Kisah ini menceritakan lahirnya kesatria gagah perkasa yang namanya
terkenal sepanjang masa, yaitu Raden Gatutkaca putra Raden Bimasena. Juga
dikisahkan awal mula bertemunya Raden Arjuna dengan Endang Manuhara yang kelak
dari perkawinan mereka lahir seorang putri bernama Endang Pregiwa. Putri inilah
yang nantinya menjadi jodoh Raden Gatutkaca.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan rekaman pagelaran wayang kulit
dengan dalang Ki Manteb Soedharsono, dan juga Ki Anom Suroto, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 09 Desember 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Raden Gatutkaca |
PRABU KALAPRACONA INGIN MENIKAHI BIDADARI BATARI SUPRABA
Tersebutlah seorang raja
raksasa bernama Prabu Kalapracona dari Kerajaan Kiskandapura. Pada suatu malam
ia mimpi bertemu bidadari paling cantik di Kahyangan Suralaya, bernama Batari
Supraba. Setelah bangun dari mimpinya, Prabu Kalapracona pun dilanda kasmaran dan
ingin menjadikan bidadari tersebut sebagai istrinya.
Prabu Kalapracona segera
menyampaikan niatnya kepada Patih Sekiputantra bahwa dirinya akan pergi ke
Kahyangan Suralaya untuk melamar Batari Supraba. Patih Sekiputantra berkata
bahwa tidak pantas jika rajanya yang berangkat sendiri ke sana. Sebagai menteri
utama Kiskandapura, ia menawarkan diri untuk mewakili Prabu Kalapracona melamar
bidadari tersebut kepada Batara Indra. Prabu Kalapracona setuju dan melepas
keberangkatan Patih Sekiputantra. Ia pun berpesan entah bagaimana caranya Patih
Sekiputantra harus bisa membawa pulang Batari Supraba, baik dengan cara halus
ataupun dengan cara paksa.
Demikianlah, Patih
Sekiputantra pun berangkat menuju Kahyangan Suralaya dengan didampingi Ditya
Abiriwi dan Ditya Wrahandana, beserta pasukan raksasa secukupnya.
BATARA INDRA MEMBICARAKAN KELAHIRAN RADEN TETUKA
Batara Indra di Kahyangan
Suralaya dihadap para dewata, antara lain Batara Wrehaspati, Batara
Citranggada, Batara Citrasena, Batara Citrarata, dan Batara Arjunawangsa. Dalam
pertemuan itu hadir pula Batara Narada yang mendapat tugas dari Batara Guru di
Kahyangan Jonggringslaka untuk menyerahkan pusaka kepada Raden Permadi yang
sedang bertapa di Hutan Jatirokeh.
Batara Indra membenarkan bahwa
putra angkatnya, yaitu Raden Permadi memang sedang bertapa di Hutan Jatirokeh memohon
anugerah dewata. Kesatria Panengah Pandawa itu meminta diberi pusaka kahyangan untuk
memotong tali pusar keponakannya yang bernama Raden Tetuka, yang sudah setahun
ini belum juga putus. Betapa tekun Raden Permadi bertapa, membuat Kahyangan
Suralaya dilanda hawa panas. Para bidadari pun merasa gerah dan kehausan,
sehingga banyak di antara mereka yang meratap-ratap minta tolong.
Batara Indra bercerita bahwa
setahun yang lalu Dewi Arimbi istri Raden Bratasena melahirkan seorang bayi
berwajah tampan tapi memiliki taring. Bayi tersebut diberi nama Raden Tetuka
yang merupakan titisan Arya Gandamana, kesatria tangguh dari Kerajaan Pancala
yang dulu gugur dalam peristiwa Sayembara Dewi Drupadi. Pada saat kelahiran
bayi tersebut, Dewi Drupadi ditugasi Prabu Puntadewa untuk memotong tali pusarnya
tetapi gagal. Entah mengapa, tali pusar tersebut sangat ulet dan keras, tidak
bisa diputus. Raden Nakula dan Raden Sadewa mencoba membantu tetapi gagal pula.
Raden Bratasena terpaksa menggunakan Kuku Pancanaka yang terkenal tajam luar
biasa, namun juga tidak berhasil memotong tali pusar putranya.
Setahun kini telah berlalu dan
si bayi Raden Tetuka tetap terhubung dengan ari-arinya. Karena didorong rasa
prihatin, Raden Permadi pun pergi bertapa memohon kepada dewata agar diberi
pusaka yang mampu memotong tali pusar keponakannya. Itulah sebabnya Batara
Indra pun mengirim permohonan kepada Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka
agar memberikan pusaka yang diinginkan Raden Permadi. Batara Guru pun
mengabulkan permohonan tersebut. Batara Narada lalu diutus pergi untuk
menyerahkan pusaka berupa Panah Kuntadruwasa dan Busur Wijayadanu kepada
Pandawa nomor tiga tersebut.
Batara Indra gembira mendengar
hal itu. Ia pun berniat mendampingi Batara Narada untuk menyerahkan kedua
pusaka tersebut kepada Raden Permadi di Hutan Jatirokeh.
BATARA INDRA MENOLAK LAMARAN PATIH SEKIPUTANTRA
Belum sempat Batara Indra
berangkat bersama Batara Narada, tiba-tiba datang Patih Sekiputantra dari
Kerajaan Kiskandapura yang menyampaikan surat lamaran Prabu Kalapracona
terhadap Batari Supraba. Batara Indra membaca surat tersebut dan
merobek-robeknya. Dengan tegas ia katakan bahwa selamanya bangsa raksasa tidak
pantas mempunyai istri bidadari. Ia pun memerintahkan Patih Sekiputantra agar
segera pulang ke negaranya dan menyarankan Prabu Kalapracona untuk menikahi
sesama bangsa raksasi saja.
Patih Sekiputantra menjawab
bahwa dirinya telah mendapatkan wewenang dari rajanya untuk merebut paksa
Batari Supraba apabila tidak dapat dilamar secara baik-baik. Batara Indra
semakin marah dan memerintahkan Patih Sekiputantra menunggu di lapangan
Repatkepanasan jika memang ingin mencoba kekuatan pasukan Dorandara.
Demikianlah, Patih
Sekiputantra pun keluar dan bersiaga dengan kedua pendampingnya, yaitu Ditya
Abiriwi dan Ditya Wrahandana. Batara Citranggada dan Batara Citrasena keluar
menghadapi mereka dengan membawa pasukan Dorandara. Pertempuran pun terjadi.
Tidak disangka kekuatan pihak raksasa sungguh dahsyat. Mereka mampu mendesak
mundur para dewa hingga berlindung di balik gerbang Kori Selamatangkep.
Batara Narada merasa tidak ada
waktu lagi untuk menunda-nunda. Ia pun pergi meninggalkan Kahyangan Suralaya
untuk pergi menuju hutan di mana Raden Permadi bertapa. Adapun Batara Indra dan
para dewa lainnya tetap tinggal di Kahyangan Suralaya untuk menjaga keamanan
dari para raksasa pengacau tersebut.
BATARA SURYA MEMBANTU ADIPATI KARNA MENIPU BATARA NARADA
Hutan Jatirokeh sangat luas
dan lebat, di mana Raden Permadi sedang bertapa tekun di dalamnya. Ternyata di
sisi lain hutan ini juga sedang bertapa seorang kesatria sakti, yaitu Adipati
Karna dari Awangga. Kedua kesatria tersebut sama-sama bertapa dan saling tidak mengetahui
keberadaan satu sama lain.
Batara Surya telah mendengar
kabar bahwa Batara Narada mendapat tugas dari Batara Guru untuk menganugerahkan
pusaka Kuntadruwasa dan Wijayadanu kepada Raden Permadi. Ia pun membangunkan Adipati
Karna dan mengajak putranya itu untuk bermuslihat merebut kedua pusaka tersebut
agar tidak sampai jatuh ke tangan Raden Permadi.
Adipati Karna merasa ikhlas
jika memang dewata lebih memilih adiknya sebagai penerima kedua pusaka itu. Ia
pun memutuskan lebih baik pulang saja ke Kadipaten Awangga, tidak perlu
meneruskan bertapa. Batara Surya menasihati putranya untuk tidak mudah menyerah.
Ia menyarankan agar Adipati Karna merebut kedua pusaka tersebut menggunakan tipu
muslihat. Adipati Karna menolak dengan halus. Namun, karena ayahnya
terus-menerus mendesak, ia akhirnya bersedia menjalankan siasat yang disusun
Batara Surya.
Batara Surya lalu mengerahkan
kekuasaannya untuk meredupkan cahaya matahari. Karena suasana tiba-tiba berubah
menjadi remang-remang, Batara Narada yang terbang di angkasa pun salah jalan.
Ia tersesat tidak dapat membedakan di mana tempat Raden Permadi bertapa, sehingga
justru mendatangi Adipati Karna.
BATARA NARADA MENYERAHKAN KEDUA PUSAKA KEPADA ADIPATI KARNA
Saat itu Adipati Karna bertapa
dengan mengenakan busana kesatria, bukan busana raja. Dengan demikian,
penampilannya pun sama persis seperti Raden Permadi. Ditambah lagi dengan
suasana yang kini remang-remang, membuat Batara Narada mengira Adipati Karna
benar-benar Raden Permadi.
Sesuai rencana, Adipati Karna
pun berpura-pura bahwa dirinya adalah Raden Permadi. Batara Narada menjelaskan
bahwa kedatangannya adalah untuk menyampaikan anugerah Batara Guru berupa pusaka
Panah Kuntadruwasa dan Busur Wijayadanu kepada sang Pandawa nomor tiga. Adipati
Karna pun menerima kedua pusaka tersebut dengan senang hati.
Batara Narada lalu menjelaskan
bahwa Kuntadruwasa adalah panah yang sangat ampuh, dan sama ampuhnya dengan
panah Guhyawijaya milik Prabu Sri Rama di zaman kuno. Kunta sendiri bermakna “tombak”,
sedangkan Druwasa bermakna “Kilatan Yang Mahakuasa”. Adipati Karna pun
mengamat-amati Panah Kuntadruwasa yang memang berukuran panjang seperti tombak
dan berkilat-kilat memancarkan cahaya.
Batara Narada menjelaskan bagaimana
cara menggunakan Kuntadruwasa yang panjang seperti tombak, tentu tidak dapat
ditembakkan menggunakan busur biasa. Oleh sebab itu, menembakkan Kuntadruwasa
harus menggunakan busur pusaka pula, yang bernama Wijayadanu. Adapun kata
wijaya bermakna “kemenangan”, sedangkan danu bermakna “busur”. Kuntadruwasa dan
Wijayadanu adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Adipati Karna berterima kasih
atas kebaikan Batara Narada, sehingga dirinya kini bisa mengimbangi kesaktian
Raden Permadi yang memiliki busur pusaka Gandiwa, yang didapatkannya dari
sayembara Dewi Drupadi dulu. Batara Narada heran mendengar Raden Permadi di
hadapannya berbicara tentang Raden Permadi pula. Akhirnya, ia pun sadar bahwa
dirinya telah salah menyerahkan pusaka. Kesatria yang sejak tadi diajaknya
bicara ternyata bukan Raden Permadi, melainkan Adipati Karna yang memang
keduanya berwajah mirip.
Batara Narada pun meminta
Adipati Karna untuk mengembalikan Kuntadruwasa dan Wijayadanu kepada dirinya, agar
bisa diserahkan kepada Raden Permadi yang lebih berhak. Adipati Karna menolak
karena itu justru mencoreng nama baik dewata. Orang akan menuduh dewata sebagai
kaum yang plin-plan, suka mengubah-ubah keputusan. Alangkah lucunya jika dewata
memberikan anugerah kepada seseorang dan memintanya kembali karena salah kirim.
Batara Narada merasa
dipermalukan atas sindiran Adipati Karna. Ia pun melesat pergi meninggalkan
tempat itu untuk pergi mencari di mana Raden Permadi yang sesungguhnya berada.
BATARA NARADA MENEMUI RADEN PERMADI
Batara Narada menelusuri Hutan
Jatirokeh dan menemukan Raden Permadi sedang bertapa di bawah pohon besar. Ia
pun membangunkan kesatria tersebut dan mengabarkan bahwa pusaka Kuntadruwasa
dan Wijayadanu yang seharusnya menjadi haknya justru direbut dengan cara licik
oleh Adipati Karna.
Raden Permadi menjawab ikhlas
jika memang Adipati Karna memperoleh kedua pusaka tersebut. Bukankah dulu
Batara Narada sendiri yang memperkenalkan mereka berdua sebagai adik dan kakak
beda ayah, yaitu saat peristiwa Alap-Alapan Dewi Srutikanti? Lagipula yang
diinginkan Raden Permadi bukan panah dan busur, melainkan Kayu Kastubamulya
untuk memotong tali pusar keponakannya.
Raden Permadi bercerita bahwa
Raden Tetuka sejak lahir hingga sekarang berusia satu tahun belum terpisah dengan
ari-arinya. Tali pusar milik Raden Tetuka sangat ulet dan kuat, tidak dapat
dipotong menggunakan segala jenis senjata. Menurut petunjuk Bagawan Abyasa di
Padepokan Saptaarga, tali pusar Raden Tetuka hanya bisa dipotong menggunakan
Kayu Kastubamulya yang tumbuh di kahyangan. Itulah sebabnya Raden Permadi pun bertapa
memohon dewata agar menganugerahkan kayu jenis tersebut kepadanya.
Batara Narada menjawab bahwa ini
sungguh kebetulan karena warangka yang membungkus ujung Panah Kuntadruwasa
terbuat dari Kayu Kastubamulya. Mendengar itu, Raden Permadi langsung mohon pamit
mengejar Adipati Karna.
RADEN PERMADI MEREBUT WARANGKA PANAH KUNTADRUWASA
Raden Permadi mengerahkan Aji
Seipi Angin dan berhasil mengejar Adipati Karna yang mengendarai Kereta
Jatisura. Adipati Karna pun turun dari kereta dan menyambut adiknya itu. Raden
Permadi berterus terang bahwa kedatangannya adalah untuk meminta warangka
pembungkus panah Kuntadruwasa.
Adipati Karna menjawab bahwa
ia tidak dapat menyerahkan warangka tersebut karena sangat tidak mungkin jika
panah pusakanya tidak memiliki pembungkus. Panah Kuntadruwasa dan warangkanya
adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Raden Permadi pun menjelaskan
bahwa warangka panah Kuntadruwasa terbuat dari Kayu Kastubamulya, dan benda ini
dapat digunakan untuk memotong tali pusar Raden Tetuka, putra Raden Bratasena.
Raden Permadi memohon Adipati Karna agar sudi mengasihani nasib Raden Tetuka
yang masih terhitung keponakannya sendiri.
Adipati Karna menjawab tidak
peduli. Ia masih ingat bagaimana Raden Bratasena dengan kasar dan tanpa tata
krama pernah menghina dirinya di depan orang banyak. Dulu saat peristiwa
Pendadaran Murid-Murid Sokalima, Raden Bratasena itulah yang paling lantang
menghina dirinya sebagai anak kusir. Jika kini Raden Bratasena memiliki anak
cacat, maka itu adalah karma buruk yang harus ia terima.
Raden Permadi hilang
kesabaran. Ia pun menyerang Adipati Karna untuk merebut warangka Panah
Kuntadruwasa dengan kekerasan. Kedua kesatria itu lalu bertarung seru. Di
antara mereka tidak terlihat siapa yang menang ataupun kalah. Adipati Karna
akhirnya memasang Kuntadruwasa pada busur Wijayadanu untuk mengancam lawan.
Namun, ia sengaja tidak melepas warangka pembungkus ujung panah pusaka tersebut
karena memang tidak berniat membunuh Raden Permadi, melainkan hanya
menakut-nakuti adiknya saja.
Raden Permadi bukannya takut
tetapi justru menerjang maju merampas Panah Kuntadruwasa. Adipati Karna pun
menarik panah pusakanya mundur, sedangkan Raden Permadi menggenggam
warangkanya. Akibatnya, kedua benda itu pun berpisah. Adipati Karna tetap
mendapatkan Panah Kuntadruwasa dan Busur Wijayadanu, sedangkan Raden Permadi
mendapatkan warangka pembungkusnya saja.
Adipati Karna lalu pergi
memacu Kereta Jatisura. Sementara itu, Batara Narada datang menemui Raden
Permadi. Ia mengatakan mungkin memang sudah takdir bahwa Kuntadruwasa dan
Wijayadanu harus menjadi milik Adipati Karna. Namun, ia meyakinkan Raden
Permadi bahwa warangka pusaka tersebut benar-benar terbuat dari Kayu
Kastubamulya yang dapat digunakan untuk memotong tali pusar Raden Tetuka.
Setelah berkata demikian,
Batara Narada berniat kembali ke Kahyangan Suralaya untuk membantu Batara Indra
menghadapi para pengacau dari Kerajaan Kiskandapura yang dipimpin Patih
Sekiputantra. Raden Permadi prihatin mendengar berita itu. Ia pun berjanji
setelah memotong tali pusar Raden Tetuka, maka dirinya akan menyusul pergi ke
Kahyangan Suralaya untuk ikut berperang membantu para dewa. Batara Narada senang
mendengarnya dan berharap Raden Permadi dapat segera menumpas para raksasa.
RADEN PERMADI MEMOTONG TALI PUSAR RADEN TETUKA
Raden Permadi telah tiba di
Kesatrian Jodipati, yaitu tempat tinggal Raden Bratasena di Kerajaan Amarta.
Tampak si bayi Raden Tetuka digendong ibunya, yaitu Dewi Arimbi. Hadir pula di
tempat itu Prabu Puntadewa, Prabu Kresna, Prabu Baladewa, serta si kembar Raden
Nakula dan Raden Sadewa.
Raden Permadi melaporkan hasil
pertapaannya, di mana ia berhasil mendapatkan Kayu Kastubamulya dalam bentuk warangka
pembungkus Panah Kuntadruwasa. Menurut keterangan dari Batara Narada, warangka
tersebut mampu digunakan untuk memotong tali pusar Raden Tetuka.
Raden Bratasena pun
mengizinkan Raden Permadi untuk mencoba. Raden Permadi lalu maju dan mengiris
tali pusar Raden Tetuka. Sungguh ajaib, tali pusar tersebut langsung putus
terkena Kayu Kastubamulya, padahal selama ini tidak ada senjata tajam yang
mampu memotongnya. Dan yang lebih ajaib lagi, warangka kayu tersebut langsung
musnah dan bersatu di dalam tubuh si bayi.
Raden Bratasena marah-marah
mengira telah terjadi sesuatu yang buruk pada putranya. Prabu Kresna segera
menasihati sepupunya itu agar bersabar. Warangka Kayu Kastubamulya tidak
mencelakai Raden Tetuka, tetapi justru menjadi penambah kekuatannya. Hanya
saja, Raden Tetuka jangan sampai bertarung melawan pemilik pusaka Kuntadruwasa,
karena itu akan menjadi penyebab kematiannya. Pusaka Kuntadruwasa bisa jadi akan
memburu Raden Tetuka untuk bersatu kembali dengan warangkanya.
Setelah Raden Bratasena tenang
kembali, Raden Permadi pun mohon pamit pergi ke Kahyangan Suralaya untuk membantu
kesulitan yang dihadapi Batara Indra.
RADEN PERMADI MENJADI JAGO KAHYANGAN
Raden Permadi ditemani para
panakawan telah sampai di Kahyangan Suralaya di mana ia langsung bertarung
menghadapi pasukan raksasa yang mengepung para dewa. Satu persatu para raksasa
itu tewas bergelimpangan terkena panah-panah yang dilepaskan Sang Panengah
Pandawa.
Ditya Abiriwi dan Ditya
Wrahandana maju menyerang Raden Permadi. Kedua senapati raksasa itu sangat
sakti dan kuat, namun tidak berdaya menghadapi Pandawa nomor tiga tersebut.
Akhirnya, mereka pun tewas pula dengan kepala terpenggal oleh panah Raden
Permadi.
Patih Sekiputantra maju
menghadapi Raden Permadi. Pertarungan sengit pun terjadi di antara mereka. Kali
ini giliran Raden Permadi yang terdesak. Patih Sekiputantra mengerahkan Aji
Gelap Sayuta yang membuat tubuh Raden Permadi terlempar jauh, sejauh-jauhnya.
Melihat sang majikan terlempar,
para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong pun segera pergi
mencari ke mana jatuhnya Raden Permadi.
RADEN PERMADI DITEMUKAN ENDANG MANUHARA
Tersebutlah seorang pendeta
tua bernama Resi Sidikwacana di Padepokan Andongsumawi. Ia memiliki seorang
putri bernama Endang Manuhara yang cantik jelita. Si gadis bercerita bahwa tadi
malam dirinya mimpi bertemu dengan seorang kesatria tampan rupawan, bernama
Raden Permadi. Ingin sekali Endang Manuhara mengabdi pada kesatria tersebut.
Sungguh pucuk dicinta ulam
tiba, Raden Permadi yang dimimpikan Endang Manuhara tiba-tiba melayang jatuh
dari angkasa dan dapat ditangkap oleh Resi Sidikwacana. Kesatria tampan itu tampak
pingsan dan menderita luka-luka. Endang Manuhara gembira bercampur prihatin melihatnya.
Ia pun meminta kepada sang ayah untuk mengobati luka-luka Raden Permadi hingga
sembuh.
Resi Sidikwacana yang berwatak
welas asih pun mengabulkan keinginan putri tunggalnya itu. Ia lalu menggendong
tubuh Raden Permadi yang masih pingsan dan membawanya masuk ke dalam Padepokan
Andongsumawi. Bersama dengan putrinya, mereka pun bersama-sama merawat
luka-luka Raden Permadi hingga pulih seperti sediakala.
BATARA GURU MENGUNJUNGI KAHYANGAN SURALAYA
Sementara itu, Batara Guru dari
Kahyangan Jonggringsalaka datang mengunjungi putranya, yaitu Batara Indra di
Kahyangan Suralaya. Batara Guru telah mengetahui adanya pasukan raksasa dari
Kerajaan Kiskandapura yang mengacau kahyangan untuk merebut Batari Supraba.
Maka, ia pun datang untuk memberikan pertolongan kepada Batara Indra.
Batara Indra dan Batara Narada
menceritakan bahwa mereka telah meminta bantuan Raden Permadi untuk menjadi
jago para dewa. Namun, Panengah Pandawa tersebut kalah melawan Patih
Sekiputantra dan tubuhnya terlempar jauh entah ke mana. Batara Guru menjelaskan
bahwa jago yang dapat mengalahkan Patih Sekiputantra sekaligus Prabu
Kalapracona bukanlah Raden Permadi, melainkan keponakannya yang baru saja
terpisah dari ari-arinya, yaitu Raden Tetuka.
Mendengar itu, Batara Narada
segera mohon pamit berangkat menuju Kesatrian Jodipati.
RADEN TETUKA MENJADI JAGO KAHYANGAN
Raden Bratasena dan Dewi
Arimbi di Kesatrian Jodipati sedang menggelar acara syukuran atas terputusnya
tali pusar Raden Tetuka, sambil menunggu kepulangan Raden Permadi dari tugasnya
sebagai jago kahyangan. Dalam acara syukuran tersebut, Raden Bratasena
mengganti namanya menjadi Raden Wrekodara, sesuai janjinya kepada mendiang
Prabu Arimba dulu.
Batara Narada yang datang
tanpa menampakkan diri segera menyambar tubuh Raden Tetuka yang berada dalam
gendongan Dewi Arimbi. Raden Wrekodara heran melihat putranya melayang sendiri
dan melesat dengan cepat di angkasa. Prabu Kresna yang berpenglihatan tajam
dapat mengetahui bahwa si bayi telah direbut oleh Batara Narada. Maka, ia pun
mengajak Prabu Baladewa dan Raden Wrekodara untuk mengejar ke kahyangan.
Batara Narada telah sampai di
hadapan Patih Sekiputantra. Ia berkata bahwa Batari Supraba akan diserahkan
sebagai istri Prabu Kalapracona apabila Patih Sekiputantra dapat membunuh bayi
dalam gendongannya. Patih Sekiputantra tertawa menuduh para dewa sedang
bercanda. Batara Narada menjawab dirinya tidak bercanda. Ia pun meletakkan bayi
Raden Tetuka di tanah dan mempersilakan Patih Sekiputantra untuk membunuhnya.
Patih Sekiputantra maju dengan
lagak meremehkan campur kasihan. Ia memukul Raden Tetuka dengan satu tangan,
namun bayi tersebut hanya diam tak terluka sedikit pun. Patih Sekiputantra
heran dan menyerangnya kembali. Akan tetapi, semakin diserang, tubuh Raden
Tetuka justru semakin kuat dan kini ia bisa berjalan dengan lancar. Patih
Sekiputantra semakin penasaran dan tidak berani meremehkan lagi. Raden Tetuka
pun ditangkap, diinjak, ditendang, dan dibanting, namun sedikit pun tidak
terluka. Bukannya mati, bayi tersebut kini justru bisa berlari dan
melompat-lompat dengan lincah.
Patih Sekiputantra lalu
berkata pada Batara Narada agar membesarkan bayi tersebut menjadi dewasa dalam
sekejap. Ia merasa malu bertarung melawan seorang bayi mungil, karena jika
menang tidak membanggakan, tapi jika kalah sangat memalukan.
RADEN TETUKA MENJADI DEWASA DALAM SEKEJAP
Batara Narada pun menggendong
Raden Tetuka dan membawanya ke hadapan Batara Guru yang menonton di kejauhan
bersama para dewa lainnya. Batara Guru telah mendengar permintaan Patih
Sekiputantra dan ia segera memerintahkan Batara Narada untuk menceburkan bayi
Raden Tetuka ke dalam Kawah Candradimuka di Gunung Jamurdipa. Kemudian, para
dewa yang lain hendaknya ikut menceburkan berbagai pusaka agar bersatu dengan
tubuh si bayi.
Batara Narada segera
menjalankan perintah. Ia melemparkan tubuh Raden Tetuka ke dalam Kawah
Candradimuka. Seketika kawah tersebut meluap dan berkobar-kobar. Para dewa satu
persatu menceburkan senjata pusaka mereka ke dalam kawah. Ada yang menceburkan
panah, tombak, gada, pedang, dan banyak lagi yang lainnya.
Api pun menyala berkobar-kobar
pada permukaan Kawah Candradimuka. Tidak lama kemudian muncul seorang pemuda
berbadan gagah yang keluar ke permukaan. Demikianlah, Raden Tetuka kini telah
tumbuh menjadi dewasa dalam waktu singkat. Berbagai senjata pusaka yang
dilempar para dewa tadi telah menyatu ke dalam tubuhnya, membuat dirinya
bertambah kuat serta perkasa.
Batara Guru menyambut
kedatangan Raden Tetuka dan memberinya nama baru, yaitu Raden Gatutkaca. Gatut
berasal dari kata “gatot” yang artinya “ulet”, sedangkan kaca maksudnya adalah
“cermin”. Maka, nama Gatutkaca mengandung makna “manusia yang ulet dan perkasa
sebagai cermin teladan bagi kaum muda.”
Para dewa yang lain memuji
keindahan nama baru Raden Tetuka. Mereka pun bergantian memberikan restu
kemenangan terhadap pemuda tersebut.
PATIH SEKIPUTANTRA TEWAS DIGIGIT RADEN GATUTKACA
Raden Gatutkaca kini maju ke
medan laga menghadapi Patih Sekiputantra untuk melanjutkan pertandingan. Patih
Sekiputantra merasa senang dan kini ia tidak perlu segan lagi membunuh lawan.
Keduanya lalu bertarung dengan disaksikan para dewa. Mereka bertanding seru,
saling pukul dan saling tendang. Apa pun yang dilakukan Patih Sekiputantra
pasti ditirukan oleh Raden Gatutkaca.
Patih Sekiputantra lama-lama
merasa terdesak. Pukulan dan tendangannya tidak ada yang mampu melukai Raden
Gatutkaca. Karena kehabisan akal, Patih Sekiputantra pun menggigit leher pemuda
itu dengan menggunakan gigi taringnya yang runcing. Raden Gatutkaca kesakitan
dan meronta. Begitu lolos ia ganti menggigit leher Patih Sekiputantra. Sungguh
keras gigitan tersebut, hingga membuat Patih Sekiputantra tewas dengan leher
hampir putus.
Pada saat itulah Prabu Kresna,
Prabu Baladewa, dan Raden Wrekodara tiba di Kahyangan Suralaya. Batara Narada
menyambut mereka dan memperkenalkan Raden Gatutkaca adalah putra Raden
Wrekodara sendiri, yaitu Raden Tetuka yang kini telah tumbuh dewasa dalam waktu
singkat. Raden Wrekodara sangat senang bercampur haru. Ia pun memeluk putranya
itu dengan penuh rasa bangga.
Prabu Kresna merasa risih
melihat cara bertarung Raden Gatutkaca yang menggigit musuh seperti bangsa
raksasa. Ia pun maju sambil menghunus senjata Cakra untuk kemudian memotong
semua gigi taring pada mulut Raden Gatutkaca. Kini tanpa gigi taring, Raden
Gatutkaca terlihat tampan dan gagah sempurna.
RADEN GATUTKACA MENDAPATKAN PAKAIAN PUSAKA
Atas kemenangannya menghadapi
Patih Sekiputantra, Raden Gatutkaca pun mendapat anugerah dari Batara Guru
berupa seperangkat pakaian pusaka. Yang pertama bernama Caping Basunanda,
melekat di kepala. Daya kekuatannya ialah membuat Raden Gatutkaca tidak panas
terkena sorot matahari dan juga tidak basah terkena guyuran air hujan. Busana
yang kedua bernama Kotang Antarakusuma yang melekat di dada. Daya kekuatannya
ialah membuat Raden Gatutkaca mampu terbang di angkasa, bergerak secepat kilat,
dan menerjang sedahsyat guntur. Kotang Antarakusuma juga membuat dada Raden
Gatutkaca bersinar terang namun tidak menyilaukan. Busana yang terakhir bernama
Kasut Padakacarma yang melekat di kedua kaki. Daya kekuatannya ialah membuat Raden
Gatutkaca mampu terbang di atas tempat sangar dan angker tanpa harus takut
jatuh atau terkena balak oleh daya gaib tempat tersebut. Adapun Kasut
Padakacarma ini tercipta dari selongsong bekas kulit Batara Anantaboga.
Tiba-tiba terdengar suara
raksasa mengamuk berteriak-teriak meratapi kematian Patih Sekiputantra.
Ternyata raksasa yang baru datang itu adalah Prabu Kalapracona yang menyusul ke
Suralaya karena tidak sabar ingin segera menikahi Batari Supraba. Melihat
pasukannya telah tertumpas, ia pun mengamuk merusak bangunan kahyangan.
KEMATIAN PRABU KALAPRACONA
Batara Guru segera memerintahkan
Raden Gatutkaca untuk menghadapi raja raksasa dari Kiskandapura tersebut. Raden
Gatutkaca mohon restu kemudian maju melaksanakan perintah. Ia melesat terbang
di angkasa kemudian menerjang Prabu Kalapracona. Sang raja raksasa pun
menyambutnya dengan garang. Mereka lalu terlibat pertarungan yang sangat seru
satu sama lain.
Patih Kalapracona heran
melihat lawannya seorang pemuda gagah, namun memiliki kekuatan layaknya seorang
raksasa. Tubuhnya ulet dan keras, bagaikan memiliki otot kawat, tulang besi,
dan kulit tembaga. Prabu Kalapracona lama-lama merasa terdesak. Pemuda yang
menjadi lawannya itu terbang mengitarinya dengan cepat dan berkali-kali mendaratkan
tendangan di wajahnya.
Raden Gatutkaca teringat
dirinya kini tidak lagi memiliki taring sebagai senjata. Maka, ia pun mendarat
di pundak Prabu Kalapracona untuk mengakhiri nyawa raja raksasa tersebut. Kedua
tangannya lalu bekerja dengan cekatan. Satu menjambak, satunya lagi menarik
dagu, sedangkan kedua kakinya menjejak pundak lawan. Dalam sekejap kepala Prabu
Kalapracona pun terlepas dari tubuhnya.
BATARA GURU MENJANJIKAN HADIAH UNTUK RADEN GATUTKACA
Para dewa dan bidadari
bersorak-sorak memuji kemenangan Raden Gatutkaca. Batara Guru tampak sangat
bangga melihat kehebatan putra Raden Wrekodara tersebut. Karena terlalu bangga,
ia pun mengumumkan bahwa kelak Raden Gatutkaca akan dijadikan sebagai raja
kahyangan selama satu hari. Para dewa lainnya terkejut namun kemudian ikut
bersaksi atas janji Batara Guru itu.
Raden Wrekodara lalu bertanya
di mana kini adiknya berada. Batara Guru menceritakan bahwa Raden Permadi
terlempar oleh kesaktian Patih Sekiputantra dan tubuhnya melayang hingga jatuh
di Padepokan Andongsumawi. Raden Wrekodara tidak perlu khawatir karena Raden
Permadi saat ini berada dalam perawatan pemimpin padepokan tersebut yang
bernama Resi Sidikwacana. Batara Guru juga meramalkan kelak putri Resi
Sidikwacana yang bernama Endang Manuhara akan menjadi istri Raden Permadi, dan
dari perkawinan itu akan lahir seorang anak perempuan yang setelah dewasa
menjadi jodoh Raden Gatutkaca.
Raden Wrekodara lega
mendengarnya. Ia lalu mohon pamit kepada para dewa untuk membawa Raden
Gatutkaca pulang kembali ke Kesatrian Jodipati, bersama-sama dengan Prabu
Kresna dan Prabu Baladewa.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
CATATAN : Kisah lahirnya Raden Tetuka terdapat dalam Serat Pustakaraja Purwa,
yang menurut Raden Ngabehi Ranggawarsita terjadi pada tahun Suryasengkala 703 yang
ditandai dengan sengkalan “Uninga barakaning pandhita”, atau tahun
Candrasengkala 724 yang ditandai dengan sengkalan “Catur nembah ing resi”.
Adapun kisah Raden Tetuka diubah dewasa menjadi Raden Gatutkaca terjadi pada
tahun Suryasengkala 704 yang ditandai dengan sengkalan “Catur sutaning resi”,
atau tahun Candrasengkala 725 yang ditandai dengan sengkalan “Rekasan mesat ing
wukir”.
Prabu Kalapracona dalam Serat Pustakaraja Purwa disebut dengan nama
Prabu Purasana, sedangkan Patih Sekiputantra disebut dengan nama Patih
Kasipumantra. Adapun dari perkawinan Raden Permadi dan Endang Manuhara kelak
mendapat anak perempuan bernama Endang Pregiwa yang menjadi jodoh Raden
Gatutkaca.
Untuk kisah kematian Arya Gandamana yang kemudian menitis kepada Raden Gatutkaca
dapat dibaca di sini
Untuk kisah perkawinan Raden Bratasena dengan Dewi Arimbi dapat dibaca di sini
Dalam beberapa sanggit, gandamana menitis ke Antareja, dan sebagian berpendapat menitis ke Gatotkaca. Mantap min, sering-sering upload ya
BalasHapusSangat bagus....dan selalu pengen baca terus 🙏🙏
BalasHapuswarisan yang luar biasa
BalasHapusAneh juga bahwa dewa menganjurkan licik dan curang. Lalu Adipati Karna pun kehilangan sifat ksatria nya karena jadi curang. Lalu lagi, dewa sekelas Narada bisa salah lihat. Lucu...
BalasHapusJuga jadi pertanyaan, bukankah mendiang Pandu dan Dewi Madrim dihukum di dasar Kawah Candradimuka karena kesanggupannya dahulu saat meminjam Lembu Andini ? Koq Gatotkaca tidak ketemu mereka ?
Terima kasih.