabu Sintawaka pun berniat untuk menguasai kedua pusaka tersebut dan membawanya ke istana Gilingaya.
Setelah mencari ke sana kemari, Patih Anindyamantri berhasil menemukannya, tetapi ia tidak mampu mengangkat busur dan panah pusaka tersebut. Melihat kedatangan seorang pemuda yang juga ingin mengambil kedua pusaka itu, Patih Anindyamantri segera berusaha mengusirnya. Maka, terjadilah pertempuran antara Raden Raditya melawan Patih Anindyamantri dan para prajuritnya.
Raden Raditya berhasil mengatasi orang-orang Gilingaya tersebut, bahkan ia mampu merebut busur Bajra dan panah Herawana. Patih Anindyamantri merasa gentar melihat ada seorang pemuda remaja ternyata mampu mengangkat busur dan panah pusaka itu. Maka, ia pun mengajak pasukannya mundur kembali ke Gilingaya.
RADEN RADITYA BERSELINGKUH DENGAN DEWI SOMA
Setelah mendapatkan busur Bajra dan panah Herawana, Raden Raditya melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Medang Kamulan. Ketika melewati Padepokan Pantireja, ia berjumpa Dewi Soma, istri pertama Prabu Palindriya beserta ketiga anaknya, yaitu Raden Anggara, Raden Buda, dan Raden Sukra. Di tempat itu ia mendapatkan perjamuan yang sangat baik, bahkan Dewi Soma sangat menyukainya dan menganggapnya sebagai anak.
Melihat ketampanan Raden Raditya yang mirip Prabu Palindriya semasa muda, Dewi Soma pun terpesona kepadanya. Sejak sang suami berselingkuh dengan Dewi Basundari, ia tidak pernah lagi bertemu Prabu Palindriya, padahal dalam hati sangat merindukannya. Dewi Soma sama sekali tidak tahu kalau Raden Raditya yang kini tinggal di rumahnya itu adalah anak hasil perselingkuhan Prabu Palindirya dengan Dewi Basundari tersebut.
Setelah dirayu terus-menerus, Raden Raditya akhirnya goyah pendiriannya dan bersedia melayani nafsu birahi Dewi Soma. Tanpa sepengetahuan Raden Anggara, Raden Buda, dan Raden Sukra, mereka berdua pun melakukan hubungan perzinahan. Sebaliknya, ketiga putra Dewi Soma itu juga sama sekali tidak menaruh curiga karena sudah menganggap Raden Raditya sebagai adik sendiri.
RADEN RADITYA MENJADI PATIH SELACALA
Setelah beberapa hari tinggal di Padepokan Pantireja, Raden Raditya melanjutkan perjalanan dan tiba di Kerajaan Medang Kamulan. Di sana ia dihadang para putra Prabu Palindriya yang dipimpin Raden Wukir, karena dicurigai sebagai mata-mata Kerajaan Gilingaya. Terjadilah pertarungan di mana Raden Raditya berhasil mengalahkan para pangeran tersebut.
Prabu Palindriya datang melerai yang sedang berkelahi. Raden Raditya menyembah dengan penuh hormat dan menyerahkan busur Bajra dan panah Herawana kepadanya. Prabu Palindriya tidak lupa bahwa kedua pusaka tersebut adalah miliknya dan selama ini tertinggal di Gunung Aswata. Melihat Raden Raditya yang tampan dan berilmu tinggi, Prabu Palindriya merasa sangat senang dan berniat menjadikannya sebagai menantu, yaitu akan dinikahkan dengan Dewi Sriyuwati (saudari kandung Raden Wukir).
Setelah pengumuman itu disampaikan, tiba-tiba saja datang Batara Narada turun dari kahyangan, dan meminta supaya perjodohan itu dibatalkan. Batara Narada menjelaskan bahwa Raden Raditya ini adalah putra Prabu Palindriya sendiri yang lahir dari Dewi Basundari, sehingga masih bersaudara tiri dengan Dewi Sriyuwati. Untuk itu, Raden Raditya tidak boleh dijodohkan dengan Dewi Sriyuwati, tetapi sebaiknya diangkat menjadi patih saja.
Batara Narada juga menyampaikan pesan dari Batara Guru bahwa kelak Dewi Sriyuwati akan diangkat sebagai bidadari kahyangan dan menjadi istri Batara Guru sendiri. Prabu Palindriya merasa bersyukur dan mematuhi segala perintah Batara Guru tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun kembali ke kahyangan.
Sesuai perintah tadi, Prabu Palindriya lalu melantik Raden Raditya sebagai patih Kerajaan Medang Kamulan, bergelar Patih Selacala, yang bermakna “batu gunung”. Dewi Sriyuwati, Raden Wukir, dan para putra lainnya menerimanya sebagai saudara tua dan memanggil kakak kepadanya.
PATIH SELACALA MENGALAHKAN PRABU SINTAWAKA
Setelah mendapatkan kekuatan baru, Prabu Palindriya pun memerintahkan Patih Selacala untuk memimpin pasukan Medang Kamulan menyerang Kerajaan Gilingaya. Prabu Palindriya juga meminjamkan busur Bajra dan panah Herawana kepada Patih Selacala sebagai senjata untuk mengalahkan Prabu Sintawaka.
Prabu Sintawaka dan Patih Anindyamantri menyambut serangan tersebut dengan kekuatan penuh. Terjadilah pertempuran besar, di mana pihak Gilingaya mengalami kekalahan telak. Mula-mula Patih Anindyamantri tewas di tangan Patih Selacala. Melihat menteri utamanya gugur, Prabu Sintawaka pun mengamuk mengerahkan segenap kesaktiannya. Patih Selacala membalas dengan melepaskan panah Herawana. Prabu Sintawaka terlempar tubuhnya ke angkasa dan jatuh di dalam Hutan Nastuti.
Meskipun terkena panah pusaka, Prabu Sintawaka tidak mati, tetapi kembali ke wujud wanita, yaitu Dewi Basundari seperti sedia kala. Ia lalu bersembunyi di dalam hutan menghindari kejaran pihak Medang Kamulan. Rupanya ia lupa bahwa dulu dewata telah mengubahnya menjadi laki-laki supaya lebih leluasa untuk mencari Jaka Wudug, dan kelak ia akan kembali menjadi wanita lagi jika sudah bertemu dengan putranya itu.
Tak disangka, Jaka Wudug sekarang sudah menjadi Patih Selacala dan pertarungan tadi telah mengembalikan wujud Prabu Sintawaka kembali menjadi Dewi Basundari. Akan tetapi, hal ini sama sekali tidak disadari oleh Dewi Basundari. Setelah kekalahan itu, ia pun membangun pondok di dalam Hutan Nastuti tersebut dan melanjutkan bertapa untuk bisa bertemu putranya yang lama hilang.
PATIH SELACALA MENJADI PRABU WATUGUNUNG
Prabu Palindriya bersuka cita mendengar berita kemenangan Patih Selacala atas Kerajaan Gilingaya. Sejak saat itu, Kerajaan Gilingaya pun resmi menjadi negeri bawahan Kerajaan Medang Kamulan, dan Patih Selacala diangkat sebagai pemimpin di sana.
Sebagai raja bawahan, Patih Selacala kemudian mengganti namanya menjadi Prabu Watugunung. Tidak hanya itu, nama Kerajaan Gilingaya pun diganti pula menjadi Kerajaan Gilingwesi.
kembali ke: daftar isi
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 04 Oktober 2014
Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------
PRABU SINTAWAKA BERPERANG DENGAN PRABU PALINDRIYA
Prabu Sintawaka di Kerajaan Gilingaya dihadap Patih Anindyamantri dan para menteri lainnya. Mereka membicarakan datangnya surat tantangan dari Kerajaan Medang Kamulan, di mana Prabu Palindriya ingin membalas kematian ayahnya (Prabu Kandihawa) yang dulu tewas dibunuh Prabu Heryanarudra. Karena Prabu Heryanarudra juga telah meninggal karena wabah penyakit, maka pembalasan dendam pun ditujukan kepada anak angkatnya, yaitu Prabu Sintawaka.
Prabu Sintawaka yang tidak lain adalah penjelmaan Dewi Basundari menerima tantangan tersebut. Ia sendiri masih menyimpan dendam di dalam hati terhadap Prabu Palindriya yang telah mengkhianati perkawinan mereka dulu. Maka, ia pun memerintahkan Patih Anindyamantri supaya mempersiapkan pasukan perang untuk menghadapi serangan pihak lawan.
Beberapa hari kemudian pasukan Medang Kamulan yang dipimpin langsung oleh Prabu Palindriya datang menyerbu Kerajaan Gilingaya. Prabu Sintawaka menyambut serangan tersebut di mana ia sendiri yang turun tangan menghadapi Prabu Palindriya. Pertempuran terjadi cukup lama. Kedua pihak kalah dan menang silih berganti. Merasa pertahanan pihak Gilingaya terlalu kuat, Prabu Palindriya akhirnya menarik mundur pasukannya kembali ke Medang Kamulan.
RADEN RADITYA MENGAMBIL PUSAKA KE GUNUNG ASWATA
Sementara itu, Raden Raditya (Jaka Wudug) telah menamatkan pendidikannya di Padepokan Andongdadapan, dengan menyerap semua ilmu yang diajarkan Begawan Radi. Mendengar berita adanya peperangan antara Kerajaan Medang Kamulan dan Kerajaan Gilingaya, ia ingin sekali ikut membantu salah satu pihak. Menurutnya, yang layak dibantu adalah Prabu Palindriya karena yang memulai masalah adalah Kerajaan Gilingaya di zaman Prabu Heryanarudra dulu. Andai saja Prabu Heryanarudra tidak membunuh Prabu Kandihawa, tentu Prabu Palindriya tidak akan menyerang Prabu Sintawaka.
Begawan Radi mempersilakan Raden Raditya jika ingin membantu pihak Medang Kamulan, tetapi hendaknya jangan bersikap gegabah memamerkan kepandaian. Begawan Radi lalu bercerita bahwa Prabu Palindriya semasa mudanya bernama Raden Respati yang pernah bertapa di Gunung Aswata dan menerima pusaka pemberian Batara Indra, berupa busur Bajra dan panah Herawana. Ketika Prabu Paindriya bertakhta di Kerajaan Medang Kamulan, kedua pusaka itu masih tertinggal di Gunung Aswata. Begawan Radi menyarankan agar Raden Raditya pergi ke Gunung Aswata untuk mengambil kedua pusaka tersebut dan mempersembahkannya kepada Prabu Palindriya. Dengan cara inilah Raden Raditya kelak akan mendapatkan kejayaan.
Raden Raditya mohon restu kepada sang guru kemudian berangkat ke Gunung Aswata. Sesampainya di sana ia bertemu Patih Anindyamantri yang juga dikirim Prabu Sintawaka untuk mengambil kedua pusaka tersebut. Prabu Sintawaka yang tidak lain adalah penjelmaan Dewi Basundari rupanya masih ingat kalau busur Bajra dan panah Herawana milik Prabu Palindriya tertinggal di Gunung Aswata setelah digunakan untuk membunuh Naga Sindula dulu. Maka, Prabu Sintawaka pun berniat untuk menguasai kedua pusaka tersebut dan membawanya ke istana Gilingaya.
Setelah mencari ke sana kemari, Patih Anindyamantri berhasil menemukannya, tetapi ia tidak mampu mengangkat busur dan panah pusaka tersebut. Melihat kedatangan seorang pemuda yang juga ingin mengambil kedua pusaka itu, Patih Anindyamantri segera berusaha mengusirnya. Maka, terjadilah pertempuran antara Raden Raditya melawan Patih Anindyamantri dan para prajuritnya.
Raden Raditya berhasil mengatasi orang-orang Gilingaya tersebut, bahkan ia mampu merebut busur Bajra dan panah Herawana. Patih Anindyamantri merasa gentar melihat ada seorang pemuda remaja ternyata mampu mengangkat busur dan panah pusaka itu. Maka, ia pun mengajak pasukannya mundur kembali ke Gilingaya.
RADEN RADITYA BERSELINGKUH DENGAN DEWI SOMA
Setelah mendapatkan busur Bajra dan panah Herawana, Raden Raditya melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Medang Kamulan. Ketika melewati Padepokan Pantireja, ia berjumpa Dewi Soma, istri pertama Prabu Palindriya beserta ketiga anaknya, yaitu Raden Anggara, Raden Buda, dan Raden Sukra. Di tempat itu ia mendapatkan perjamuan yang sangat baik, bahkan Dewi Soma sangat menyukainya dan menganggapnya sebagai anak.
Melihat ketampanan Raden Raditya yang mirip Prabu Palindriya semasa muda, Dewi Soma pun terpesona kepadanya. Sejak sang suami berselingkuh dengan Dewi Basundari, ia tidak pernah lagi bertemu Prabu Palindriya, padahal dalam hati sangat merindukannya. Dewi Soma sama sekali tidak tahu kalau Raden Raditya yang kini tinggal di rumahnya itu adalah anak hasil perselingkuhan Prabu Palindirya dengan Dewi Basundari tersebut.
Setelah dirayu terus-menerus, Raden Raditya akhirnya goyah pendiriannya dan bersedia melayani nafsu birahi Dewi Soma. Tanpa sepengetahuan Raden Anggara, Raden Buda, dan Raden Sukra, mereka berdua pun melakukan hubungan perzinahan. Sebaliknya, ketiga putra Dewi Soma itu juga sama sekali tidak menaruh curiga karena sudah menganggap Raden Raditya sebagai adik sendiri.
RADEN RADITYA MENJADI PATIH SELACALA
Setelah beberapa hari tinggal di Padepokan Pantireja, Raden Raditya melanjutkan perjalanan dan tiba di Kerajaan Medang Kamulan. Di sana ia dihadang para putra Prabu Palindriya yang dipimpin Raden Wukir, karena dicurigai sebagai mata-mata Kerajaan Gilingaya. Terjadilah pertarungan di mana Raden Raditya berhasil mengalahkan para pangeran tersebut.
Prabu Palindriya datang melerai yang sedang berkelahi. Raden Raditya menyembah dengan penuh hormat dan menyerahkan busur Bajra dan panah Herawana kepadanya. Prabu Palindriya tidak lupa bahwa kedua pusaka tersebut adalah miliknya dan selama ini tertinggal di Gunung Aswata. Melihat Raden Raditya yang tampan dan berilmu tinggi, Prabu Palindriya merasa sangat senang dan berniat menjadikannya sebagai menantu, yaitu akan dinikahkan dengan Dewi Sriyuwati (saudari kandung Raden Wukir).
Setelah pengumuman itu disampaikan, tiba-tiba saja datang Batara Narada turun dari kahyangan, dan meminta supaya perjodohan itu dibatalkan. Batara Narada menjelaskan bahwa Raden Raditya ini adalah putra Prabu Palindriya sendiri yang lahir dari Dewi Basundari, sehingga masih bersaudara tiri dengan Dewi Sriyuwati. Untuk itu, Raden Raditya tidak boleh dijodohkan dengan Dewi Sriyuwati, tetapi sebaiknya diangkat menjadi patih saja.
Batara Narada juga menyampaikan pesan dari Batara Guru bahwa kelak Dewi Sriyuwati akan diangkat sebagai bidadari kahyangan dan menjadi istri Batara Guru sendiri. Prabu Palindriya merasa bersyukur dan mematuhi segala perintah Batara Guru tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun kembali ke kahyangan.
Sesuai perintah tadi, Prabu Palindriya lalu melantik Raden Raditya sebagai patih Kerajaan Medang Kamulan, bergelar Patih Selacala, yang bermakna “batu gunung”. Dewi Sriyuwati, Raden Wukir, dan para putra lainnya menerimanya sebagai saudara tua dan memanggil kakak kepadanya.
PATIH SELACALA MENGALAHKAN PRABU SINTAWAKA
Setelah mendapatkan kekuatan baru, Prabu Palindriya pun memerintahkan Patih Selacala untuk memimpin pasukan Medang Kamulan menyerang Kerajaan Gilingaya. Prabu Palindriya juga meminjamkan busur Bajra dan panah Herawana kepada Patih Selacala sebagai senjata untuk mengalahkan Prabu Sintawaka.
Prabu Sintawaka dan Patih Anindyamantri menyambut serangan tersebut dengan kekuatan penuh. Terjadilah pertempuran besar, di mana pihak Gilingaya mengalami kekalahan telak. Mula-mula Patih Anindyamantri tewas di tangan Patih Selacala. Melihat menteri utamanya gugur, Prabu Sintawaka pun mengamuk mengerahkan segenap kesaktiannya. Patih Selacala membalas dengan melepaskan panah Herawana. Prabu Sintawaka terlempar tubuhnya ke angkasa dan jatuh di dalam Hutan Nastuti.
Meskipun terkena panah pusaka, Prabu Sintawaka tidak mati, tetapi kembali ke wujud wanita, yaitu Dewi Basundari seperti sedia kala. Ia lalu bersembunyi di dalam hutan menghindari kejaran pihak Medang Kamulan. Rupanya ia lupa bahwa dulu dewata telah mengubahnya menjadi laki-laki supaya lebih leluasa untuk mencari Jaka Wudug, dan kelak ia akan kembali menjadi wanita lagi jika sudah bertemu dengan putranya itu.
Tak disangka, Jaka Wudug sekarang sudah menjadi Patih Selacala dan pertarungan tadi telah mengembalikan wujud Prabu Sintawaka kembali menjadi Dewi Basundari. Akan tetapi, hal ini sama sekali tidak disadari oleh Dewi Basundari. Setelah kekalahan itu, ia pun membangun pondok di dalam Hutan Nastuti tersebut dan melanjutkan bertapa untuk bisa bertemu putranya yang lama hilang.
PATIH SELACALA MENJADI PRABU WATUGUNUNG
Prabu Palindriya bersuka cita mendengar berita kemenangan Patih Selacala atas Kerajaan Gilingaya. Sejak saat itu, Kerajaan Gilingaya pun resmi menjadi negeri bawahan Kerajaan Medang Kamulan, dan Patih Selacala diangkat sebagai pemimpin di sana.
Sebagai raja bawahan, Patih Selacala kemudian mengganti namanya menjadi Prabu Watugunung. Tidak hanya itu, nama Kerajaan Gilingaya pun diganti pula menjadi Kerajaan Gilingwesi.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
kembali ke: daftar isi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar