Rabu, 26 Agustus 2015

Setatama Gugur, Seta Lahir

Kisah ini menceritakan perkawinan Raden Setatama dengan Endang Kandini, serta Raden Durgandana dengan Dewi Sudaksina. Kisah dilanjutkan dengan kematian Raden Setatama dan Raden Bimakinca di tangan Prabu Gajaksasura dari Kerajaan Anggastina, lalu ditutup dengan kelahiran Raden Seta dan Raden Nirbita.

Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.


Kediri, 26 Agustus 2015

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Raden Setatama

RENCANA PERNIKAHAN RADEN DURGANDANA DENGAN DEWI SUDAKSINA

Prabu Wasupati di Kerajaan Wirata dihadap Raden Durgandana, Patih Wasita, Aryaprabu Kistawa, dan Resi Manungkara. Mereka sedang membicarakan rencana perkawinan antara Raden Durgandana dengan Dewi Sudaksina, yaitu putri Resi Parasara yang tercipta dari rimpang kunyit. Karena Dewi Sudaksina diasuh oleh Resi Indradewa dan Dewi Watari, maka pinangan terhadapnya pun dikirim ke Padepokan Bimarastana, bukan ke Gunung Saptaarga. Adapun Dewi Sudaksina saat ini baru berusia lima belas tahun, sedangkan Raden Durgandana sudah berusia tiga puluh enam tahun.

Tidak lama kemudian, datanglah Raden Bimakinca (putra Resi Parasara yang tercipta dari dayung) menghadap Prabu Wasupati untuk menyampaikan surat balasan dari Resi Indradewa. Dalam surat itu disebutkan bahwa lamaran Prabu Wasupati terhadap Dewi Sudaksina diterima, namun saat ini Raden Setatama (putra Resi Parasara yang tercipta dari ari-ari Raden Abyasa) telah hilang entah ke mana. Dewi Sudaksina bersedia menikah dengan Raden Durgandana asalkan saudaranya itu ditemukan terlebih dahulu.

Mendengar isi surat tersebut, Raden Durgandana mohon izin kepada sang ayah supaya diperbolehkan ikut mencari hilangnya Raden Setatama, karena secara tidak langsung ini merupakan syarat yang diajukan Dewi Sudaksina atas perkawinan mereka. Setelah mempertimbangkannya, Prabu Wasupati pun mengizinkan Raden Durgandana berangkat dengan didampingi Aryaprabu Kistawa.

Setelah dirasa cukup, Prabu Wasupati lalu membubarkan pertemuan dan masuk ke dalam kedaton, di mana sang permaisuri Dewi Swargandini telah menunggu di gapura.

PRABU GAJAKSASURA INGIN MENIKAHI ENDANG KANDINI

Tersebutlah seorang raja dari Kerajaan Anggastina di tanah seberang, bernama Prabu Gajaksasura yang memiliki adik perempuan bernama Dewi Hastipraba. Kedua orang ini mempunyai wujud aneh. Prabu Gajaksasura adalah raksasa berkepala gajah, sedangkan Dewi Hastipraba adalah raksasi bertelinga lebar seperti gajah. Adapun Dewi Hastipraba telah menikah dengan Patih Wistakasura, menteri utama Kerajaan Anggastina.

Pada suatu malam Prabu Gajaksasura bermimpi melihat seorang gadis cantik bernama Endang Kandini, putri Resi Kandihawa dari Padepokan Candiretna. Seketika ia pun jatuh cinta kepada gadis tersebut. Begitu terbangun dari tidurnya, ia segera berangkat mencari di mana Padepokan Candiretna berada untuk melamar Endang Kandini. Patih Wistakasura ikut menemani dengan membawa pasukan secukupnya, sedangkan Dewi Hastipraba tetap tinggal untuk menjaga istana.

Di tengah perjalanan, rombongan raksasa dari Anggastina itu berpapasan dengan rombongan Raden Durgandana dari Wirata. Terjadi kesalahpahaman di antara mereka yang berlanjut dengan pertempuran. Pihak Wirata yang dibantu Raden Bimakinca dan saudara-saudaranya, yaitu Raden Kincaka, Raden Rupakincaka, serta Raden Rajamala berhasil memukul mundur Prabu Gajaksasura beserta pasukannya.

RADEN DURGANDANA BERTEMU RADEN SETATAMA

Setelah menghalau para raksasa dari Kerajaan Anggastina, rombongan Raden Durgandana melanjutkan perjalanan mencari Raden Setatama. Tiba-tiba saja Raden Durgandana mendapatkan pikiran ingin naik ke Gunung Saptaarga untuk meminta petunjuk Resi Parasara.

Sementara itu, Resi Parasara di Gunung Saptaarga sedang mendidik putra sulungnya, yaitu Raden Abyasa. Tiba-tiba datang putra keduanya, yaitu Raden Setatama bersama seorang perempuan dan pendeta raksasa. Raden Setatama memperkenalkan perempuan itu adalah istrinya yang bernama Endang Kandini, sedangkan sang pendeta raksasa adalah mertuanya, bernama Resi Kandihawa dari Padepokan Candiretna. Resi Parasara heran melihat besannya berwujud raksasa, tetapi memiliki putri yang berparas cantik. Resi Kandihawa pun bercerita bahwa pada mulanya ia juga berwujud manusia, namun karena salah mempelajari ilmu akhirnya terkena balak dan berubah wujud menjadi raksasa. Untuk itu, ia ingin berguru kepada Resi Parasara supaya mendapatkan sarana pengruwatan dan bisa kembali menjadi manusia lagi.

Tidak lama kemudian datang pula Raden Durgandana beserta rombongan. Kini hubungan antara Raden Durgandana dengan Resi Parasara sudah terjalin baik. Jika dulu Raden Durgandana pernah memaki Resi Parasara karena berzinah dengan kakaknya (Dewi Durgandini), maka sekarang ia menjadi calon menantu Sang Resi, karena hendak menikahi Dewi Sudaksina.

Sungguh kebetulan, Raden Durgandana yang berniat ingin meminta petunjuk kepada Resi Parasara di Gunung Saptaarga tentang keberadaan Raden Setatama, justru bertemu dengan calon iparnya itu di sana. Raden Durgandana pun menceritakan dari awal sampai akhir tentang Dewi Sudaksina yang menerima pinangannya tetapi dengan syarat Raden Setatama harus ditemukan terlebih dulu.

Setelah semuanya jelas, Raden Durgandana pun mengajak Raden Setatama ikut ke Kerajaan Wirata. Raden Setatama bersedia, dan ia pun menitipkan Endang Kandini beserta Resi Kandihawa di Gunung Saptaarga. Resi Parasara melepas kepergian putra keduanya itu dengan perasaan tidak tenang, seolah akan terjadi hal buruk menimpa padanya.

PERNIKAHAN RADEN DURGANDANA DAN DEWI SUDAKSINA

Kini persyaratan yang diajukan Dewi Sudaksina telah terpenuhi. Pada hari yang ditentukan, diadakanlah pernikahan antara dirinya dengan Raden Durgandana yang diselenggarakan di istana Kerajaan Wirata. Banyak sekali tamu yang hadir dari berbagai kerajaan, antara lain Prabu Mandrakiswara dari Mandraka, Prabu Mandararya dari Gandaradesa, serta tentu saja Dewi Durgandini (kakak Raden Durgandana) bersama suaminya, yaitu Prabu Santanu dari Hastina.

KEMATIAN RADEN SETATAMA DAN RADEN BIMAKINCA

Beberapa bulan kemudian, Raden Setatama kembali ke Gunung Saptaarga untuk menemui istrinya. Raden Bimakinca ikut menemani, sedangkan Raden Kincaka, Raden Rupakincaka, dan Raden Rajamala tetap tinggal di istana Wirata bersama Dewi Sudaksina yang telah mengandung putra Raden Durgandana.

Dalam perjalanan tersebut, Raden Setatama dan Raden Bimakinca bertemu Prabu Gajaksasura dan Patih Wistakasura yang sedang mencari keberadaan Endang Kandini. Rupanya Prabu Gajaksasura dan Patih Wistakasura telah menemukan Padepokan Candiretna, namun mereka kecewa karena Endang Kandini dan Resi Kandihawa tidak berada di sana. Mereka pun mengobrak-abrik padepokan tersebut dan mendapatkan keterangan dari para cantrik bahwa Endang Kandini telah menikah dengan seorang pemuda bernama Raden Setatama, dan sekarang ikut bersama suaminya tersebut.

Prabu Gajaksasura dan Patih Wistakasura pun melanjutkan pencarian dan akhirnya bertemu dengan pemuda yang mengaku bernama Raden Setatama. Ia berterus terang meminta supaya Endang Kandini diserahkan kepadanya dan ia siap menukarnya dengan emas permata yang melimpah. Raden Setatama menolak dengan tegas. Ia bersedia menyerahkan istrinya jika Prabu Gajaksasura bisa melangkahi mayatnya terlebih dulu.

Maka, terjadilah pertarungan antara Prabu Gajaksasura melawan Raden Setatama, serta Patih Wistakasura melawan Raden Bimakinca. Kedua raksasa itu lebih berpengalaman daripada lawan mereka yang masih muda belia. Akhirnya, Raden Setatama dan Raden Bimakinca pun roboh di tangan mereka.

Setelah membunuh kedua bersaudara tersebut, Prabu Gajaksasura mengubah wujudnya menjadi Raden Setatama, sedangkan Patih Wistakasura mengubah wujudnya menjadi Raden Bimakinca. Keduanya lalu berangkat menuju Gunung Saptaarga untuk menculik Endang Kandini.

GANDARWARAJA SWALA MELAPOR KEPADA RESI PARASARA

Raden Abyasa dan para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong kebetulan lewat di tempat itu dan menjumpai Raden Setatama serta Raden Bimakinca yang tergeletak bersimbah darah. Raden Abyasa sangat terkejut dan sedih melihat keadaan kedua adiknya tersebut. Raden Bimakinca telah tewas, sedangkan Raden Setatama masih dalam keadaan sekarat.

Dengan sisa-sisa tenaganya, Raden Setatama menceritakan apa yang ia alami dari awal sampai akhir. Raden Abyasa sendiri sebenarnya hendak pergi ke istana Wirata untuk memberi tahu Raden Setatama bahwa Endang Kandini telah mengandung. Mendengar itu, Raden Setatama merasa gembira bisa memiliki keturunan, meskipun ajalnya sudah dekat. Ia pun berwasiat jika anaknya lahir laki-laki, mohon untuk diberi nama Raden Nirbita.

Setelah berpesan demikian, Raden Setatama akhirnya meninggal dunia menyusul Raden Bimakinca. Raden Abyasa segera bersiul memanggil sahabat ayahnya, yaitu Gandarwaraja Swala (yang juga ayah kandung panakawan Petruk). Seketika Gandarwaraja Swala pun hadir di hadapannya. Raden Abyasa menceritakan dari awal sampai akhir tentang apa yang dialami kedua adiknya, dan ia meminta tolong Gandarwaraja Swala supaya pergi melapor kepada Resi Parasara, sebelum Raden Setatama palsu datang ke Gunung Saptaarga.

Gandarwaraja Swala segera melesat secepat kilat dan dalam sekejap sudah berada di Gunung Saptaarga. Ia melapor kepada Resi Parasara dan Resi Kandihawa tentang kematian Raden Setatama dan Raden Bimakinca. Mendengar suaminya tewas, Endang Kandini langsung jatuh pingsan. Resi Kandihawa sangat marah dan ia pun turun gunung untuk membereskan Prabu Gajaksasura dan Patih Wistakasura.

KEMATIAN PRABU GAJAKSASURA DAN PATIH WISTAKASURA

Ketika tiba di kaki Gunung Saptaarga, Resi Kandihawa berjumpa Raden Setatama dan Raden Bimakinca palsu yang hendak naik ke puncak. Ia pura-pura memanggil mereka lalu berdiri di tengah-tengah keduanya. Secepat kilat, Resi Kandihawa mencekik leher Raden Setatama palsu di tangan kanan dan Raden Bimakinca palsu di tangan kiri, lalu membenturkan kepala mereka hingga remuk. Keduanya pun tewas dan kembali ke wujud semula, yaitu Prabu Gajaksasura dan Patih Wistakasura.

Sementara itu, Dewi Hastipraba yang sedang terbang di angkasa kebetulan lewat dan ia sangat terkejut melihat kakak dan suaminya telah tewas dibunuh seorang pendeta raksasa. Ia pun menerjang Resi Kandihawa dengan sekuat tenaga. Resi Kandihawa yang tidak menyadari datangnya serangan mendadak tersebut akhirnya tewas pula di tangan sang raksasi.

GANDARWARAJA SWALA MERINGKUS DEWI HASTIPRABA

Pada saat itulah Resi Parasara dan Gandarwaraja Swala datang di tempat kejadian. Gandarwaraja Swala segera menyerang Dewi Hastiraba. Dengan mengerahkan mantra Sangkali, sang raja gandarwa berhasil melumpuhkan raksasi bertelinga lebar itu. Tidak lama kemudian datang pula Raden Abyasa beserta para panakawan yang membawa serta jasad Raden Setatama dan Raden Bimakinca.

Resi Parasara menanyai asal-usul Dewi Hastipraba mengapa memiliki telinga lebar, sedangkan Prabu Gajaksasura mengapa memiliki kepala gajah. Dewi Hastipraba pun bercerita bahwa ayahnya bernama Resi Anggasti, sedangkan ibunya seorang bidadari bernama Batari Tayati, putri Batara Tacodwara, atau cucu Batara Wrehaspati. Ketika Batari Tayati sedang mengandung, Resi Anggasti membunuh seekor gajah liar yang merusak ladang padepokan. Akibatnya, janin yang dikandung istrinya pun terkena balak, yaitu ketika lahir berwujud raksasa laki-laki dan perempuan, yang satu berkepala gajah, yang satunya bertelinga lebar.

Resi Parasara terkesan mendengar itu. Ia pun memerintahkan para panakawan untuk mengumumkan kepada warga desa, jika memiliki istri yang sedang mengandung hendaknya tidak membunuh binatang. Jika terpaksa harus membunuh, sebaiknya menyebut jabang bayi yang sedang dikandung istrinya.

Kini Dewi Hastipraba yang sudah kehilangan daya kekuatan memohon ampun kepada Resi Parasara dan menyerahkan hidup matinya. Resi Parasara pun mengampuninya dan membebaskan raksasi itu dari pengaruh mantra Sangkali. Dewi Hastipraba berterima kasih, lalu membawa jasad Prabu Gajaksasura dan Patih Wistakasura kembali ke Kerajaan Anggastina.

LAHIRNYA RADEN SETA DAN RADEN NIRBITA

Berita kematian Raden Setatama dan Raden Bimakinca telah terdengar sampai ke Kerajaan Wirata. Raden Durgandana dan Dewi Sudaksina pun pergi ke Gunung Saptaarga untuk menghadiri pemakaman Raden Setatama dan Raden Bimakinca. Saat itu Dewi Sudaksina sedang mengandung pula. Hatinya sangat sedih karena kehilangan dua saudara sekaligus. Ia pun meminta izin kepada suaminya untuk tetap tinggal di padepokan dan baru kembali ke istana Wirata setelah melahirkan kelak. Raden Durgandana mengabulkan permintaan istrinya tersebut.

Beberapa bulan kemudian, janda Raden Setatama yaitu Endang Kandini melahirkan seorang bayi laki-laki. Sesuai wasiat sang suami, bayi tersebut pun diberi nama Raden Nirbita. Sementara itu, Dewi Sudaksina juga melahirkan bayi laki-laki. Jika Endang Kandini mengandung selama sembilan bulan, maka Dewi Sudaksina hanya mengandung selama tujuh bulan. Untuk mengenang Raden Setatama, maka Dewi Sudaksina dan Raden Durgandana pun memberi nama putra mereka, Raden Seta.

Setelah tiga bulan tinggal di Gunung Saptaarga, Raden Durgandana dan Dewi Sudaksina kembali ke Wirata. Endang Kandini pun dibawa serta. Raden Durgandana berjanji akan membesarkan Raden Nirbita yang telah yatim sejak lahir itu bersama-sama dengan Raden Seta di istana Wirata.

Prabu Gajaksasura

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------











 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar